“Bisa apa?” Tanya Dilan langsung memotong ucapan ayahnya. “Kamu bisa pinjam dulu sama mertua kamu, bukannya mertua Kamu itu orang kaya raya. Lagian kan ini untuk kepentingan anaknya,” jawab ayah Dilan. Wajah Dilan nampak terkejut, karena tidak menyangka orang tuanya akan berkata seperti itu. “Nah, ide yang betul ayah. Kita pinjam saja sama orang tua Zia, pasti mereka memberikan pinjaman. Bahkan Zia sendiri yang ngotot, waktu itu kita sudah memberikan pilihan,” timpal ibu Dilan.“Aduh, kalau pinjam sama mereka. Di mana letak harga diri aku sebagai seorang laki-laki,” ucap Dilan dalam hati. Kebingungan mulai menyelimuti Dilan. Ternyata pernikahannya dengan Zia, mengalami kendala. Dan tidak semudah apa yang dibayangkan. “Coba dulu kamu bicara sama Zia. Siapa tahu dia setuju dengan usul kita ya, Bu,” ucap Ayah Dilan. “Betul, coba saja bicarakan berdua. Rasanya Ibu sudah angkat tangan, Ibu benar-benar tidak punya uang,” suara Ibu Dilan berubah ketus. “Iya, nanti Dilan bicarakan,” ja
Suara seorang pria, begitu menggelegar memenuhi ruangan Bella. Pria itu berdiri di ambang pintu, sambil berkacak panjang. “Zahra kembali ke ruangan!” Ucap pria itu tegas.Zahra langsung mengangguk hormat, dan kembali ke ruangannya. “Bella kamu bereskan pekerjaan itu!” Zahra mendengar suara bosnya memerintah sama Bella. Terlihat sang sekretaris langsung menundukkan kepalanya. “Jangan sesekali bicara keras! Camkan itu!” Sang Bos memberikan peringatan. Bos lalu keluar dari ruangan Bella. Bella mukanya langsung ditekuk, rasa kesal terhadap Zahra, terhenti karena sang Bos membela Zahra. Zahra kembali duduk ke ruangan, terlihat menghela nafasnya. “Memangnya kenapa kamu sampai terlambat?” Tanya rekan kerja Zahra.“Macet,” jawab Zahra singkat. “Sudah tahu macet kenapa tidak pagi-pagi berangkat,” ucap temannya. Zahra malah melengos membuang muka, hatinya masih kesal, baru saja beres masalah yang tadi. Terdengar lagi mulut nyinyir teman kerjanya. “Kalau memang macet jam 05.00 dong har
Mereka berdua menoleh ke arah sumber suara, ternyata Budianto berdiri di ambang pintu keluar rumah. “Ish, bikin ganggu saja tuh anak,” gerutu Nazar dengan wajah tidak suka. “Apa Mas?,” tanya Zahra yang mendengar omelan suaminya.“Enggak,” jawab Nazar singkat. Budianto tampak berjalan menuju arah Nazar. Tatapan Nazar begitu tajam, seperti siap menerkam mangsanya.“Tuan….” Ucapan Budi menggantung, saat Nazar menautkan kedua alisnya. “Kenapa bisa panggil Tuan sih?” Tanya Zahra tiba-tiba. “Ka___rena, sudah terbiasa nyonya,” jawab Budi gugup.“Suamiku bukan Tuhan kamu kan?” Tanya Zahra lagi. “Eh, iya Nyonya Nazar,” wajah Budi langsung pucat pasi. “Kamu benar anaknya Mbok Minah?” Tanya Zahra dengan tatapan menyelidiki.“Benar, dia adalah ibuku satu-satunya. Dan selamanya juga satu-satunya,” jawaban Budi, seketika membuat mata Zahra melebar, lalu tertawa tipis. “Ya tentu jadi ibu kamu selamanya, masa jadi ibu orang lain sih,” tukas Zahra.“Aku sedang ada urusan, kamu duluan!” Ucap Na
“Lho, kok aku seperti mengenali suara itu,” gumam Zahra sambil terus turun dari lantai atas. Suara itu makin jelas terdengar di telinga Zahra. Dengan langkah perlahan, Zahra terus menuruni anak tangga.Zahra melihat sosok seorang laki-laki, yang membelakangi tangga, ponsel menempel di telinganya. “Baik tuan putri,” ucap laki-laki itu sambil menutup teleponnya. “Itu Budianto kan?” Tanya Zahra dalam hati. “Siapa yang dimaksud dengan tuan putri!” Sentak Zahra. Budianto langsung terlonjak saking kagetnya, hampir saja ponsel yang dipegang langsung terlempar. Budianto mengembalikan badannya, matanya langsung melebar, saat melihat Zahra sudah berdiri di samping anak tangga. “Nyonya____” pekik Budianto. “Kenapa? Kamu kaget ya? Lagi ngapain kamu di sini? Teleponan tengah malam lagi. Memangnya siapa yang sedang kamu hubungi?” Pertanyaan dari mulut Zahra meluncur begitu saja. “Eh, anu, eh iya. Ini Nyonya,” jawab Budi gelagapan. “Jawab yang jujur!” Bentak Zahra.Wajah Budi langsung terl
“Maaf Nyonya, ini pesanan dari tuan. Silakan Nyonya pilih sesuai dengan keinginan Nyonya,” ucap pelayan itu dengan ramah. Zahra menautkan kedua alisnya, lalu menoleh ke arah suaminya. Nazar langsung pura-pura melihat ke atas langit-langit ruangan.“Taruh saja di bagasi mobil!” Perintah Nazar tiba-tiba. “Baik Tuan!” Pelayan itu langsung membungkuk hormat. Zahra kembali memilih kue kesukaannya, beberapa brownies dan kue sus yang Zahra pilih.Kue itu, langsung di bawa Zahra ke kasir. Dengan cekatan si pelayan memasukkan kue itu ke dalam bok kue toko itu.Saat Zahra hendak membayar kue. “ Tidak usah nyonya, sudah dibayar sama tuan,” pelayan itu langsung menyerahkan dua box kue.Zahra langsung mengambil paper bag itu dari tangan pelayan. Karena banyak bertanya pun percuma.Nazar sudah menunggu Zahra di mobil. “Sudah pesan kuenya sayang?” Tanya Nazar mesra. “Sudah, ternyata toko kue ini, toko langganan aku, aku sering datang ke sini,” jawab Zahra. Mobil langsung melesat pergi meningg
Semua orang menoleh ke arah Zia. Karena sedang asyik menikmati kue, lalu Hanum bertanya sama anaknya.“Mau bicara apa kamu, Zia? Jangan bicara yang aneh-aneh.”Zia terdiam, matanya terus memperhatikan kalung yang dipakai Zahra. “Mau bicara apa kamu?” Tanya Ahmad. “Boleh tidak aku pinjam kalungnya Kak?” Tanya Zia, tanpa rasa malu sedikitpun. “Hah!” Pekik Zahra, langsung menghentikan kunyahannya. “Tuh benar kan kata ibu, padahal sudah Ibu bilang, jangan aneh-aneh,” ucap Hanum kesal. “Zia kan cuma pinjam kalung sebentar, kok!” Sergah Zia.“Zia! Jangan bikin malu ayah. Di sini ada kakak iparmu! Tolong jaga sikap kamu!” Ayah Zahra langsung menegur anak bungsunya. “Cuma pinjam!” Zia mulai berani membentak ayahnya. “Zia!!! Kamu sudah keterlaluan! Masa sama ayah kamu berani membentak!” Zahra ikut menegur Zia. Yang dirasa sudah keterlaluan. “Kenapa sih! Ayah dan ibu selalu saja membela kak Zahra! Aku cuma pinjam kalungnya! Kalau tidak mau ngasih, ya sudah jangan marah-marah!” Ucap Zia
“Sudah! Zia! Bisa nggak sih! Mulut kamu itu dijaga, ayo Mas kita berangkat,” ajak Ahmad setelah menegur anak bungsunya. “Sudahlah Zia, kamu jangan bicara ngelantur ke mana-mana deh. Sekarang keluarga besar kita dipusingkan sama masalah kamu,” tukas Bude Wati.“Kita antar ayah,” ucap Nazar tiba-tiba. “Memangnya tidak apa-apa mengantar kami?” Tanya Ahmad. “Tidak apa-apa kok ayah,” jawab Nazar sambil menarik lembut tangan istrinya. “Awas! Jadi seorang pemulung itu jangan bikin malu di rumah keluarga calon suamiku ya,” sindir Zia.“Zia!!” Bentak Hanum.Akhirnya keempat orang itu berangkat menuju rumah Dilan.Pakde Seno langsung melebar matanya, saat Nazar masuk ke dalam mobil mewah. “Itu mobil suami kamu Zahra?” Tanya Pakde Seno. “Bukan, milik majikan Mas Nazar,” jawab Zahra. Pakde Seno langsung terdiam, lalu matanya melihat ke arah merek mobil yang dibawa sama Nazar. Zahra duduk di samping Nazar, sedangkan Pakde Seno dan ayahnya duduk di belakang. “Seumur hidup aku, usiaku yang
Ternyata ibunya Dilan yang membuka pintu. Wajahnya tampak terkejut, melihat kedatangan tamunya. “Eh, ada calon besan nih. Silakan masuk,” Ibu Dilan langsung membuka lebar pintu, mempersilahkan ke empat orang itu tamu itu masuk. Keempat orang itu langsung masuk, terlihat Ayah Dilan baru keluar dari kamar. Dan menyambut kedatangan tamunya. “Maaf kedatangan saya ke sini, untuk membicarakan, masalah yang kemarin,” ucap Pakde Seno setelah merasa suasana tenang. Ayah Dilan menoleh ke arah Pakde Seno. “Iya, saya sudah menduganya, tapi maaf….”“Tidak ada masalah, rencana pernikahan aku dengan Zia, tetap berjalan. Seperti rencana sebelumnya,” ucap Dilan.“Dilan! Kamu tahu sendiri kan! Bagaimana mencari biaya pernikahan yang begitu besar! Ayah dan ibu tidak sanggup!” Suara ayah Dilan meninggi. “Tenang saja Ayah, Dilan harus bertanggung jawab. Masa sih acara pesta pernikahan harus diundur, dan bagi Dilan rasanya tidak mungkin,” ucap Dilan dengan wajah meyakinkan. “Tapi…” Ibu Dilan nampak