"Neng." "Eh, iya, Bu. Ibu bisa aja. Mari berangkat, Bu, nanti telat," ajakku menutup perbincangan yang cukup meremas hatiku. Berdua kami berjalan kaki menuju kediaman Bu Dewi. Sekelompok anak kecil terlihat masih bermain di ujung gang, suasana khas daerah pinggiran begitu terasa kala kulihat banyak orang berlalu lalang, berbeda dengan perumahan tempatku tinggal, di mana penghuni hanya keluar untuk pergi bekerja dan pulang untuk istirahat, tak ada interaksi antar tetangga."Kakak," panggil seseorang. Aku menghentikan langkah dan menoleh ke arah suara. Seorang anak lelaki sekitar 10 tahunan berjalan ke arahku, aku pun menyipitkan mata memastikan apakah aku mengenalnya. Semakin dekat semakin jelas lalu seketika jantungku berdebar saat aku sadar bahwa anak itu adalah salah satu anak yang menyebutku ... orang gila malam itu. Dengan cepat aku menyapu pandangan ke arah lain. Berharap anak itu tidak sedang memanggilku."Kak," panggilnya setelah dia berada tepat di sebelahku memegang dan me
POV LanaAkhir pekan aku putuskan untuk pergi ke Jogja. Bukan tanpa tujuan, selain ke kampus Gendis menemui seseorang yang telah direkomendasikan oleh teman untuk membantu perpindahan Gendis, aku juga harus ke Mahesa Tunggal. Dua malam aku menginap di Jogja, Hingga Senin pun tiba. Tepat pukul 11, aku turun dari taksi yang mengantarku menuju Mahesa Tunggal, setelah urusan di kampus Gendis selesai. Dadaku kemudian mulai berdebar kala menatap gedung megah di hadapan. Sesungguhnya, tak ada keberanian untuk menampakkan diri di tempat ini, akan tetapi apa yang Gendis ceritakan malam itu terus mengganggu pikiran dan membuatku harus datang ke sini, mencari informasi bagaimana pun caranya.Kuberanikan diri untuk melangkah memasuki loby, dalam hati terus berdoa semoga tidak ada pengusiran terhadapku yang sudah tidak lagi diakui sebagai keluarga Mahesa atau semoga saja mereka lupa terhadapku dan membiarkan aku masuk dengan alasan yang sudah aku susun rapi di dalam kepala. "Maaf, ada keperluan a
"Lana," lirihnya. Deg! Dia menyebut namaku. Aku termangu. Menyerah atau lari."Kamu ... tolong buka ....""Ehm, maaf karena Pak Antoni tidak ada saya permisi," ucapku setenang mungkin, lalu bergegas pergi."Tunggu," panggil Mahendra. Aku tak menyahut, pura-pura tidak mendengar dan terus mempercepat langkah menuju pintu keluar."Lana!" pekiknya untuk kedua kali. Seketika langkahku terhenti. Suara Mahendra menggema, membuat semua karyawan yang ada di sana menghentikan kegiatan dan menoleh ke arah Mahendra. Penyamaranku gagal. Aku memutar badan ke arah Mahendra. Kubuka perlahan masker lalu menatap Mahendra. Kini, para karyawan beralih menatapku kemudian membungkukkan badan memberi hormat. Sebelumnya, aku mengunjungi Mahesa Tunggal mewakili Papa. Meski hanya beberapa hari, sepertinya mereka mengingatnya dengan sangat baik. "Lana," panggilnya lagi, aku masih bergeming di tempat yang sama, tak menjawab. Hanya, kutatap Mahendra seraya menggerakkan bola mata ke arah para karyawan dan ke a
26. Penat Setelah satu jam setengah, sampailah aku di Jakarta, itu pun masih di daerah kota tepatnya bandara. Berlari aku menuju parkiran mengambil motor yang kutitipkan.Setelah membayar sesuai tarif yang ditentukan, aku pun segera menyalakan mesin. Namun, rasanya tak seperti biasa. Beberapa kali aku mencoba, mesin tak kunjung mau menyala, sekuat tenaga aku terus mencobanya lagi, tapi masih tidak mau juga, padahal keringat sudah mulai membanjiri membuat darahku naik seketika. Motor mogok justru saat aku sedang mengejar waktu."Sial!" Kupukul keras stang setelah lima kali mencoba namun tetap gagal."Nggak nyala, Nak?" tanya petugas dengan rompi, sepertinya salah satu petugas parkir."Susah, Pak," jawabku mengacak rambut frustasi."Sabar, Bapak coba, boleh?"Dahiku mengerut. "Bapak bisa?""InsyaAllah."Aku menggeser tubuh sedikit minggir, mempersilahkannya mengambil alih posisiku. "Bismillah," lirihnya kemudian melakukan seperti apa yang aku lakukan sebelumnya dan ... menyala. "Kal
27. Aku yang bersaing dia yang bersanding.POV Cahaya"Apa? Memangnya ngapain Lana ke sana, Mas?" Aku bertanya pada Mas Hendra yang baru saja tiba di Jakarta. Beberapa waktu lalu dia menghubungi dan mengatakan ingin bertemu. Ada hal penting yang ingin disampaikan padaku katanya.Kini, kami ada di sebuah restoran setelah aku menjemputnya dari bandara setengah jam yang lalu. Mahendra Buana, mungkin bagi semua orang dia adalah tunangan dan kekasihku namun nyatanya kami tak sedekat itu. Kami hanya rekan kerja berbeda divisi di kantor Papa, aku sebagai manager pemasaran dan dia manager keuangan. Namun, tak dinyana, Papa justru begitu yakin menjodohkan kami sedangkan Mahendra, dia pun begitu yakin ingin mempersuntingku entah karena apa."Iya, Sayang. Sepertinya ada hubungannya dengan Pak Antoni." Aku mengangguk, segudang tanya tentang Lana kini menggantung di kepala. Sudah hampir tiga bulan kami tidak bersua. Rasa rindu tentu ada, bahkan semakin hari semakin menggebu. "Oh, ya, sepertinya
POV LanaPagi berganti malam, malam pun terasa begitu lama. Aku mencarinya di seluruh penjuru pinggiran kota Jakarta. Menunggu dia kembali ke rumah, terkadang aku merasa begitu kejam saat badan mulai payah, dalam doa terselip sebuah kalimat ketidak berdayaan : semoga dia kelaparan, hidup susah, tanpa uang di luar sana, sehingga dengan sendirinya dia kembali ke rumah sederhana ini. Tapi nyatanya doaku belum berbuah manis. Nyatanya, sudah hampir satu bulan dia tak juga kunjung kembali."Mas Lana!" Pekik Bu Mirna ketika aku baru turun dari sepeda, lalu tergopoh masuk ke halaman rumah, mendekatiku."Mas, Mas ke mana saja, sih, beberapa hari ini?" tanyanya sedikit terbata seraya memegangi dada mengatur napas yang sedikit tersengal."Saya? Saya ke Solo," jawabku seraya melepas pengait helm yang masih menempel di kepala."Lah, ke Solo? Tapi kok, Neng Gendis beberapa hari yang lalu pulang sendirian?""Apa? Gendis?!" Seketika mataku terbuka lebar. Cepat aku melepas helm dari kepala setelah Bu M
Kesunyian mendekapku di setiap malam sejak kepergian Gendis. Tak ada lagi sarapan atau yang mengantarku hingga di ambang pintu ketika aku berangkat mengais rezeki, melambaikan tangan dan berkata hati-hati di jalan Abang. Lalu juga tak ada lagi sosok yang selalu berjalan di belakangku seolah mencari perlindungan setiap kami ke luar untuk sekedar membeli keperluan rumah tangga bersama. Hanya beberapa kali memang bahkan masih bisa dihitung jari, namun cukup membuatku ingin mengulanginya lagi. Seperti pagi ini, aku duduk sendiri di meja makan, hanya ditemani secangkir kopi dan juga roti dengan selai kacang yang aku oles sendiri. Menyedihkan. Bangku kosong tempatnya biasa duduk ini pun seolah menertawakan kesendirianku yang tengah ditinggal pemiliknya, Gendis Anandita Respati, bangku itu miliknya, dan dia seolah sedang menertawakanku yang semakin hari semakin galau tanpa kehadirannya. Kuletakkan kasar sendok dan garpu setengah melempar sehingga menimbulkan dentingan yang cukup keras.
"Pak Abdurrahim?" Akhirnya, aku teringat akan sosok baik hati yang sempat membantuku di bandara, di hari Gendis meninggalkan rumah dan aku kacau waktu itu.Ia menganggukkan kepala kemudian beringsut duduk di sebelahku. "Bapak, kok, di sini?" tanyaku."Saya tinggal di seberang sana, Nak," jawabnya menunjuk lurus ke depan. Aku menautkan alis, menatap ke seberang jalan yang sudah mulai lengang. Mencoba menerka rumah yang dimaksud olehnya. Namun, di seberang sana tidak terlihat ada rumah, hanya ada sebuah pesantren. Cukup besar."Di belakang pesantren itu, Pak?" tanyaku memperjelas dan dia pun menjawab hanya dengan senyuman."Jadi, wanita yang fotonya kau pandangi tadi yang membuatmu tak bisa menyalakan mesin sepeda waktu itu?" Seketika wajahku memanas oleh rasa malu atas sindiran yang dilontarkan oleh Pak Abdurrahim. "Dia istri saya, Pak," jawabku seraya menggaruk tengkuk yang tidak gatal ini."Pasti kamu sangat mencintainya, 'kan?"Aku tersenyum sekilas, tak bisa menjawab karena mem