Aku menghela napas dalam. Dengan berat aku mengangkat tangan. Memberanikan diri dan bersikap biasa saja. Untuk apa lagi bersembunyi, toh kita sudah berakhir alias mantan."Saya, Pak," ucapku berdiri mengacungkan satu jari.Semua mata tertuju padaku. Aku pun mengulas senyum dan menundukkan kepala memberi hormat. "Ya, Anda. Ngapain disitu? Pindah ke sini," ucapnya menunjuk ke arah kursi kosong yang sedang ditinggal ke toilet oleh penghuninya."Tapi, di sini sudah ada orangnya, Pak," sahut gadis berambut pirang itu."Sudah lebih dari 5 menit. Peraturan di mata kuliah saya jika terlambat lebih dari 5 menit maka silahkan bergabung di kelas lain untuk mengikuti materi. Jadi, tolong disampaikan pada teman Anda. Anda paham?!" Gadis itu pun menganggukkan kepalanya."Gendis, maju ke depan." Aku masih mematung."Atau memang Anda mau duduk dengan serigala-serigala buas yang kapan saja bisa menerkam itu?" lanjutnya ketika aku tak kunjung bergerak mengikuti perintahnya."Heleh Pak, Pak. Belum ju
"Habis, apanya yang habis, Pak?"Ia tersenyum diikuti gelengan kepala. "Pak, pak, pak. Sudah cukup main-mainnya." "Main apa? Udah sana, Pak Kangtip, pergi aja.""Kangtip?!""Kang tipu. Bilang kuli ternyata ....""Nggak usah mengalihkan pembicaraan. Sekarang ikut Abang. Abang mau ngomong.""Nggak ada waktu," jawabku melenggang meninggalkan dia yang mulai terlihat kesal. "Gendis, Abang teriak ini kalau nggak mau nurut." Sekarang dia mulai mengancam. Tapi aku tetap berlalu.Terserah, bagiku mantan baiknya dibuang ke tong sampah. Tong sampah Kanaya. Bagaimana bisa memaksaku seenaknya sedangkan dia sudah membuat hatiku tercabik-cabik dengan jam tangan itu. "Sayang." Langkahku seketika harus terhenti ketika kata sayang yang terdengar begitu manja dan diucapkan dengan suara lumayan keras itu keluar dari mulut lelaki yang sudah aku tinggalkan sekitar lima meter di belakang."Istri abang sa ...." Aku mendelik, secepat kilat aku membalikkan badan berlari ke arah Bang Lana yang terlihat ters
Belum genap satu hari, tapi duniaku sudah seperti di penjara. Ke kantin sampai toilet tak bisa lepas darinya. Sebelumnya, aku bisa lolos dari cafe setelah jam kuliah berikutnya dimulai. Namun lolos dari cafe tak lantas membuatku bebas. Bahkan, hingga saat ini aku sudah di bus menuju pesantren pun Bang Lana terus mengikuti. "Udah dibilang naik sepeda aja malah naik bus," ocehnya berdiri di samping tempat dudukku. Bus lumayan ramai dan sedikit berdesakan. Sebagian penumpang harus rela berdiri termasuk Bang Lana yang masuk paling akhir. Tampaknya dia baru menyelesaikan pekerjaan sehingga sempat kehilangan jejak sebelum akhirnya melihatku menaiki bus menuju daerah pesantren."Salah sendiri ikut.""Kamu bisa lari kalau Abang nggak ikut. Memangnya kamu bisa lari dari Abang? Jangan harap, Gendis.""Ish, Abang."Ciiittt! Suara gesekan ban dan aspal terdengar tiba-tiba. Bus yang kami tumpangi mendadak berhenti, menimbulkan goncangan dan membuat penumpang tersentak, beruntung dengan sigap Ban
Berulang kali aku menghela napas dalam lalu membuangnya perlahan, dalam hati merutuki diri sendiri yang terlalu payah. Bagaimana tidak, bahkan baru sehari melihat dia tersenyum dengan layar seperti itu saja hatiku sudah terbakar apa lagi hidup bersama dan melihatnya tersenyum seperti itu setiap hari? Tampaknya usahaku menjauh untuk mengubur rasa dalam-dalam belum berhasil sepenuhnya atau bahkan cintaku semakin tumbuh tanpa aku sadari? Entahlah.Bertanya bukan solusi karena tak mungkin dia mengaku. Tapi menahannya di dalam sini rasanya lumayan nyeri."Gendis, taksi datang, ayo pulang," ajaknya tak lama setelah aku menghela napas panjang untuk mengurangi sesak yang terus memenuhi rongga dada. Ia bangkit mengulurkan tangan, membantuku untuk berdiri.Aku pun segera bangkit tanpa membalas uluran tangannya. Dia mencebikkan bibir lalu menurunkan tangannya kembali. Sebisa mungkin aku menahan agar rasa ini tidak terus melambung tinggi, jika hanya melihatnya saja hatiku berbunga lalu bagaima
POV LANA[ Besok insaallah saya akan menjemput Gendis, Kyai. Sekarang, saya sudah bersamanya. Tapi dia baru mau pulang setelah bertemu dengan Kyai. Tampaknya belum bisa menerima. ]Kukirim pesan kepada Kyai Abdurrahim sebagai pemberitahuan. Besok adalah tanggal di mana tiga bulan yang lalu aku menitipkan Gendis pada Kyai Abdurrahim untuk belajar agama seperti keinginan Gendis. Akan tetapi yang masih membuatku tak mengerti adalah untuk apa Kyai melarangku menemuinya selama itu juga. Aku hanya diperbolehkan berkunjung dan mengamati dari kejauhan. Alhasil, dia semakin berpikiran yang tidak-tidak tentangku.[ Iya, Nak, datanglah nanti, ada juga yang bapak mau sampaikan. Bapak tunggu di pesantren. ]Balasnya setelah beberapa menit aku menunggu. Malam kian larut, bus tak kunjung selesai diperbaiki, akhirnya aku putuskan untuk memesan taksi setelah kulihat beberapa kali Gendis menguap dengan mata yang mulai memerah. Aku tahu, dia sudah sangat mengantuk.Esok adalah hari yang aku nantikan, m
"Ayo, masak gendong istri sendiri masih mikir? Atau mau saya panggilkan tukang kebun pesantren? Mang Dadang." Kyai kembali berseru."Eh, jangan dong, Kyai," ucapku kemudian bergegas keluar. Harga diri seorang lelaki terletak pada wanitanya, bagaimana pun juga harga diriku masih cukup tinggi. Mana mungkin aku membiarkan dia disentuh lelaki lain, di depan mataku pula."Ayo, Nak Lana." "Iya, Kyai." Kutepis segala pemikiran akan kemarahan Gendis jika tiba-tiba dia terbangun saat masih dalam gendongan, lalu segera kubawa dia masuk ke dalam mengikuti langkah Kyai Abdurrahim. Beliau membawaku ke kamar paling depan, membukakan pintu, dan menyuruhku membaringkan Gendis di atas ranjang berukuran sedang."Mau ke mana, Nak?" tanyanya setelah aku beranjak meninggalkan Gendis."Ada yang ingin saya bicarakan.""Sama, kan, tadi saya bilang juga mau mengatakan sesuatu. Tapi besok saja, kamu pasti juga cape, istirahat saja dulu," ujarnya seraya memegang handle pintu dan bersiap menutupnya."Tapi ..
Suara tilawah yang diputar sebelum adzan subuh membangunkan aku yang memang sudah tidak bisa tidur akibat kipas mengipas. Segera, aku bangkit meninggalkan kamar. Rumah terlihat sepi, tampaknya mereka sudah berangkat ke pondok atau mungkin masjid untuk persiapan ibadah subuh. Terlihat para santri berbondong menuju mushola pondok, aku pun mengikuti. Adzan berkumandang, mereka terlihat mempercepat langkah dan sebagian berlari kecil menuju mushola pesantren. Begitu juga denganku yang tak mau kalah menjemput ibadah dengan segudang keutamaan. Sholat Subuh. Aku duduk di shaf paling akhir, agar tidak menimbulkan banyak pertanyaan karena aku orang asing. Iqomah dikumandangkan kemudian netraku menangkap seorang menggunakan mukena dengan motif yang tak asing, mukena yang aku beli dari Bali beberapa waktu lalu ketika ada kegiatan kampus. Dia tergopoh kemudian bergabung dengan santriwati yang lain setelah menundukkan badan menyapa Umi Masfufah yang kebetulan juga baru datang. Gendis, aku me
Teriris? Terus-menerus? Apa maksudnya? Omong kosong apa ini, aku bahkan mengesampingkan segalanya demi Gendis, aku bisa melakukan apapun untuknya, mengajar, menjadi Nara sumber, dosen pembimbing skripsi, dosen tamu, membuat modul, semua aku sikat asal menghasilkan cuan. Untuk siapa? Tentu saja untuknya, dan untuk pindah kontrakan yang lebih layak untuknya juga bahkan jadi dosen pembimbing KKN pun aku embat hanya demi agar kebutuhan Gendis tercukupi dalam waktu singkat. Masih untung kuat badan dan pikiran, Kyai Abdurrahim pun tahu benar akan hal itu, bagaimana bisa sekarang bicara demikian. "Saya ke sini untuk menjemput istri saya, bukan untuk bernego dengan Kyai. Maaf, bukannya saya lancang. Saya sudah banyak mengalah dan mematuhi semua keinginan Kyai. Bahkan, Gendis menyangka yang tidak-tidak terhadap saya juga sedikit banyak ada campur tangan dari Kyai, karena Kyai melarang saya untuk menemuinya berbulan-bulan." Aku mulai geram. Namun beliau justru tersenyum tenang. Selama berhub