Beranda / Pernikahan / Rahasia di Balik Akad Nikahku / 1. Gadis yang kau anggap gila itu istriku

Share

Rahasia di Balik Akad Nikahku
Rahasia di Balik Akad Nikahku
Penulis: Novita Sadewa

1. Gadis yang kau anggap gila itu istriku

1. Gadis yang kau anggap gila itu, istriku

"Orang gila ... orang gila ... orang gila." Sayup kudengar suara dari depan gang di mana aku tinggal. Aku bergegas turun dari motor karena memang baru pulang mencari pekerjaan.

Terlihat beberapa anak kecil sedang berkerumun di sana, di tengahnya tampak seorang sedang duduk meringkuk, memeluk lutut di bawah lampu remang jalan gang depan kontrakan. Kuparkir motor di tepi jalan lalu bergegas aku menghampirinya.

"Anak-anak, nggak boleh gitu, ya. Kakak ini nggak gila, ini istri abang, dia sedang sakit. Sedang berobat, jadi jangan diganggu, kasihan," terangku dengan pandangan yang tak bisa lepas dari Gendis Anandita Respati, Gadis yang masih belum genap 21 tahun itu adalah anak dari keluarga yang cukup terpandang dari kota Solo. Namun, dia harus terusir dari keluarganya karenaku. Ya, karenaku. Entah sengaja atau tidak, aku lah penyebab dari apa yang dia alami saat ini. Melamun, menangis, kemudian tertawa dalam keheningan, dan kesendirian.

Gendis, begitulah aku memanggilnya. Dia tidak gila, dia hanya sedang mendekap kemudian menikmati luka dengan caranya, luka yang aku torehkan begitu dalam. Di usia nya yang masih sangat muda, dia harus melepas masa muda dan cita-cita hanya karena sebuah akad yang aku ucap di Jogjakarta beberapa waktu lalu.

Setelah akad aku sempat membawanya ke Solo untuk bertemu dengan kedua orang tuanya yang sebetulnya juga hadir dalam ijab kabul kami karena warga berkeras menghadirkan wali. Pernikahan harus sah kata para warga saat itu. Namun, mereka langsung pergi setelah ijab kabul terucap. Aku tahu, mereka marah sekaligus malu.

Dia terus menangis ketika perjalanan menuju Solo, tak bisa berhenti sama sekali. Mata sembab, wajah pucat, membuat hatiku semakin tersayat. Setelah beberapa jam perjalanan, kami sampai di sebuah rumah berlantai dua, dengan cat berwana putih. Dari rumah yang memiliki halaman dan bangunan luas itu lah, aku tahu bahwa dia bukan dari keluarga sembarangan atau keluarga sederhana.

Kuketuk pintu pagar yang menjulang tinggi. Kemudian seorang laki-laki bertubuh kurus dengan blangkon tergopoh membukakan pintu.

"Mbak Gendis," sapanya begitu melihat Gendis malam itu. Tangis Gendis pun semakin pecah.

Lelaki itu membawa Gendis masuk ke dalam dan mempersilahkan aku untuk mengikutinya.

Sampai di depan pintu rumah berbahan kayu yang dipenuhi hiasan berupa ukiran itu, terlihat seorang berkumis tipis dengan rahang tegas dan tubuh tinggi tegap menatap ke arah kami. Saat itu juga Gendis menghentikan langkah, perlahan ia mundur ke belakang, bersembunyi di balik punggungku seolah mencari perlindungan.

Aku menghela napas dalam, untuk mengurangi rasa tegang. Aku tahu apa yang terjadi tidak lah mudah, terutama bagiku. "Assalamualaikum," sapaku ramah.

"Waalaikumsalam." Ketus dia menjawab, kemudian tersenyum sinis. "Lisanmu tak semanis perbuatanmu," lanjutnya menyindirku.

"Ayah ...." Gendis mencoba angkat bicara namun lelaki itu dengan cepat menyela.

"Diam, Gendis! Jangan memanggilku Ayah lagi, aku tidak pernah mengajarimu menjadi orang bejat, tidak bermoral!"

"Pak ...."

"Apa lagi kamu, pemuda sialan yang lebih tidak bermoral. Pergilah kalian, keluarga kami tidak membutuhkan penerus seperti kalian. Otak yang dipenuhi hal-hal kotor tak akan pernah bisa diandalkan. Tugasku sudah selesai. Menikahkan kalian. Jadi, sekarang urus hidup kalian sendiri dan jangan pernah memperlihatkan wajah kalian di hadapan kami!" Lagi-lagi ia menyela tanpa mau mendengar penjelasan walau hanya sepatah kata. Gendis pun tergugu semakin keras.

Di ambang pintu, tampak seorang wanita paruh baya mengamati kami, tangannya sesekali mengusap sudut mata, kemudian menunduk dan tersedu. Meski tidak terlalu jelas karena wanita yang lainnya langsung membawanya pergi, tapi masih bisa kulihat sekilas, dari raut wajah dan kulitnya, dia keturunan Cina. Tak jauh berbeda dari wajah Gendis, jadi bisa kupastikan bahwa dia adalah ibunya.

"Bunda ...." Benar dugaanku. Gendis beringsut duduk di lantai berbahan marmer. Meraung memanggil ibu yang dibawa entah ke mana.

Gendis terus menangis, namun tak ada jawaban dari sang ayah. Hingga pada akhirnya, sebuah koper dilemparnya ke arah kami sebagai jawaban. "Pergilah!" Satu kata yang dia ucapkan lalu meninggalkan kami masuk ke dalam rumah.

Petir menyambar, hujan pun turun begitu deras, menambah suasana semakin terasa menyedihkan sekaligus memuakkan terutama ... bagiku.

Kubawa dia masuk ke dalam taksi yang sudah kupesan. Walau bagaimanapun juga dia adalah istriku, akad sudah terucap, maka aku tidak bisa lepas dari tanggung jawab.

Di dalam taksi kami saling diam. Pikiranku terus berkelana, mengingat semua kejadian malam sebelumnya, tapi aku tetap tidak bisa mengingat detail kejadiannya.

Aku hanya mengingat bahwa aku sedang istirahat di kamar yang aku sewa karena merasa kurang enak badan saat perjalanan pulang menuju ibu kota. Kemudian meminum sedikit obat, lalu merebahkan diri di ranjang, itu saja.

Wanita berdarah Jawa-Cina yang terus menangis di bangku sebelahku saat itu pun aku sama sekali tidak mengenal sebelumnya? Lalu bagaimana bisa tidur di atas ranjang yang sama denganku, bahkan tanpa sehelai benang? Padahal yang aku ingat, aku tidur tanpa membuka kemeja, hanya sempat melepas jas yang aku kenakan saja.

Kadang, dia marah dan memintaku untuk menceraikannya sebelum semua orang tahu. Namun, bagaimana mungkin itu bisa aku lakukan jika dia sendiri terlunta-lunta dan terbuang dari keluarga? Lalu, bagaimana jika apa yang aku lakukan membuatnya ... mengandung? Ya, pikiran itu tentu ada. Sempat, aku mengajukan untuk melakukan visum, namun kuurungkan, karena melakukan visum berarti melibatkan polisi dan tentu akan membuat banyak pihak menanggung akibatnya. Terutama nama baik keluarga yang akan menjadi taruhannya.

Selain itu, menurut warga, entah visum atau tidak faktanya kami sudah berbuat hal tidak sepantasnya dan bukan di wilayah kami. Itu lah yang mereka katakan untuk terus menekan kami.

Setelah pengusiran dari keluarga Solo maka aku putuskan untuk membawanya ke Jakarta, tentu dengan perasaan yang juga tak karuan.

Keadaannya masih sama ketika perjalanan menuju Jakarta, menangis tanpa henti. Aku hanya bisa menghela napas, jauh di lubuk hatiku aku pun kesal dengannya. Tapi, aku juga bukan orang sekejam di drama televisi yang bisa saja meninggalkannya tanpa hati.

Begitu aku sampai di rumah, aku tak lantas membawanya masuk ke dalam. Kutitipkan dia pada sopir taksi, karena kebetulan dia sedang tertidur pulas, kecapekan menangis mungkin. Selain itu aku butuh bicara dan menjelaskan pada keluarga, tentunya tidak di hadapan Gendis karena perdebatan pasti ada dan bisa saja menambah lukanya semakin menganga.

Pak Sandy, satpam di rumahku menyambut, membukakan pagar yang sudah terkunci rapat. Kusapa sekilas Pak Sandy lalu bergegas menuju rumah.

Segera kubuka pintu rumah karena hari sudah larut malam. Kuhela napas lalu membalikkan badan.

Deg! Di sebelah sofa sudah berdiri, Papa, Mama, dan Mbak Aya. Kedua wanita itu terlihat menunduk dan menangis sedangkan Papa menatap ke arahku dengan tatapan tajam. Firasat burukku mulai datang lalu pikiranku mulai sibuk merangkai kata untuk memberi penjelasan.

"Assalamualaikum, Pa, Ma, Mbak," sapaku dengan nada yang mulai bergetar.

"Waalaikumsalam. Mbok!" jawab Papa kemudian beralih memanggil Si Mbok. Aku pun mengernyit bingung.

Si Mbok terlihat turun dari lantai atas dengan koper di tangan, bertambahlah debaran di dalam dada. Aku memang sudah sempat bercerita tentang apa yang terjadi di Jogjakarta, namun tak menyangka kalau mereka secepat itu mengambil keputusan. Mengusirku dari rumah. Ya, dari apa yang aku lihat koper itu sudah jelas milikku.

"Kasih kopernya," perintah papa pada Si Mbok. Si Mbok pun menuruti, memberikan koper padaku dengan wajah takut sekaligus sendu.

"Jangan menginjakkan kaki di rumah ini lagi!" tegas papa.

"Tapi, Pa ...."

"Papa kecewa, Papa mendidik kamu, memberi nama terbaik sebagai doa untuk kamu, tapi berakhir dengan rasa malu!"

"Demi Allah, Pa. Aku nggak pernah ada niat atau pikiran berbuat hal seperti itu. Itu di luar kendaliku. Aku ...."

"Setiap orang yang melakukan hal seperti itu pasti akan mengatakan hal yang sama. Khilaf," selanya.

"Mas, beri kesempatan Lana untuk menjelaskan." Mama bangkit mendekati Papa dan menggoncang kasar pundaknya dengan air mata yang tak kunjung reda. Sungguh hatiku pun merasa begitu hancur melihat wanita yang begitu berharga bagiku harus menangis karenaku, belum juga membuatnya bangga dan bahagia, tapi sudah membuatnya terluka.

"Apapun penjelasannya, tidak akan mengubah keputusan Papa. Mereka sangat menjijikkan. Mereka bersama tanpa ...."

"Cukup, Papa. Aku akan pergi. Nggak usah bentak atau marah sama Mama hanya karena aku," pungkasku yang sudah tak sanggup lagi mendengar Papa bicara dengan nada tinggi pada wanita terkasihku.

"Lana ...." Mama melangkah ke arahku, air mata itu semakin deras, namun Papa dengan cepat menarik tangannya kembali.

"Bagus kalau kamu tahu diri," ucap papa kemudian.

"Tapi ... setidaknya masukkan ijazahku di dalam koper itu. Aku mendapat gelar itu dari beasiswa," pintaku untuk yang terakhir kalinya, meski harus menahan malu, tapi aku harus melakukannya. Aku tahu hanya kertas itu yang nantinya akan menjadi bekalku di luar sana. Aku sadar, menghidupi Gendis juga butuh biaya.

Papa tersenyum sinis. "Sombong sekali kamu. Kamu pikir biaya hidup selama kamu menempuh pendidikan itu bisa dicover oleh beasiswa?! Hah!"

"Mas Danu, dia anakmu. Bagaimana mungkin membahas hal seperti itu?" Mama tak terima. Papa pun berdecak kesal. "Aya, ambil apa maunya," perintahnya pada kakakku satu-satunya. Ia seolah tak mau berlama-lama melihatku dan ingin segera menutup perdebatan malam itu dengan menuruti keinginanku. Agar aku cepat pergi.

Mbak Aya tak lantas melakukan perintah Papa, dia hanya termangu, menatapku dengan air mata yang terus berjatuhan.

"Aya!" ulang papa lebih tegas. Dia tetap mematung lalu kuanggukkan kepalaku pelan sebagai isyarat agar dia segera melakukan perintah papa dan dia pun pergi ke kamar setengah berlari.

Beberapa saat dia kembali membawa berkas yang aku minta. Diberikannya berkas itu padaku beserta sebuah amplop coklat. "Pakailah untuk kebutuhanmu," katanya malam itu, dia memang bukan kakak kandungku, tapi kami sangat dekat dan kami saling menyayangi melebihi saudara kandung. Kuraih berkas yang kubutuhkan tapi tidak dengan amplop coklatnya. Dahinya mengerut, bingung. "Aku ... akan menghidupinya dengan uangku sendiri. Assalamualaikum," pamitku kemudian melangkah pergi meninggalkan rumah yang sudah aku tinggali selama 27 tahun, berat memang. Akan tetapi tak ada lagi pilihan terbaik selain pergi, karena jika aku tetap tinggal maka masalah baru justru akan terus berdatangan.

Terdengar tangis Mama dan juga Mbak Aya pecah begitu aku melangkahkan kaki keluar pintu. Dadaku tiba-tiba sesak mendengar jerit tangis wanita-wanita itu. Namun, aku juga sadar saat ini kesalahan ada padaku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status