"Maafin saya yang ngancurin kesan di hari pertama kita bertemu." Radit
"Apapun akan gue lakuin untuk buat adek gue ceria lagi. Gue sayang adek gue." Sang kakak
***
Kringgg...
Bel panjang menandakan waktunya pulang, Dinka berjalan keluar kelas beriringan dengan Gea dan Tirni sambil menghembuskan nafas leganya. Betapa senangnya hati Dinka. Hari pertamanya masuk sekolah berjalan dengan baik. Walaupun lebih banyak jam kosong yang membuat Dinka merasa sedikit rugi.
"Perhatian-perhatian, mohon maaf kepada bapak/ibu guru yang masih berada dalam kelas. Kepada seluruh siswa diharapkan segera menuju ke lapangan."
"Itu ngapain semuanya disuruh ke lapangan?" tanya Dinka terheran walau pun sepertinya Dinka mengetahui arah dan tujuan suara itu. Perkataan itu sering Dinka dengar di SMA 3 Garuda.
"Di sini ada Apel siang. Kalau di SMA lo gimana? Ada Apel siangnya juga?" jawab Gea diselingi pertanyaan.
Dinka pikir SMA 1 Pusaka berbeda dengan SMA 3 Garuda. Ternyata sama saja. Di sini belum boleh pulang walau sudah selesai jam pelajaran. Masih ada Apel siang dulu.
"Ada sih. Tapi gue kira cuma di sekolah gue doang yang masih gunain Apel siang," jelas Dinka.
"Sekali lagi diharapkan kepada seluruh siswa agar segera menuju ke lapangan untuk Apel siang," terdengar lagi dari pusat suara.
"Yaudah yuk ke lapangan. Biar cepet pulangnya," ajak Tirni berjalan dengan senang sambil menarik sebelah tangan Gea dan Dinka.
"Lo semangat banget Apel siang Tir, padahal cuacanya panas banget," ucap Dinka.
Sambil berjalan Gea berucap, "kalau itu udah biasa Din, Tirni mau cepet-cepet liat dedek manisnya." seraya memainkan mengangkat-angkat alisnya.
Dinka peka dengan kode-kode anak jaman sekarang. Tapi tak ingin salah tangkap akan ucapan Gea, Dinka bertanya dengan pelan, "adek manis yang dimaksud itu adek kelas yang Tirni suka?"
"Yap," Gea membenarkan ucapan Dinka seraya mengangguk.
"Apaan sih, gak gitu ya. Cuma biar cepet pulang aja. Kan kalau cepet baris dengan rapi, cepet selesai Apelnya, jadi cepet juga pulangnya. Itu aja kok gak ada maksud lain," ucap Tirni mengelak akan apa yang dikatakan Gea dan Dinka.
Padahal saat berucap saja Tirni kelihatan gelagapan. Maklum perempuan, gerak-gerik yang salah tingkah, membuat orang tahu kalau dia suka sama seseorang. Sangat jelas terlihat jika dia sedang jatuh dalam namanya cinta monyet.
Hampir seluruh siswa sudah baris dengan rapi. Tinggal menunggu yang lain yang masih berjalan seperti tuan putri. Seolah tidak peduli dengan yang kepanasan seperti ikan teri.
"Woi cepetan dong!"
"Siput banget!"
"Udah kepanasan nih!"
Kira-kira itu beberapa seruan yang didengar Dinka. Beberapanya lagi ada yang mengucapkan kata-kata kasar, yang pasti tidak enak untuk didengar. Dinka hanya terdiam saja walau ikut merasakan panas. Andai saja Dinka di SMA 3 Garuda. Sudah pasti Dinka ikut juga berteriak kepanasan. Tapi, Dinka tahu tidak wajar untuk dia yang masih baru di sekolah ini. Dinka harus jaga santun.
Dinka berusaha sabar sambil melihat barisan di sebelah kanannya. Tidak, tapi melihat laki-laki itu. Terlalu senang menatap laki-laki itu hingga Dinka tersadar, tiba-tiba laki-laki itu menoleh dan menatap Dinka juga sambil tersenyum. Setelah ketahuan sedang menatap, Dinka menundukan kepalanya. Seolah tak terjadi apa-apa.
Doa bersama untuk pulang belum juga dimulai. Karena masih banyak yang berjalan kesana-kemari. Tiba-tiba ada yang memasangkan jaket di atas kepala Dinka.
"Biar gak kerasa banget panasnya."
Dinka mendongakkan kepalanya kembali dan menoleh ke samping kirinya, ternyata Radit yang memberikan jaket itu. Sambil memegang kedua ujung jaket Dinka menurunkannya bermaksud untuk mengembalikan, Dinka berucap, "gak usah, kamu aja."
Aish, sudah menjadi pusat perhatian karena kelakuan Radit, kenapa Dinka berucap masih menggunakan kata 'Kamu' sih kenapa gak pakai 'Lo' aja.
"Kamu aja, kamu perempuan. Saya kan laki-laki. Badan saya lebih kuat," tutur Radit sambil memperlihat kepalan kedua tangannya.
"Bukan berarti kamu laki-laki. Badan kamu lebih kuat," ucap Dinka karena tidak ingin kaumnya yaitu kaum perempuan direndahkan.
"Tapi emang kodratnya gitukan?"
"Dan faktanya gak gitu."
"Faktanya emang gitu."
"Mana buktinya?"
"Itu muka kamu udah merah," ucap Radit sambil menunjuk wajah Dinka, yang memang benar wajah Dinka sudah memerah.
"Muka saya emang gini kalau udah kena panas!"
"Itu yang ribut dua orang di barisan kelas XII IPA!!"
Tunggu ini bukan suara salah satu dari mereka berdua. Mata semua orang tertuju pada mereka berdua. Rasa malu menghampiri diri Dinka. Tapi tidak dengan Radit.
"Iya bu?" ada-ada saja Radit sudah jadi bahan perhatian semua orang. Tetap saja menjawab dengan lantang tanpa rasa takut. Guru yang berbicara di depan adalah guru piket hari ini sekaligus menjabat sebagai wakil kepala sekolah.
"Radit kenapa kamu ganggu murid baru itu?!"
"Saya gak ganggu dia bu."
"Terus kenapa kamu ribut dengan dia? Kamu juga murid baru kenapa pakai jaket di saat yang lain kepanasan?!" ucapan wakil kepala sekolah dengan menggunakan microphone. Membuat Dinka semakin malu.
Memang benar tidak ada yang boleh menggunakan jaket saat masih di area sekolah, tapi hampir dominan siswa membawa jaket karena menghindari panas saat pulang nanti.
Ditatap dan diiringi desas-desus seperti...
"Huhhhh!!"
"Masih baru aja kelakuan udah kayak gitu."
"Malu banget pasti."
"Ganjen banget sama Radit."
"Bukan salah dia juga."
"Jangan salahin Dinka."
"CCP." [CCP : Cari Cari Perhatian]
Memanglah sangat memalukan menurut Dinka, bahkan mata Dinka berkaca-kaca, katakanlah Dinka anak cengeng. Tapi, siapa mengira di hari pertama Dinka seorang siswi yang agak pendiam dan tidak pernah buat onar mendapat ujaran seperti itu. Di sekolah baru lagi. Katakanlah lagi Dinka cengeng padahal hal yang dihadapi hanya sepele. Tapi memang begitulah kepribadian Dinka.
Melihat Dinka yang berkaca-kaca. Radit berusaha melindungi Dinka dengan berkata.
"Bukan salah Dinka pakai jaket bu. Saya yang suruh Dinka pakai," ucap Radit dengan lantang dan suara yang keras.
"Kenapa kamu suruh Dinka pakai jaket, padahal kamu tahu aturan sekolah!"
"Ibu jauh, ibu gak liat Dinka mukanya udah merah. Kalau Dinka pingsan, ibu mau tanggung jawab?" tanya Radit lalu melanjutkan kembali ucapan yang ingin iya lontarkan sedari dulu namun ia pendam karena ia tahu akan terdengar kurang ajar, tapi hari ini dengan lantang berani ia ucapkan. "Atau gini deh bu! Ibu yang kesini berdiri di tengah lapangan juga, masa ibu berdiri di koridor!" seru Radit.
Ucapan Radit membuat hampir semua siswa-siswi menoleh ke arahnya, sedikit hening namun ada yang berbisik memuji keberanian Radit. Sedangkan ibu guru yang mendapatkan ucapan itu terdiam dan mulai berdeham untuk menetralkan perasaan malunya.
Setelah Radit berucap seperti itu, Keadaan kembali seperti semula, tidak ribut lagi. Begitulah Radit, dia akan menunjukan jika yang dilakukannya itu memang benar.
"Ok, maafkan ibu. Ya sudah ketua osis pimpin doa."
Selama berdoa, Dinka dapat mendengar suara Radit walau suara yang dikeluarkan Radit memang kecil, "maafin saya ya Din, buat kamu nangis di hari pertama kita ketemu."
Walaupun Dinka tidak menjawab ucapan Radit. Tapi, dalam hati Dinka sudah memaafkan Radit. Karena Dinka juga tahu, Dinka juga terlibat dalam masalah ini. Setelah bubar, Dinka cepat-cepat ke parkiran sekolah dengan kepala menunduk dan rasa malu untuk memperlihatkan wajahnya yang merah dengan mata masih berkaca-kaca. Rasanya ingin cepat-cepat mengambil motornya dan bergegas untuk pulang.
Dinka memang pergi ke sekolah membawa motor, ayah Dinka juga membawa motor. Jadi, masing-masing bawa motor.
Saat sudah di parkiran, langkah Dinka dicegat oleh Radit, "Din, maafin saya."
Dinka yang menoleh ke arah Radit dan menjawab, "gapapa, ini bukan sepenuhnya salah kamu. Saya pulang duluan ya," ucap Dinka dengan kepala menunduk sambil melanjutkan langkahnya.
Baru satu langkah, tangannya sudah dicekal oleh Radit. Dinka kaget, tapi tak bereaksi apa pun.
"Kamu bawa motor sendiri?" tanya Radit, lalu melepaskan cekalan tangannya.
"Iya," Dinka menjawab sambil memakai helm hitamnya.
Seperti ada yang aneh di atas kepalanya. Ah, jaket Radit masih bertengger di kepalanya. Setidaknya Dinka berterimakasih dengan Radit, yang meminjamkan jaket kepadanya. Jaket Radit ada gunanya juga menutupi wajah Dinka.
"Oh iya, makasih atas pinjaman jaketnya," ucap Dinka sembari mengembalikan jaket Radit.
"Iya, sama-sama. Sekali lagi maafin saya ya."
Dinka tersenyum tipis sambil menaiki motor matic warna merah kesayangnya dan menyalakan mesin motor.
"Dinka!" seru Radit yang masih berada di samping motor Dinka.
"Iya?"
"Kitakan se-arah jadi besok-besok gak usah bawa motor ya." Ucapan Radit membuat dahi Dinka mengkerut rasa tak paham, "kenapa?"
"Kita kan di daerah pegunungan, bawa motor dengan jalan yang naik-turun gunung itu bahaya untuk keselamatan. Lagi pula nanti kamu kecapean. Jadi bareng sama saya aja pakai motor saya, sekalian sebagai tanda permintaan maaf" ucap Radit.
Dinka terdiam sejenak, baru kali pertama untuk Dinka ada teman yang sampai berbicara seperti ini padanya, kalau di kota mungkin yang lain sudah menjauh duluan karena Dinka dikenal sebagai adik yang paling dijaga oleh kakaknya dan juga anak dari ayah yang proktektif. Jadi, siapapun yang mendekati Dinka pasti berhadapan dulu dengan kakak dan Ayahnya.
"Gak usah saya pakai motor saya aja."
"Yaudah. Tapi kalau kamu gak bawa motor, jangan nolak kalau saya ajak kamu pulang bareng," ucap Radit tak ingin memperkeruh suasana.
"Iya, kalau gitu saya duluan ya," setelah berucap seperti itu Dinka langsung melenggang untuk pulang.
Dari jauh Radit berteriak "Hati-hati di jalan!"
Dan lagi-lagi Radit menjadi pusat perhatian.
***
Hari pertama Dinka ternyata tidak berakhir dengan baik. Masalah kecil yang menimpa Dinka membuat Dinka berpikir kalau dia tidak bisa bergaul tanpa menyaringnya dahulu.
Melihat pintu kamar Dinka yang terbuka, kakak Dinka berniat untuk menutup pintunya. Tetapi saat memegang knop pintu kamar, kakaknya melihat Dinka yang sedang melamun di meja belajarnya. Diki, kakak Dinka menghampiri.
"Dek?" Mendengar kakaknya memanggil, Dinka sontak saja menoleh ke arah pintu kamarnya di situ kakaknya sedang bersandar di dinding pintu sambil membawa makanan ringan kesukaan kakaknya.
"Iya kak. Kenapa?" tanya Dinka tersadar.
"Kenapa melamun? Gak belajar?" tanya Diki sambil memberikan snack kepada Dinka untuk dimakan bersama.
"Lagi bosen aja kak, lagi males juga. Dari seminggu yang lalu belajar mulu, pengen istirahat dulu bentar" ucap Dinka dengan biasa sambil mengambil snack Diki lalu memakannya, agar Diki tidak curiga mengapa Dinka melamun.
"Yang sabar dek. Ayah dan bunda nyuruh lo belajar biar masa depan lo juga," ucap Diki menenangkan.
"Kalau itu gue juga tahu kak. Cuma ya lagi di fase suntuk aja. Di rumah belajar terus."
"Kakak denger besok ada pasar malem. Mau ikut gak?" Ajak Diki.
"Emang ayah ngizinin?" tanya Dinka terheran.
"Kalau pergi pasar malemnya bareng gue pasti ayah izinin. Tapi, kalau sama temen lo pasti ayah gak ngizinin. Apalagi sama temen laki-laki lo. Dilarang keras!" Sewot Diki.
"Biasa aja dong. Yaudah kalau gitu, ayo besok kita pergi. Awas ya kalau tiba-tiba gak jadi."
"Iya iya, untuk adikku tersayang apasih yang nggak," gombal Diki sambil mencolek dagu adiknya.
"Aaa jadi makin sayang sama brother ku ini," ucap Dinka sambil memeluk kakaknya. Maero Dikta biasa disapa Diki, Dinka dan kakaknya selisih umur 2 tahun. Sekarang Diki kuliah tapi karena kota yang sedang terkena bencana. Diki ikut pulang ke kampung untuk sementara waktu.
"Hmm, Dek?" Panggil Diki sambil membalas pelukan Dinka dengan hangat.
"Ya?"
"Ada kontak-kontakkan sama Hani gak?"
Di Kota, Hani itu salah satu teman Dinka yang sering datang ke rumah Dinka untuk kerja tugas bersama.
"Ada."
Perlu tahu saja. Hani, temannya itu menarik perhatian Diki sejak setengah tahun yang lalu.
"Kapan?"
"Tadi sore."
"Kok gak bilang gue," ucap sengit Diki sambil melepaskan pelukan.
"Lo gak nanya, lagian ngapain juga gue harus bilang ke elo. emang lo siapanya?" seru Dinka
"Lo kan tahu dek. Gue suka sama Hani. Lo sebagai adek bantu kek kakaknya," ucap Diki.
"Bantu deket sama lo gitu? Gak. Gue sebagai teman Hani, gak setuju Hani sama lo. Hani gak boleh dapet pasangan yang maniak main game kayak lo."
"Gue gak main game ya!" tukas Diki.
"Lo kira gue gak tahu, dari gue pulang sekolah, lo ngurung diri di kamar alasan kurang enak badan tapi main game seharian. Gue bilangin ayah baru tahu rasa," ancam Dinka.
Diki yang ketahuan main game langsung gelagapan.
"Ya, jangan dong," seru Diki.
"Bilang ayah ah," terlintas di benak Dinka untuk mengerjai Diki sambil pura-pura menuju pintu.
"Jangan dong," larang Diki.
"Kalau gak mau dilaporin ayah. Entar traktir gue ya di pasar malem?" seru Dinka sambil menghentikan langkahnya dan berbalik.
"Yaudah deh ntar ditraktir. Tapi jangan minta traktir yang aneh-aneh," ucap Diki dengan terpaksa dan mengingatkan.
"Nah gitu dong. Simbiosis mutualisme. Harus saling menguntungkan," ucap Dinka sambil berjalan menuju ke arah kakaknya lagi.
"Iya-iya dah terserah lu," ucap Diki dengan terpaksa.
"Ok kalau gitu. Yaudah sana lo keluar dari kamar gue. Gue mau tidur," ucap Dinka sambil menarik tangan Diki untuk keluar dari kamarnya.
"Selamat malam kakak ganteng," ucap Dinka setelah mendorong Diki hingga di depan pintu. Lalu memperlihatkan cengirannya sambil menutup pintu.
"Nanti ada maunya baru ngucapin. Dasar adek," seru Diki lirih sambil berbalik menuju kamarnya.
"Untung sayang," ucap Diki dengan suara kecil.
"Bang! Lo gak bales ucapan gue?!" ucap Dinka agak keras dari dalam kamar.
"Selamat malam adek ku! Tercinta! Sepanjang masa!" teriak Diki setelah sampai di kamarnya diakhiri kekehan.
"Diki, Dinka. Jangan teriak-teriak nak. Tidur! udah malem!" ucap Bunda dari ruang tengah yang tidak sadar berteriak juga.
"Bunda aja teriak, masa anaknya nggak," ucap Diki dan Dinka hampir serempak.
"Sudah diam." ucap ayah yang juga berada di ruang tengah dengan suara besarnya. Jika sudah ayah mereka yang angkat bicara. Mereka tidak berani menyahut. Walaupun di dalam kamar, masing-masing mereka terkikik akan ucapan mereka tadi yang hampir serempak.
Diki di kamarnya melanjutkan memainkan game-nya. Sedangkan Dinka, hanya berbaring menatap langit-langit kamarnya sambil memikirkan kembali yang terjadi di hari pertamanya tadi.
Tak lama Dinka menghela nafasnya sejenak lalu berucap dengan suara kecilnya.
"Semoga aja hari berikutnya lebih baik dari hari ini."
Tak lama dari itu, Dinka memutuskan untuk tidur.
"Pendiam, bukan berarti tidak memiliki umpatan jahat dalam hatinya." Dinka"Lo gakingetgue," Siswaosis***Pagi harinya, terlihat Dinka yang sudah memakai seragam sekolahnya sedang duduk di kursi berkumpul di meja makan bersama ayah, bunda dan kakaknya, Diki. Terlihat berbeda dari biasanya, Dinka makan dengan tentram tanpa ocehan bahkan sesekali melamun dan saat ditanya hanya menjawab jika Dinka memang ingin meresapi makanannya. Orang tua mereka menerima alasan si bungsu sedangkan Diki merasakan adiknya sedang berbohong. Usai sarapan Dinka bergegas ke bagasi untuk memanaskan motornya sejenak sebelum
" Gue lupa sama lo. Maaf"Dinka"Kenapa harus gagal lagi?"Radit***Setelah bubaran Apel siang. Dinka langsung menuju parkiran. Untuk mengambil motornya, agar ia cepat pulang. Karena Dinka berpikir ia harus dapat waktu tidur siang yang cukup agar sebentar malam tidak mengantuk di pasar malam. Tidak lucu kalau dirinya ketiduran di pasar malam.Namun sepertinya keinginan Dinka untuk cepat pulang tidak bisa terwujudkan karena masih menunggu siswa yang bernama Aryan itu untuk mengambil helmnya kembali. Dan Dinka tidak suka menunggu untuk hal yang tidak bisa dipastikan kapan datangnya. Sekolah sudah mulai agak sepi. Tapi Aryan belum juga kelihatan wujudnya. Dinka yang sudah k
"Bahagiaku adalah saat kamu tersenyum,"***Dinka sudah terbangun dari tidur siangnya. Betapa senangnya hati Dinka saat melihat notifikasi dihandphone-nya. Sebuah pesan yang berisi bahwa Dinka diberi izin oleh ayahnya untuk pergi ke pasar malam bersama Diki, kakaknya. Dinka langsung membangkitkan dirinya dari tempat tidur. Berlari menuju dapur mencari seseorang yang sangat ingin dipeluknya."Bunda?" panggil Dinka sambil masih melihat kesana-kemari."Ya nak, ada apa manggil-manggil?" sahut bunda Dinka dari dapur."Diki mana bun?" tanya Dinka dengan perasaan senangnya.
"Lucu ya, saling suka tapi terlalu malu mengungkapkan perasaan secara langsung, masih butuh perantara."***Dinka yang belum tidur masih tetap duduk di kursi dekat meja belajarnya. Mencoba fokus pada bukunya, tetapi ada hal yang membuatnya ingat akan sesuatu saat melihat luka di tangannya."Si Jay, gimana kabarnya ya?""Setiap gue luka, pasti dia yang ngobatin," ucap Dinka sambil mengusap pelan pergelangan tangan kiri yang telah diperban karena luka goresan."Jadi kangen," lirih Dinka.'Kalau kangen bilang ya. Jangan dipendam. Gak enak.'"Aish, kenapa saat lagi inget Jayden. Jadi inget dia juga sih. Ganggu. Hus huss," ucap Dinka mengetuk kepalanya dengan kepalan tangan kanannya lalu mengibas di depan mukanya seolah bayangan Radit ada di sana."Tapi ada benernya juga sih apa kata dia, mending gue telfon si Jayden aja ya,"
"Jadi ini ketertarikan yang dia maksud? lain kali tolong perjelas setiap kata yang ingin diutarakan. Jangan membuat orang merasa diistimewakan oleh suatu perkataan itu. Terlalu sakit untuk dibayangkan kembali." Dinka"Tertarik untuk berteman tidak salahkan?" Raka"Gue ingin cepat-cepat ada di samping lo. ngejaga lo dan ngejauhin lo dari orang yang ingin nyakitin lo." Jayden***Dinka sudah tiba di sekolah setengah jam lebih cepat, sekarang Dinka berada di parkiran sekolah dan Dinka bertemu dengan Aryan lagi di sana."Kak, sini helmnya," ucap Aryan dengan tidak semangat karena masih memikirkan Dinka
Usai mendengar keputusan sepihak Jayden. Dinka terlihat tidak semangat, sejak tadi Dinka sudah berada dalam kelas sedang duduk manis dan menatap kosong ponselnya. Kelas sedang sepi karena jam kosong masih berlanjut, hanya ada beberapa orang saja yang berada dalam kelas. Termasuk Gea yang pastinya sedang tidur dengan kepalanya yang bertumpu di meja beralaskan kedua tangannya.Dinka tidak bisa menelpon Jayden karena pulsa yang tidak mencukupi. Chat Online? Sudah banyak pesan yang Dinka kirimkan tapi Jayden tidak membacanya, padahal Jayden sedang aktif. Menelponnya lewat aplikasi? Sudah Dinka lakukan, semuanya sudah Dinka lakukan. Tapi tetap saja tidak direspon oleh Jayden.Teringat akan keputusan Jayden, Dinka lalu memberi kabar kepada kakaknya lewat pesan W***sA*p. Tidak lama kemudian Diki menelponnya."Ha--" Dinka baru saja mendekatkan ponselnya ke telinganya. Kakaknya sudah bicara duluan.
Siapa pun akan mengatakan Jayden tidak waras. Demi Dinka, dia rela mengambil penerbangan malam itu juga menuju kota tempat dia tinggal setelah siang itu ia berbincang dengan Dinka. Pers*tan dengan orang tuanya yang selalu sibuk dengan pekerjaan mereka itu, yang pasti Jayden tidak akan melepaskan jangkauannya dari Dinka.Setelah 2 jam perjalanan, Jayden sudah sampai di Kota. Dia langsung menuju ke rumahnya, tanpa istirahat dahulu pemuda itu mengambil mobil untuk dikendarainya menuju kampung Dinka. Tenang saja, Jayden sudah memiliki izin untuk mengemudi.Nekat? Jangan ditanya lagi. Dia Jayden, demi Dinka orang yang dia sayang dan orang yang benar-benar mengubah hari-harinya menjadi berwarna apa pun akan dia lakukan. Walaupun dia harus menempuh perjalanan sekitar 7 jam menuju di mana sekarang Dinka tinggal. Dia akan melakukannya, walaupun di hari yang sudah larut malam."Tunggu gue Dinka," ucap Jayden yang sudah mengendarai mobilnya. Sendirian.***
"Dinka!" panggil Aryan menghampiri Dinka sudah sampai di parkiran sekolah."Siapa?" tanya Aryan saat melihat Dinka bersama Jayden turun dari motor. Jayden menggunakan seragam yang digunakan Diki sewaktu SMA."Temen gue, Yan. Mau sekolah titipan di sini juga, namanya Jayden," ucap Dinka memperkenalkan Jayden ke Aryan. Diikuti anggukan oleh Jayden dan Aryan."Gue Jayden, temen Dinka.""Oh, gue Aryan. Temen kecil Dinka. Kalau tingkatan sekolah, gue adik kelasnya," ucap Aryan memperkenalkan diri kepada Jayden."Yan, mulai hari ini gak usah taruh helm di kantor ya. Gue taruh di sadel motor aja. Kasian lo nya bolak balik kantor," tutur Dinka.Dibalas anggukkan oleh Aryan."Ya udah deh, terserah lo. Sekolah juga kemarin udah masang CCTV," ucap Aryan sambil menunjuk letak CCTV dipasang, "keren gak?""Iya,""Karena lo tau gak, Kepala Sekolah l