Home / Pernikahan / Rahasia di Balik Akad Nikahku / 4. Perubahan sikap Gendis

Share

4. Perubahan sikap Gendis

Author: Novita Sadewa
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

4. Perubahan sikap Gendis

Seberkas sinar mentari menerobos jendela kaca yang berada di sebelah tempat tidur. Silaunya mengenai mata dan membuatnya harus mengerjap. Aku baru bisa tenang setelah adzan subuh berkumandang. Tanpa sengaja tidur di atas sajadah setelah melakukan pengakuan dosa dan memohon ampunan dengan derai air mata. Ya, aku begitu menjunjung tinggi kehormatan wanita namun hanya dalam waktu sekejap mata aku juga telah menghancurkannya. Bagaimana rasa bersalahku tidak berlipat ganda? Apakah ini yang dinamakan, apa yang paling tidak disukai justru akan terjadi? Entah.

Kugerakkan kepala ke kanan dan ke kiri untuk mengurangi rasa kaku di leher. Setelahnya, kulirik jam dinding yang terpasang di dinding kamar. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah delapan, sungguh aku sudah sangat kesiangan. Aku bangkit melipat sajadah dan sarung. Mengganti pakaian dengan kaos agar lebih nyaman. Kemudian bergegas ke dapur membuat sarapan.

Dengan sedikit berlari aku menuju dapur, namun langkahku terhenti saat melewati meja yang biasa aku gunakan untuk makan sendirian. Mataku menyipit kemudian kakiku melangkah mendekat ke arah meja tersebut. Di sana terlihat sudah ada sepiring nasi goreng dengan telur dadar yang diiris kecil memanjang. Persis seperti mi.

"Aku ingin makan nasi goreng jadi masak itu," celetuk seseorang yang terlihat keluar dari dapur dan sempat membuatku tersentak kaget.

Gendis.

Benar-benar mengejutkan, dia keluar kamar dan memasak makanan sendiri? Otakku terus mencari jawaban atas apa yang aku lihat sekarang.

Oh, aku lupa, bukankah dia sedang mengandung. Bisa saja dia sedang ngidam, bukan? Kuanggukkan kepalaku pelan setelah menemukan jawaban. Jawaban yang aku rangkai sendiri sesuai keadaan.

"Oh, yasudah makan saja," aku berbalik hendak menuju dapur, karena kecanggungan masih sangat terasa diantara kami, terlebih setelah pertengkaran kami semalam, aku bahkan tak berani menatapnya jika teringat kata-kata yang aku lontarkan semalam.

"Aku sudah makan, itu untuk Abang," terangnya, membuat langkahku yang hendak menuju dapur untuk memasak nasi seketika terhenti. Aku terperangah. Dia tidak hanya memasak untuk dirinya sendiri, tapi juga untukku? Apa ini yang dinamakan orang hamil suka berubah mood?

"Oh, iya ... nggak usah ke dokter. Cukup belikan tes kehamilan di apotik saja," lanjutnya tanpa menatapku.

"Tapi ...."

"Aku masuk dulu," selanya memotong ucapanku lalu pergi masuk ke dalam kamar dan menutup pintu.

Bisa kulihat, sikapnya sedikit berbeda, sungkan, salah tingkah, atau mungkin saja ucapanku semalam terlalu keras sehingga membuatnya merasa sama denganku, merasa bersalah terhadapku. Tapi, entah sungkan, salah tingkah, atau merasa bersalah yang jelas aku tak mau salah mengartikannya.

Jujur aku tak ingin mengungkit hal yang aku sendiri tak bisa memahaminya. Bahkan, bagiku semua di luar logika. Setiap kali dia mengungkit malam itu rasanya aku sendiri tak bisa terima. Aku merasa begitu buntu dan suntuk ketika dia menuduh aku yang salah sedangkan aku merasa tidak pernah berbuat apa-apa.

Aku menghela napas, lalu beralih pada hidangan di depanku, kupandang sepiring nasi di hadapan, senyumku pun mengembang karena warnanya terlalu pekat. Sepertinya dia terlalu banyak menambahkan kecap. Tapi tak mengapa, sebagai anak dari Aditya Respati bisa menghidangkan makanan seperti ini mungkin sudah luar biasa.

Aditya Respati, aku tidak begitu mengetahuinya. Namun, kulihat dari sosial media semalam setelah Gendis menyebut namanya secara terang-terangan dan menuduhku yang bukan-bukan. Aku pun mencoba mencari tahu perihal Aditya Respati. Rupanya dia adalah salah satu pengusaha batik yang cukup ternama dari kota Solo. Menikah dengan seorang berkebangsaan Cina 32 tahun yang lalu. Dari hasil pencarian, juga disebutkan bahwa beliau mempunyai dua putri cantik, putri pertama bernama Meidina Hanindia Respati dan yang kedua adalah istriku sendiri, Gendis Anandita Respati.

Aku menghela napas dalam kemudian mulai menyendok nasi goreng buatan Gendis. Suapan pertama membuatku ingin melepehnya, karena manisnya tiada tara. Namun alih-alih mengambil tissue untuk mengeluarkan nasi yang sudah masuk ke dalam mulut, Gendis tiba-tiba membuka pintu kamar dan keluar dari sana.

Di depan pintu dia menatapku tanpa kedip. Akhirnya kutelan nasi secara terpaksa agar tidak terkesan menghina. "Itu nasi goreng pertama yang aku buat, kalau nggak enak buang saja," ucapnya cepat seraya menunjuk nasi goreng di hadapanku.

"Enak, kok," kataku sedikit gelagapan, lalu menyendok lagi satu suapan.

"Fitnah," sahutnya kemudian kembali ke kamar, menutup pintu kasar, sedangkan aku ... semakin terperangah oleh sikapnya.

***

Setelah berpamitan akan pulang lebih awal pada Gendis dari balik pintu kamar yang tentunya dengan keadaan tertutup seperti biasa. Aku pun bergegas keluar rumah menemui Mbak Aya yang aku hubungi melalui sosial media semalam.

Sebuah restoran yang pastinya dekat kota menjadi tempat yang kami sepakati untuk bertemu. Selain cukup dekat dengan jarak tempuh Mbak Aya, aku tak mau tempat tinggalku diketahui jika kami bertemu di tempat yang lebih dekat dengan tempatku tinggal.

Dengan setengah berlari aku bergegas masuk ke dalam restoran karena memang sudah sangat telat dari waktu yang kami tentukan.

Begitu pintu berbahan kaca itu terbuka, kulihat Mbak Aya duduk di bangku tak jauh dari tempatku berdiri saat ini. Aku pun segera menghampiri dan duduk di hadapannya. "Sorry, Mbak, telat."

Ia menatapku dan menggelengkan kepala pelan. "Sangat telat," jawabnya kesal.

"Maaf, Mbak. Jadi, Mbak sudah bawa apa yang aku minta?" tanyaku tak sabar.

Dikeluarkanlah sebuah map dari dalam tas lalu diletakkan di atas meja dan disodorkan ke arahku. Senyumku tersungging lalu tanganku terulur meriahnya, membuka, dan memeriksanya satu per satu.

"Mama masuk rumah sakit," celetuk Mbak Aya membuat tangan yang sedang membolak-balikkan berkas seketika terhenti.

"Sakit apa?"

"Kenapa tidak menceraikannya dan kembali ke rumah?" Bukan jawaban melainkan sebuah pertanyaan balik yang dia berikan.

"Itu bukan solusi, Mbak."

"Kamu bisa menuntutnya, bukankah kamu bilang kalau dia yang salah masuk kamar? Terus mabuk pula?" cecar Mbak Aya padaku.

"Mbak, pelankan suara, Mbak. Perceraian bukan prioritasku saat ini. Saat ini aku hanya ingin mencari pekerjaan untuk menghidupi keluargaku. Itu saja!"

Mbak Aya tersenyum kecut mendengar ucapanku. "Omong kosong, Lana! Papa bilang akan berpikir ulang kalau kalian berpisah sebelum tercium media."

Aku terdiam.

"Lana, kamu denger, Mbak, 'kan?!" tegasnya.

"Terserah, Mbak. Itu bukan pilihanku saat ini."

"Maksudmu, kamu lebih memilih wanita itu dibanding Mama?"

Pertanyaan mbak Aya kali ini membuatku merasa tertampar. Sesaat kami saling bisu, aku berpikir, lama dan dia terlihat tak sabar menunggu jawaban.

"Di mana Mama dirawat? Aku tidak punya banyak waktu," Akhirnya aku memutuskan untuk menemui Mama.

"Di mana kamu tinggal?" Tapi, lagi-lagi ia balik bertanya.

"Mbak nggak perlu tau."

"Cinta, kamu cinta pada gadis itu, makanya kamu nggak mau cerai?"

Dahiku mengerut, ucapan Mbak Aya benar-benar diluar logika.

"Mbak nggak perlu tau, itu urusan rumah tanggaku."

"Nggak percaya Mbak, kamu bisa jatuh cinta pada gadis yang suka mabuk, nggak jelas. Apa kamu buta? kamu sudah dijebak ...."

"Mbak Aya, cukup! Jangan membahas itu lagi. Pusing aku, tu!" kataku emosi.

"Mbak nggak rela, Lana." Suaranya mulai bergetar, matanya kini diliputi oleh kaca, kaca yang kemudian jatuh menjadi sebuah tetesan. Air mata.

Aku bangkit mendekatinya, membawa wajahnya ke dalam perut dan mengusap punggungnya pelan. "Jangan khawatir, aku baik-baik saja. Akad sudah terucap, Mbak. Janjiku bukan dengan sesama manusia. Tapi, dengan Tuhan. Jika kami harus berpisah, biar tangan Tuhan saja yang bekerja. Karena aku masih takut dosa." Aku mencoba untuk memberi pengertian pada Mbak Aya tentang posisiku saat ini.

"Lana ...." Ia semakin tergugu dalam rengkuhan tanganku.

Beberapa menit selanjutnya, isakan itu mulai mereda.

"Kamu mencintainya, Lana?!"

Related chapters

  • Rahasia di Balik Akad Nikahku   5. Bimbang

    5. Bimbang"Hem." Akhirnya aku menjawab. Terlalu dini menyebut sebuah cinta karena jujur aku tidak pernah merasakan apa-apa. Hanya tanggung jawab yang aku junjung tinggi ditengah kesalahan yang aku perbuat. Itu saja. Namun, mau tidak mau dia adalah istriku sekarang. Mengatakan tidak mencintai jauh lebih tidak mungkin lagi. Karena akan melukai perasaan Gendis sekaligus hubungan pernikahan kami dan Mbak Aya tidak akan pernah rela membiarkan aku tidak bahagia dengan orang yang tidak aku cintai. Tangan yang sebelumnya memeluk pinggangku erat, berubah merenggang kemudian terlepas. Mbak Aya terperangah atas jawabanku. Aku tahu. Perlahan aku mengurai pelukan. "Apa artinya Mbak bagimu? Lana?"Aku mengernyit bingung."Hah? Apa maksudmu, Mbak? Mbak Aya adalah kakakku satu-satunya. Satu-satunya.""Kakak?! Hanya itu?" tanyanya seraya menghapus sudut matanya kasar, membuatku semakin tak mengerti. Kupegang kedua pundaknya agar bisa menatap wajahnya lebih lekat. "Kau adalah wanita kedua yang be

  • Rahasia di Balik Akad Nikahku   6. Mas Boy 1

    6. Mas Boy?Bau khas yang sangat tidak aku sukai menyapa indera penciuman begitu aku membuka mata. Ya, bau obat dan rumah sakit. Aku terbaring di ranjang dan ruangan serba putih, sendirian, tak ada seseorang di ruangan ini yang bisa aku tanyai.Kugerakkan perlahan tangan dan kaki. Bergerak. Beruntung, itu tandanya aku tidak mengalami patah tulang atau yang lebih mengerikan lagi kelumpuhan. Aku mencoba untuk duduk. Ah, kepalaku masih berat mungkin masih perlu pemanasan dan tunggu beberapa saat. "Mas, jangan banyak gerak dulu," ucap seorang perawat yang tiba-tiba datang kemudian membantuku untuk kembali berbaring. "Mas tadi mengalami kecelakaan."Ingatanku kembali pada kejadian di jalan berlubang yang menyebabkan aku hilang keseimbangan. "Saya udah mendingan, saya mau pulang saja," ucapku pada perawat tersebut."Eh, nggak boleh, Mas, kita sudah menghubungi keluarga Mas, kebetulan tadi saat kejadian ponsel Mas-nya berbunyi terus. Akhirnya kami beri tahu dan beliau yang bertanggung j

  • Rahasia di Balik Akad Nikahku   7. Mas Boy 2

    Tawanya pecah begitu mendengar jawabanku. "Apa Danuarta sudah tidak mampu lagi memberi anaknya pekerjaan?" "Bukan, bukan begitu. Ini tidak ada hubungannya dengan Papa saya. Saya hanya ingin mandiri saja," terangku. Aku tak bisa mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Dia adalah satu-satunya orang yang aku segani. Mau ditaruh mana muka ini jika sampai profesor tahu apa yang sudah aku perbuat terhadap anak gadis orang. Ia pun mengangguk pelan. "Jadi benar, kamu mau bergabung bersama kami?"Cepat aku mengangguk. "Yasudah, berkas yang saya suruh untuk siapkan sudah ada?""Ada, ada di dalam tas saya. Masih saya suruh ambil perawat tadi."Pucuk dicinta ulam pun tiba, perawat yang aku suruh mengambil tas akhirnya datang tak lama setelah Profesor bertanya. "Ini, Mas tasnya," ucapnya padaku seraya menyerahkan tas yang aku tunggu-tunggu."Makasih."Aku pun segera memeriksa isi di dalamnya dan alhamdulillah semua masih utuh. Aku bisa bernapas lega, setidaknya tidak ada yang memanfaatkan

  • Rahasia di Balik Akad Nikahku   8. Habis kesabaran

    Setelah dua malam rawat inap, aku berkeras untuk pulang. Saat badan diistirahatkan namun pikiran harus bekerja keras, maka hasilnya akan lebih parah. Uang pemberian Mbak Aya sebesar 20 juta sedangkan biaya rumah sakit akan membengkak karena tidak ada bantuan sama sekali mengingat aku korban tabrak lari, sehingga aku harus berpikir ulang jika harus tidur nyaman di tempat ini sampai kondisi benar-benar membaik seperti apa kata pihak rumah sakit.Awalnya, pihak rumah sakit melarang dan menyuruhku untuk tetap tinggal, setidaknya sampai dokter datang, tapi kepalang tanggung, aku sudah berjanji akan pulang pagi ini pada Gendis yang sempat mengirim pesan dan bertanya apa masih lama di kota. Lagi pula lukaku tidak begitu parah, hanya luka di tangan, lecet-lecet di kaki, dan kepala sedikit saja. Untuk apa harus dirawat begitu lama. Ini terlalu berlebihan. Bagiku pihak rumah sakit seringkali tidak berpikir biaya yang harus pasien keluarkan.Tak mau menunggu atau membuang waktu, aku pun bergega

  • Rahasia di Balik Akad Nikahku   9. Habis kesabaran 2

    Gendis mengandung.Pandanganku mengabur, harus kah aku bahagia atau justru menangis? Benarkah dosa belum berakhir? Betapa menyedihkannya anak yang terlahir akibat dosa? Tuhan ... sesungguhnya aku tidak ingin ini terjadi. Semua pertanyaan-pertanyaan itu hanya bisa kuucap dalam hati karena lidah ini benar-benar kelu, seperti ada yang mencekik leherku, hingga tak sepatah kata pun bisa keluar dari mulutku selayaknya lelaki sejati yang telah berbuat salah kemudian bersujud meminta maaf.Hening, hanya ada suara isak tangis Gendis yang tak kunjung mereda."Kita, akan merawatnya, Gendis," ucapku setelah hampir satu jam kami sama-sama diam. Kuusap punggungnya pelan, ingin memeluknya untuk saling menguatkan, namun aku urung melakukannya karena dia bisa saja naik pitam.Kali ini tidak ada penolakan seperti biasa saat tangan ini menyentuhnya, tapi entah mengapa aku justru tidak suka. Sikapnya seperti orang yang sudah putus asa. Dia hanya diam seribu bahasa, menatap jendela kaca dengan tatapan ko

  • Rahasia di Balik Akad Nikahku   10. Perubahan sikap Gendis

    Sejak kejadian pagi itu, perubahan mulai terjadi. Ada pendar ketakutan dan kecanggungan di mata Gendis, yang sejujurnya bukan itu harapanku.Aku menginginkan dia tenang dan nyaman di tengah kondisinya yang sekarang.Setiap pagi sudah ada kopi dan sarapan di meja makan. Entah dari mana dia mendapat uang untuk belanja, selama bersama aku tak pernah bertanya apakah dia punya uang atau tidak karena memang tidak ada kesempatan untuk itu dan entah dari mana juga dia belajar memasak empat sehat lima sempurna seperti yang sudah terhidang di meja saat ini?"Gendis, dari mana kamu dapat uang untuk belanja?" tanyaku saat dia meletakkan segelas susu di atas meja untukku."Uang sisa, saku dari Ayah saat aku magang di Jogja masih ada sedikit, Abang," jawabnya seraya menundukkan kepala.Aku mengangguk paham. Kemudian kuberikan sepuluh lembar uang seratus ribuan pemberian Mbak Aya. "Simpan uangmu, pakai yang itu untuk beli kebutuhan kalau Abang sedang tidak ada di rumah.""Tapi, Bang. Aku —""Kalau

  • Rahasia di Balik Akad Nikahku   11. Perubahan Sikap Gendis 2

    "Abang kenapa?" tanya Gendis, berdiri dari tempat duduk panik.Aku mengangkat tangan sebagai tanda bahwa aku tidak apa-apa. "Nggak papa."Ia pun kembali duduk."Kenapa memang pihak ... apa tadi?""Mahesa Tunggal.""Hem, Mahesa Tunggal menghubungi kamu?" tanyaku seolah tak tahu menahu."Ya ... mungkin karena aku nggak masuk magang. Sebentar lagi kan penilaian."Aku tercekat, bingung harus berkata apa. Terlebih wajah Gendis saat ini terlihat begitu pasrah, seolah menyerah dengan keadaan."Apa gunanya masuk atau enggak, toh aku sudah tidak melanjutkannya, Abang." Ucapannya kali ini mampu menyayat hati, terlihat kaca-kaca di mata sayu itu, tapi dengan cepat ia menundukkan kepala. Aku tahu, dia tak ingin rasa sedihnya terlihat orang lain. Dia berusaha menerima keadaan meski sulit. Keadaan bahwa dia harus meninggalkan pendidikan secara paksa.Lalu bagaimana dengan perasaanku sekarang? Tentu saja semakin merasa bersalah dan merasa bahwa aku adalah orang paling bejat di dunia. Aku yang begi

  • Rahasia di Balik Akad Nikahku   12. POV Gendis 1

    POV Gendis"Sudah Ayah bilang, Hanin! Jangan pernah berhubungan dengan Mahendra Buana! Sekarang kamu tau sendiri! Kalau Ayah tidak datang, mau jadi apa kamu, Hanindya Respati?!" Suara Ayah dengan nada tinggi diikuti pintu yang ditutup kasar, membuat aku dan Bunda malam itu terperajat kaget.Ya, masih begitu jelas dalam ingatanku tatkala Ayah pulang bersama Mbak Hanin dengan kemarahan yang meluap-luap.Setelah melihat aku dan Bunda keluar dari ruang tengah, Ayah pun terdiam, tanpa suara ia membawa Mbak Hanin yang masih terisak ke dalam kamar setengah menyeret, seolah sudah tak sabar. Sedangkan Bunda terus mendekapku yang begitu ketakutan melihat kemarahan Ayah yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Ayah yang begitu menyayangi keluarga dan anak-anaknya berubah begitu menakutkan malam itu. Saat itu aku baru berusia 14 tahun sedangkan kakakku, Mbak Hanin 22 tahun. Aku tidak tahu tepatnya apa yang telah terjadi malam itu, yang aku tahu, Ayah baru pulang kerja lalu menerima telepon dari

Latest chapter

  • Rahasia di Balik Akad Nikahku   57. Pengakuan

    "Siapa wanita itu?"Seketika senyum itu memudar dari wajah pria tampan yang tengah duduk di sebelahku."Wanita yang mana?""Memang ada berapa banyak wanita lagi?" tanyaku menahan hawa panas seraya tersenyum lelah."Nggak ada.""Haruskah Gendis memperjelas maksudnya?""Ndis ....""Wanita yang kamu peluk mesra." Dengan terpaksa kupotong ucapannya.Ia terdiam, hatiku pun kembali terhujam, ketika aku mulai meraba arti dari kediamannya tersebut."Kalau nggak bisa kenapa dipertahankan?" lanjutku mengalihkan pandang ke arah hamparan rumput hijau yang menghiasi taman."Maksudnya?""Ya, kalau ada yang menunggu kenapa harus dipaksa untuk bertahan sama Gendis, Abang?" sindirku pada akhirnya. Aku tak mampu lagi menahan ribuan tanya dan amarah yang teronggok di dalam sini, yang sudah hampir meledak jika aku tak segera mengeluarkannya.Jika harus berakhir maka tak perlu menunggu dan membuang waktu sia-sia. "Ngomong apa? Lagian masak kamu nggak tau tadi siapa? Katanya fans berat?"Aku menatapnya

  • Rahasia di Balik Akad Nikahku   56. Dilepas sulit bertahan sakit

    Umi selalu pandai membuat hatiku diliputi rasa hangat. Aku berjalan menuju ruangan. Kini, langkahku terasa lebih ringan. Aku tahu ini sedikit terlambat. Namun, terlambat jauh lebih baik dari pada tidak datang di jam pelajaran kali ini, yang tentu akan menimbulkan masalah baru yaitu kemarahan Bang Lana terhadapku.Begitu masuk ruangan, aku sempat diusir, namun ia meralat ucapannya setelah melihatku. Hatiku kembali gundah tatkala melihat wajah itu di hadapanku. Aku bahkan tak mampu menatapnya. Ya, meski sempat menghangat nyatanya tidak mudah ketika aku berhadapan kembali, ingatan akan wanita itu tak bisa lepas dari pikiran ini. Ia terus menatapku sedangkan aku masih enggan dan hanya menatapnya sekilas. Ah, ternyata tidak gampang menyembuhkan luka sendirian.Sebisa mungkin aku meresapi setiap materi yang kali ini disampaikannya dengan begitu pelan dan mudah dipahami. Raut wajahnya pun tak seperti biasa, kali ini ia terlihat lebih sabar sekaligus jauh dari kata mematikan. Aku berusaha

  • Rahasia di Balik Akad Nikahku   55.

    POV GendisMungkin aku terlalu berharap hingga aku sempat melambung dengan perlakuannya meski sebentar bahkan belum genap satu hari. Namun, pada akhirnya aku merasakan patah untuk kesekian kali, saat kulihat wanita berparas menawan dan sudah bisa dipastikan sempurna dari segi usia dan pekerjaan. Wanita yang tak jauh berbeda dari kesempurnaan yang dimiliki Mbak Hanin itu memandangku sebatas mahasiswa yang sedang menemui dosennya untuk urusan tugas. Dan yang membuat aku semakin patah adalah suamiku sendiri mengiyakan hal itu. Sakitnya begitu nyeri, bak batu besar menghimpit dada ini. Langkahku mengayun cepat menuju ruangan. Namun, air mata ini membuat dua mahasiswa wanita yang sudah ada di dalam kelas tersebut memandang aneh padaku. Merasa tak nyaman aku pun memutuskan untuk kembali keluar melalui gerbang belakang, tak mungkin kembali melewati gerbang depan karena sudah pasti mereka masih ada di sana.Ketika luka menyayat hati pikiran hanya tertuju pada pesantren dan kalimat Umi. "Kal

  • Rahasia di Balik Akad Nikahku   54. Cemburu

    "Maaf, Pak. Kalau gitu saya akan ikut kelas lain." Suara yang menyapa indera pendengaran seketika membuat hati yang sebelumnya hampa berubah hangat.Aku menoleh cepat ke arah pintu. Rasa lega menyelimuti kala kulihat Gendis berdiri di depan sana seraya menundukkan kepala, lesu.Aku hanya bisa terpaku di tempatku seraya menelan saliva beberapa kali. "Tunggu, ini adalah kelas terakhir di Minggu ini. Kelas selanjutnya materi sudah tidak sama. Cari tempat kosong dan duduklah," ucapku pada akhirnya saat tangannya sudah memegang handle pintu hendak keluar.Dalam hati aku tersenyum lega, jika tidak sedang di depan sini mungkin aku sudah berlari memeluknya sebagai wujud rasa syukur. Rasa syukur? Aku menggeleng menyadarkan diri yang sudah mulai kurang ajar."Kenapa masih di sana, duduk," perintahku setelah melihatnya tak bergerak dari tempat semula.Ia mengangguk kemudian menuju bangku kosong yang lagi-lagi ada di paling belakang dan sudah dipenuhi mahasiswa lelaki."Kamu, Mas ...," ujarku s

  • Rahasia di Balik Akad Nikahku   53. Frustasi

    Kantin, kelas, taman, hingga perpustakaan aku datangi, namun tak juga aku temui sosok Gendis di sana. Setelah Mbak Aya pergi, aku bergegas mencari Gendis di seluruh penjuru kampus. Ia masih setia mengabaikan panggilan sekaligus pesan yang aku kirim secara terus menerus. Namun, sekarang lebih parah lagi, ponsel Gendis justru mati.Tak ada pilihan lain. Setelah lelah mencari aku pun memutuskan menghubungi pesantren. Hanya beberapa detik panggilan tersambung lalu diangkat."Assalamualaikum." Suara wanita yang sudah pasti Umi Masfufah terdengar dari seberang sana."Waalaikumsalam, Umi. Ini saya, Lana.""Nak Lana? Ada apa pagi-pagi sudah telepon? Apa Gendis merepotkanmu?""Bukan, Umi, cuma ...." Ucapanku terhenti, apa yang akan aku katakan bahkan sama sekali belum terpikirkan."Tapi kenapa, Nak?""Tapi ... Gendis dari tadi pagi pengen ketemu Umi. Ini saya cari kok nggak ada, ya. Apa dia sudah ada di sana, menemui Umi?" tanyaku penuh kehati-hatian setelah berpikir cukup lama agar Umi tidak

  • Rahasia di Balik Akad Nikahku   52. Gamang

    "Apa kamu sudah berpisah dari wanita itu?""Sudah kubilang aku tidak akan pisah. Kenapa masih bertanya tentang itu?" Aku menghela napas. "Seharusnya aku yang perlu tanya sama Mbak. Kenapa mengarang cerita bahkan berani memakai nama Papa?!"Wajah yang sebelumnya terlihat penuh ketegasan kini berubah pasi."Mbak hanya berusaha menyelamatkan adik Mbak." Aku tersenyum sinis. Menyelamatkan dari mana jika nyatanya papa sendiri jelas-jelas tidak menyetujuinya. Beruntung, aku masih bisa mendapatkan Gendis kembali. Kalau tidak, bisa habis dikuliti olehnya kalau papa sampai mengetahui. Ya, meski Papa tidak menyetujui, tapi aku tahu nuraninya tidaklah mati dan yang namanya nurani tidak akan pernah bisa dibohongi. Papa memang berhati batu tapi bukan berarti nuraninya terhadap wanita membantu. Buktinya ia begitu mengasihi Mama dan Mbak Aya meski ia bukan anak kandung."Bisakah tidak membahas istriku dan aku. Biarkan kami hidup dengan tenang."Ia tampak tersenyum remeh. "Romantis sekali kamu menye

  • Rahasia di Balik Akad Nikahku   51. Tak sesuai rencana

    POV LanaAku membeku di tempatku. Kukira hari ini semua akan berjalan normal. Semua akan berjalan sebagaimana mestinya. Memulai hidup yang baru dengan gadis manis dengan tingkah yang selalu membuat aku tersenyum diam-diam. Namun, nyatanya lidahku tiba-tiba kelu, tatkala Mbak Aya berdiri di hadapanku, tersedu dalam dekapanku.Lidahku semakin kelu ketika kusadari saat ini aku tak sendiri, melainkan ada Gendis di sebelahku. Aku hanya bisa mematung dengan berbagai pikiran dan pertanyaan yang terus berjejalan masuk ke dalam otak : Dari mana Mbak Aya tahu keberadaanku? Lalu apa yang akan terjadi jika Gendis tahu siapa yang ada di hadapanku? Dia bahkan tak tahu siapa aku. Dan yang lebih mengkhawatirkan lagi jika Mbak Aya sampai tahu bahwa yang berdiri di sampingku adalah istri yang ia anggap aku nikahi tanpa cinta. Dia bisa berbuat apa saja demi memisahkan kami dan itu tak bisa aku biarkan. Gendis baru saja kembali mana mungkin aku membiarkannya pergi lagi. Hati dan pikiran mulai beradu. I

  • Rahasia di Balik Akad Nikahku   50. Beginikah rasanya bertepuk sebelah tangan?

    Bersama-sama kami pun membalikkan badan ke arah suara yang terdengar berasal dari arah belakang tempat kami berdiri.Berjarak sekitar lima meter dari tempat kami berdiri saat ini, seorang wanita cantik bertubuh langsing tengah berdiri mengulas senyum ke arah kami. Bukan kami, tepatnya ke arah lelaki di sebelahku. Napasnya terengah seperti orang yang barus saja menyelesaikan pekerjaan berat. Berlari mungkin. Rambutnya panjang sebahu dan digerai bebas tapi masih terlihat rapi, hiasan rambut dengan design mutiara yang ia pakai di atas telinga membuatnya terlihat semakin elegan. Siapakah dia?Kaki dengan hak tinggi yang membuatnya semakin terlihat jenjang itu, kini melangkah ke arah kami, semakin lama semakin cepat. Lalu ... seperti kilat yang menyambar dengan cepat ia menyambar lelaki yang bergelar suami. Ia memeluk suami yang terlihat mematung ketika melihat wanita di hadapannya. Dia kah pemilik jam tangan itu? Kanaya?Pemandangan ini semakin menghujam hati tatkala pelukan wanita dengan

  • Rahasia di Balik Akad Nikahku   49. Wanita lain

    Taksi melaju cepat menuju kampus. Aku duduk berdampingan dengan Bang Lana di bangku belakang akan tetapi tak ada percakapan yang serius. Sejak tadi percakapan hanya seputar pelajaran yang akan aku ikuti. "Jangan banyak melamun kalau di dalam kelas. Jangan suka telat. Dengarkan kalau dosen memberi penjelasan, kalau sekiranya ada yang nggak ngerti jangan takut untuk bertanya. Malu bertanya sesat di jalan," ocehnya di sepanjang jalan menuju kampus, mungkin jika suasana hatiku sedang tidak baik-baik saja, aku akan stress bukan karena pelajaran melainkan karena mendengar ocehan yang terkesan klise.Setelah dirasa cukup memberi petuah-petuah yang berhasil membuat kepalaku sedikit berdenyut, ia pun memilih untuk menyalakan laptop, sedangkan aku memilih untuk menikmati roti sandwich yang entah karena perasaanku sedang bahagia atau rasanya memang lezat hingga lidahku seolah tak mau berhenti mengunyah."Enak?" tanyanya dengan pandangan yang terus fokus pada layar yang menunjukkan berbagai graf

DMCA.com Protection Status