Home / Romansa / RADINKA / Chapter 7. Saling Suka

Share

Chapter 7. Saling Suka

"Lucu ya, saling suka tapi terlalu malu mengungkapkan perasaan secara langsung, masih butuh perantara."

***

Dinka yang belum tidur masih tetap duduk di kursi dekat meja belajarnya. Mencoba fokus pada bukunya, tetapi ada hal yang membuatnya ingat akan sesuatu saat melihat luka di tangannya.

"Si Jay, gimana kabarnya ya?"

"Setiap gue luka, pasti dia yang ngobatin," ucap Dinka sambil mengusap pelan pergelangan tangan kiri yang telah diperban karena luka goresan.

"Jadi kangen," lirih Dinka.

'Kalau kangen bilang ya. Jangan dipendam. Gak enak.'

"Aish, kenapa saat lagi inget Jayden. Jadi inget dia juga sih. Ganggu. Hus huss," ucap Dinka mengetuk kepalanya dengan kepalan tangan kanannya lalu mengibas di depan mukanya seolah bayangan Radit ada di sana.

"Tapi ada benernya juga sih apa kata dia, mending gue telfon si Jayden aja ya," ucap Dinka mengambil ponsel yang berada di sampingnya.

Saat membuka lockscreen, tangan Dinka tiba-tiba terhenti.

"Jam berapa ini?" tanya Dinka pada dirinya sendiri sambil menatap layar ponselnya.

"Jangan deh, udah malem. Takut ganggu," ucap Dinka setelah melihat ke arah jam.

"Gak ada pulsa juga," ucap Dinka dengan suara kecil seraya terkekeh sendiri.

Dinka lalu menaruh ponselnya dan kembali tenggelam ke dalam lamunannya sambil mengusap tangannya.

"Tapi gue kangen," rajuk Dinka menaruh kepalanya bersandar di meja belajar.

Tringg...

Bunyi dering ponsel yang membuat Dinka dengan semangat menegakkan tubuhnya dan cepat-cepat mengambilnya sambil berkata, "Jayden!" cicit Dinka.

Tetapi wajah senangnya langsung hilang begitu saja karena ternyata bukan Jayden yang menelpon-nya.

'Halo?'

Tapi Hani.

"Kenapa, Han?" ucap Dinka dengan nada yang agak 'ngambek' sambil beranjak dari kursi menuju kasurnya.

Hani yang tahu bagaimana sifat Dinka langsung angkat bicara, 'lagi badmood ya lo? Gak say hello dulu, langsung to the poin.'

"Iya, kenapa nelpon malem-malem?" tanya Dinka, walau sebenarnya tahu kenapa Hani menelpon.

'Cuma mau nelpon doang, nanya kabar gitu,' ucap Hani di seberang sana.

Dinka yang tahu akan tujuan Hani menelpon langsung berkata, "Diki-nya udah tidur palingan, gak ada suara gamenya lagi."

'Kok kak Diki sih?' ucap Hani mengelak.

"Emang tujuan lo nelpon gue pasti selalu tentang Diki kan? Pake alesan nanya kabar segala, padahal barusan kemaren nelpon. Dasar."

'Hehe.'

"Ketahuan kali. Oh iya, Han?"

'Apaan?'

"Kemarin kan lo nelpon, malemnya Diki nanya lo. Tapi gak nelpon balik soalnya di rumah gue agak susah nyari jaringan. Udah ya gue udah ngasi info juga kan?" jelas Dinka sambil ingin membaringkan tubuhnya ke ranjang.

'Jangan dulu,' tolak Hani membuat Dinka kembai menegakkan tubuhnya.

"Apalagi?" tanya Dinka.

'Lo gak mau tahu kabar Jayden gitu?' tanya Hani.

"Dia gak ada nelpon juga, ngapain gue harus tau," ucap Dinka dengan nada kesal padahal dalam hatinya Dinka ingin tahu bagaimana kabar Jayden.

'Jadi lo gak peduli sama Jayden nih?' imbuh Hani.

Peduli b*go! ucap Dinka dalam hati. "Emangnya dia ada nelpon sama lo?" timpal Dinka.

'Iya.' Mendengar jawaban dari Hani membuat Dinka kesal sendiri pada Jayden.

"Kok dia gak nelpon gue sih, malahan nelpon lo," protes Dinka.

'Cemburu nih?' goda Hani.

"Gak lah dia kan cuma sahabat gue. Udah intinya kabar Jayden gimana?" tanya Dinka.

'Ngebet banget buk?'

"Cepetan gue udah ngantuk nih!" kesal Dinka.

'Bilang aja kesel dia ngabarin nya lewat gue gak sama lo langsung,' ucap Hani mengejek Dinka, lalu melanjutkan perkataannya, 'Jayden sekarang di Jakarta sekalian ada acara keluarga katanya.'

"Itu doang?" tanya Dinka yang tidak percaya dan merasa tidak puas akan informasi yang dibagikan oleh teman perempuan satu-satunya yang bertahan di SMA saat di Kota, satu-satunya teman yang masih mau berteman dengannya setelah masalah yang menimpanya 2 tahun lalu.

'Di sana dia lagi lamaran Din!' Ucap Hani untuk mengelabuhi Dinka.

"Lo mau ngibulin gue? Yang lamaran kan sepupunya bukan dia," kata Dinka.

'Itu lo tau!' seru Hani.

"Sebelum bencana dia udah cerita sama gue, mau izin ke Jakarta karena sepupunya lamaran. Tapi gue gak tau kalau dia udah di Jakarta sekarang," jelas Dinka.

'Oh gitu toh," ejek Hani dengan nada menggoda Dinka yang sepertinya sedang ada dalam mode lampu hijau untuk Jayden.

"Tapi dia gak kenapa-kenapa kan? dia ada nanya gue gak?" tanya Dinka penasaran.

'Lecet doang siku nya. Kata dia pas gempa, lagi mau pulang dari ekskul terus bawa motor, jatuh deh,' jelas Hani.

"Tapi gapapa kan?" khawatir Dinka.

'Iya gapapa, dan dia ada nanya kabar lo kok.'

"Terus lo jawab apa?" tanya Dinka seraya memperbaiki duduknya yang bersila.

'Gue bilang aja lo luka-luka terus di rawat inap," tukas Hani sambil mengingat percakapannya dengan Jayden.

"Gue gapapa juga! lo bilang gitu. Ntar kalo kejadian beneran gimana!" ucap Dinka dengan kesal.

'Biasa aja dong, ibu negara yang takut bapak negaranya khawatir," ucap Hani.

"Terus responnya apa?" tanya Dinka mengabaikan gurauan sahabatnya.

'Pas gue bilang gitu, dia langsung panik gitu bilang mau ke bandara mau balik lagi ke sini. G*la gak?' ucap Hani dengan tertawa kecil.

"G*la banget."

'Karena gue gak nahan ketawa, gue bilang yang sebenernya gimana. Untung dia gak marah.'

"Jayden orangnya emang jarang marah," pendapat Dinka dengan suara kecil sambil mengingat bagaimana sifat sahabatnya yang satu itu.

Suasana yang hening sejenak membuat Hani kembali angkat bicara, 'Din, lo udah tahu gimana Jayden. Dia juga udah tau gimana lo, dia udah terang-terangan sama lo, apa-apa dia izin sama lo. Dia udah deket sama keluarga lo. Tinggal apa lagi coba?' ucapan Hani bertubi-tubi membuat Dinka terdiam sejenak.

'Tinggal gue yang belom bisa deket sama keluarganya,' sedih Dinka dalam hati mengingat bagaimana kerasnya pandangan orang tua Jayden terhadapnya.

Lalu terdengar suara Bunda Dinka dari luar, "Dinka, lagi nelpon sama siapa? Istirahat nak."

"Sebentar, Bunda. Dinka lagi nelpon sama Hani," ucap Dinka.

"Ya udah jangan terlalu ribut yaa, kakakmu udah tidur tuh," saran Bunda Dinka.

"Iya, Bunda."

'Bunda lo?' Tanya Hani.

"Iya, Han jaringan internet di sana udah stabil?" Ucap Dinka mengalihkan pembicaraan.

'Udah.'

"Ntar bilang ke Jayden nelponnya ke gue jangan ke lo," tutur Dinka.

'Segitu amat cemburunya, iya-iya.'

"Lo tahu? Tadi Diki ngajakin gue ke pasar malem," ucap Dinka dengan girang untuk mengalihkan pembicaraan yang mengarah tentang Jayden.

'Ke pasar malem? Lo makan gulali pasti.' tebak Hani.

"Kok lo tahu?"

'Lo ngomong langsung seneng gitu. Apalagi kalau bukan gulali kalo dihubungin sama pasar malem?'

"Hehe."

'Lo ke pasar malem cuma nyari gulali doang? Ntar sakit gigi. Gak seru juga dateng cuma makan gulali tapi gak main gitu?'  ceramah Hani.

Inilah yang disukai Dinka jika Hani dan Diki menjalin hubungan, mereka sepemikiran. Sayangnya, sejak dulu Diki memegang komitmen dan janji untuk tidak pacaran yang membuatnya menjadi kaku jika menjalin hubungan.

Sebenarnya Dinka iri sekaligus kesal pada kakaknya itu, Diki sudah diperbolehkan pacaran tapi tak ingin pacaran. Sedangkan ia tidak diperbolehkan pacaran padahal dirinya juga ingin pacaran.

"Rencana gue gak gitu sih, mau main wahana. Tapi gue ketimpa sial."

'Kenapa? Lo ketabrak orang?' tebak Hani lagi.

"Yup, dan tangan kiri gue luka."

'Luka nya gede?'

"Kegores doang. Jangan bilang Jayden ya?" pesan Dinka.

'Iya.'

"Udah ya, gue udah mau tidur."

'Iya. Bye.'

"Bye."

Setelah memutuskan sambungan telepon, Dinka langsung memilih untuk tidur.

***

Tepat pukul enam pagi, Dinka dan Diki sudah bangun untuk membantu ayah menjemur jagung yang telah dipanen kemarin di halaman samping rumah.

"Kak, kemarin malem Hani nelpon loh," ucap Dinka kepada Diki, setelah selesai menjemur jagung.

"Kapan?" tanya Diki menoleh ke arah Dinka.

"Kemaren malem," tegas Dinka yang gemas akan kakaknya padahal Dinka sudah mengatakan 'Kemarin malam'

"Iya kemaren malem, maksudnya itu pas apa? Pas gue ada di mana?"

"Passss.... Lo udah ke kamar, dia nelpon."

"Yahhh, kok gitu sih. Apakah ini pertanda gue gak jodoh sama Hani," ucap Diki dengan cemberut dan nada yang dramatis.

Dinka yang mendengar itu terkekeh karena berhasil membuat kakaknya percaya sampai sejauh ini akan perkataannya setengah tahun yang lalu. "Hani gak mau sama lo kak, katanya bukan kriterianya banget."

"Kenapa lo ketawa? Ngeledek?" tanya Diki keheranan melihat Dinka tertawa.

"Segitunya banget lo dikerjain adek lo sendiri," ucap Dinka sambil tertawa.

"Maksud lo?" tanya Diki yang tidak mengerti.

DInka melihat ayahnya yang sedang sibuk terlebih dahulu, setelah melihat kalau ayahnya tidak memperdulikan kegiatannya Dinka beralih ke kakaknya sambil memberi isyarat dengan tangannya menyuruh kakaknya untuk mendekat kepadanya, "Hani suka juga kali sama lo," bisik Dinka.

"Beneran lo?" tanya Diki yang tidak percaya.

"Iya! bahkan sebenernya dari yang kalian berdua bilang ke gue. Hani duluan yang bilang tertarik sama lo."

"Tapi dulu lo bilang Hani gak suka sama gue?!"

"Itu kan dulu, apalagi dulu itu bohong-bohong gue doang," ucap Dinka berlari menuju dapur.

"Awas ya lo!" ucap Diki mengejar Dinka.

"Aaaa bunda!" teriak Dinka.

"Nah kan, Dapet kan lo!" ucap Diki setelah memegang tangan Dinka.

"Nih rasain!" ucap Diki sambil menggelitiki pinggang Dinka.

"Aduh kak udah dong," ucap Dinka mencoba menghindar dari gelitikkan Diki.

"Gue bilangin bunda nih," ancam Dinka.

"Bunda! Diki udah pacarmmmm," belum selesai Dinka berucap, mulutnya sudah didekap oleh tangan Diki.

"Apa nak?" Tanya bunda.

"Gak kok bun!" Seru Diki yang masih membekap mulut Dinka dengan tangannya sambil tersenyum untuk meyakinkan sang bunda.

"Aww!!" teriak Diki saat merasakan tangannya digigit oleh Dinka.

"Sakit dek!" seru Diki.

"Rasain!"

"Dinka siap-siap sana," ucap bundanya.

"Iya bun," kata Dinka setelah itu berlalu menuju kamarnya sambil menjulurkan lidahnya meledek kakaknya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status