Kesunyian mendekapku di setiap malam sejak kepergian Gendis. Tak ada lagi sarapan atau yang mengantarku hingga di ambang pintu ketika aku berangkat mengais rezeki, melambaikan tangan dan berkata hati-hati di jalan Abang. Lalu juga tak ada lagi sosok yang selalu berjalan di belakangku seolah mencari perlindungan setiap kami ke luar untuk sekedar membeli keperluan rumah tangga bersama. Hanya beberapa kali memang bahkan masih bisa dihitung jari, namun cukup membuatku ingin mengulanginya lagi. Seperti pagi ini, aku duduk sendiri di meja makan, hanya ditemani secangkir kopi dan juga roti dengan selai kacang yang aku oles sendiri. Menyedihkan. Bangku kosong tempatnya biasa duduk ini pun seolah menertawakan kesendirianku yang tengah ditinggal pemiliknya, Gendis Anandita Respati, bangku itu miliknya, dan dia seolah sedang menertawakanku yang semakin hari semakin galau tanpa kehadirannya. Kuletakkan kasar sendok dan garpu setengah melempar sehingga menimbulkan dentingan yang cukup keras.
"Pak Abdurrahim?" Akhirnya, aku teringat akan sosok baik hati yang sempat membantuku di bandara, di hari Gendis meninggalkan rumah dan aku kacau waktu itu.Ia menganggukkan kepala kemudian beringsut duduk di sebelahku. "Bapak, kok, di sini?" tanyaku."Saya tinggal di seberang sana, Nak," jawabnya menunjuk lurus ke depan. Aku menautkan alis, menatap ke seberang jalan yang sudah mulai lengang. Mencoba menerka rumah yang dimaksud olehnya. Namun, di seberang sana tidak terlihat ada rumah, hanya ada sebuah pesantren. Cukup besar."Di belakang pesantren itu, Pak?" tanyaku memperjelas dan dia pun menjawab hanya dengan senyuman."Jadi, wanita yang fotonya kau pandangi tadi yang membuatmu tak bisa menyalakan mesin sepeda waktu itu?" Seketika wajahku memanas oleh rasa malu atas sindiran yang dilontarkan oleh Pak Abdurrahim. "Dia istri saya, Pak," jawabku seraya menggaruk tengkuk yang tidak gatal ini."Pasti kamu sangat mencintainya, 'kan?"Aku tersenyum sekilas, tak bisa menjawab karena mem
Rasa hangat menyusup ke dalam dada begitu aku mendengar penuturan Pak Abdurrahim. Lalu aku menuntun tangan ke pipi, mencubitnya sebagai bentuk untuk meyakinkan diri bahwa ini bukan hanya mimpi. Sakit. Ya, ini nyata bukan mimpi. Aku bangkit dari tempat duduk. Rasa ingin bertemu kian melambung. "Tidak sekarang, Nak." Pak Abdurrahim kembali bersuara, seraya mencekal pergelangan tangan sehingga membuatku urung melangkahkan kaki menuju pesantren yang tertutup rapat itu.Aku menoleh kembali ke arah Pak Abdurrahim, kali ini aku menatapnya tajam, untuk apa mencegahku. Amarah mulai menyusup di dalam sini. Siapa dia? Berani mencegahku?Aku menghempaskan tangan Pak Abdurrahim sedikit kasar. "Apa-apaan, Pak? Saya mau ketemu istri saya," sentakku kemudian melangkah meninggalkan Pak Abdurrahim."Sayangnya dia menganggap bahwa dia bukan lagi istrimu, Nak." Seketika, kakiku yang baru beberapa langkah, terhenti. Ucapan Pak Abdurrahim membuat hatiku yang sempat menghangat berubah membeku dalam hitun
"Saya harus bertemu dengannya, menjelaskan kesalahpahaman ini." Lagi, aku beranjak, entah apa yang terjadi padaku sehingga aku sendiri tidak bisa mengontrol diri."Assalamualaikum, Kyai." Dua orang pemuda memakai Koko, sarung dan berpeci datang menghampiri Pak Abdurrahim, mencium punggung tangannya bergantian."Waalaikumsalam," jawabnya dan jawabku lirih."Santri sudah menunggu untuk setoran." Dahiku mengerut, Kyai? Setoran? Apa ini? Bukankah dia tukang parkir di bandara? "Lima menit lagi saya ke sana. Pergilah kalian.""Baik, Kyai. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Melihat begitu hormat dan sopannya ke dua pemuda yang sudah dipastikan adalah santri dari pondok yang ada di depan sana. Aku semakin tersadar, bahwa orang yang ada bersamaku ini bukanlah orang sembarangan. Ya Tuhan, rupanya aku sudah salah menduga. Beruntung kata tukang parkir hanya menggantung di kepala dan belum sempat keluar. Sehingga rasa malu yang setengah mati ini hanya bisa kurasakan tanpa ada yang tahu."Bapak
POV GendisDi sinilah aku saat ini. Di depan gedung megah, di mana para mahasiswa hilir mudik memadati halaman dan dalam gedung yang berdiri kokoh.Atas permintaan Kyai Abdurrahim yang sedikit memaksa, akhirnya aku datang di hari pertama semester ini. Ya, aku sempat mengubur dalam-dalam cita-citaku dan ingin hidup tenang di pesantren milik Kyai Abdurrahim yang mampu membuat luka di dalam hati mulai memudar dan membuat hati diliputi ketentraman dengan segala rutinitas yang ada. Mengubur segala impian ketika aku sadar bahwa hidup tidak serta merta hanya untuk meraih segala impian dengan segala pencapaian-pencapaiannya, namun menerima dan mensyukuri segala sesuatu yang ada dan kita miliki jauh lebih menenangkan jiwa.Di sebuah pesantren milik Kyai Abdurrahim itulah saat ini aku mengabdikan diri sekaligus memperdalam ilmu agama yang masih begitu dangkal. Membantu pekerjaan rumah sebagai bentuk tahu diri karena sudah diberi tempat berteduh sekaligus makan gratis.Ya, Ustadz Abdurrahim, te
Ruangan yang aku cari akhirnya kutemukan setelah kulihat denah yang tersedia di depan Ruang Kaprodi. Gegas aku masuk. Beruntung, pelajaran belum dimulai. Akan tetapi, ruangan terlihat sudah penuh bahkan mencari tempat duduk pun sulit, aku memang sudah sangat terlambat. Kulangkahkan kaki menuju tempat kosong di barisan bangku nomor tiga sambil sesekali menyunggingkan senyum pada mahasiswa lain sebagai bentuk sapaan."Permisi, apa tempat ini masih kosong?" tanyaku pada gadis berambut pirang yang duduk di sebelah bangku kosong tersebut."Maaf ini sudah ada orangnya. Dia masih ke toilet," jawabnya dengan raut tak suka. "Oh, yasudah. Makasih."Kuedarkan pandang ke seluruh penjuru ruangan. Di bangku paling belakang terlihat ada satu tempat kosong. Namun, di deretan tersebut sudah diisi oleh mahasiswa laki-laki dan jantungku kembali berdetak, aku tersentak kaget tatkala pria yang sudah aku injak kakinya tadi duduk di sebelah bangku kosong yang berada di barisan paling belakang itu, ia m
Aku menghela napas dalam. Dengan berat aku mengangkat tangan. Memberanikan diri dan bersikap biasa saja. Untuk apa lagi bersembunyi, toh kita sudah berakhir alias mantan."Saya, Pak," ucapku berdiri mengacungkan satu jari.Semua mata tertuju padaku. Aku pun mengulas senyum dan menundukkan kepala memberi hormat. "Ya, Anda. Ngapain disitu? Pindah ke sini," ucapnya menunjuk ke arah kursi kosong yang sedang ditinggal ke toilet oleh penghuninya."Tapi, di sini sudah ada orangnya, Pak," sahut gadis berambut pirang itu."Sudah lebih dari 5 menit. Peraturan di mata kuliah saya jika terlambat lebih dari 5 menit maka silahkan bergabung di kelas lain untuk mengikuti materi. Jadi, tolong disampaikan pada teman Anda. Anda paham?!" Gadis itu pun menganggukkan kepalanya."Gendis, maju ke depan." Aku masih mematung."Atau memang Anda mau duduk dengan serigala-serigala buas yang kapan saja bisa menerkam itu?" lanjutnya ketika aku tak kunjung bergerak mengikuti perintahnya."Heleh Pak, Pak. Belum ju
"Habis, apanya yang habis, Pak?"Ia tersenyum diikuti gelengan kepala. "Pak, pak, pak. Sudah cukup main-mainnya." "Main apa? Udah sana, Pak Kangtip, pergi aja.""Kangtip?!""Kang tipu. Bilang kuli ternyata ....""Nggak usah mengalihkan pembicaraan. Sekarang ikut Abang. Abang mau ngomong.""Nggak ada waktu," jawabku melenggang meninggalkan dia yang mulai terlihat kesal. "Gendis, Abang teriak ini kalau nggak mau nurut." Sekarang dia mulai mengancam. Tapi aku tetap berlalu.Terserah, bagiku mantan baiknya dibuang ke tong sampah. Tong sampah Kanaya. Bagaimana bisa memaksaku seenaknya sedangkan dia sudah membuat hatiku tercabik-cabik dengan jam tangan itu. "Sayang." Langkahku seketika harus terhenti ketika kata sayang yang terdengar begitu manja dan diucapkan dengan suara lumayan keras itu keluar dari mulut lelaki yang sudah aku tinggalkan sekitar lima meter di belakang."Istri abang sa ...." Aku mendelik, secepat kilat aku membalikkan badan berlari ke arah Bang Lana yang terlihat ters