"Ngomong apa, sih, Ndis.""Jawab aja, Bang. Abang percaya atau enggak?" Ia beralih menatapku dengan tatapan dalam dan kabut itu mulai menghiasi mata sendunya."Apa yang sebenarnya ingin kamu katakan?""Jawab dulu, Abang percaya apa enggak?"Aku menghela napas dalam."Kamu minum Gendis.""Hati Abang?" Ia menatapku semakin dalam.Aku menghela napas lagi, logika bekerja berdasarkan fakta dan logikaku mengatakan bahwa dia memang minum malam itu, tapi tidak dengan hatiku, dan sorot mata itu membuat hatiku seolah menentang logikaku.Hening, aku berpikir, lama."Percaya," lirihku pada akhirnya setelah perdebatan panjang di dalam sini."Apa Abang? Aku kurang denger.""Percaya, ah. Kamu mau ngomong apa, sih, Ndis?"Senyum pun tersungging di bibirnya yang semerah cery."Enggak papa yang lain nggak percaya, asal Abang percaya, itu sudah cukup untuk Gendis saat ini.""Hah?" ulangku, kucoba untuk mempertajam pendengaran, kalimat yang dia lontarkan barusan menyisakan tanda tanya besar di atas kep
Malam ini aku pulang sedikit larut. Dua Minggu sudah aku berjibaku dengan pekerjaan baru. Hari ini ada sedikit kendala yang harus dituntaskan dan cukup memakan waktu. Sebelumnya, aku sudah mengabari Gendis lewat pesan singkat, menyuruhnya untuk tidak menunggu.Rumah sudah terlihat lengang ketika aku pulang. Pintu kamar Gendis juga sudah tertutup rapat. Dia sudah tidur. Kuedarkan pandangan ke arah meja makan karena di sana tampak tudung saji dipasang menandakan bahwa ada sesuatu di dalamnya. Aku membukanya dan benar, sepiring sate ayam dan kuah soto ada di sana. Sejak perbincangan kami malam itu, aku merasa ada yang membatasi antara aku dan dia. Ada jarak yang entah hanya perasaanku saja atau memang dia sengaja membatasinya. Aku pun tak ada keberanian lagi untuk membahas tentang kuliah setelah jawaban menohok dia berikan padaku malam itu.Terkadang, aku hanya bisa mengamati dari kejauhan ketika dia berdiri di depan cermin dengan tatapan tertuju pada perutnya yang terlihat masih datar
"Kita USG dulu, ya." Dokter berucap seraya menyunggingkan senyum.Tepat pukul tujuh, petugas membawa Gendis ke sebuah ruangan. Aku mendampingi, masih dengan dada yang berdebar kencang. Ruangan itu bertuliskan ruang pemeriksaan dan seorang wanita berseragam putih dengan kaca mata sudah ada di dalam menunggu. Dokter Sonia namanya, beliau adalah pemilik klinik.Pemeriksaan lanjutan dilakukan setelah Dokter bertanya perihal keluhan sekaligus tanggal terakhir Gendis datang bulan. Kami menjawab sesuai yang kami tahu, apa adanya. "Mari," ulangnya berdiri di sebelah ranjang periksa karena Gendis hanya mematung, tak segera mengikuti perintah dokter."Ayo, Ndis," ulangku memegang bahunya agar dia yang terlihat melamun itu kembali sadar.Seketika, Gendis menatapku, sedikit berbeda, namun aku tak begitu mengerti arti tatapan Gendis. "Mari." Dokter kembali berseru. Kali ini Gendis mengikuti meski terlihat masih ragu."Bapak bisa duduk di samping istrinya, supaya bisa lihat juga," serunya padaku
"Bukan pelit, tapi ngirit. Lagian bisa aja kamu yang salah pakainya.""Ih, Abang." Gendis membuang muka jengkel. Di seberang meja, Dokter Sonia tampak menahan senyum melihat perdebatan kami. Membuat kami tersadar dan rasa maluku semakin membuncah."Saat stress kadang memang seperti itu, hormon menjadi tidak normal. Saya mengerti pasti kalian kecewa. Tapi, kalau kalian berkenan, bisa ikut program hamil, klinik kami punya berbagai macam program.""Enggak," kata kami bersamaan, lalu saling pandang. Sedangkan dokter Sonia mengernyit bingung."Maksudnya, kami kan baru aja nikah, kami mau menjalani sesuai prosesnya aja. Toh, istri saya dan saya juga masih sangat muda," ujarku sesantai mungkin agar dokter tidak curiga.Ia menganggukkan kepala."Sangat penting memeriksakan kehamilan. Jadi, saran saya, kalau ada tanda-tanda kehamilan lebih baik langsung periksa, ya, supaya tidak salah lagi.""Baik, Dok.""Jadi, kami boleh pulang, Dok?" tanya Gendis selanjutnya.Ia mengangguk lagi. "Boleh.""Al
"Enggak ada, Abang. Orang datang bulan emang kadang nyeri, kadang kram, itu wajar.""Wajar dan biasa tapi kok kamu sampe kayak gitu. Tahan kamu tiap bulan kayak gitu? Yakin?" cecarku."Ish, Abang. Cewek emang udah kodratnya kayak gitu. Mending sini Gendis ajarin belanja online, deh," ucapnya mengeluarkan ponsel dari saku piyama, mengarahkan padaku, kemudian mencondongkan sedikit badannya mendekat ke arahku. Sekilas aku terpana oleh lekuk wajah yang terlihat sempurna, bibir tipis semerah cerry, hidung bangir, kulit bersih, pun mata jernih itu membuat syarafku seakan tak berfungsi sebagaimana mestinya. Haruskah istri semuda dan secantik ini dilepas begitu saja? Ah, rupanya otakku mulai tak waras, memikirkan hal yang tidak-tidak. "Jadi, Abang kalau Abang mau belanja harus pinter, lihat ulasan, komentar pembeli-pembelinya kayak apa. Nih, contohnya.""Abang!" Tepukan cukup keras di pundak membuatku tersadar dan secepatnya aku mengalihkan pandangan lurus ke depan. "Apa, ah." "Ih, Abang
POV GendisAda rasa lega memang mendengar kehamilan tidak terjadi. Tapi artinya hubungan kami berakhir. 'Mari putuskan hubungan pernikahan ini setelah kamu tidak mengandung lagi.' Perkataan Bang Lana pagi itu kuanggap sebagai talak meski tak begitu lugas. "Lisan seorang lelaki dalam sebuah pernikahan diibaratkan sebuah pisau belati yang harus dijaga agar tidak salah dan akhirnya membuat luka. Karena satu goresan saja bisa fatal akibatnya. Contohnya ketika seorang istri mengucapkan kata cerai itu tidaklah berarti apa-apa dalam sebuah hubungan, berbeda jika suami. Maka lisan lelaki harus dijaga baik-baik. Ada banyak sekali macam talak, bahkan ada talak yang terucap namun pada saat talak itu terucap hubungan suami istri masih berlangsung dan akan berakhir sesuai apa yang suami katakan. Misal, Hubungan ini berakhir setelah ramadhan tiba. Maka saat datang bulan ramadhan hubungan mereka sudah tidak lagi halal." Seketika dadaku bergemuruh hebat mendengar kalimat demi kalimat yang Ustadz sam
"Neng." "Eh, iya, Bu. Ibu bisa aja. Mari berangkat, Bu, nanti telat," ajakku menutup perbincangan yang cukup meremas hatiku. Berdua kami berjalan kaki menuju kediaman Bu Dewi. Sekelompok anak kecil terlihat masih bermain di ujung gang, suasana khas daerah pinggiran begitu terasa kala kulihat banyak orang berlalu lalang, berbeda dengan perumahan tempatku tinggal, di mana penghuni hanya keluar untuk pergi bekerja dan pulang untuk istirahat, tak ada interaksi antar tetangga."Kakak," panggil seseorang. Aku menghentikan langkah dan menoleh ke arah suara. Seorang anak lelaki sekitar 10 tahunan berjalan ke arahku, aku pun menyipitkan mata memastikan apakah aku mengenalnya. Semakin dekat semakin jelas lalu seketika jantungku berdebar saat aku sadar bahwa anak itu adalah salah satu anak yang menyebutku ... orang gila malam itu. Dengan cepat aku menyapu pandangan ke arah lain. Berharap anak itu tidak sedang memanggilku."Kak," panggilnya setelah dia berada tepat di sebelahku memegang dan me
POV LanaAkhir pekan aku putuskan untuk pergi ke Jogja. Bukan tanpa tujuan, selain ke kampus Gendis menemui seseorang yang telah direkomendasikan oleh teman untuk membantu perpindahan Gendis, aku juga harus ke Mahesa Tunggal. Dua malam aku menginap di Jogja, Hingga Senin pun tiba. Tepat pukul 11, aku turun dari taksi yang mengantarku menuju Mahesa Tunggal, setelah urusan di kampus Gendis selesai. Dadaku kemudian mulai berdebar kala menatap gedung megah di hadapan. Sesungguhnya, tak ada keberanian untuk menampakkan diri di tempat ini, akan tetapi apa yang Gendis ceritakan malam itu terus mengganggu pikiran dan membuatku harus datang ke sini, mencari informasi bagaimana pun caranya.Kuberanikan diri untuk melangkah memasuki loby, dalam hati terus berdoa semoga tidak ada pengusiran terhadapku yang sudah tidak lagi diakui sebagai keluarga Mahesa atau semoga saja mereka lupa terhadapku dan membiarkan aku masuk dengan alasan yang sudah aku susun rapi di dalam kepala. "Maaf, ada keperluan a