"Bunda?" seru Dinka kepada bundanya yang sedang sibuk membereskan barang-barang yang akan dibawa kembali ke kampung.
"Jadi Dinka harus ikut pulang ke kampung?" tanya Dinka dengan nada memelas.
"Iya, mau gimana lagi? Orang-orang di komplek ini sudah pergi mengungsi semua. Lagipula kakakmu juga ikut balik ke kampung. Memangnya kamu mau tinggal di sini sendiri? Tinggal di sini dengan keadaan rumah yang sudah retak semua?" tutur bundanya sembari mengedarkan pandangannya melihat rumah yang sudah retak dan barang-barang yang berserakan.
Tak lama kemudian semua tiba-tiba saja terdiam "tuhkan gempa lagi," lanjut Bunda Dinka.
Memang keadaan dimana kota tempat Dinka menimba ilmu tertimpa musibah yang mengakibatkan hampir semua penghuni kota itu memilih untuk mengungsi ketempat yang lebih aman bahkan ada yang memilih untuk pulang kembali ke kampung halamannya sama seperti Dinka.
"Terus Dinka sekolahnya gimana? Masa Dinka gak sekolah?" ucap Dinka. Gadis itu memang selalu seperti tidak pernah hilang semangat untuk belajar dan menempuh pendidikan semenjak ia duduk di bangku sekolah.
Ucapan Dinka memberhentikan aktivitas bundanya yang mengemas barang. Bundanya menghela nafas, lalu menatap Dinka.
"Kamu pindah aja." putus sang Bunda.
"Gak bisa bunda, Dinka udah kelas 3 sekarang dan Dinka udah terdaftar di sini untuk ujian. Pasti gak dibolehin untuk pindah bunda," ucap Dinka memberi alasan. Lalu bundanya berpikir sejenak.
"Kamu mau sekolah titipan di kampung?" ide ayahnya yang sedang menyesap kopi hangat ikut angkat bicara.
Dinka dan bundanya menoleh.
"Selagi nunggu keadaan kota pulih kembali," lanjut ayahnya.
Dinka menghela nafas mendengar ucapan ayahnya, berpikir akan seperti apa jika dirinya menjadi siswa titipan layaknya siswa pindahan. Dirinya tidak bisa mencari alasan lagi selain mengiyakan ucapan sang ayah. Memikirkan dirinya untuk tetap tinggal di kota, apalagi gempa susulan masih saja datang adalah pilihan yang berat untuk dilaluinya.
"Ya udah deh, terserah ayah aja."
Walaupun keadaan yang paling tidak disukainya dan yang sangat dihindarinya sudah ada di depan mata, menjadi siswa baru.
***
Setelah seminggu tidak sekolah, Dinka tiba di sekolah bersama ayahnya. Ditemani ayah? tentu, karena Dinka bukan pergi ke sekolahnya, tapi sekolah yang akan Dinka tempati untuk menempa ilmu dalam beberapa waktu kedepan. Waktu yang tidak bisa Dinka tentukan sampai kapan.
Dinka sebenarnya bersekolah di kota, hanya saja keadaan kota sedang tidak memungkinkan untuk beraktivitas seperti biasanya membuatnya dengan terpaksa harus kembali ke kampung halamannya karena keadaan di sini baik-baik saja. Semua sudah dipertimbangkan. Daripada tidak sekolah lebih baik sekolah titipan saja, walau pun pelajaran yang akan diterima mungkin saja berbeda, pikir Dinka.
Setelah bertemu kepala sekolah, ayah Dinka pulang ke rumah. Sedangkan Dinka diantar oleh kepala sekolah menuju kelas. Untung saja sudah waktunya masuk kelas. Jadi, tidak ada yang melihatnya. Tidak jadi pusat perhatian. Dinka tak perlu khawatir soal itu.
Berjalan di koridor sekolah, Dinka selalu saja berbicara dalam hati 'Semoga aja semuanya hari ini berjalan dengan baik.' sambil menarik dan menghembuskan nafasnya terus-menerus. Suara riuh dari beberapa kelas, menandakan kelas tersebut belum memulai pembelajaran. Tapi untunglah tidak ada yang menyadari kedatangannya.
"Nak, mari masuk ini kelasmu," ucap kepala sekolah menandakan Dinka sudah tiba di kelasnya.
"Iya pak." Lalu Dinka mengikuti langkah kepala sekolah yang masuk ke dalam kelas sambil memegang kedua ujung tali ranselnya.
Inilah yang paling dihindari, selalu saja seperti ini. Tidak di drama korea, di sinetron, di film bahkan di kehidupan asli sekali pun selalu saja seperti ini. Murid baru pasti jadi pusat perhatian dan Dinka tidak menyukai itu. Risih.
"Murid baru?"
"Itu Dinka kan? Bukannya dia sekolah di kota?"
"Mungkin saja sekolah titipan."
"Iya mungkin."
"Bukannya dulu dia gendut ya?"
"Tinggi ya ampun."
"Cantik."
Lagi-lagi, Risih. Bukannya apa-apa. Tapi aneh rasanya jadi pusat pembicaraan.
"Sudah-sudah, tolong diam dulu. Ini Dinka. Di sini dia berstatus sebagai siswa titipan. Kalian pasti sudah dengar beritakan?" jelas kepala sekolah.
"Iya pak," ucap para siswa dengan serempak.
"Jadi, tolong perlakukan Dinka seperti teman kalian sendiri. Jangan sampai bapak dengar ada yang mem-bully. Sudah terkena bencana, jangan kalian tambah bencana yang lain lagi," tutur kepala sekolah.
"Iya pak."
"Ya sudah, Nada?" ucap kepala sekolah sambil memanggil salah satu siswi.
"Iya pak," ucap salah satu siswi sambil mengangkat tangan kanannya. Nada duduk di kursi kedua dari depan sebelah kiri paling pojok.
"Nak Dinka silahkan duduk di kursi samping Nada."
"Iya, terima kasih pak." Baru saja Dinka akan melangkah, ada yang menyahut.
"Pak, Dinka gak disuruh perkenalan diri dulu?" Oh tidak. Jangan diingatkan. Pasti, setelah perkenalan diri ada pertanyaan yang aneh.
"Perlu perkenalan diri lagi? Kan bapak sudah nyebutin namanya." Huh, untung lah kepala sekolah mengerti.
"Masa bapak yang ngenalin dia, harusnya dia sendiri lah yang ngenalin diri diri! Udah gede kan? masa orang tua yang ngenalin!" ucap salah satu siswa sambil menatap DInka dengan bola mata yang dibesarkna seolah berceramah kepada Dinka.
Apalagi ini? Laki-laki di pojok kanan itu tidak cukup ya? Sudah dengan bebas nya mengatai dirinya dan tahu namanya. Mau apalagi dia?
Setelah dia mengatakan itu yang lainnya saling menyahuti menyetujui. Menyebalkan.
"Ya sudah, Dinka perkenalan diri kamu dulu ya?" Ujar kepala sekolah
Agar tidak dikatakan kurang ajar. Dinka menjawab, "iya pak." Lalu gadis itu mulai mengembangkan senyumnya.
"Assalammualaikum, dan selamat pagi. Perkenalkan nama saya Mauren Radinka biasa dipanggil Dinka, saya siswi dari SMA 3 Garuda, saya di sini sebagai siswa titipan. Saya harap teman-teman bisa menerima saya di sini untuk sementara waktu, terima kasih," ucap Dinka agak kaku yang diakhiri senyuman. Biar tidak dibilang sombong.
"Ya sudah Dinka kan sudah perkenalkan diri-.." Belum selesai kepala sekolah berbicara, anak laki-laki itu memotongnya, lagi. Ini baru yang namanya kurang ajar. Ah bukan, maksudnya tidak sopan.
"Tunggu dulu pak!" seru laki-laki itu.
"Apalagi nak Radit?" Oh, jadi namanya Radit.
"Dinka!" Radit memanggil.
Dengan perasaan tidak suka Dinka berusaha tersenyum dan mengeluarkan suara dengan tenangnya agar tidak dinilai buruk di hari pertamanya. Karena kata orang, kesan pertama itu sangat berarti untuk hari-hari berikutnya. "Iya?"
"Kalau itu sih saya tahu, nama kamu Dinka di sini sebagai siswa titipan," tutur Radit.
"Nak Radit ada yang mau ditanyakan lagi?" tanya kepala sekolah.
"Ada pak!"
"Silahkan tanya nak."
"Ini juga mau nanya pak!"
Songong sekali dia. Untung saja kepala sekolah tidak ambil pusing. Ah Dinka tidak ingin berurusan dengan Radit nantinya.
"Kamu tinggal di mana?" tanya Radit.
"Di daerah Rui" jawab Dinka seadanya.
Muncullah desas-desus, seperti.
"Rui lah. Jangan pura-pura lupa deh."
"Emang dia tinggal di sana Radit."
"Pura-pura lupa."
"Oh."
"Daerah pegunungan ternyata."
"Anak gunung dia."
"Satu daerah kita."
Sepertinya Radit ada lagi yang mau dikatakannya. "Oh berarti daerah tempat tinggal kita sama dong!" seru Radit seolah baru tahu.
"Emangnya kenapa kalau lo sama Dinka daerah tempat tinggalnya sama?" sahut teman sebangkunya, membuat Radit menoleh ke arah temannya sejenak. Lalu mengarahkan pandangannya lagi ke Dinka dan mengangkat sudut bibirnya, tersenyum menyebalkan menurt Dinka.
"Gue gak perlu khawatirlah kalau pacaran, jadi gak jauh-jauh. Kalau jauh cuma ngabisin ongkos," ucap Radit dengan percaya dirinya sambil memainkan alisnya naik-turun.
'Apaan sih dia. Dasar Kerdus!'
"Emangnya dia mau sama lo?" tanya teman Radit lagi.
"Pasti mau lah," ucap Radit sambil menaik-turunkan alisnya.
Terlalu percaya diri sekali dia. Huh ini baru hari pertama, bagaimana hari-hari berikutnya? Sepertinya harus siap-siapkan telinga yang kuat dan hati yang sabar.
"Pede banget sih lo!"
"Huuuu!!"
"Vania mau lo kemanain?"
"Ketika musuh jatuh cinta."
'Vania? Siapa dia?' ucap Dinka dalam hati.
"Adek kelas mau lo kemanain?"
'Apakah Vania itu adik kelas?' pikir Dinka, 'Aishh untuk apa juga ngurusin!'
"Sudah-sudah jangan ribut, kelas lain sedang belajar." Upss, kepala sekolah masih ada di sini.
"Untuk selanjutnya silahkan tanya secara pribadi saja dengan Dinka, sekarang pelajaran apa?" seru kepala sekolah sambil bertanya.
"Seni budaya pak."
"Ibu Tika ya?"
"Iya pak!"
"Ibu Tika sedang sakit. Jadi jam pertama dan kedua kalian kosong, kalian belajar sendiri dulu. Bapak harap tidak ada yang keluar kelas dan tidak buat keributan," jelas kepala sekolah.
"Iya Pak."
"Dinka silahkan duduk," seru kepala sekolah.
"Iya pak," ucap Dinka. Mendengar seruan kepala sekolah langsung saja Dinka duduk di bangku samping Nada.
"Ok, bapak kembali ke ruangan bapak ya. Jangan ribut." pamit kepala sekolah
"Iya pak."
Belum berapa lama kepala sekolah keluar, kelas ribut kembali. Dasar! Sebagian para perempuan dan tidak dipungkiri ternyata beberapa dari laki-lakinya juga menghampiri Dinka.
Saling berkenalan dan menanyakan banyak hal. Seperti Kenapa hanya jadi siswa titipan? Kenapa tidak pindah saja? minta nomor WA lah, nama F******k lah, nama I*******m lah, masih banyak lagi. Ah ada juga yang tiba-tiba datang menghampiri sambil membawa gitar. Dia menyanyi sambil diiringi gitar. Suaranya cukup menghibur Dinka.
Ternyata apa yang terjadi tidak seburuk ekspektasi Dinka. Mereka bukan seperti anak-anak jaman sekarang. Yang jika tidak suka pasti mem-bully. Reaksi mereka biasa-biasa saja. Syukurlah.
"Permisi pangeran mau menghampiri sang putri."
Kalian tahu itu siapa? Itu Radit. Setelah dia berbicara seperti itu, entah kenapa yang lain nya bubar begitu saja. Mau apalagi dia?
"Pangeran? Pangeran tidur dit?" kalau tidak salah sih namanya Owen. Owen juga ikut bubar dan kembali duduk di kursinya.
"Nggak," Seakan tak ambil pusing dengan ucapan Owen, Radit melanjutkan perkataannya dengan menatap Dinka. "Tapi gue itu pangeran masa depan yang nanti datang ke rumah Dinka. Minta restu biar Dinka jadi putri yang mendampingi sang pangeran."
ewww, sok banget! apakah masih jamannya gombal seperti itu?
"Huekk!" Reaksi dari beberapa siswa kelas yang mendengar perkataan Radit.
"Dinka kenalin saya Radit, Pangeran masa depanmu," ucap Radit dengan percaya diri sambil mengulurkan tangan kanannya.
"Dinka, bukan putri masa depanmu," kata Dinka sambil menjabat tangan Radit.
"Anjay, hahaha."
"Dinka, kalau ada yang ingin kenalan sama kamu dan ngejulurin tangannya, kamu jangan mau ya?" seru Radit.
"Kan cuma pengen kenalan. Kenapa jangan?" tanya Dinka dengan sewot kepada orang songong yang baru ditemuinya beberapa menit.
"Kenalan boleh, tapi jangan terima uluran tangannya," tawab Radit.
"Kenapa?" tanya Dinka lagi.
"Nanti kamu diculik lagi. Saya takut dan gak mau kamu diambil orang," jelas Radit.
"Tapi tadi saya terima uluran tangan kamu, saya gapapa kan?"
"Iya, itu karena saya gak ada maksud jahat sama kamu," ucap Radit.
"Ada maksud jahat tuh Din, Radit nyari mangsa baru. Hati-hati kemakan omongan dia. Dia tuh playboy!" Terdengar suara dari kursi pojok, itu suara Owen. Ditengah keributan dalam kelas, Owen bisa mendengar ucapan Radit dan Dinka? Wow, tajam juga pendengarannya.
"Apaan sih Wen, diem deh. Kamu jangan percaya omongan si Owen. Dia bicara diluar fakta."
"Diluar fakta?" ucap Owen, menghampiri meja Dinka lagi. "Lo kan emang playboy. Iya kan Nad?" ucap Owen dengan memanas-manasi Radit seraya menoleh ke arah Nada.
"Iya Din, jangan percaya Radit," Nada ikut nimbrung walaupun dirinya sibuk dengan kaca kecil yang pas digenggamnya.
"Kalau playboy tuh, punya satu pacar," jawab Radit.
"Apaan! Mana ada playboy kayak lo punya satu pacar?!" ucap Nada tidak terima.
"Iya satu di sini, satu disana, satu di mana-mana." gurau Radit.
"Iya dan itu lo," Jawab Owen.
"Gak lah Wen, gue mana punya pacar."
"Untuk sekarang lo gak punya pacar, kan lo baru putus seminggu yang lalu sama Safa," jelas Owen.
"Kenapa bahas Safa sih? Dinka jangan dengerin Owen ya. Pokoknya jangan," Risih Radit. Radit kembali mengalihkan atensinya pada Dinka dan langsung menatap mata Dinka.
Dinka yang juga tak sengaja menatap Radit dengan sisa senyumnya tadi melihat debat keduanya langsung bersikap datar kembali. "Kenapa? Lagi pula seru."
"Seru apanya, dia sering buka aib orang. Udah ya pokoknya jangan dengerin Owen. Nanti saya marah sama kamu."
"Apa hak kamu marah ke saya?" Mendengar perkataan Dinka membuat Radit salah tingkah karena malu.
"Karena saya calon masa depanmu. Ok. Saya balik ke kursi saya dulu ya. Calonmu ini lagi mempersiapkan masa depan yang indah untuk kamu. Ayo Wen balik," ucap Radit berbalik menuju kursinya kembali. Tapi bukan Radit namanya, jika tak bisa menutupi rasa malunya. Apa kata dia? Calon masa depan? Ya ampun. Ada-ada saja.
Entah angin apa yang membawa Radit kembali ke meja Dinka. Menopang badannya dengan hentakkan tangan yang disengaja ke meja Dinka. "Kalau kangen bilang ya. Jangan dipendam. Gak enak," ucap Radit langsung kembali ke kursi sambil menarik tangan Owen.
Mata Dinka mengikuti arah langkah kaki Radit. "Radit emang gitu ya Nad?" tanya Dinka kepada Nada.
"Radit emang orangnya gitu. Suka ngegombal. Semua perempuan di sini udah kebal sama gombalan dia. Tapi, menurut gue sikapnya hari ini agak aneh sih," ucapan Nada membuat arah mata Dinka yang tadinya mengikuti langkah Radit menjadi berpaling ke Nada.
"Aneh gimana?" tanya Dinka yang penasaran.
"Dia biasanya gak nyapa orang yang baru dikenal kayak lo gini. Dia paling cuek sama orang baru," jelas Nada
"Beneran?"
"Beneran. Mungkin lo spesial buat dia."
"Spesial apaan!" kata Dinka tak ingin dibilang bawa perasaan.
"Mungkin sekarang lo ogah-ogahan sama Radit. Tapi..." ucapannya sengaja Nada gantung biar Dinka penasaran.
"Tapi?"
"Liat aja nanti," ucap Nada dengan senyum smirk-nya.
"Dan lo tetep harus hati-hati," lanjut Nada.
Sangat kebetulan setelah pembicaraan tersebut. Guru mata pelajaran selanjutnya datang.
"Apa semudah itu ketertarikan perempuan pada lawan jenis? Hanya sekedar mirip seseorang yang ia sukai?" Dinka"Cantik, gue tertarik sama lo." Seorang laki-laki"Saya harus bisa dekat sama kamu." Radit***Kriingggg...Bunyi bel, tanda istirahat tiba."Dinka ayo ke kantin. Kita makan," ajak Nada sembari mengisyaratkan dengat tangannya yang sedang makan kosong."Duluan aja. Lagian gue udah sarapan tadi di rumah," ucap Dinka."Oh, ok. Gue duluan ya," seru Nada. Setelah melihat Dinka mengangguk Nada menoleh ke bangku belakang, "Van ayoo."Van? Siapa? Nada bukan memanggil Dinka? Van panggilan yang berbeda dengan nama Dinka."Vania ayo!" ucap Nada agak keras, karena orang yang dipanggil tidak mendengarkan panggilannya.Tunggu dulu, Vania? Jadi Vani
"Maafin saya yang ngancurin kesan di hari pertama kita bertemu." Radit "Apapun akan gue lakuin untuk buat adek gue ceria lagi. Gue sayang adek gue." Sang kakak *** Kringgg... Bel panjang menandakan waktunya pulang, Dinka berjalan keluar kelas beriringan dengan Gea dan Tirni sambil menghembuskan nafas leganya. Betapa senangnya hati Dinka. Hari pertamanya masuk sekolah berjalan dengan baik. Walaupun lebih banyak jam kosong yang membuat Dinka merasa sedikit rugi. "Perhatian-perhatian, mohon maaf kepada bapak/ibu guru yang masih berada dalam kelas. Kepada seluruh siswa diharapkan segera menuju ke lapangan." "Itu ngapain semuanya disuruh ke lapangan?" tanya Dinka terheran walau pun sepertinya Dinka mengetahui arah dan tujuan suara itu. Perkataan itu sering Dinka dengar di SMA 3 Garuda.
"Pendiam, bukan berarti tidak memiliki umpatan jahat dalam hatinya." Dinka"Lo gakingetgue," Siswaosis***Pagi harinya, terlihat Dinka yang sudah memakai seragam sekolahnya sedang duduk di kursi berkumpul di meja makan bersama ayah, bunda dan kakaknya, Diki. Terlihat berbeda dari biasanya, Dinka makan dengan tentram tanpa ocehan bahkan sesekali melamun dan saat ditanya hanya menjawab jika Dinka memang ingin meresapi makanannya. Orang tua mereka menerima alasan si bungsu sedangkan Diki merasakan adiknya sedang berbohong. Usai sarapan Dinka bergegas ke bagasi untuk memanaskan motornya sejenak sebelum
" Gue lupa sama lo. Maaf"Dinka"Kenapa harus gagal lagi?"Radit***Setelah bubaran Apel siang. Dinka langsung menuju parkiran. Untuk mengambil motornya, agar ia cepat pulang. Karena Dinka berpikir ia harus dapat waktu tidur siang yang cukup agar sebentar malam tidak mengantuk di pasar malam. Tidak lucu kalau dirinya ketiduran di pasar malam.Namun sepertinya keinginan Dinka untuk cepat pulang tidak bisa terwujudkan karena masih menunggu siswa yang bernama Aryan itu untuk mengambil helmnya kembali. Dan Dinka tidak suka menunggu untuk hal yang tidak bisa dipastikan kapan datangnya. Sekolah sudah mulai agak sepi. Tapi Aryan belum juga kelihatan wujudnya. Dinka yang sudah k
"Bahagiaku adalah saat kamu tersenyum,"***Dinka sudah terbangun dari tidur siangnya. Betapa senangnya hati Dinka saat melihat notifikasi dihandphone-nya. Sebuah pesan yang berisi bahwa Dinka diberi izin oleh ayahnya untuk pergi ke pasar malam bersama Diki, kakaknya. Dinka langsung membangkitkan dirinya dari tempat tidur. Berlari menuju dapur mencari seseorang yang sangat ingin dipeluknya."Bunda?" panggil Dinka sambil masih melihat kesana-kemari."Ya nak, ada apa manggil-manggil?" sahut bunda Dinka dari dapur."Diki mana bun?" tanya Dinka dengan perasaan senangnya.
"Lucu ya, saling suka tapi terlalu malu mengungkapkan perasaan secara langsung, masih butuh perantara."***Dinka yang belum tidur masih tetap duduk di kursi dekat meja belajarnya. Mencoba fokus pada bukunya, tetapi ada hal yang membuatnya ingat akan sesuatu saat melihat luka di tangannya."Si Jay, gimana kabarnya ya?""Setiap gue luka, pasti dia yang ngobatin," ucap Dinka sambil mengusap pelan pergelangan tangan kiri yang telah diperban karena luka goresan."Jadi kangen," lirih Dinka.'Kalau kangen bilang ya. Jangan dipendam. Gak enak.'"Aish, kenapa saat lagi inget Jayden. Jadi inget dia juga sih. Ganggu. Hus huss," ucap Dinka mengetuk kepalanya dengan kepalan tangan kanannya lalu mengibas di depan mukanya seolah bayangan Radit ada di sana."Tapi ada benernya juga sih apa kata dia, mending gue telfon si Jayden aja ya,"
"Jadi ini ketertarikan yang dia maksud? lain kali tolong perjelas setiap kata yang ingin diutarakan. Jangan membuat orang merasa diistimewakan oleh suatu perkataan itu. Terlalu sakit untuk dibayangkan kembali." Dinka"Tertarik untuk berteman tidak salahkan?" Raka"Gue ingin cepat-cepat ada di samping lo. ngejaga lo dan ngejauhin lo dari orang yang ingin nyakitin lo." Jayden***Dinka sudah tiba di sekolah setengah jam lebih cepat, sekarang Dinka berada di parkiran sekolah dan Dinka bertemu dengan Aryan lagi di sana."Kak, sini helmnya," ucap Aryan dengan tidak semangat karena masih memikirkan Dinka
Usai mendengar keputusan sepihak Jayden. Dinka terlihat tidak semangat, sejak tadi Dinka sudah berada dalam kelas sedang duduk manis dan menatap kosong ponselnya. Kelas sedang sepi karena jam kosong masih berlanjut, hanya ada beberapa orang saja yang berada dalam kelas. Termasuk Gea yang pastinya sedang tidur dengan kepalanya yang bertumpu di meja beralaskan kedua tangannya.Dinka tidak bisa menelpon Jayden karena pulsa yang tidak mencukupi. Chat Online? Sudah banyak pesan yang Dinka kirimkan tapi Jayden tidak membacanya, padahal Jayden sedang aktif. Menelponnya lewat aplikasi? Sudah Dinka lakukan, semuanya sudah Dinka lakukan. Tapi tetap saja tidak direspon oleh Jayden.Teringat akan keputusan Jayden, Dinka lalu memberi kabar kepada kakaknya lewat pesan W***sA*p. Tidak lama kemudian Diki menelponnya."Ha--" Dinka baru saja mendekatkan ponselnya ke telinganya. Kakaknya sudah bicara duluan.