6. Mas Boy?Bau khas yang sangat tidak aku sukai menyapa indera penciuman begitu aku membuka mata. Ya, bau obat dan rumah sakit. Aku terbaring di ranjang dan ruangan serba putih, sendirian, tak ada seseorang di ruangan ini yang bisa aku tanyai.Kugerakkan perlahan tangan dan kaki. Bergerak. Beruntung, itu tandanya aku tidak mengalami patah tulang atau yang lebih mengerikan lagi kelumpuhan. Aku mencoba untuk duduk. Ah, kepalaku masih berat mungkin masih perlu pemanasan dan tunggu beberapa saat. "Mas, jangan banyak gerak dulu," ucap seorang perawat yang tiba-tiba datang kemudian membantuku untuk kembali berbaring. "Mas tadi mengalami kecelakaan."Ingatanku kembali pada kejadian di jalan berlubang yang menyebabkan aku hilang keseimbangan. "Saya udah mendingan, saya mau pulang saja," ucapku pada perawat tersebut."Eh, nggak boleh, Mas, kita sudah menghubungi keluarga Mas, kebetulan tadi saat kejadian ponsel Mas-nya berbunyi terus. Akhirnya kami beri tahu dan beliau yang bertanggung j
Tawanya pecah begitu mendengar jawabanku. "Apa Danuarta sudah tidak mampu lagi memberi anaknya pekerjaan?" "Bukan, bukan begitu. Ini tidak ada hubungannya dengan Papa saya. Saya hanya ingin mandiri saja," terangku. Aku tak bisa mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Dia adalah satu-satunya orang yang aku segani. Mau ditaruh mana muka ini jika sampai profesor tahu apa yang sudah aku perbuat terhadap anak gadis orang. Ia pun mengangguk pelan. "Jadi benar, kamu mau bergabung bersama kami?"Cepat aku mengangguk. "Yasudah, berkas yang saya suruh untuk siapkan sudah ada?""Ada, ada di dalam tas saya. Masih saya suruh ambil perawat tadi."Pucuk dicinta ulam pun tiba, perawat yang aku suruh mengambil tas akhirnya datang tak lama setelah Profesor bertanya. "Ini, Mas tasnya," ucapnya padaku seraya menyerahkan tas yang aku tunggu-tunggu."Makasih."Aku pun segera memeriksa isi di dalamnya dan alhamdulillah semua masih utuh. Aku bisa bernapas lega, setidaknya tidak ada yang memanfaatkan
Setelah dua malam rawat inap, aku berkeras untuk pulang. Saat badan diistirahatkan namun pikiran harus bekerja keras, maka hasilnya akan lebih parah. Uang pemberian Mbak Aya sebesar 20 juta sedangkan biaya rumah sakit akan membengkak karena tidak ada bantuan sama sekali mengingat aku korban tabrak lari, sehingga aku harus berpikir ulang jika harus tidur nyaman di tempat ini sampai kondisi benar-benar membaik seperti apa kata pihak rumah sakit.Awalnya, pihak rumah sakit melarang dan menyuruhku untuk tetap tinggal, setidaknya sampai dokter datang, tapi kepalang tanggung, aku sudah berjanji akan pulang pagi ini pada Gendis yang sempat mengirim pesan dan bertanya apa masih lama di kota. Lagi pula lukaku tidak begitu parah, hanya luka di tangan, lecet-lecet di kaki, dan kepala sedikit saja. Untuk apa harus dirawat begitu lama. Ini terlalu berlebihan. Bagiku pihak rumah sakit seringkali tidak berpikir biaya yang harus pasien keluarkan.Tak mau menunggu atau membuang waktu, aku pun bergega
Gendis mengandung.Pandanganku mengabur, harus kah aku bahagia atau justru menangis? Benarkah dosa belum berakhir? Betapa menyedihkannya anak yang terlahir akibat dosa? Tuhan ... sesungguhnya aku tidak ingin ini terjadi. Semua pertanyaan-pertanyaan itu hanya bisa kuucap dalam hati karena lidah ini benar-benar kelu, seperti ada yang mencekik leherku, hingga tak sepatah kata pun bisa keluar dari mulutku selayaknya lelaki sejati yang telah berbuat salah kemudian bersujud meminta maaf.Hening, hanya ada suara isak tangis Gendis yang tak kunjung mereda."Kita, akan merawatnya, Gendis," ucapku setelah hampir satu jam kami sama-sama diam. Kuusap punggungnya pelan, ingin memeluknya untuk saling menguatkan, namun aku urung melakukannya karena dia bisa saja naik pitam.Kali ini tidak ada penolakan seperti biasa saat tangan ini menyentuhnya, tapi entah mengapa aku justru tidak suka. Sikapnya seperti orang yang sudah putus asa. Dia hanya diam seribu bahasa, menatap jendela kaca dengan tatapan ko
Sejak kejadian pagi itu, perubahan mulai terjadi. Ada pendar ketakutan dan kecanggungan di mata Gendis, yang sejujurnya bukan itu harapanku.Aku menginginkan dia tenang dan nyaman di tengah kondisinya yang sekarang.Setiap pagi sudah ada kopi dan sarapan di meja makan. Entah dari mana dia mendapat uang untuk belanja, selama bersama aku tak pernah bertanya apakah dia punya uang atau tidak karena memang tidak ada kesempatan untuk itu dan entah dari mana juga dia belajar memasak empat sehat lima sempurna seperti yang sudah terhidang di meja saat ini?"Gendis, dari mana kamu dapat uang untuk belanja?" tanyaku saat dia meletakkan segelas susu di atas meja untukku."Uang sisa, saku dari Ayah saat aku magang di Jogja masih ada sedikit, Abang," jawabnya seraya menundukkan kepala.Aku mengangguk paham. Kemudian kuberikan sepuluh lembar uang seratus ribuan pemberian Mbak Aya. "Simpan uangmu, pakai yang itu untuk beli kebutuhan kalau Abang sedang tidak ada di rumah.""Tapi, Bang. Aku —""Kalau
"Abang kenapa?" tanya Gendis, berdiri dari tempat duduk panik.Aku mengangkat tangan sebagai tanda bahwa aku tidak apa-apa. "Nggak papa."Ia pun kembali duduk."Kenapa memang pihak ... apa tadi?""Mahesa Tunggal.""Hem, Mahesa Tunggal menghubungi kamu?" tanyaku seolah tak tahu menahu."Ya ... mungkin karena aku nggak masuk magang. Sebentar lagi kan penilaian."Aku tercekat, bingung harus berkata apa. Terlebih wajah Gendis saat ini terlihat begitu pasrah, seolah menyerah dengan keadaan."Apa gunanya masuk atau enggak, toh aku sudah tidak melanjutkannya, Abang." Ucapannya kali ini mampu menyayat hati, terlihat kaca-kaca di mata sayu itu, tapi dengan cepat ia menundukkan kepala. Aku tahu, dia tak ingin rasa sedihnya terlihat orang lain. Dia berusaha menerima keadaan meski sulit. Keadaan bahwa dia harus meninggalkan pendidikan secara paksa.Lalu bagaimana dengan perasaanku sekarang? Tentu saja semakin merasa bersalah dan merasa bahwa aku adalah orang paling bejat di dunia. Aku yang begi
POV Gendis"Sudah Ayah bilang, Hanin! Jangan pernah berhubungan dengan Mahendra Buana! Sekarang kamu tau sendiri! Kalau Ayah tidak datang, mau jadi apa kamu, Hanindya Respati?!" Suara Ayah dengan nada tinggi diikuti pintu yang ditutup kasar, membuat aku dan Bunda malam itu terperajat kaget.Ya, masih begitu jelas dalam ingatanku tatkala Ayah pulang bersama Mbak Hanin dengan kemarahan yang meluap-luap.Setelah melihat aku dan Bunda keluar dari ruang tengah, Ayah pun terdiam, tanpa suara ia membawa Mbak Hanin yang masih terisak ke dalam kamar setengah menyeret, seolah sudah tak sabar. Sedangkan Bunda terus mendekapku yang begitu ketakutan melihat kemarahan Ayah yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Ayah yang begitu menyayangi keluarga dan anak-anaknya berubah begitu menakutkan malam itu. Saat itu aku baru berusia 14 tahun sedangkan kakakku, Mbak Hanin 22 tahun. Aku tidak tahu tepatnya apa yang telah terjadi malam itu, yang aku tahu, Ayah baru pulang kerja lalu menerima telepon dari
Aku tidak pernah bermaksud menguntit pembicaraan Mbak Hanin dan Ayah malam itu. Namun, kamar kami yang masih menjadi satu mengharuskan aku melihat semua hal yang dilarang oleh Bunda. Sejak malam itu. Semua terlihat sibuk. Mbak Hanin yang baru di wisuda pun langsung turun membantu Ayah di perusahaan batik turun temurun milik keluarga Ayah tersebut. Tidak ada waktu untuk berkumpul bersama di rumah, mereka banyak menghabiskan waktu di kantor. Pergi pagi, pulang malam. Tak ada lagi senyuman di wajah Ayah dan Mbak Hanin. Mbak Hanin bekerja keras demi perusahaan yang nasibnya berada di ujung tanduk. Sedangkan aku yang tidak tahu apa-apa hanya bisa bertanya pada Bunda ada apa? Saat uang jajan harus dikurangi, liburan tak pernah ada lagi, bahkan mobil yang digunakan untuk mengantar jemput ke sekolah harus diganti dengan angkutan umum. Makan malam pun tak lengkap lagi tanpa kehadiran Ayah dan Mbak Hanin.Setiap aku bertanya, Bunda hanya menjawab dengan senyuman. "Sabar ya, Sayang. Ayah dan