Mobil hitam itu berbelok ke arah kanan. Zahra dan tukang ojek terus mengikutinya. “Jangan sampai kehilangan jejak ya pak,” Zahra wanti-wanti sama tukang ojek. “Tenang saja, Saya pasti bayar lebih,” lanjut Zahra lagi. Wajah tukang ojek langsung kelihatan bersemangat, karena mendengar imbalannya akan dilebihkan. Mata Zahra terus menatap ke arah mobil yang dikendarai Budi. Sampai akhirnya mobil hitam itu berhenti di sebuah pinggiran sungai. “ Berhenti Pak,” ucap Zahra sambil menepuk pundak tukang ojek.Dengan perlahan, ojek online itu langsung berhenti, dengan jarak yang lumayan jauh dengan mobil hitam itu. Zahra melihat Budi keluar dari mobil, sambil mengangkat kantong besar hitam itu. Saat pintu samping kiri terbuka, Zahra melihat sepasang kaki turun. Zahra terus memperhatikan. Saat sesosok tubuh turun dari mobil itu. Mata Zahra langsung melotot. “Mas Nazar!” Hampir saja suara Zahra terpetik, kalau tidak segera menutup mulutnya. “Pak, pulang saja. Soalnya takut lama nunggu say
Semua langsung diam, saat mendengar suara Bos menggelegar. Bella terlihat membuang mukanya ke samping. Sedangkan Zahra langsung menerobos masuk ke dalam ruangan. Hampir saja Bella terjatuh, karena bahunya ditabrak sama bahu Zahra.“SaatKembali ke tempat kerjamu Bella!” Bentak sang bos.“Tapi……”“Tidak ada tapi-tapian!” Sergah si bos.Terlihat Bella bersungut-sungut, sambil berjalan menuju ruang kerjanya. Sedangkan si Bos menatap ke arah Zahra. Zahra melihat ke arah si Bos. Pimpinan perusahaan itu buru-buru pergi meninggalkan ruangan Zahra. Teman kerja Zahra yang tadi ngajak makan. Terlihat mendekati Zahra. “ Memangnya kamu habis dari mana sih, Ra? Kok masuk sampai terlambat?” Tanya temannya dengan suara pelan. “Ada perlu,” jawab Zahra pelan“Memangnya ada perlu apa sih? Kok sampai terlambat dua jam?” Tanya temannya. “Bukan urusanmu,” jawab Zahra ketus. “Kok kamu gitu sih Ra? Ya sudah kalau begitu,” ucap temannya kesal.“Ditanya baik-baik kok jawabannya begitu, ketus amat sih loe
Istri anda tidak apa-apa tuan, cuma perlu istirahat beberapa hari, mungkin akibat kelelahan saja,” jawab dokter. Nazar bernafas dengan lega, ternyata istrinya tidak mengalami hal-hal yang tidak diinginkan. “Terima kasih,” ucap Nazar.“Nanti setelah di ruang perawatan, Tuan boleh menemani istri, kalau begitu saya permisi dulu,” dokter berlalu dari hadapan Nazar.Tak lama kemudian, pintu ruangan terbuka. Terlihat istrinya didorong di atas brankar dua peralatan medis terpasang di tubuh Zahra.Mata Zahra terlihat cekung, dan sekarang dalam keadaan sudah sadar. mendekati brankar. Petugas menghentikan dorongannya, lalu membungkuk hormat sama Nazar.“Sayang,” panggil Nazar pelan.Zahra hanya tersenyum samar, jemarinya dipegang mesra sama Nazar.“Cepat sembuh ya sayang,” ucap Nazar lembut.Si petugas itu lalu bergumam di dalam hatinya. “ Ish, romantis banget pasangan ini, bikin iri saja.”“Maaf permisi tuan,” ucap salah seorang petugas.Nazar lalu menoleh. “ Silakan.”Brankar kembali didoro
Zia dan Dilan menoleh ke arah sumber suara, ternyata seorang wanita sedang berdiri di dekat kasir.Wanita muda itu langsung berjalan mendekati meja Dilan.“Tumben makan di tempat model kayak gini? Sudah tidak punya uang ya? Atau habis buat hutan ibumu?” Tanya wanita itu dengan muka sinis.Sontak Zia langsung melebar matanya, dan menatapnya nyalang ke arah wanita itu.“Maksudnya Bu Lilis apa?” Tanya Dilan dengan wajah pucat. “Bilang sama ibu kamu! Cepat bayar cicilan baju! Masa punya anak seorang manajer! Baju saja ngutang sama saya!” Ucap wanita itu pedas. “Hah!” Pekik Zia.Beberapa orang yang sedang makan, langsung menoleh ke arah mereka bertiga. “Lho, bukannya sudah dibayar sama ibu? Maaf saya nggak tahu Bu?” Ucap Dilan sambil menahan malu. “Dibayar bagaimana menurutmu? Aku bicara begini, saking jengkelnya sama ibu kamu. Dan untung kita ketemu di sini,” jawab ibu itu. “Duh, kok punya calon mertua bikin malu saja sih,” Zia langsung menatap tajam ke arah Dilan.“Aku pulang Mas,”
Hanum dan Ahmad tidak bisa melarang Zia untuk ikut ke rumah sakit. “Awas, tiba di sana jangan buat keributan. Dan jangan bikin malu kami,” ucap Hanum wanti-wanti. “Tenang saja,” sahut Zia polos.“Itulah akibatnya, kalau tidak meminjamkan kalung sama adiknya sendiri. Tuhan langsung membalasnya,” cetus Zia.“Kamu ngomong apa sih Zia? Kakak kamu sedang sakit saat ini, kalau kamu memang mau ngomong macam-macam. Sudah jangan ikut,” ucap Hanum, dan langsung melarang Zia.“Ish, Orang cuma mau sedikit mengingatkan kok,” tukas Zia kesal.Hanum yang duduk di samping suaminya. Wajahnya terlihat kesal, bagaimana tidak, Zia kalau bicara selalu saja asal. Tidak peduli orang lain merasa sakit hati atau tidak. Tiba di rumah sakit, Ahmad langsung menuju lobby. Dan bertanya sama petugas di sana. “Oh, pak Ahmad sama Bu Hanum ya? Silakan naik lift khusus tamu, biar kami antar Pak,” jawab resepsionis sambil tersenyum ramah. Ahmad langsung heran, karena merasa mendapat perlakuan istimewa di rumah saki
Seorang pria yang berbadan besar, berdiri di ambang pintu Nazar langsung mendapatkan kedua alisnya. Pria itu langsung balik badan dan pergi. “Ayo kita pulang Ayah,” tiba-tiba Hanum mengajak suaminya pulang. “Lho, kenapa?” Tanya Zahra heran. “Ayahmu masih banyak pekerjaan, syukurlah kalau kamu sudah bisa pulang,” ucap Hanum sambil mengusap pucuk kepala Zahra. “Terima kasih Ayah, ibu. Sudah mau menengok Zahra ke sini,” ucap Nazar sambil tersenyum ramah. Zia langsung berjalan paling depan, tanpa berpamitan sedikitpun sama Nazar dan Zahra. Hanum cuma bisa menggelengkan kepalanya, dengan tingkah Zia yang minim adab.“Mas telepon ayah?” Tanya Zahra setelah mereka pulang. “Iya, setidaknya doa orang tua dibutuhkan,” jawab Nazar.Zahra langsung tersenyum, ternyata suaminya lebih mengerti dengan hal-hal yang tidak terpikir sama Zahra. “Ingat jaga kesehatan, tinggal semalam di rumah sakit. Rasanya bagaikan setahun,” lanjut Nazar.Zahra langsung terkekeh, melihat wajah suaminya. Jam 04.
“Bagaimana masalah pinjamanku?” Tanya Dilan. “Tenang saja, yang penting kamu mengikuti kemauanku,” jawab wanita itu. “Oke, Aku butuh uang untuk biaya pernikahanku, aku benar-benar dipusingkan dengan hal ini,” ucap Dilan.“Bagiku, masalah uang itu kecil. Asalkan kau benar-benar mau membantuku. Uang akan mudah Kau dapatkan.”“Benarkah?” Tanya Dilan dengan wajah kegirangan. “Buat apa aku bohong, aku sudah bilang dari tadi kan. Kamu bisa bantu aku, dalam sekali jentikan jari. Uang ada di tanganmu. Bagaimana kamu setuju dengan syarat yang diberikan?” Tanya wanita itu. “Baiklah, tapi apa syarat yang kamu berikan?” Tanya Dilan. “Tenang, aku rasa tidak berat. Dan hal yang gampang, nanti aku kasih tahu lewat pesan yang aku kirimkan,” ucap wanita itu. “Baiklah, tapi bisakah aku meminta sebagian dulu?” Tanya Dilan. “Bisa saja, tapi bikin dulu hitam di atas putih,” ucap wanita itu. Dilan terdiam, sejujurnya sejatinya sedikit ragu. Apakah menerima tawaran wanita itu atau tidak. Dilan berpi
“Lho, itu kan kakak ipar kamu Zia?” Tanya temen dia saat melihat Nazar, sedang mengorek-ngorek sampah. “Ah bukan, memangnya mana sih?” Jawab Zia, pura-pura tidak melihat kakak iparnya. “Itu lho, yang sedang ngorek-ngorek sampah,” jawab temannya sambil menunjuk ke arah Nazar.“Ah bukan, itu mungkin mirip,” jawab Zia.“Mataku masih normal Zia!,” ucap temannya yang merasa kesal. “Mana mungkin aku bohong,” lanjut temannya lagi. “Lho, memangnya aku mengatakan bohong? Tidak kan,” tukas Zia.“Sudah biarkan saja, mau kakak iparnya Zia, mau orang lain. Bukan urusan kita,” ucap temannya yang satu lagi. “Maksud aku nggak gitu sih, Aku cuma ngasih tahu Zia. Kalau ada kakak iparnya tadi,” tukas temannya.Saat Nazar keluar dari mobil. Zia bersama kedua temannya, juga melintas di jalan itu. Sedangkan Nazar, langsung mengorek-ngorek tong sampah, di tangannya ada karung kecil. Untuk mengumpulkan barang-barang rongsokan.“Mata kamu teliti juga ya, sampai bisa melihat orang itu kakak iparnya Zia,”