"Andra lo nggak sadar sama apa yang udah lo lakuin ke gue? Bukan lo yang tersakiti disini tapi gue, jadi jangan seolah-olah elo yang jadi korban!" ucap Dinka menunjuk dirinya sendiri dengan suara yang mulai hilang.
Andra yang sebenarnya juga tidak kuat kuasa menahan dan mendengar suara lirih Dinka mulai mengusak-usakan rambutnya ke belakang.
"Apa?!" tegas Andra. Andra menarik napasnya sebelum mengangkat bicara lagi.
"Apa yang gue nggak ngerti disini?! apa yang nggak gue sadar?! Gue lihat dengan mata kepala gue sendiri kalau lo jalan sama Jordan! Sepupu gue sendiri Dinka! Bahkan di jalan gue lihat lo pelukan sama dia, lo selingkuh Din! dasar murahan!" ucap Andra menahan suaranya agar tidak membesar dan didengar oleh orang-orang.
"Andra," ucap Dinka sekali lagi sambil memejamkan matanya sejenak lalu mulai mencoba berani menatap Andra dan dirinya sungguh-sungguh ingin menuntaskan percakapan ini walau dirinya
Sampai di rumah dengan cepat ayahnya mematikan motor dan mulai menarik kasar tangan Dinka untuk masuk ke dalam dapur, Dinka mulai ketakutan melihat ayahnya yang tak menunjukan wajah ramah seperti biasanya kepadanya.Plak!Terdengar suara tamparan berasal dari tangan sang ayah yang tak pernah menampar anak-anaknya itu. Dinka yang dihadiahi tamparan itu merasa kaget, dan langsung meneteskan air mata saking kuat dan sakitnya tamparan ayahnya.Bahkan tiga orang, Bunda, Jayden dan Diki yang berada di ruang tamu terkaget akan kejadian yang cepat terjadi itu."A-Ayah," ucap Diki ikut ketakutan melihat Dinka yang ditampar oleh ayahnya yang mulai menampakkan wajah beringasnya. Ayah dua anak itu mengabaikan ucapan Diki.Dinka yang tertunduk menahan tangis yang rasanya mulai meluruh akan tindakan ayahnya tidak pernah sekalipun marah kepadanya."Ayah gak pernah sekalipun ajar
Setelah diberikan izin oleh Jayden, Radit melangkah masuk ke ruang rawat Dinka, "Din, H-Hai.." sapa canggung Radit karena takut-takut akan membuat Dinka merasa tidak nyaman akan kehadirannya. Berbeda seperti biasanya, Radit melihat Dinka yang sekarang bukanlah Dinka yang ia temui sebelumnya, tatapan gadis itu seperti kosong tak ada maksud. Radit dengan perlahat mendekat sembari menarik sudut bibirnya untuk tersenyum. Namun tetap, hal yang ia dapatkan hanyalah kebisuan dalam ruangan itu, kedipan mata Dinka pun seperti tak memiliki arti manusia yang ingin melanjutkan hidupnya. Sangat kosong dan benar-benar kosong. Sama halnya saat tatapan Dinka melempar ke arah luar, Jayden yang sengaja mengintip dan mendapatkan tatapan seperti itu dari Dinka pun merasakan bahwa tatapan gadis itu hanyalah refleks tubuhnya tanpa terbawa perasaan apapun, seperti perasaan bernyawa namun terkesan mati. "Hai Din," sapa Radit lagi kepada Dinka yang tetap menatapnya diam. Radit tetap
Setelah tiga hari dirawat, Dinka memaksakan diri untuk ingin pulang. Bunda gadis itu pun yang ikut melihat perkembangan dan menjaga saat Dinka dirawat pun memilih mengiyakan Dinka untuk pulang ke rumah dari pada mendapat tatapan iba dari teman-teman kerjanya di puskesmas yang bisa saja mengganggu ketenangan Dinka.Diki yang hari itu memilih menunggu di rumah menyambut kepulangan adiknya dengan senyum serta tatapan hangat, saat Dinka menapakkan kakinya di halaman rumah, kakak gadis itu langsung berjalan cepat padanya memberikan pelukan kasih sayang pada gadis itu. Tidak ada yang boleh menyakiti adiknya.Diki tau tatapan takut Dinka pada ayahnya sendiri masih ada walaupun hari sebelumnya ayahnya sudah meminta maaf dan berakhir menangis bersama antara keluarga itu, karena itu jugalah Diki memilih mengalihkan perhatian ketakutan Dinka denga
Dinka menundukkan kepalanya menerima lemparan demi lemparan telur yang tertuju padanya, orang-orang yang melempari beberapa namun banyak yang ikut mengerumuni, mereka melakukan itu karena menganggap Dinka hanyalah pengganggu."Cuma titipan tapi sok ngelabrak Vania!""Lo bukan apa-apanya dibanding Vania!""Dibaikin ngelunjak!""Lepas jaket lo penyakitan!"Woi!" Radit menembus kerumunan diikuti Jayden, Radit menatap sejenak pada Vania sembari menghela napas lalu menatap kerumunan."Woo!""Pahlawannya dateng!""Kalian bisa gak sih gak ngebully orang?! Kalian gak tau maksud dibelakangnya! Gak usah sok tau! dan gak usah sok ngebela dan nyudutin orang lain!" Geram Radit menatap satu per satu pelaku yang melempari Dinka menggunakan telur.Radit menatap ke belakangnya melihat Dinka yang saat ini sedang pegang bahunya oleh Jayden, Radit memang berdiri menghalangi teman-temannya yang melempar Dinka berusaha menutup
"Bunda?" seru Dinka kepada bundanya yang sedang sibuk membereskan barang-barang yang akan dibawa kembali ke kampung."Jadi Dinka harus ikut pulang ke kampung?" tanya Dinka dengan nada memelas."Iya, mau gimana lagi? Orang-orang di komplek ini sudah pergi mengungsi semua. Lagipula kakakmu juga ikut balik ke kampung. Memangnya kamu mau tinggal di sini sendiri? Tinggal di sini dengan keadaan rumah yang sudah retak semua?" tutur bundanya sembari mengedarkan pandangannya melihat rumah yang sudah retak dan barang-barang yang berserakan.Tak lama kemudian semua tiba-tiba saja terdiam "tuhkan gempa lagi," lanjut Bunda Dinka.Memang keadaan dimana kota tempat Dinka menimba ilmu tertimpa musibah yang mengakibatkan hampir semua penghuni kota itu memilih untuk mengungsi ketempat yang lebih aman bahkan ada yang memilih untuk pulang kembali ke kampung halamannya sama seperti Dinka."Terus Dinka sekolahn
"Apa semudah itu ketertarikan perempuan pada lawan jenis? Hanya sekedar mirip seseorang yang ia sukai?" Dinka"Cantik, gue tertarik sama lo." Seorang laki-laki"Saya harus bisa dekat sama kamu." Radit***Kriingggg...Bunyi bel, tanda istirahat tiba."Dinka ayo ke kantin. Kita makan," ajak Nada sembari mengisyaratkan dengat tangannya yang sedang makan kosong."Duluan aja. Lagian gue udah sarapan tadi di rumah," ucap Dinka."Oh, ok. Gue duluan ya," seru Nada. Setelah melihat Dinka mengangguk Nada menoleh ke bangku belakang, "Van ayoo."Van? Siapa? Nada bukan memanggil Dinka? Van panggilan yang berbeda dengan nama Dinka."Vania ayo!" ucap Nada agak keras, karena orang yang dipanggil tidak mendengarkan panggilannya.Tunggu dulu, Vania? Jadi Vani
"Maafin saya yang ngancurin kesan di hari pertama kita bertemu." Radit "Apapun akan gue lakuin untuk buat adek gue ceria lagi. Gue sayang adek gue." Sang kakak *** Kringgg... Bel panjang menandakan waktunya pulang, Dinka berjalan keluar kelas beriringan dengan Gea dan Tirni sambil menghembuskan nafas leganya. Betapa senangnya hati Dinka. Hari pertamanya masuk sekolah berjalan dengan baik. Walaupun lebih banyak jam kosong yang membuat Dinka merasa sedikit rugi. "Perhatian-perhatian, mohon maaf kepada bapak/ibu guru yang masih berada dalam kelas. Kepada seluruh siswa diharapkan segera menuju ke lapangan." "Itu ngapain semuanya disuruh ke lapangan?" tanya Dinka terheran walau pun sepertinya Dinka mengetahui arah dan tujuan suara itu. Perkataan itu sering Dinka dengar di SMA 3 Garuda.
"Pendiam, bukan berarti tidak memiliki umpatan jahat dalam hatinya." Dinka"Lo gakingetgue," Siswaosis***Pagi harinya, terlihat Dinka yang sudah memakai seragam sekolahnya sedang duduk di kursi berkumpul di meja makan bersama ayah, bunda dan kakaknya, Diki. Terlihat berbeda dari biasanya, Dinka makan dengan tentram tanpa ocehan bahkan sesekali melamun dan saat ditanya hanya menjawab jika Dinka memang ingin meresapi makanannya. Orang tua mereka menerima alasan si bungsu sedangkan Diki merasakan adiknya sedang berbohong. Usai sarapan Dinka bergegas ke bagasi untuk memanaskan motornya sejenak sebelum