4. Perubahan sikap Gendis
Seberkas sinar mentari menerobos jendela kaca yang berada di sebelah tempat tidur. Silaunya mengenai mata dan membuatnya harus mengerjap. Aku baru bisa tenang setelah adzan subuh berkumandang. Tanpa sengaja tidur di atas sajadah setelah melakukan pengakuan dosa dan memohon ampunan dengan derai air mata. Ya, aku begitu menjunjung tinggi kehormatan wanita namun hanya dalam waktu sekejap mata aku juga telah menghancurkannya. Bagaimana rasa bersalahku tidak berlipat ganda? Apakah ini yang dinamakan, apa yang paling tidak disukai justru akan terjadi? Entah.Kugerakkan kepala ke kanan dan ke kiri untuk mengurangi rasa kaku di leher. Setelahnya, kulirik jam dinding yang terpasang di dinding kamar. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah delapan, sungguh aku sudah sangat kesiangan. Aku bangkit melipat sajadah dan sarung. Mengganti pakaian dengan kaos agar lebih nyaman. Kemudian bergegas ke dapur membuat sarapan.Dengan sedikit berlari aku menuju dapur, namun langkahku terhenti saat melewati meja yang biasa aku gunakan untuk makan sendirian. Mataku menyipit kemudian kakiku melangkah mendekat ke arah meja tersebut. Di sana terlihat sudah ada sepiring nasi goreng dengan telur dadar yang diiris kecil memanjang. Persis seperti mi."Aku ingin makan nasi goreng jadi masak itu," celetuk seseorang yang terlihat keluar dari dapur dan sempat membuatku tersentak kaget.Gendis.Benar-benar mengejutkan, dia keluar kamar dan memasak makanan sendiri? Otakku terus mencari jawaban atas apa yang aku lihat sekarang. Oh, aku lupa, bukankah dia sedang mengandung. Bisa saja dia sedang ngidam, bukan? Kuanggukkan kepalaku pelan setelah menemukan jawaban. Jawaban yang aku rangkai sendiri sesuai keadaan."Oh, yasudah makan saja," aku berbalik hendak menuju dapur, karena kecanggungan masih sangat terasa diantara kami, terlebih setelah pertengkaran kami semalam, aku bahkan tak berani menatapnya jika teringat kata-kata yang aku lontarkan semalam."Aku sudah makan, itu untuk Abang," terangnya, membuat langkahku yang hendak menuju dapur untuk memasak nasi seketika terhenti. Aku terperangah. Dia tidak hanya memasak untuk dirinya sendiri, tapi juga untukku? Apa ini yang dinamakan orang hamil suka berubah mood?"Oh, iya ... nggak usah ke dokter. Cukup belikan tes kehamilan di apotik saja," lanjutnya tanpa menatapku."Tapi ....""Aku masuk dulu," selanya memotong ucapanku lalu pergi masuk ke dalam kamar dan menutup pintu.Bisa kulihat, sikapnya sedikit berbeda, sungkan, salah tingkah, atau mungkin saja ucapanku semalam terlalu keras sehingga membuatnya merasa sama denganku, merasa bersalah terhadapku. Tapi, entah sungkan, salah tingkah, atau merasa bersalah yang jelas aku tak mau salah mengartikannya.Jujur aku tak ingin mengungkit hal yang aku sendiri tak bisa memahaminya. Bahkan, bagiku semua di luar logika. Setiap kali dia mengungkit malam itu rasanya aku sendiri tak bisa terima. Aku merasa begitu buntu dan suntuk ketika dia menuduh aku yang salah sedangkan aku merasa tidak pernah berbuat apa-apa.Aku menghela napas, lalu beralih pada hidangan di depanku, kupandang sepiring nasi di hadapan, senyumku pun mengembang karena warnanya terlalu pekat. Sepertinya dia terlalu banyak menambahkan kecap. Tapi tak mengapa, sebagai anak dari Aditya Respati bisa menghidangkan makanan seperti ini mungkin sudah luar biasa.Aditya Respati, aku tidak begitu mengetahuinya. Namun, kulihat dari sosial media semalam setelah Gendis menyebut namanya secara terang-terangan dan menuduhku yang bukan-bukan. Aku pun mencoba mencari tahu perihal Aditya Respati. Rupanya dia adalah salah satu pengusaha batik yang cukup ternama dari kota Solo. Menikah dengan seorang berkebangsaan Cina 32 tahun yang lalu. Dari hasil pencarian, juga disebutkan bahwa beliau mempunyai dua putri cantik, putri pertama bernama Meidina Hanindia Respati dan yang kedua adalah istriku sendiri, Gendis Anandita Respati.Aku menghela napas dalam kemudian mulai menyendok nasi goreng buatan Gendis. Suapan pertama membuatku ingin melepehnya, karena manisnya tiada tara. Namun alih-alih mengambil tissue untuk mengeluarkan nasi yang sudah masuk ke dalam mulut, Gendis tiba-tiba membuka pintu kamar dan keluar dari sana.Di depan pintu dia menatapku tanpa kedip. Akhirnya kutelan nasi secara terpaksa agar tidak terkesan menghina. "Itu nasi goreng pertama yang aku buat, kalau nggak enak buang saja," ucapnya cepat seraya menunjuk nasi goreng di hadapanku."Enak, kok," kataku sedikit gelagapan, lalu menyendok lagi satu suapan."Fitnah," sahutnya kemudian kembali ke kamar, menutup pintu kasar, sedangkan aku ... semakin terperangah oleh sikapnya.***Setelah berpamitan akan pulang lebih awal pada Gendis dari balik pintu kamar yang tentunya dengan keadaan tertutup seperti biasa. Aku pun bergegas keluar rumah menemui Mbak Aya yang aku hubungi melalui sosial media semalam.Sebuah restoran yang pastinya dekat kota menjadi tempat yang kami sepakati untuk bertemu. Selain cukup dekat dengan jarak tempuh Mbak Aya, aku tak mau tempat tinggalku diketahui jika kami bertemu di tempat yang lebih dekat dengan tempatku tinggal.Dengan setengah berlari aku bergegas masuk ke dalam restoran karena memang sudah sangat telat dari waktu yang kami tentukan.Begitu pintu berbahan kaca itu terbuka, kulihat Mbak Aya duduk di bangku tak jauh dari tempatku berdiri saat ini. Aku pun segera menghampiri dan duduk di hadapannya. "Sorry, Mbak, telat."Ia menatapku dan menggelengkan kepala pelan. "Sangat telat," jawabnya kesal."Maaf, Mbak. Jadi, Mbak sudah bawa apa yang aku minta?" tanyaku tak sabar.Dikeluarkanlah sebuah map dari dalam tas lalu diletakkan di atas meja dan disodorkan ke arahku. Senyumku tersungging lalu tanganku terulur meriahnya, membuka, dan memeriksanya satu per satu."Mama masuk rumah sakit," celetuk Mbak Aya membuat tangan yang sedang membolak-balikkan berkas seketika terhenti."Sakit apa?""Kenapa tidak menceraikannya dan kembali ke rumah?" Bukan jawaban melainkan sebuah pertanyaan balik yang dia berikan."Itu bukan solusi, Mbak.""Kamu bisa menuntutnya, bukankah kamu bilang kalau dia yang salah masuk kamar? Terus mabuk pula?" cecar Mbak Aya padaku."Mbak, pelankan suara, Mbak. Perceraian bukan prioritasku saat ini. Saat ini aku hanya ingin mencari pekerjaan untuk menghidupi keluargaku. Itu saja!"Mbak Aya tersenyum kecut mendengar ucapanku. "Omong kosong, Lana! Papa bilang akan berpikir ulang kalau kalian berpisah sebelum tercium media."Aku terdiam."Lana, kamu denger, Mbak, 'kan?!" tegasnya."Terserah, Mbak. Itu bukan pilihanku saat ini.""Maksudmu, kamu lebih memilih wanita itu dibanding Mama?"Pertanyaan mbak Aya kali ini membuatku merasa tertampar. Sesaat kami saling bisu, aku berpikir, lama dan dia terlihat tak sabar menunggu jawaban."Di mana Mama dirawat? Aku tidak punya banyak waktu," Akhirnya aku memutuskan untuk menemui Mama."Di mana kamu tinggal?" Tapi, lagi-lagi ia balik bertanya."Mbak nggak perlu tau.""Cinta, kamu cinta pada gadis itu, makanya kamu nggak mau cerai?"Dahiku mengerut, ucapan Mbak Aya benar-benar diluar logika."Mbak nggak perlu tau, itu urusan rumah tanggaku.""Nggak percaya Mbak, kamu bisa jatuh cinta pada gadis yang suka mabuk, nggak jelas. Apa kamu buta? kamu sudah dijebak ....""Mbak Aya, cukup! Jangan membahas itu lagi. Pusing aku, tu!" kataku emosi."Mbak nggak rela, Lana." Suaranya mulai bergetar, matanya kini diliputi oleh kaca, kaca yang kemudian jatuh menjadi sebuah tetesan. Air mata.Aku bangkit mendekatinya, membawa wajahnya ke dalam perut dan mengusap punggungnya pelan. "Jangan khawatir, aku baik-baik saja. Akad sudah terucap, Mbak. Janjiku bukan dengan sesama manusia. Tapi, dengan Tuhan. Jika kami harus berpisah, biar tangan Tuhan saja yang bekerja. Karena aku masih takut dosa." Aku mencoba untuk memberi pengertian pada Mbak Aya tentang posisiku saat ini."Lana ...." Ia semakin tergugu dalam rengkuhan tanganku.Beberapa menit selanjutnya, isakan itu mulai mereda."Kamu mencintainya, Lana?!"5. Bimbang"Hem." Akhirnya aku menjawab. Terlalu dini menyebut sebuah cinta karena jujur aku tidak pernah merasakan apa-apa. Hanya tanggung jawab yang aku junjung tinggi ditengah kesalahan yang aku perbuat. Itu saja. Namun, mau tidak mau dia adalah istriku sekarang. Mengatakan tidak mencintai jauh lebih tidak mungkin lagi. Karena akan melukai perasaan Gendis sekaligus hubungan pernikahan kami dan Mbak Aya tidak akan pernah rela membiarkan aku tidak bahagia dengan orang yang tidak aku cintai. Tangan yang sebelumnya memeluk pinggangku erat, berubah merenggang kemudian terlepas. Mbak Aya terperangah atas jawabanku. Aku tahu. Perlahan aku mengurai pelukan. "Apa artinya Mbak bagimu? Lana?"Aku mengernyit bingung."Hah? Apa maksudmu, Mbak? Mbak Aya adalah kakakku satu-satunya. Satu-satunya.""Kakak?! Hanya itu?" tanyanya seraya menghapus sudut matanya kasar, membuatku semakin tak mengerti. Kupegang kedua pundaknya agar bisa menatap wajahnya lebih lekat. "Kau adalah wanita kedua yang be
6. Mas Boy?Bau khas yang sangat tidak aku sukai menyapa indera penciuman begitu aku membuka mata. Ya, bau obat dan rumah sakit. Aku terbaring di ranjang dan ruangan serba putih, sendirian, tak ada seseorang di ruangan ini yang bisa aku tanyai.Kugerakkan perlahan tangan dan kaki. Bergerak. Beruntung, itu tandanya aku tidak mengalami patah tulang atau yang lebih mengerikan lagi kelumpuhan. Aku mencoba untuk duduk. Ah, kepalaku masih berat mungkin masih perlu pemanasan dan tunggu beberapa saat. "Mas, jangan banyak gerak dulu," ucap seorang perawat yang tiba-tiba datang kemudian membantuku untuk kembali berbaring. "Mas tadi mengalami kecelakaan."Ingatanku kembali pada kejadian di jalan berlubang yang menyebabkan aku hilang keseimbangan. "Saya udah mendingan, saya mau pulang saja," ucapku pada perawat tersebut."Eh, nggak boleh, Mas, kita sudah menghubungi keluarga Mas, kebetulan tadi saat kejadian ponsel Mas-nya berbunyi terus. Akhirnya kami beri tahu dan beliau yang bertanggung j
Tawanya pecah begitu mendengar jawabanku. "Apa Danuarta sudah tidak mampu lagi memberi anaknya pekerjaan?" "Bukan, bukan begitu. Ini tidak ada hubungannya dengan Papa saya. Saya hanya ingin mandiri saja," terangku. Aku tak bisa mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Dia adalah satu-satunya orang yang aku segani. Mau ditaruh mana muka ini jika sampai profesor tahu apa yang sudah aku perbuat terhadap anak gadis orang. Ia pun mengangguk pelan. "Jadi benar, kamu mau bergabung bersama kami?"Cepat aku mengangguk. "Yasudah, berkas yang saya suruh untuk siapkan sudah ada?""Ada, ada di dalam tas saya. Masih saya suruh ambil perawat tadi."Pucuk dicinta ulam pun tiba, perawat yang aku suruh mengambil tas akhirnya datang tak lama setelah Profesor bertanya. "Ini, Mas tasnya," ucapnya padaku seraya menyerahkan tas yang aku tunggu-tunggu."Makasih."Aku pun segera memeriksa isi di dalamnya dan alhamdulillah semua masih utuh. Aku bisa bernapas lega, setidaknya tidak ada yang memanfaatkan
Setelah dua malam rawat inap, aku berkeras untuk pulang. Saat badan diistirahatkan namun pikiran harus bekerja keras, maka hasilnya akan lebih parah. Uang pemberian Mbak Aya sebesar 20 juta sedangkan biaya rumah sakit akan membengkak karena tidak ada bantuan sama sekali mengingat aku korban tabrak lari, sehingga aku harus berpikir ulang jika harus tidur nyaman di tempat ini sampai kondisi benar-benar membaik seperti apa kata pihak rumah sakit.Awalnya, pihak rumah sakit melarang dan menyuruhku untuk tetap tinggal, setidaknya sampai dokter datang, tapi kepalang tanggung, aku sudah berjanji akan pulang pagi ini pada Gendis yang sempat mengirim pesan dan bertanya apa masih lama di kota. Lagi pula lukaku tidak begitu parah, hanya luka di tangan, lecet-lecet di kaki, dan kepala sedikit saja. Untuk apa harus dirawat begitu lama. Ini terlalu berlebihan. Bagiku pihak rumah sakit seringkali tidak berpikir biaya yang harus pasien keluarkan.Tak mau menunggu atau membuang waktu, aku pun bergega
Gendis mengandung.Pandanganku mengabur, harus kah aku bahagia atau justru menangis? Benarkah dosa belum berakhir? Betapa menyedihkannya anak yang terlahir akibat dosa? Tuhan ... sesungguhnya aku tidak ingin ini terjadi. Semua pertanyaan-pertanyaan itu hanya bisa kuucap dalam hati karena lidah ini benar-benar kelu, seperti ada yang mencekik leherku, hingga tak sepatah kata pun bisa keluar dari mulutku selayaknya lelaki sejati yang telah berbuat salah kemudian bersujud meminta maaf.Hening, hanya ada suara isak tangis Gendis yang tak kunjung mereda."Kita, akan merawatnya, Gendis," ucapku setelah hampir satu jam kami sama-sama diam. Kuusap punggungnya pelan, ingin memeluknya untuk saling menguatkan, namun aku urung melakukannya karena dia bisa saja naik pitam.Kali ini tidak ada penolakan seperti biasa saat tangan ini menyentuhnya, tapi entah mengapa aku justru tidak suka. Sikapnya seperti orang yang sudah putus asa. Dia hanya diam seribu bahasa, menatap jendela kaca dengan tatapan ko
Sejak kejadian pagi itu, perubahan mulai terjadi. Ada pendar ketakutan dan kecanggungan di mata Gendis, yang sejujurnya bukan itu harapanku.Aku menginginkan dia tenang dan nyaman di tengah kondisinya yang sekarang.Setiap pagi sudah ada kopi dan sarapan di meja makan. Entah dari mana dia mendapat uang untuk belanja, selama bersama aku tak pernah bertanya apakah dia punya uang atau tidak karena memang tidak ada kesempatan untuk itu dan entah dari mana juga dia belajar memasak empat sehat lima sempurna seperti yang sudah terhidang di meja saat ini?"Gendis, dari mana kamu dapat uang untuk belanja?" tanyaku saat dia meletakkan segelas susu di atas meja untukku."Uang sisa, saku dari Ayah saat aku magang di Jogja masih ada sedikit, Abang," jawabnya seraya menundukkan kepala.Aku mengangguk paham. Kemudian kuberikan sepuluh lembar uang seratus ribuan pemberian Mbak Aya. "Simpan uangmu, pakai yang itu untuk beli kebutuhan kalau Abang sedang tidak ada di rumah.""Tapi, Bang. Aku —""Kalau
"Abang kenapa?" tanya Gendis, berdiri dari tempat duduk panik.Aku mengangkat tangan sebagai tanda bahwa aku tidak apa-apa. "Nggak papa."Ia pun kembali duduk."Kenapa memang pihak ... apa tadi?""Mahesa Tunggal.""Hem, Mahesa Tunggal menghubungi kamu?" tanyaku seolah tak tahu menahu."Ya ... mungkin karena aku nggak masuk magang. Sebentar lagi kan penilaian."Aku tercekat, bingung harus berkata apa. Terlebih wajah Gendis saat ini terlihat begitu pasrah, seolah menyerah dengan keadaan."Apa gunanya masuk atau enggak, toh aku sudah tidak melanjutkannya, Abang." Ucapannya kali ini mampu menyayat hati, terlihat kaca-kaca di mata sayu itu, tapi dengan cepat ia menundukkan kepala. Aku tahu, dia tak ingin rasa sedihnya terlihat orang lain. Dia berusaha menerima keadaan meski sulit. Keadaan bahwa dia harus meninggalkan pendidikan secara paksa.Lalu bagaimana dengan perasaanku sekarang? Tentu saja semakin merasa bersalah dan merasa bahwa aku adalah orang paling bejat di dunia. Aku yang begi
POV Gendis"Sudah Ayah bilang, Hanin! Jangan pernah berhubungan dengan Mahendra Buana! Sekarang kamu tau sendiri! Kalau Ayah tidak datang, mau jadi apa kamu, Hanindya Respati?!" Suara Ayah dengan nada tinggi diikuti pintu yang ditutup kasar, membuat aku dan Bunda malam itu terperajat kaget.Ya, masih begitu jelas dalam ingatanku tatkala Ayah pulang bersama Mbak Hanin dengan kemarahan yang meluap-luap.Setelah melihat aku dan Bunda keluar dari ruang tengah, Ayah pun terdiam, tanpa suara ia membawa Mbak Hanin yang masih terisak ke dalam kamar setengah menyeret, seolah sudah tak sabar. Sedangkan Bunda terus mendekapku yang begitu ketakutan melihat kemarahan Ayah yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Ayah yang begitu menyayangi keluarga dan anak-anaknya berubah begitu menakutkan malam itu. Saat itu aku baru berusia 14 tahun sedangkan kakakku, Mbak Hanin 22 tahun. Aku tidak tahu tepatnya apa yang telah terjadi malam itu, yang aku tahu, Ayah baru pulang kerja lalu menerima telepon dari