"Lucu ya, saling suka tapi terlalu malu mengungkapkan perasaan secara langsung, masih butuh perantara."
***
Dinka yang belum tidur masih tetap duduk di kursi dekat meja belajarnya. Mencoba fokus pada bukunya, tetapi ada hal yang membuatnya ingat akan sesuatu saat melihat luka di tangannya.
"Si Jay, gimana kabarnya ya?"
"Setiap gue luka, pasti dia yang ngobatin," ucap Dinka sambil mengusap pelan pergelangan tangan kiri yang telah diperban karena luka goresan.
"Jadi kangen," lirih Dinka.
'Kalau kangen bilang ya. Jangan dipendam. Gak enak.'
"Aish, kenapa saat lagi inget Jayden. Jadi inget dia juga sih. Ganggu. Hus huss," ucap Dinka mengetuk kepalanya dengan kepalan tangan kanannya lalu mengibas di depan mukanya seolah bayangan Radit ada di sana.
"Tapi ada benernya juga sih apa kata dia, mending gue telfon si Jayden aja ya," ucap Dinka mengambil ponsel yang berada di sampingnya.
Saat membuka lockscreen, tangan Dinka tiba-tiba terhenti.
"Jam berapa ini?" tanya Dinka pada dirinya sendiri sambil menatap layar ponselnya.
"Jangan deh, udah malem. Takut ganggu," ucap Dinka setelah melihat ke arah jam.
"Gak ada pulsa juga," ucap Dinka dengan suara kecil seraya terkekeh sendiri.
Dinka lalu menaruh ponselnya dan kembali tenggelam ke dalam lamunannya sambil mengusap tangannya.
"Tapi gue kangen," rajuk Dinka menaruh kepalanya bersandar di meja belajar.
Tringg...
Bunyi dering ponsel yang membuat Dinka dengan semangat menegakkan tubuhnya dan cepat-cepat mengambilnya sambil berkata, "Jayden!" cicit Dinka.
Tetapi wajah senangnya langsung hilang begitu saja karena ternyata bukan Jayden yang menelpon-nya.
'Halo?'
Tapi Hani.
"Kenapa, Han?" ucap Dinka dengan nada yang agak 'ngambek' sambil beranjak dari kursi menuju kasurnya.
Hani yang tahu bagaimana sifat Dinka langsung angkat bicara, 'lagi badmood ya lo? Gak say hello dulu, langsung to the poin.'
"Iya, kenapa nelpon malem-malem?" tanya Dinka, walau sebenarnya tahu kenapa Hani menelpon.
'Cuma mau nelpon doang, nanya kabar gitu,' ucap Hani di seberang sana.
Dinka yang tahu akan tujuan Hani menelpon langsung berkata, "Diki-nya udah tidur palingan, gak ada suara gamenya lagi."
'Kok kak Diki sih?' ucap Hani mengelak.
"Emang tujuan lo nelpon gue pasti selalu tentang Diki kan? Pake alesan nanya kabar segala, padahal barusan kemaren nelpon. Dasar."
'Hehe.'
"Ketahuan kali. Oh iya, Han?"
'Apaan?'
"Kemarin kan lo nelpon, malemnya Diki nanya lo. Tapi gak nelpon balik soalnya di rumah gue agak susah nyari jaringan. Udah ya gue udah ngasi info juga kan?" jelas Dinka sambil ingin membaringkan tubuhnya ke ranjang.
'Jangan dulu,' tolak Hani membuat Dinka kembai menegakkan tubuhnya.
"Apalagi?" tanya Dinka.
'Lo gak mau tahu kabar Jayden gitu?' tanya Hani.
"Dia gak ada nelpon juga, ngapain gue harus tau," ucap Dinka dengan nada kesal padahal dalam hatinya Dinka ingin tahu bagaimana kabar Jayden.
'Jadi lo gak peduli sama Jayden nih?' imbuh Hani.
Peduli b*go! ucap Dinka dalam hati. "Emangnya dia ada nelpon sama lo?" timpal Dinka.
'Iya.' Mendengar jawaban dari Hani membuat Dinka kesal sendiri pada Jayden.
"Kok dia gak nelpon gue sih, malahan nelpon lo," protes Dinka.
'Cemburu nih?' goda Hani.
"Gak lah dia kan cuma sahabat gue. Udah intinya kabar Jayden gimana?" tanya Dinka.
'Ngebet banget buk?'
"Cepetan gue udah ngantuk nih!" kesal Dinka.
'Bilang aja kesel dia ngabarin nya lewat gue gak sama lo langsung,' ucap Hani mengejek Dinka, lalu melanjutkan perkataannya, 'Jayden sekarang di Jakarta sekalian ada acara keluarga katanya.'
"Itu doang?" tanya Dinka yang tidak percaya dan merasa tidak puas akan informasi yang dibagikan oleh teman perempuan satu-satunya yang bertahan di SMA saat di Kota, satu-satunya teman yang masih mau berteman dengannya setelah masalah yang menimpanya 2 tahun lalu.
'Di sana dia lagi lamaran Din!' Ucap Hani untuk mengelabuhi Dinka.
"Lo mau ngibulin gue? Yang lamaran kan sepupunya bukan dia," kata Dinka.
'Itu lo tau!' seru Hani.
"Sebelum bencana dia udah cerita sama gue, mau izin ke Jakarta karena sepupunya lamaran. Tapi gue gak tau kalau dia udah di Jakarta sekarang," jelas Dinka.
'Oh gitu toh," ejek Hani dengan nada menggoda Dinka yang sepertinya sedang ada dalam mode lampu hijau untuk Jayden.
"Tapi dia gak kenapa-kenapa kan? dia ada nanya gue gak?" tanya Dinka penasaran.
'Lecet doang siku nya. Kata dia pas gempa, lagi mau pulang dari ekskul terus bawa motor, jatuh deh,' jelas Hani.
"Tapi gapapa kan?" khawatir Dinka.
'Iya gapapa, dan dia ada nanya kabar lo kok.'
"Terus lo jawab apa?" tanya Dinka seraya memperbaiki duduknya yang bersila.
'Gue bilang aja lo luka-luka terus di rawat inap," tukas Hani sambil mengingat percakapannya dengan Jayden.
"Gue gapapa juga! lo bilang gitu. Ntar kalo kejadian beneran gimana!" ucap Dinka dengan kesal.
'Biasa aja dong, ibu negara yang takut bapak negaranya khawatir," ucap Hani.
"Terus responnya apa?" tanya Dinka mengabaikan gurauan sahabatnya.
'Pas gue bilang gitu, dia langsung panik gitu bilang mau ke bandara mau balik lagi ke sini. G*la gak?' ucap Hani dengan tertawa kecil.
"G*la banget."
'Karena gue gak nahan ketawa, gue bilang yang sebenernya gimana. Untung dia gak marah.'
"Jayden orangnya emang jarang marah," pendapat Dinka dengan suara kecil sambil mengingat bagaimana sifat sahabatnya yang satu itu.
Suasana yang hening sejenak membuat Hani kembali angkat bicara, 'Din, lo udah tahu gimana Jayden. Dia juga udah tau gimana lo, dia udah terang-terangan sama lo, apa-apa dia izin sama lo. Dia udah deket sama keluarga lo. Tinggal apa lagi coba?' ucapan Hani bertubi-tubi membuat Dinka terdiam sejenak.
'Tinggal gue yang belom bisa deket sama keluarganya,' sedih Dinka dalam hati mengingat bagaimana kerasnya pandangan orang tua Jayden terhadapnya.
Lalu terdengar suara Bunda Dinka dari luar, "Dinka, lagi nelpon sama siapa? Istirahat nak."
"Sebentar, Bunda. Dinka lagi nelpon sama Hani," ucap Dinka.
"Ya udah jangan terlalu ribut yaa, kakakmu udah tidur tuh," saran Bunda Dinka.
"Iya, Bunda."
'Bunda lo?' Tanya Hani.
"Iya, Han jaringan internet di sana udah stabil?" Ucap Dinka mengalihkan pembicaraan.
'Udah.'
"Ntar bilang ke Jayden nelponnya ke gue jangan ke lo," tutur Dinka.
'Segitu amat cemburunya, iya-iya.'
"Lo tahu? Tadi Diki ngajakin gue ke pasar malem," ucap Dinka dengan girang untuk mengalihkan pembicaraan yang mengarah tentang Jayden.
'Ke pasar malem? Lo makan gulali pasti.' tebak Hani.
"Kok lo tahu?"
'Lo ngomong langsung seneng gitu. Apalagi kalau bukan gulali kalo dihubungin sama pasar malem?'
"Hehe."
'Lo ke pasar malem cuma nyari gulali doang? Ntar sakit gigi. Gak seru juga dateng cuma makan gulali tapi gak main gitu?' ceramah Hani.
Inilah yang disukai Dinka jika Hani dan Diki menjalin hubungan, mereka sepemikiran. Sayangnya, sejak dulu Diki memegang komitmen dan janji untuk tidak pacaran yang membuatnya menjadi kaku jika menjalin hubungan.
Sebenarnya Dinka iri sekaligus kesal pada kakaknya itu, Diki sudah diperbolehkan pacaran tapi tak ingin pacaran. Sedangkan ia tidak diperbolehkan pacaran padahal dirinya juga ingin pacaran.
"Rencana gue gak gitu sih, mau main wahana. Tapi gue ketimpa sial."
'Kenapa? Lo ketabrak orang?' tebak Hani lagi.
"Yup, dan tangan kiri gue luka."
'Luka nya gede?'
"Kegores doang. Jangan bilang Jayden ya?" pesan Dinka.
'Iya.'
"Udah ya, gue udah mau tidur."
'Iya. Bye.'
"Bye."
Setelah memutuskan sambungan telepon, Dinka langsung memilih untuk tidur.
***
Tepat pukul enam pagi, Dinka dan Diki sudah bangun untuk membantu ayah menjemur jagung yang telah dipanen kemarin di halaman samping rumah.
"Kak, kemarin malem Hani nelpon loh," ucap Dinka kepada Diki, setelah selesai menjemur jagung.
"Kapan?" tanya Diki menoleh ke arah Dinka.
"Kemaren malem," tegas Dinka yang gemas akan kakaknya padahal Dinka sudah mengatakan 'Kemarin malam'
"Iya kemaren malem, maksudnya itu pas apa? Pas gue ada di mana?"
"Passss.... Lo udah ke kamar, dia nelpon."
"Yahhh, kok gitu sih. Apakah ini pertanda gue gak jodoh sama Hani," ucap Diki dengan cemberut dan nada yang dramatis.
Dinka yang mendengar itu terkekeh karena berhasil membuat kakaknya percaya sampai sejauh ini akan perkataannya setengah tahun yang lalu. "Hani gak mau sama lo kak, katanya bukan kriterianya banget."
"Kenapa lo ketawa? Ngeledek?" tanya Diki keheranan melihat Dinka tertawa.
"Segitunya banget lo dikerjain adek lo sendiri," ucap Dinka sambil tertawa.
"Maksud lo?" tanya Diki yang tidak mengerti.
DInka melihat ayahnya yang sedang sibuk terlebih dahulu, setelah melihat kalau ayahnya tidak memperdulikan kegiatannya Dinka beralih ke kakaknya sambil memberi isyarat dengan tangannya menyuruh kakaknya untuk mendekat kepadanya, "Hani suka juga kali sama lo," bisik Dinka.
"Beneran lo?" tanya Diki yang tidak percaya.
"Iya! bahkan sebenernya dari yang kalian berdua bilang ke gue. Hani duluan yang bilang tertarik sama lo."
"Tapi dulu lo bilang Hani gak suka sama gue?!"
"Itu kan dulu, apalagi dulu itu bohong-bohong gue doang," ucap Dinka berlari menuju dapur.
"Awas ya lo!" ucap Diki mengejar Dinka.
"Aaaa bunda!" teriak Dinka.
"Nah kan, Dapet kan lo!" ucap Diki setelah memegang tangan Dinka.
"Nih rasain!" ucap Diki sambil menggelitiki pinggang Dinka.
"Aduh kak udah dong," ucap Dinka mencoba menghindar dari gelitikkan Diki.
"Gue bilangin bunda nih," ancam Dinka.
"Bunda! Diki udah pacarmmmm," belum selesai Dinka berucap, mulutnya sudah didekap oleh tangan Diki.
"Apa nak?" Tanya bunda.
"Gak kok bun!" Seru Diki yang masih membekap mulut Dinka dengan tangannya sambil tersenyum untuk meyakinkan sang bunda.
"Aww!!" teriak Diki saat merasakan tangannya digigit oleh Dinka.
"Sakit dek!" seru Diki.
"Rasain!"
"Dinka siap-siap sana," ucap bundanya.
"Iya bun," kata Dinka setelah itu berlalu menuju kamarnya sambil menjulurkan lidahnya meledek kakaknya.
"Jadi ini ketertarikan yang dia maksud? lain kali tolong perjelas setiap kata yang ingin diutarakan. Jangan membuat orang merasa diistimewakan oleh suatu perkataan itu. Terlalu sakit untuk dibayangkan kembali." Dinka"Tertarik untuk berteman tidak salahkan?" Raka"Gue ingin cepat-cepat ada di samping lo. ngejaga lo dan ngejauhin lo dari orang yang ingin nyakitin lo." Jayden***Dinka sudah tiba di sekolah setengah jam lebih cepat, sekarang Dinka berada di parkiran sekolah dan Dinka bertemu dengan Aryan lagi di sana."Kak, sini helmnya," ucap Aryan dengan tidak semangat karena masih memikirkan Dinka
Usai mendengar keputusan sepihak Jayden. Dinka terlihat tidak semangat, sejak tadi Dinka sudah berada dalam kelas sedang duduk manis dan menatap kosong ponselnya. Kelas sedang sepi karena jam kosong masih berlanjut, hanya ada beberapa orang saja yang berada dalam kelas. Termasuk Gea yang pastinya sedang tidur dengan kepalanya yang bertumpu di meja beralaskan kedua tangannya.Dinka tidak bisa menelpon Jayden karena pulsa yang tidak mencukupi. Chat Online? Sudah banyak pesan yang Dinka kirimkan tapi Jayden tidak membacanya, padahal Jayden sedang aktif. Menelponnya lewat aplikasi? Sudah Dinka lakukan, semuanya sudah Dinka lakukan. Tapi tetap saja tidak direspon oleh Jayden.Teringat akan keputusan Jayden, Dinka lalu memberi kabar kepada kakaknya lewat pesan W***sA*p. Tidak lama kemudian Diki menelponnya."Ha--" Dinka baru saja mendekatkan ponselnya ke telinganya. Kakaknya sudah bicara duluan.
Siapa pun akan mengatakan Jayden tidak waras. Demi Dinka, dia rela mengambil penerbangan malam itu juga menuju kota tempat dia tinggal setelah siang itu ia berbincang dengan Dinka. Pers*tan dengan orang tuanya yang selalu sibuk dengan pekerjaan mereka itu, yang pasti Jayden tidak akan melepaskan jangkauannya dari Dinka.Setelah 2 jam perjalanan, Jayden sudah sampai di Kota. Dia langsung menuju ke rumahnya, tanpa istirahat dahulu pemuda itu mengambil mobil untuk dikendarainya menuju kampung Dinka. Tenang saja, Jayden sudah memiliki izin untuk mengemudi.Nekat? Jangan ditanya lagi. Dia Jayden, demi Dinka orang yang dia sayang dan orang yang benar-benar mengubah hari-harinya menjadi berwarna apa pun akan dia lakukan. Walaupun dia harus menempuh perjalanan sekitar 7 jam menuju di mana sekarang Dinka tinggal. Dia akan melakukannya, walaupun di hari yang sudah larut malam."Tunggu gue Dinka," ucap Jayden yang sudah mengendarai mobilnya. Sendirian.***
"Dinka!" panggil Aryan menghampiri Dinka sudah sampai di parkiran sekolah."Siapa?" tanya Aryan saat melihat Dinka bersama Jayden turun dari motor. Jayden menggunakan seragam yang digunakan Diki sewaktu SMA."Temen gue, Yan. Mau sekolah titipan di sini juga, namanya Jayden," ucap Dinka memperkenalkan Jayden ke Aryan. Diikuti anggukan oleh Jayden dan Aryan."Gue Jayden, temen Dinka.""Oh, gue Aryan. Temen kecil Dinka. Kalau tingkatan sekolah, gue adik kelasnya," ucap Aryan memperkenalkan diri kepada Jayden."Yan, mulai hari ini gak usah taruh helm di kantor ya. Gue taruh di sadel motor aja. Kasian lo nya bolak balik kantor," tutur Dinka.Dibalas anggukkan oleh Aryan."Ya udah deh, terserah lo. Sekolah juga kemarin udah masang CCTV," ucap Aryan sambil menunjuk letak CCTV dipasang, "keren gak?""Iya,""Karena lo tau gak, Kepala Sekolah l
Satu minggu setelah Radit dan Jayden mengibarkan bendera perang. Dinka malahan terlihat semakin dekat dengan Radit karena sejak pertama perlakuan manis Radit yang memberikan klepon padanya membuat Dinka menimang kembali untuk bermusuhan dengan Radit. Tapi, bukan berarti ia menaruh hati pada Radit.Berita tentang Dinka yang menjadi bahan rebutan oleh dua orang ini pun masih saja menjadi perbincangan hangat satu sekolah. Kedekatan Dinka dan Radit pun semakin mudah terlihat karena pasar malam yang sekarang berjadwal di daerah tinggal Gadis itu, desa di mana Dinka dan Radit tinggal. Mereka berdua sering berpergian ke pasar malam bersama.Tentu saja, kedekatan mereka tidak mungkin tanpa gangguan dari Jayden. Jayden pastinya mengikuti mereka berdua ke pasar minggu menjadi dinding pemisah antara Radit dan Dinka.Dinka diberi izin pergi ke pasar malam jika ada Jayden yang menemaninya. Kata Diki, 'takut nanti ada orang jahat ya
Jayden dan Dinka sedang dalam perjalanan pulang sekolah, dengan motor yang Jayden kendarai dan Dinka yang diboncengi."Eh Jay? Maksud lo apaan jadiin gue bahan taruhan?" tanya Dinka mengingat kejadian seminggu yang lalu sembari menepuk keras pundak Jayden.Walaupun terkesan lambat Dinka bertanya, ia benar-benar ingin tau dari mulut Jayden langsung, dirinya kesal akan Jayden yang di hari pertamanya sudah buat ulah. Gosip tentang Dinka yang diperebutkan Jayden dan Radit sudah menyebar luas satu sekolah dan itu benar-benar membuat Dinka benar-benar kesal. Dinka sangat tidak suka jika dirinya menjadi bahan gosip orang-orang."Bukan maksud gue untuk buat lo jadi bahan taruhan Dinka, cuma gue gak suka aja kalau si Radit-Radit itu deket sama lo," ucap Jayden lumayan keras."Kan gue suka sama lo, wajar kalau gue cemburu!" teriak Jayden seraya menambah kecepatan motor dengan tiba-tiba karena kesal akan hadirnya Radit di skenario cintanya dengan Dinka.Dinka
Setelah kemarin bertemu dengan mantan yang tak diundang, Dinka terbangun karena mimpi buruk yang menyambutnya. Mimpi itu seolah menyambung dan tak ingin membuat Dinka tidur dengan nyenyak malamnya. Pagi hari penampakan tubuh Dinka yang bercucuran keringat, rambut yang basah, wajah pucat dan tangan yang gemetar sangat miris untuk melihat hal itu.Dinka yang benci traumanya kembali hinggap, berusaha meraih laci meja belajar dimana ia menyembunyikan obat yang selama ini masih ia minum diam-diam tanpa sepengetahuan Diki kalau-kalau ia mengalami trauma kembali.Dinka meminum obat itu dengan jumlah yang cukup banyak, berusaha menelannya dengan dibantu air minum yang tersisa sedikit sejak semalam. Sesak masih terasa, ia lakukan memukul pelan bagian dadanya untuk mencoba menghilangkan rasa sakit itu. Gadis itu berusaha untuk kembali normal, sebelum ia turun dan disambut oleh keluarganya di pagi hari
Dinka duduk bersila di rerumputan tepat pada lapangan luas sekolah. Tentu saja dirinya tidak bodoh, dirinya duduk di bawah pohon menghindari panasnya terik matahari.Dinka sedang meminum minuman gelas ditemani Gea dan Tirni di sampingnya. Gea dan Tirni sedang membicarakan cowok yang mereka sukai, kata yang lebih keren dikalangan kaum perempuan, curhat."Cowok mulu diurusin," sahut Dinka yang sedari tadi hanya menjadi pendengar curhatan para jomblo ngenes bawa perasaan."Emang lu mau tukeran jiwa?" ucap Gea."Mentang-mentang lo yang dikejar cowok-cowok, sok iye," seru Tirni dengan nada bercanda."Kalau keberuntungan gue kayak lo, kalau gue cantik kayak lo, udah dari dulu gue diem aja, biarin cowoknya yang dateng," iri Gea."Gak usah diomongin, cowok lo udah ada di depan mata," Tirni berucap sembari menyenggol tangan Dinka, lalu menunjuk dengan lirikan mata siapa yang datang