Mereka berdua menoleh ke arah sumber suara, ternyata Budianto berdiri di ambang pintu keluar rumah. “Ish, bikin ganggu saja tuh anak,” gerutu Nazar dengan wajah tidak suka. “Apa Mas?,” tanya Zahra yang mendengar omelan suaminya.“Enggak,” jawab Nazar singkat. Budianto tampak berjalan menuju arah Nazar. Tatapan Nazar begitu tajam, seperti siap menerkam mangsanya.“Tuan….” Ucapan Budi menggantung, saat Nazar menautkan kedua alisnya. “Kenapa bisa panggil Tuan sih?” Tanya Zahra tiba-tiba. “Ka___rena, sudah terbiasa nyonya,” jawab Budi gugup.“Suamiku bukan Tuhan kamu kan?” Tanya Zahra lagi. “Eh, iya Nyonya Nazar,” wajah Budi langsung pucat pasi. “Kamu benar anaknya Mbok Minah?” Tanya Zahra dengan tatapan menyelidiki.“Benar, dia adalah ibuku satu-satunya. Dan selamanya juga satu-satunya,” jawaban Budi, seketika membuat mata Zahra melebar, lalu tertawa tipis. “Ya tentu jadi ibu kamu selamanya, masa jadi ibu orang lain sih,” tukas Zahra.“Aku sedang ada urusan, kamu duluan!” Ucap Na
“Lho, kok aku seperti mengenali suara itu,” gumam Zahra sambil terus turun dari lantai atas. Suara itu makin jelas terdengar di telinga Zahra. Dengan langkah perlahan, Zahra terus menuruni anak tangga.Zahra melihat sosok seorang laki-laki, yang membelakangi tangga, ponsel menempel di telinganya. “Baik tuan putri,” ucap laki-laki itu sambil menutup teleponnya. “Itu Budianto kan?” Tanya Zahra dalam hati. “Siapa yang dimaksud dengan tuan putri!” Sentak Zahra. Budianto langsung terlonjak saking kagetnya, hampir saja ponsel yang dipegang langsung terlempar. Budianto mengembalikan badannya, matanya langsung melebar, saat melihat Zahra sudah berdiri di samping anak tangga. “Nyonya____” pekik Budianto. “Kenapa? Kamu kaget ya? Lagi ngapain kamu di sini? Teleponan tengah malam lagi. Memangnya siapa yang sedang kamu hubungi?” Pertanyaan dari mulut Zahra meluncur begitu saja. “Eh, anu, eh iya. Ini Nyonya,” jawab Budi gelagapan. “Jawab yang jujur!” Bentak Zahra.Wajah Budi langsung terl
“Maaf Nyonya, ini pesanan dari tuan. Silakan Nyonya pilih sesuai dengan keinginan Nyonya,” ucap pelayan itu dengan ramah. Zahra menautkan kedua alisnya, lalu menoleh ke arah suaminya. Nazar langsung pura-pura melihat ke atas langit-langit ruangan.“Taruh saja di bagasi mobil!” Perintah Nazar tiba-tiba. “Baik Tuan!” Pelayan itu langsung membungkuk hormat. Zahra kembali memilih kue kesukaannya, beberapa brownies dan kue sus yang Zahra pilih.Kue itu, langsung di bawa Zahra ke kasir. Dengan cekatan si pelayan memasukkan kue itu ke dalam bok kue toko itu.Saat Zahra hendak membayar kue. “ Tidak usah nyonya, sudah dibayar sama tuan,” pelayan itu langsung menyerahkan dua box kue.Zahra langsung mengambil paper bag itu dari tangan pelayan. Karena banyak bertanya pun percuma.Nazar sudah menunggu Zahra di mobil. “Sudah pesan kuenya sayang?” Tanya Nazar mesra. “Sudah, ternyata toko kue ini, toko langganan aku, aku sering datang ke sini,” jawab Zahra. Mobil langsung melesat pergi meningg
Semua orang menoleh ke arah Zia. Karena sedang asyik menikmati kue, lalu Hanum bertanya sama anaknya.“Mau bicara apa kamu, Zia? Jangan bicara yang aneh-aneh.”Zia terdiam, matanya terus memperhatikan kalung yang dipakai Zahra. “Mau bicara apa kamu?” Tanya Ahmad. “Boleh tidak aku pinjam kalungnya Kak?” Tanya Zia, tanpa rasa malu sedikitpun. “Hah!” Pekik Zahra, langsung menghentikan kunyahannya. “Tuh benar kan kata ibu, padahal sudah Ibu bilang, jangan aneh-aneh,” ucap Hanum kesal. “Zia kan cuma pinjam kalung sebentar, kok!” Sergah Zia.“Zia! Jangan bikin malu ayah. Di sini ada kakak iparmu! Tolong jaga sikap kamu!” Ayah Zahra langsung menegur anak bungsunya. “Cuma pinjam!” Zia mulai berani membentak ayahnya. “Zia!!! Kamu sudah keterlaluan! Masa sama ayah kamu berani membentak!” Zahra ikut menegur Zia. Yang dirasa sudah keterlaluan. “Kenapa sih! Ayah dan ibu selalu saja membela kak Zahra! Aku cuma pinjam kalungnya! Kalau tidak mau ngasih, ya sudah jangan marah-marah!” Ucap Zia
“Sudah! Zia! Bisa nggak sih! Mulut kamu itu dijaga, ayo Mas kita berangkat,” ajak Ahmad setelah menegur anak bungsunya. “Sudahlah Zia, kamu jangan bicara ngelantur ke mana-mana deh. Sekarang keluarga besar kita dipusingkan sama masalah kamu,” tukas Bude Wati.“Kita antar ayah,” ucap Nazar tiba-tiba. “Memangnya tidak apa-apa mengantar kami?” Tanya Ahmad. “Tidak apa-apa kok ayah,” jawab Nazar sambil menarik lembut tangan istrinya. “Awas! Jadi seorang pemulung itu jangan bikin malu di rumah keluarga calon suamiku ya,” sindir Zia.“Zia!!” Bentak Hanum.Akhirnya keempat orang itu berangkat menuju rumah Dilan.Pakde Seno langsung melebar matanya, saat Nazar masuk ke dalam mobil mewah. “Itu mobil suami kamu Zahra?” Tanya Pakde Seno. “Bukan, milik majikan Mas Nazar,” jawab Zahra. Pakde Seno langsung terdiam, lalu matanya melihat ke arah merek mobil yang dibawa sama Nazar. Zahra duduk di samping Nazar, sedangkan Pakde Seno dan ayahnya duduk di belakang. “Seumur hidup aku, usiaku yang
Ternyata ibunya Dilan yang membuka pintu. Wajahnya tampak terkejut, melihat kedatangan tamunya. “Eh, ada calon besan nih. Silakan masuk,” Ibu Dilan langsung membuka lebar pintu, mempersilahkan ke empat orang itu tamu itu masuk. Keempat orang itu langsung masuk, terlihat Ayah Dilan baru keluar dari kamar. Dan menyambut kedatangan tamunya. “Maaf kedatangan saya ke sini, untuk membicarakan, masalah yang kemarin,” ucap Pakde Seno setelah merasa suasana tenang. Ayah Dilan menoleh ke arah Pakde Seno. “Iya, saya sudah menduganya, tapi maaf….”“Tidak ada masalah, rencana pernikahan aku dengan Zia, tetap berjalan. Seperti rencana sebelumnya,” ucap Dilan.“Dilan! Kamu tahu sendiri kan! Bagaimana mencari biaya pernikahan yang begitu besar! Ayah dan ibu tidak sanggup!” Suara ayah Dilan meninggi. “Tenang saja Ayah, Dilan harus bertanggung jawab. Masa sih acara pesta pernikahan harus diundur, dan bagi Dilan rasanya tidak mungkin,” ucap Dilan dengan wajah meyakinkan. “Tapi…” Ibu Dilan nampak
Tapi anehnya, ketukan pintu itu tidak terdengar lagi. Malah Zahra mendengar suara langkah kaki yang menjauhi kamarnya. “Aduh, kok merinding begini ya. Masa rumah semewah ini ada hantunya?” Tanya Zahra dalam hati. Jantung Zahra langsung berdetak keras. Apalagi saat ini suaminya tidak berada di samping Zahra.Zahra langsung menyembunyikan tubuhnya dibalik selimut tebal. Ingin rasanya melihat makhluk yang mengetuk pintu. Tapi Zahra tidak ada keberanian. Zahra masih terus bertanya-tanya di dalam hatinya, sampai akhirnya matanya tidak kuat, dan langsung tertidur. Keesokan harinya, saat Zahra membuka mata. Karena Zahra sudah terbiasa bangun pagi hari.Ternyata Nazar sudah tidur di samping. Zahra sudah tidak kaget lagi, mungkin karena sudah mulai terbiasa.Aktivitas Zahra, seperti hari yang sudah-sudah. Tidak ada yang spesial, walaupun hati Zahra bertanya-tanya, pekerjaan suaminya sebagai seorang pemulung. Tapi kok bisa tinggal di rumah semewah ini. Tapi sayang, sampai saat ini Zahra ti
Mobil hitam itu berbelok ke arah kanan. Zahra dan tukang ojek terus mengikutinya. “Jangan sampai kehilangan jejak ya pak,” Zahra wanti-wanti sama tukang ojek. “Tenang saja, Saya pasti bayar lebih,” lanjut Zahra lagi. Wajah tukang ojek langsung kelihatan bersemangat, karena mendengar imbalannya akan dilebihkan. Mata Zahra terus menatap ke arah mobil yang dikendarai Budi. Sampai akhirnya mobil hitam itu berhenti di sebuah pinggiran sungai. “ Berhenti Pak,” ucap Zahra sambil menepuk pundak tukang ojek.Dengan perlahan, ojek online itu langsung berhenti, dengan jarak yang lumayan jauh dengan mobil hitam itu. Zahra melihat Budi keluar dari mobil, sambil mengangkat kantong besar hitam itu. Saat pintu samping kiri terbuka, Zahra melihat sepasang kaki turun. Zahra terus memperhatikan. Saat sesosok tubuh turun dari mobil itu. Mata Zahra langsung melotot. “Mas Nazar!” Hampir saja suara Zahra terpetik, kalau tidak segera menutup mulutnya. “Pak, pulang saja. Soalnya takut lama nunggu say