26. Penat Setelah satu jam setengah, sampailah aku di Jakarta, itu pun masih di daerah kota tepatnya bandara. Berlari aku menuju parkiran mengambil motor yang kutitipkan.Setelah membayar sesuai tarif yang ditentukan, aku pun segera menyalakan mesin. Namun, rasanya tak seperti biasa. Beberapa kali aku mencoba, mesin tak kunjung mau menyala, sekuat tenaga aku terus mencobanya lagi, tapi masih tidak mau juga, padahal keringat sudah mulai membanjiri membuat darahku naik seketika. Motor mogok justru saat aku sedang mengejar waktu."Sial!" Kupukul keras stang setelah lima kali mencoba namun tetap gagal."Nggak nyala, Nak?" tanya petugas dengan rompi, sepertinya salah satu petugas parkir."Susah, Pak," jawabku mengacak rambut frustasi."Sabar, Bapak coba, boleh?"Dahiku mengerut. "Bapak bisa?""InsyaAllah."Aku menggeser tubuh sedikit minggir, mempersilahkannya mengambil alih posisiku. "Bismillah," lirihnya kemudian melakukan seperti apa yang aku lakukan sebelumnya dan ... menyala. "Kal
27. Aku yang bersaing dia yang bersanding.POV Cahaya"Apa? Memangnya ngapain Lana ke sana, Mas?" Aku bertanya pada Mas Hendra yang baru saja tiba di Jakarta. Beberapa waktu lalu dia menghubungi dan mengatakan ingin bertemu. Ada hal penting yang ingin disampaikan padaku katanya.Kini, kami ada di sebuah restoran setelah aku menjemputnya dari bandara setengah jam yang lalu. Mahendra Buana, mungkin bagi semua orang dia adalah tunangan dan kekasihku namun nyatanya kami tak sedekat itu. Kami hanya rekan kerja berbeda divisi di kantor Papa, aku sebagai manager pemasaran dan dia manager keuangan. Namun, tak dinyana, Papa justru begitu yakin menjodohkan kami sedangkan Mahendra, dia pun begitu yakin ingin mempersuntingku entah karena apa."Iya, Sayang. Sepertinya ada hubungannya dengan Pak Antoni." Aku mengangguk, segudang tanya tentang Lana kini menggantung di kepala. Sudah hampir tiga bulan kami tidak bersua. Rasa rindu tentu ada, bahkan semakin hari semakin menggebu. "Oh, ya, sepertinya
POV LanaPagi berganti malam, malam pun terasa begitu lama. Aku mencarinya di seluruh penjuru pinggiran kota Jakarta. Menunggu dia kembali ke rumah, terkadang aku merasa begitu kejam saat badan mulai payah, dalam doa terselip sebuah kalimat ketidak berdayaan : semoga dia kelaparan, hidup susah, tanpa uang di luar sana, sehingga dengan sendirinya dia kembali ke rumah sederhana ini. Tapi nyatanya doaku belum berbuah manis. Nyatanya, sudah hampir satu bulan dia tak juga kunjung kembali."Mas Lana!" Pekik Bu Mirna ketika aku baru turun dari sepeda, lalu tergopoh masuk ke halaman rumah, mendekatiku."Mas, Mas ke mana saja, sih, beberapa hari ini?" tanyanya sedikit terbata seraya memegangi dada mengatur napas yang sedikit tersengal."Saya? Saya ke Solo," jawabku seraya melepas pengait helm yang masih menempel di kepala."Lah, ke Solo? Tapi kok, Neng Gendis beberapa hari yang lalu pulang sendirian?""Apa? Gendis?!" Seketika mataku terbuka lebar. Cepat aku melepas helm dari kepala setelah Bu M
Kesunyian mendekapku di setiap malam sejak kepergian Gendis. Tak ada lagi sarapan atau yang mengantarku hingga di ambang pintu ketika aku berangkat mengais rezeki, melambaikan tangan dan berkata hati-hati di jalan Abang. Lalu juga tak ada lagi sosok yang selalu berjalan di belakangku seolah mencari perlindungan setiap kami ke luar untuk sekedar membeli keperluan rumah tangga bersama. Hanya beberapa kali memang bahkan masih bisa dihitung jari, namun cukup membuatku ingin mengulanginya lagi. Seperti pagi ini, aku duduk sendiri di meja makan, hanya ditemani secangkir kopi dan juga roti dengan selai kacang yang aku oles sendiri. Menyedihkan. Bangku kosong tempatnya biasa duduk ini pun seolah menertawakan kesendirianku yang tengah ditinggal pemiliknya, Gendis Anandita Respati, bangku itu miliknya, dan dia seolah sedang menertawakanku yang semakin hari semakin galau tanpa kehadirannya. Kuletakkan kasar sendok dan garpu setengah melempar sehingga menimbulkan dentingan yang cukup keras.
"Pak Abdurrahim?" Akhirnya, aku teringat akan sosok baik hati yang sempat membantuku di bandara, di hari Gendis meninggalkan rumah dan aku kacau waktu itu.Ia menganggukkan kepala kemudian beringsut duduk di sebelahku. "Bapak, kok, di sini?" tanyaku."Saya tinggal di seberang sana, Nak," jawabnya menunjuk lurus ke depan. Aku menautkan alis, menatap ke seberang jalan yang sudah mulai lengang. Mencoba menerka rumah yang dimaksud olehnya. Namun, di seberang sana tidak terlihat ada rumah, hanya ada sebuah pesantren. Cukup besar."Di belakang pesantren itu, Pak?" tanyaku memperjelas dan dia pun menjawab hanya dengan senyuman."Jadi, wanita yang fotonya kau pandangi tadi yang membuatmu tak bisa menyalakan mesin sepeda waktu itu?" Seketika wajahku memanas oleh rasa malu atas sindiran yang dilontarkan oleh Pak Abdurrahim. "Dia istri saya, Pak," jawabku seraya menggaruk tengkuk yang tidak gatal ini."Pasti kamu sangat mencintainya, 'kan?"Aku tersenyum sekilas, tak bisa menjawab karena mem
Rasa hangat menyusup ke dalam dada begitu aku mendengar penuturan Pak Abdurrahim. Lalu aku menuntun tangan ke pipi, mencubitnya sebagai bentuk untuk meyakinkan diri bahwa ini bukan hanya mimpi. Sakit. Ya, ini nyata bukan mimpi. Aku bangkit dari tempat duduk. Rasa ingin bertemu kian melambung. "Tidak sekarang, Nak." Pak Abdurrahim kembali bersuara, seraya mencekal pergelangan tangan sehingga membuatku urung melangkahkan kaki menuju pesantren yang tertutup rapat itu.Aku menoleh kembali ke arah Pak Abdurrahim, kali ini aku menatapnya tajam, untuk apa mencegahku. Amarah mulai menyusup di dalam sini. Siapa dia? Berani mencegahku?Aku menghempaskan tangan Pak Abdurrahim sedikit kasar. "Apa-apaan, Pak? Saya mau ketemu istri saya," sentakku kemudian melangkah meninggalkan Pak Abdurrahim."Sayangnya dia menganggap bahwa dia bukan lagi istrimu, Nak." Seketika, kakiku yang baru beberapa langkah, terhenti. Ucapan Pak Abdurrahim membuat hatiku yang sempat menghangat berubah membeku dalam hitun
"Saya harus bertemu dengannya, menjelaskan kesalahpahaman ini." Lagi, aku beranjak, entah apa yang terjadi padaku sehingga aku sendiri tidak bisa mengontrol diri."Assalamualaikum, Kyai." Dua orang pemuda memakai Koko, sarung dan berpeci datang menghampiri Pak Abdurrahim, mencium punggung tangannya bergantian."Waalaikumsalam," jawabnya dan jawabku lirih."Santri sudah menunggu untuk setoran." Dahiku mengerut, Kyai? Setoran? Apa ini? Bukankah dia tukang parkir di bandara? "Lima menit lagi saya ke sana. Pergilah kalian.""Baik, Kyai. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Melihat begitu hormat dan sopannya ke dua pemuda yang sudah dipastikan adalah santri dari pondok yang ada di depan sana. Aku semakin tersadar, bahwa orang yang ada bersamaku ini bukanlah orang sembarangan. Ya Tuhan, rupanya aku sudah salah menduga. Beruntung kata tukang parkir hanya menggantung di kepala dan belum sempat keluar. Sehingga rasa malu yang setengah mati ini hanya bisa kurasakan tanpa ada yang tahu."Bapak
POV GendisDi sinilah aku saat ini. Di depan gedung megah, di mana para mahasiswa hilir mudik memadati halaman dan dalam gedung yang berdiri kokoh.Atas permintaan Kyai Abdurrahim yang sedikit memaksa, akhirnya aku datang di hari pertama semester ini. Ya, aku sempat mengubur dalam-dalam cita-citaku dan ingin hidup tenang di pesantren milik Kyai Abdurrahim yang mampu membuat luka di dalam hati mulai memudar dan membuat hati diliputi ketentraman dengan segala rutinitas yang ada. Mengubur segala impian ketika aku sadar bahwa hidup tidak serta merta hanya untuk meraih segala impian dengan segala pencapaian-pencapaiannya, namun menerima dan mensyukuri segala sesuatu yang ada dan kita miliki jauh lebih menenangkan jiwa.Di sebuah pesantren milik Kyai Abdurrahim itulah saat ini aku mengabdikan diri sekaligus memperdalam ilmu agama yang masih begitu dangkal. Membantu pekerjaan rumah sebagai bentuk tahu diri karena sudah diberi tempat berteduh sekaligus makan gratis.Ya, Ustadz Abdurrahim, te