Istri anda tidak apa-apa tuan, cuma perlu istirahat beberapa hari, mungkin akibat kelelahan saja,” jawab dokter. Nazar bernafas dengan lega, ternyata istrinya tidak mengalami hal-hal yang tidak diinginkan. “Terima kasih,” ucap Nazar.“Nanti setelah di ruang perawatan, Tuan boleh menemani istri, kalau begitu saya permisi dulu,” dokter berlalu dari hadapan Nazar.Tak lama kemudian, pintu ruangan terbuka. Terlihat istrinya didorong di atas brankar dua peralatan medis terpasang di tubuh Zahra.Mata Zahra terlihat cekung, dan sekarang dalam keadaan sudah sadar. mendekati brankar. Petugas menghentikan dorongannya, lalu membungkuk hormat sama Nazar.“Sayang,” panggil Nazar pelan.Zahra hanya tersenyum samar, jemarinya dipegang mesra sama Nazar.“Cepat sembuh ya sayang,” ucap Nazar lembut.Si petugas itu lalu bergumam di dalam hatinya. “ Ish, romantis banget pasangan ini, bikin iri saja.”“Maaf permisi tuan,” ucap salah seorang petugas.Nazar lalu menoleh. “ Silakan.”Brankar kembali didoro
Zia dan Dilan menoleh ke arah sumber suara, ternyata seorang wanita sedang berdiri di dekat kasir.Wanita muda itu langsung berjalan mendekati meja Dilan.“Tumben makan di tempat model kayak gini? Sudah tidak punya uang ya? Atau habis buat hutan ibumu?” Tanya wanita itu dengan muka sinis.Sontak Zia langsung melebar matanya, dan menatapnya nyalang ke arah wanita itu.“Maksudnya Bu Lilis apa?” Tanya Dilan dengan wajah pucat. “Bilang sama ibu kamu! Cepat bayar cicilan baju! Masa punya anak seorang manajer! Baju saja ngutang sama saya!” Ucap wanita itu pedas. “Hah!” Pekik Zia.Beberapa orang yang sedang makan, langsung menoleh ke arah mereka bertiga. “Lho, bukannya sudah dibayar sama ibu? Maaf saya nggak tahu Bu?” Ucap Dilan sambil menahan malu. “Dibayar bagaimana menurutmu? Aku bicara begini, saking jengkelnya sama ibu kamu. Dan untung kita ketemu di sini,” jawab ibu itu. “Duh, kok punya calon mertua bikin malu saja sih,” Zia langsung menatap tajam ke arah Dilan.“Aku pulang Mas,”
Hanum dan Ahmad tidak bisa melarang Zia untuk ikut ke rumah sakit. “Awas, tiba di sana jangan buat keributan. Dan jangan bikin malu kami,” ucap Hanum wanti-wanti. “Tenang saja,” sahut Zia polos.“Itulah akibatnya, kalau tidak meminjamkan kalung sama adiknya sendiri. Tuhan langsung membalasnya,” cetus Zia.“Kamu ngomong apa sih Zia? Kakak kamu sedang sakit saat ini, kalau kamu memang mau ngomong macam-macam. Sudah jangan ikut,” ucap Hanum, dan langsung melarang Zia.“Ish, Orang cuma mau sedikit mengingatkan kok,” tukas Zia kesal.Hanum yang duduk di samping suaminya. Wajahnya terlihat kesal, bagaimana tidak, Zia kalau bicara selalu saja asal. Tidak peduli orang lain merasa sakit hati atau tidak. Tiba di rumah sakit, Ahmad langsung menuju lobby. Dan bertanya sama petugas di sana. “Oh, pak Ahmad sama Bu Hanum ya? Silakan naik lift khusus tamu, biar kami antar Pak,” jawab resepsionis sambil tersenyum ramah. Ahmad langsung heran, karena merasa mendapat perlakuan istimewa di rumah saki
Seorang pria yang berbadan besar, berdiri di ambang pintu Nazar langsung mendapatkan kedua alisnya. Pria itu langsung balik badan dan pergi. “Ayo kita pulang Ayah,” tiba-tiba Hanum mengajak suaminya pulang. “Lho, kenapa?” Tanya Zahra heran. “Ayahmu masih banyak pekerjaan, syukurlah kalau kamu sudah bisa pulang,” ucap Hanum sambil mengusap pucuk kepala Zahra. “Terima kasih Ayah, ibu. Sudah mau menengok Zahra ke sini,” ucap Nazar sambil tersenyum ramah. Zia langsung berjalan paling depan, tanpa berpamitan sedikitpun sama Nazar dan Zahra. Hanum cuma bisa menggelengkan kepalanya, dengan tingkah Zia yang minim adab.“Mas telepon ayah?” Tanya Zahra setelah mereka pulang. “Iya, setidaknya doa orang tua dibutuhkan,” jawab Nazar.Zahra langsung tersenyum, ternyata suaminya lebih mengerti dengan hal-hal yang tidak terpikir sama Zahra. “Ingat jaga kesehatan, tinggal semalam di rumah sakit. Rasanya bagaikan setahun,” lanjut Nazar.Zahra langsung terkekeh, melihat wajah suaminya. Jam 04.
“Bagaimana masalah pinjamanku?” Tanya Dilan. “Tenang saja, yang penting kamu mengikuti kemauanku,” jawab wanita itu. “Oke, Aku butuh uang untuk biaya pernikahanku, aku benar-benar dipusingkan dengan hal ini,” ucap Dilan.“Bagiku, masalah uang itu kecil. Asalkan kau benar-benar mau membantuku. Uang akan mudah Kau dapatkan.”“Benarkah?” Tanya Dilan dengan wajah kegirangan. “Buat apa aku bohong, aku sudah bilang dari tadi kan. Kamu bisa bantu aku, dalam sekali jentikan jari. Uang ada di tanganmu. Bagaimana kamu setuju dengan syarat yang diberikan?” Tanya wanita itu. “Baiklah, tapi apa syarat yang kamu berikan?” Tanya Dilan. “Tenang, aku rasa tidak berat. Dan hal yang gampang, nanti aku kasih tahu lewat pesan yang aku kirimkan,” ucap wanita itu. “Baiklah, tapi bisakah aku meminta sebagian dulu?” Tanya Dilan. “Bisa saja, tapi bikin dulu hitam di atas putih,” ucap wanita itu. Dilan terdiam, sejujurnya sejatinya sedikit ragu. Apakah menerima tawaran wanita itu atau tidak. Dilan berpi
“Lho, itu kan kakak ipar kamu Zia?” Tanya temen dia saat melihat Nazar, sedang mengorek-ngorek sampah. “Ah bukan, memangnya mana sih?” Jawab Zia, pura-pura tidak melihat kakak iparnya. “Itu lho, yang sedang ngorek-ngorek sampah,” jawab temannya sambil menunjuk ke arah Nazar.“Ah bukan, itu mungkin mirip,” jawab Zia.“Mataku masih normal Zia!,” ucap temannya yang merasa kesal. “Mana mungkin aku bohong,” lanjut temannya lagi. “Lho, memangnya aku mengatakan bohong? Tidak kan,” tukas Zia.“Sudah biarkan saja, mau kakak iparnya Zia, mau orang lain. Bukan urusan kita,” ucap temannya yang satu lagi. “Maksud aku nggak gitu sih, Aku cuma ngasih tahu Zia. Kalau ada kakak iparnya tadi,” tukas temannya.Saat Nazar keluar dari mobil. Zia bersama kedua temannya, juga melintas di jalan itu. Sedangkan Nazar, langsung mengorek-ngorek tong sampah, di tangannya ada karung kecil. Untuk mengumpulkan barang-barang rongsokan.“Mata kamu teliti juga ya, sampai bisa melihat orang itu kakak iparnya Zia,”
“Bukannya itu, calon ibu mertuamu?” Tanya temannya sambil menunjuk ke arah meja, yang diisi oleh 5 orang ibu-ibu. “Eh iya, ngapain ibu mertua gue ada di restoran ini ya,” jawab Zia.“Kamu tidak mau menyapanya?” Tanya teman Zia.“Ayo kita ke sana,” jawab Zia, lalu mengajak kedua temannya untuk mendekati calon ibu mertua Zia.“Ibu,” panggil Zia, setelah dihadapan ibunya Dilan. Ibunya Dilan langsung terperanjat, wajahnya tampak pucat pasi, karena melihat Zia, sedang berdiri tegak di hadapannya. “He, Zia! Lagi ngapain di sini?” Tanya ibu Dilan gugup.“Ini sama temen aku bu. Mereka berdua mengajak makan di sini,” jawab Zia, lalu meraih punggung tangan Ibu Dilan, dan menciumnya dengan takjim. “Oh.”“Jadi, ini calon menantunya?” Tanya salah seorang ibu-ibu. “Eh, iya,” jawab ibu Dilan masih kelihatan gugup. “ini lho, kami bareng-bareng makan di restoran ini, karena di traktir sama ibu Dilan,” celetuk salah seorang ibu-ibu.Wajah Zia sedikit nampak terkejut. “ Katanya tidak bisa membiay
“Mas,” panggil Zahra.“Iya,” jawab Nazar sambil menoleh ke arah istrinya. “Ada apa sayang?” Tanya Nazar. “Hmmmm, kalau aku nanya sesuatu mau dijawab nggak?” Tanya Zahra. “Mengenai apa?”“Tuh kan, kok wajahnya seperti orang kesal?” Tanya Zahra langsung merasa tidak enak. “Mau tanya apa sih?” Tanya Nazar sambil terkekeh. “Jujur saja mas……”Zahra malah menghentikan bicaranya, selalu menatap ke arah Nazar. Jantungnya berdetak keras, karena takut menyinggung perasaan Nazar. “Bicaralah,” ucap Nazar.“Anak-anak itu…..” Entah kenapa Zahra lidahnya begitu berat untuk bertanya. “Anak-anak yang mana?” Tanya Nazar sambil menoleh ke arah kanan dan kiri. “Ish, bukan itu yang aku tanyakan,” tukas Zahra.“Lalu anak-anak mana?” Tanya Nazar lagi. “Anak-anak yang di gedung itu mas. Kemarin aku melihat, Mas kasih makan sama mereka,” akhirnya Zahra menjawab pertanyaan suaminya. Wajah Nazar langsung berubah, matanya yang bulat itu, menatap tajam ke arah Zahra, seakan-akan siap memangsa musuhnya y
setelah kejadian itu, Nazar kondisinya semakin membaik. Zia tidak berani lagi menampakan wajahnya di rumah Zahra, barang-barang Zia diantar ke rumah Ahmad sama Pak Karni. "besok ikut sama mas," ucap Nazar setelah makan malam. Zahra mengganggukan kepalanya, karena mulutnya sedang penuh dengan makanan. keesokan harinya Zahra terlihat sangat cantik sekali, Dia memakai gaun dengan perhiasan yang sederhana tapi terlihat Elegan. Nazar berkali-kali mencium pipi istrinya. "ayah sama ibu langsung datang ya mas," ucap Zahra saat mereka sedang dalam perjalanan menuju perusahaan. Ahmad dan Hanum diundang ke acara ulang tahun perusahaan di mana tempat Zahra dulu bekerja. ternyata perusahaan itu milik Nazar. Nazar sengaja mengundang kedua orang tua Zahra ke acara ulang tahun perusahaan itu. "ayah, bukannya perusahaan ini tempat dulu Zahra bekerja ya?" tanya Hanum sedikit heran. "iya, kenapa Kita diundang ke perusahaan ini ya?" Ahmad malah balik bertanya. "aduh Ibu juga kurang paha
Zia benar-benar kesal sekali, karena selalu gagal menjebak Nazar kakak iparnya. Zia ingin memiliki Nazar dan menyingkirkan kakak sendiri. dirinya sudah bercerai dengan Dilan, karena Dilan saat ini benar-benar bangkrut, dan hidup bersama kedua orang tuanya. malah Nazar semakin terlihat lengket sama Zahra. Nazar sering memamerkan kemesraan dengan Zahra, di depan semua penghuni rumah termasuk Zia.bibir Zia selalu tersenyum sinis, melihat kemesraan antara Nazar dan Zahra. Zia semakin iri hati sama kakaknya sendiri. "mas, bolehkan aku bertemu dengan teman-teman?" tanya Zahra meminta izin sama suaminya untuk bertemu dengan Sinta dan Nita. Nazar mengganggukan kepalanya, jari-jari tangannya masih terlihat lincah dia mengetik huruf yang ada di laptop. cup.... Zahra mengecup pipi Nazar dengan mesra.jam 04.00 sore, Zahra sudah nangkring di depan kantor tempat Shinta dan Nita bekerja. rupanya Zahra sengaja menjemput temannya itu ke kantor. rencananya mereka akan pergi ke sebuah restoran sa
Zia langsung berlari naik ke lantai atas, dia masih terisak menangis, Zia benar-benar seorang artis drama Korea. Zahra menghembuskan nafasnya secara kasar, adiknya sudah keterlaluan. sampai-sampai masuk ke dalam kamar pribadinya. "Maafkan Aku," ucap Zahra lalu berjalan dan masuk ke dalam kamar, diikuti Nazar dari belakang. Zahra duduk di atas tempat tidur, air matanya mengalir di pipi, matanya terpejam. hati dia sebenarnya tidak tega memarahi adiknya. tapi harus bagaimana lagi Zia benar-benar keterlaluan. mata Zahra menangkap laci meja riasnya terbuka. Nazar yang baru masuk ke dalam kamar menautkan kedua alisnya melihat Zahra berjalan ke arah meja rias. "yang, ada apa?" tanya Nazar. Zahra tidak menjawab, lalu memeriksa lagi yang sudah terbuka. mata Zahra langsung memeriksa isi laci meja rias itu. tangannya sedang memeriksa barang yang ada di laci meja itu. terdengar suara ketukan pintu kamar. "siapa?" tanya Nazar. "saya tuan," rupanya Mbok Minah yang ada di luar kamar.
"saudara Fatih, Anda dinyatakan bersalah, Anda dihukum seumur hidup," hakim langsung mengetuk palu, setelah memberikan keputusan buat Fatih. Fatih terdiam saja sambil menundukkan kepalanya, dia tidak mau naik banding atau apapun. dia akan menjalani hukuman ini dengan ikhlas. percuma saja ada pengacara juga, kalau toh akhirnya dia masih tetap dihukum. Nazar dan Zahra bernapas dengan lega, karena Fatih dihukum sesuai keinginan Nazar. Fatih langsung digiring ke mobil tahanan, tidak berniat sedikitpun untuk mendekati Nazar atau Mirna yang datang bersama Pakde Seno. Lukman datang seorang seorang diri, duduk di samping Nazar, matanya terpejam saat mendengar keputusan dari hakim tadi. rasa perih dan lupa di bisa digambarkan dari ekspresi wajahnya. "ya Allah, tolong kuatkan Fatih jaga selalu anakku ya Allah, hanya itulah yang hamba bisa doakan," gumam Lukman dalam hati. Mirna langsung memeluk k Pakde Seno, hatinya merasa sakit, anak kesayangannya divonis seumur hidup di balik jeruji
"dasar pelayan tidak tahu diri! kenapa harus ikut makan bersama di meja makan ini" Zia terus saja ngomel-ngomel di dalam hatinya. Nazar serta yang lainnya terlihat santai menikmati makan malam. bahkan Zahra sesekali bercanda dengan adik iparnya. selesai makan, Naima langsung masuk ke kamarnya. begitu pula dengan Nazar dan Zahra.sedangkan Zia sejak tadi sudah terlebih dahulu naik ke lantai atas, mungkin karena hatinya kesal."besok Mas mau ke kantor polisi, Mas mau lihat keadaan Fatih. katanya persidangan Fatih baru minggu depan digelar," ucap Nazar."baiklah Mas," tapi jawaban Zahra terlihat dingin. Nazar merasa ada yang sedang dipikirkan sama Zahra."Kamu kenapa sih sayang?" tanya Nazar. "mas, aku kan keluar kerja, terus bagaimana dengan hidupku?" tanya Zahra seperti orang kebingungan. Nazar kaget mendengar jawaban istrinya, karena merasa aneh di telinga Nazar. "maksud kamu apa sih sayang? ya tidak apa-apa keluar kerja juga, toh, aku masih bisa menafkahi kamu.""tapi....." waj
"kenapa kak? kok malah membentak aku. Aku kan tanya dia itu siapa," tanya Zia sama Zahra. Zahra rasanya tidak punya muka lagi di depan keluarga suaminya, itu semua karena tingkah Zia yang sangat memalukan itu. "Siapa kamu sebenarnya?" tanya Zia sama Naima dengan tatapan mata menyelidiki.Sari datang sambil membawakan pesanan Naima, siomay yang sudah dikasih bumbu. "non Naima, ini siomaynya," ucap Sari sambil meletakkan piring siomay di depan Naima."terima kasih Bik Sari," ucap Naima."Kak Zahra mau?" tanya Naima, yang tidak menghiraukan pertanyaan Zia."terima kasih," jawab Zahra singkat, Karena hati Zahra masih kesal dengan tingkah Zia.Naima langsung memasukkan potongan siomay ikut dalam mulutnya. Zia menatap Naima dengan tatapan tak suka. "hei! kenapa kamu tidak menjawab pertanyaanku!" Zia membentak Naima, karena merasa jengkel, Naima tidak menjawab pertanyaannya. "Zia! jaga sikap kamu! kamu ingin tahu siapa dia!" malah Zahra yang terlihat emosi. "dia adik mas Nazar, pa
Mbok Minah langsung menoleh ke arah sumber suara, ternyata Naima sudah berdiri di Mbok Minah. Naima langsung memeluk Mbok Minah, sepertinya anak itu setiap ketemu selalu memeluk asisten rumah yang sudah lama mengabdi di keluarganya. "nduk, sepertinya sedang mendapat kebahagiaannya?" tebak Mbok Minah, karena melihat wajah Naima berbinar. "ah si mbok bisa saja bicara," jawab Naima lalu melepaskan pelukannya, lalu menyalami Sari dan Nani. "Mbok bikin apa sih? harum banget?" tanya Naima sambil menatap penggorengan. "ini, Sari dan Ani pingin makan camilan yang manis-manis," jawab Mbok Minah "semanis diriku ya?" seloroh Naima. "tentu," sahut mbok Minah. Naima dan Nazar selalu bersikap sopan terhadap orang yang lebih tua. meskipun mereka hanya seorang pelayan di rumahnya. tapi kedua orang tua Naima selalu mendidik adab dan sopan. begitu pula dengan Nazar, selalu menghormati orang-orang yang lebih tua usianya. walaupun kadang beda pendapat dan beda pemahaman. "Mas Nazar
Mata Nazar langsung melebar saat melihat penampilan adik iparnya. Nazar buru-buru membuang mukanya ke samping. bagi Nazar itu pemandangan sangat memuakan sekali. Zia terlihat berjalan lenggak-lenggok mendekati mereka berdua. Zahra menata penampilan adiknya sampai tidak berkedip. "hai kak Zahra," sapa Zia sambil melambaikan tangannya. Nazar dan Zahra malah saling melempar pandangan, mereka benar-benar heran melihat penampilan Zia seperti itu. "kok bengong sih kak Zahra? bagaimana penampilanku Kak?" tanya Zia sambil memutar badan. "ba__bagus," jawab Zahra terbata-bata."tentu dong, Aku sengaja datang ke sini tanpa memberitahu kak Zahra sama Mas Nazar," ucap Zia yang langsung berdiri di samping Nazar.tangan Zia langsung melingkar di lengan Nazar tanpa rasa malu sedikitpun. Zahra risih melihat pemandangan seperti itu." apa yang sebenarnya Zia inginkan?" tanya Zahra dalam hati."kak, bagaimana kalau aku tinggal di sini. aku bantu kakak merawat Mas Nazar, aku merasa kasihan sekali
"Maafkan aku Naima, bilang aku lancang mengeluarkan isi hatiku. jujur saja, Aku sudah lama menyimpan rasa ini. tapi aku takut mengungkapkan semuanya."wajah Budi terlihat serius, sedangkan Naima menundukkan kepalanya, hatinya berdebar kencang. entah perasaan apa yang sedang dirasakan Naima saat ini. "Apakah kamu menerima cintaku?" tanya Budi. Naima mengangkat kepalanya, manik bola matanya terlihat menatap ke arah Budi. Naima tersenyum manis."aku tidak mau berangan-angan tapi terlalu jauh. Mas Budi sudah memberikan perhatian yang lebih terhadapku, aku sudah merasakan apa yang buat Budi rasakan," ucap Naima.hati Budi langsung berbunga-bunga, yang tadinya masih kuncup, sekarang bunga-bunga Cinta sudah mulai bermekaran di dalam hatinya. saat Budi meraih jemari tangan lentik Naima. tiba-tiba Naima menjauhkan jari tangannya. "belum halal Mas, kalau sudah halal mau dipegang apapun bebas," ucap Naima sambil terkikik.Budi buru-buru menarik tangannya, merasa malu dengan ucapan Naima."ka