" Gue lupa sama lo. Maaf" Dinka
"Kenapa harus gagal lagi?" Radit
***
Setelah bubaran Apel siang. Dinka langsung menuju parkiran. Untuk mengambil motornya, agar ia cepat pulang. Karena Dinka berpikir ia harus dapat waktu tidur siang yang cukup agar sebentar malam tidak mengantuk di pasar malam. Tidak lucu kalau dirinya ketiduran di pasar malam.
Namun sepertinya keinginan Dinka untuk cepat pulang tidak bisa terwujudkan karena masih menunggu siswa yang bernama Aryan itu untuk mengambil helmnya kembali. Dan Dinka tidak suka menunggu untuk hal yang tidak bisa dipastikan kapan datangnya. Sekolah sudah mulai agak sepi. Tapi Aryan belum juga kelihatan wujudnya. Dinka yang sudah kesal menunggu dengan 10 menit waktu yang terbuang, hanya bisa mengumpat dalam hatinya.
"Kak!" Dinka yang tahu bahwa itu Aryan, sontak saja menoleh dengan wajah sinis nya.
"Kenapa lama banget sih? Kalau mau janji harus tanggung jawab sama janjinya. Jangan buat saya nunggu kamu sampai begini," ucap Dinka dengan kesal.
"Maaf, saya gak tahu bakal di hukum tadi," ucap Aryan sambil memberikan helm kepada Dinka.
"Makanya jangan merasa berkuasa kalau udah jadi pengurus OSIS. Kamu yang punya jabatan di sekolah bukan berarti kamu bebas melanggar aturan, harusnya kamu jadi teladan," tutur Dinka, sambil menerima helmnya.
"Iya iya maaf," mohon Aryan.
"Besok-besok gak perlu repot-repot naruh helm saya di kantor," tutur Dinka.
"Gapapa, dari pada hilang mending taruh di kantor," sengit Aryan.
"Ya udah saya duluan ya," pamit Aryan sambil berlalu meninggalkan Dinka di parkiran.
"Iya."
Baru saja Dinka akan mengendarai motornya setelah mengenakan helm dan menyalakan motornya, tiba-tiba saja ada yang menahannya dari depan dengan memegang kepala motornya. Mau cari masalah kah dia? Nanti tertabrak bagaimana?
"Ada apa, Radit?" tanya Dinka dengan berusaha santai dan mengatur rasa kesal dalam hatinya.
"Kenapa masih bawa motor?" Tanya Radit dengan masih memegang kepala motor.
"Memangnya kenapa? Kan saya punya motor," seru Dinka.
"Tapi kan kemarin saya bilang, kamu besok-besok gak usah bawa motor nanti kamu kenapa-kenapa," ucap Radit.
Perlakuan Radit sama seperti kakaknya, Diki. Tapi entah kenapa jika Dinka melihat perlakuan Radit, Dinka merasa kesal. Tidak seperti perlakuan kakaknya, Dinka merasa biasa-biasa saja. Lagi pula Radit siapanya? Ingin sekali mengatur-mengaturnya.
"Tapi kamu kan juga bilang gapapa kan," Ucap Dinka sambil mengingatkan.
"Iya sih. Tapi mulai besok gak usah bawa motor, biar kamu sama saya aja. Saya jemput," seru Radit.
"Kenapa kamu maksa?" tanya Dinka keheranan.
"Saya gak maksa. Saya cuma khawatir sama keselamatan kamu," jawab Radit.
Mendengar jawaban dari Radit membuat Dinka menghela nafasnya mencoba untuk tidak terjebak oleh gombalan.
"Memangnya kamu tau rumah saya?" Tanya Dinka lagi.
"Tau. Kita kan satu daerah, itu cukup jauh loh dari sekolah kita," ucap Radit.
"Tapi kamu gak tau letak rumah saya dimana kan?" Isyarat Dinka lagi.
"Jadi, kalau saya sudah tahu rumah kamu. Berarti saya boleh jemput kamu untuk ke sekolah bareng?" Tanya Radit dengan semangat.
'Gak lah,' batin Dinka setelah endengar ujaran Radit Merasa perkataannya tidak mendapat balasan, Radit melanjutkan perkataannya.
"Nanti juga saya tau. Ya udah hati-hati dijalan," ucap Radit sambil mengusap belakang kepalanya sendiri dengan pelan.
"Iya," jawab Dinka.
"Saya duluan ya," seru Dinka.
"Iya," ucap Radit.
Setelah Radit berucap, Dinka menjalankan motornya.
"Dinka!"
Dinka tiba-tiba mendengar ada yang menyerukan namanya. Suaranya tak asing di telinga Dinka, tapi bukan suara Radit. Jadi, Dinka memberhentikan motornya tanpa mematikan mesin motor.
"Dinka!" Dinka menoleh ke belakang. Ah, dia tetangga Dinka. Kino, sekaligus adik kelasnya.
"Kenapa manggil No?" Tanya Dinka kepada Kino.
"Gue nebeng ya?" Seru Kino.
"Lo gak bawa motor?" Tanya Dinka.
"Motor lagi di bawa mama gue pergi ke kondangan," jawab Kino.
"Ya udah, tapi lo yang bawa ya," seru Dinka.
Setelah berucap seperti itu, Dinka turun dari motornya.
"Eh eh apa-apaan nebeng-nebeng!" Tiba-tiba Radit berucap sambil menghampiri Dinka dan Kino. Ya! Radit masih berada di tempat parkir menyaksikan sebentar percakapan dua orang yang menarik atensinya.
"Lah ngapa?" Tanya Kino yang kebingungan.
"Gak boleh! Ntar Dinka lo culik lagi," ucap Radit tak terima.
"Ngapain gue culik Dinka, dia kan tetangga gue!" seruan Kino membuat Radit terdiam.
"O-oh jadi kalian berdua tetanggaan," ucap Radit gelagapan.
"Iya!" Ucap Kino dengan wajah konyolnya.
"Tapi, kenapa lo harus nebeng sama Dinka?" tanya Radit.
"Emang kenapa? Gue hari ini lagi gak bawa motor. Apa salahnya gue nebeng sama tetangga?" titah Kino.
"Tetep gak boleh!" seru Radit.
"Kalau lo gak bawa motor, balik bareng gue aja. Jangan sama Dinka," lanjut Radit.
"Terus sepupu lo, mau lo taruh di mana? Kayaknya sepupu lo lebih membutuhkan tebengan," jelas Kino sambil menatap belakang Radit yang ternyata memang sudah ada sepupunya Radit. Yang juga membuat Radit dan Dinka ikut menoleh ke arah tatapan Kino.
"Didit, Gue nebeng ya," ucap sepupu Radit sambil mengangkat tangan kanannya dengan jemari telunjuk dan tengah membentuk tanda 'V'.
Phtt Didit? Nama panggilankah? Kino dan Dinka saling bertukar pandang melempar kekehan dan Radit yang menahan malu karena sepupunya yang sok manis menurut Radit.
"Tumben nebeng. Emang gak di jemput?" sewot Radit.
"Mama sama papa gue ikut kondangan. Hehe," ucap sepupu Radit.
"Ya udah kalau gitu," ucap Radit dengan wajah yang datar.
"Untuk sekarang gue izinin lo pulang bareng Dinka. Besok-besok lo harus bawa motor sendiri. Jangan nyusahin Dinka," titah Radit kepada Kino.
"Iya elah."
"Dinka!" ucap Radit menatap Dinka yang juga menatapnya, "sekarang saya tahu di mana rumah kamu," lanjut Radit kepada Dinka tapi mengalihkan tatapannya kepada Kino.
"No, nih pakai helm gue," ucap Dinka sambil melepaskan helm dari kepalanya dan tak mengindahkan ucapan Radit yang semakin tidak jelas untuk didengar gadis itu.
"Gak usah, lo aja yang pake."
"Kita duluan ya," pamit Kino.
"Dinka gue jangan sampe lecet," ucap Radit.
Jujur agak menggelikan ditelinga Dinka, bukan! tapi sangat menggelikan.
"Emang lo siapanya?" ucap Kino dengan wajah songong sambil mengambil alih motor dan menaikinya.
"Naik Din," lanjut Kino sambil menatap Dinka.
"Emang untuk sekarang gue bukan siapa-siapanya Dinka. Tapi tunggu aja, nanti lo bakal sering liat gue di rumahnya Dinka," kata Radit.
Ucapan Radit membuat Dinka mengurungkan niatnya untuk naik ke motor. Melihat Dinka yang mengurungkan niat untuk naik membuat Kino berujar meremehkan Radit.
"Ngapain lo ke rumahnya Dinka? Jadi tukang pijet bapaknya Dinka?"
"Ya ngapelin Dinka lah," ucap Radit dengan sengit.
"Cih! Gue jamin lo gak bakal bisa jadi pacarnya," kata Kino yang tak kalah sengit.
"Udah-udah. Kalau begini kapan gue pulangnya," seru Dinka yang sejak tadi menahan kesal.
Kino dan Radit yang mendengar Dinka berseru langsung saja memberhentikan percakapan mereka. Dinka menatap mereka berdua dengan tajam sambil menaiki jok belakang motornya.
"Jalan sekarang!" Ucap Dinka dengan ketusnya.
"Maaf ya bro," ucap Kino kepada Radit.
"Jalan!" Ucap Dinka dengan suasana hati yang sudah buruk.
"Iya bawel!" Kino langsung saja menjalankan motor sambil berkata lagi kepada Radit.
"Gue duluan ya."
"Iya. Hati-hati!" Ucap Radit, setelah itu menoleh ke arah sepupunya.
"Elo kenapa pakai acara gak di jemput sih?" tanya Radit dengan sengit sambil menghampiri Motornya.
"Gue udah bilang kan alasannya, kenapa nanya lagi," seru sepupu Radit mengikuti langkah Radit.
"Tapi gue udah cerita tentang Dinka ke elo kan? Kenapa gak cari tebengan dari temen lo aja?" tanya Radit setelah sampai di motornya dan menaikinya.
"Temen gue yang searah dan gak ada tebengan biasanya cuma Kino doang. Dan hari ini Kino gak bawa motor juga kan?" jelas sepupu Radit.
"Jalan kaki sana. Karena elo, rencana gue gagal total untuk hari ini," ucap Radit sambil membelokkan motornya yang sudah menyala.
"Jahat banget lo sama sepupu. Gak sayang apa sama sepupu lo yang cantik ini," ujar sepupu Radit sambil mengibaskan sebelah rambutnya yang tergerai dengan tangan.
"Cantik dari unjung sedotan! Masih Cantikkan juga pantat panci" ucap Radit sambil menjalankan motornya.
"Didit tungguin gue!" teriak sepupu Radit.
Radit yang tak tega dengan sepupunya memberhentikan motornya.
"Cepetan naik Nyai."
***
Kino yang berjalan pulang bersama Dinka mengendarai motor gadis itu merasa tidak nyaman dengan mood Dinka sekarang yang kurang baik karenanya, Kino mencoba membuka pembicaraan agar mood Dinka kembali baik lagi.
"Din?" panggil Kino
"Apa?" tanya Dinka sambil membuka kaca helmnya.
"Lo gak mau peluk gue gitu? Masa lo pegangan di bahu gue. Emang gue tukang ojek?" tutur Kino.
"Lo kira lagi main film hah? Ntar lo menang banyak dipeluk cewek cantik kayak gue, lagi pula lo kan emang tukang ojek," ucap Dinka dengan datar sambil memukul pundak Kino.
"Jangan ngatain gue tukang ojek juga kali," ucap Kino.
"Lah kan elo yang mancing kata tukang ojek duluan," ucap Dinka.
"Jangan marah dong."
"Ngapain gue marah, cuma karena lo ngomong gitu."
"Maksud gue bukan marah yang itu."
"Terus marah yang mana?" tanya Dinka yang tidak mengerti.
"Itu yang tadi debat mulut sama Radit."
"Gue gak marah, cuma ya gimana? Gue kesel aja, lo ngeladenin omongan ngelanturnya si Radit. Buang-buang waktu dan gak ada untungnya juga," jelas Dinka sambil memajukan badannya ke depan agar suaranya terdengar oleh Kino disertai dengan pukulan ke bahu Kino.
"Ya, tapi intinya gue minta maaf ya," mohon Kino.
"Iya," ucap Dinka mengiyakan.
"Eh iya, Tadi di parkiran gue juga lihat lo sama Aryan, ngapain?" tanya Kino dengan penasaran
"Dia ngasih helm," jawab Dinka dengan singkat.
"Lo kayak gak seneng lihat si Aryan. Kenapa?" tanya Kino.
"Ngapain harus seneng? Gak kenal juga," ucap Dinka seolah tidak tahu apa-apa.
"Yakin gak kenal sama Aryan?"
"Kenal, dia Aryan anak OSIS kelas XI IPA," polos Dinka.
"Bukan kenal itu, ya ampun. Jadi beneran lo gak inget Aryan?" greget Kino pada teman kecilnya ini.
"Inget gimana sih? Baru juga ketemu tadi," sewot Dinka.
"Ya ampun Dinka, Pikun lo kapan hilang sih?"
"Apaan deh, emang Aryan siapa? Lo ngomongin Aryan berbelit-belit tau gak? Tinggal bilang apa susahnya sih, jangan maksa gue untuk inget yang gak penting," tutur Dinka.
"Aryan itu temen waktu kita SD, masa lo gak inget."
"Temen SD gue banyak, bukan cuma dia doang."
"Ya ampun, padahal Aryan itu temen kita yang paling sering kita ajak mancing di sungai. Kita geng-an 4 orang, gue, lo, Diki sama dia juga," jelas Kino.
"Tunggu dulu biar gue inget yang mana Aryan," ucap Dinka sambil berusaha mengingat wajah Aryan.
"Astaga, Jadi Aryan itu Si Yandi? Yang kalo pulang sekolah sering singgah ke rumah dan gak mau pulang-pulang itu?" ucap Dinka yang antusias saat sudah mengingat Aryan setelah mencoba mengingat kembali.
"Iya," ucap Kino dengan jelas.
"Yang sering traktir kita makan somay waktu SD? Yang sering ngelawak itu?"
"Iya, Dinka iya. Jadi sekarang udah inget?"
Dinka tidak menjawab pertanyaan Kino saking histeris saat tahu Aryan itu Yandi.
"Ya ampun kenapa gue gak inget dia."
"Pikun sih," ucap Kino dengar suara kecil yang untungnya tidak di dengar oleh Dinka.
Otaknya masih memutar kenangan masa kecilnya, mengingat akan kebersamaannya bersama Aryan. Membuatnya tidak sadar bahwa ia dan Kino sudah tiba di rumah.
"Makanya jangan pikun jadi orang," ucap Kino sambil mematikan mesin motor.
"Yee lagian si Aryan, gak bilang kalau dia Yandi. bilangnya Aryan sih, mana gue tau," ucap Dinka lalu turun dari motor, diikuti Kino yang juga turun dari motor.
"Ya tapi masa lo gak inget mukanya? Lagi pula jaman sekarang orang-orang mana mau di panggil dengan nama kecilnya lagi, sekarang mah gunain nama asli," jelas Kino sambil memberikan kunci motor.
"Gitu ya."
"Jaman udah canggih, masa lo gak follow-followan di medsos sama Yandi?"
"Ya lo liat aja following gue berapa?" kesal Dinka yang dibalas kekehan oleh Kino.
"Idih sok ngartis! Udah ya, gue balik dulu. Kapan-kapan gue nebeng lagi ya," pamit Kino.
"Iyaa, tapi lo gak mau mampir dulu?" tanya Dinka.
"Rumah cuma sebelahan juga ngapain mampir," ucap Kino.
"Kan tradisi supaya dibilang ramah, padahal sih gue juga gak ngarepin lo tetap stay disini." tutur Dinka.
"Yaelah. Tapi ntar kapan-kapan gue ke rumah lo deh."
"Ngapain?"
"Mabar bareng kakak lo. Dah! Gue pulang," ucap Kino sambil berjalan menuju rumahnya yang tepat berada di samping rumah Dinka.
"Kenapa cowok main game mulu sih? Pantesan Jomblo, Beraninya cuma tembak-tembakkan di game doang," seru Dinka.
Kino berjalan mundur kembali berdiri di hadapan Dinka "Idih bilang aja gak ada yang nembak, sorry to say ya, gue udah ada pawangnya."
Dinka hanya menatap Kino dengan wajah gelinya.
"Oh iya, gue denger lo sempet bikin geger di sekolah lo, tapi gue gak tau apa masalahnya, gue gak mau tanya masalahnya apa sih cuma mau tanya itu bener? lo?" tanya Kino dengan suara pelan dan hati-hati tidak ingin menyinggung perasaan Dinka. Ia hanya benar-benar penasaran akan bagaimana keadaan teman kecilnya saat sekolah di Kota.
Namun sepertinya ia salah mengangkat topik pembicaraan, karena Kino melihat raut wajah Dinka yang berubah menjadi murung walau hanya sedetik.
Dinka menghela napas, "Udah sana lo katanya mau pulang," gadis itu mengalihkan pembicaraan dan langsung melangkah masuk menuju rumahnya meninggalkan Kino yang tidak enak hati padanya.
"Bunda? Dinka pulang," ucap Dinka sambil melepas sepatunya.
"Bahagiaku adalah saat kamu tersenyum,"***Dinka sudah terbangun dari tidur siangnya. Betapa senangnya hati Dinka saat melihat notifikasi dihandphone-nya. Sebuah pesan yang berisi bahwa Dinka diberi izin oleh ayahnya untuk pergi ke pasar malam bersama Diki, kakaknya. Dinka langsung membangkitkan dirinya dari tempat tidur. Berlari menuju dapur mencari seseorang yang sangat ingin dipeluknya."Bunda?" panggil Dinka sambil masih melihat kesana-kemari."Ya nak, ada apa manggil-manggil?" sahut bunda Dinka dari dapur."Diki mana bun?" tanya Dinka dengan perasaan senangnya.
"Lucu ya, saling suka tapi terlalu malu mengungkapkan perasaan secara langsung, masih butuh perantara."***Dinka yang belum tidur masih tetap duduk di kursi dekat meja belajarnya. Mencoba fokus pada bukunya, tetapi ada hal yang membuatnya ingat akan sesuatu saat melihat luka di tangannya."Si Jay, gimana kabarnya ya?""Setiap gue luka, pasti dia yang ngobatin," ucap Dinka sambil mengusap pelan pergelangan tangan kiri yang telah diperban karena luka goresan."Jadi kangen," lirih Dinka.'Kalau kangen bilang ya. Jangan dipendam. Gak enak.'"Aish, kenapa saat lagi inget Jayden. Jadi inget dia juga sih. Ganggu. Hus huss," ucap Dinka mengetuk kepalanya dengan kepalan tangan kanannya lalu mengibas di depan mukanya seolah bayangan Radit ada di sana."Tapi ada benernya juga sih apa kata dia, mending gue telfon si Jayden aja ya,"
"Jadi ini ketertarikan yang dia maksud? lain kali tolong perjelas setiap kata yang ingin diutarakan. Jangan membuat orang merasa diistimewakan oleh suatu perkataan itu. Terlalu sakit untuk dibayangkan kembali." Dinka"Tertarik untuk berteman tidak salahkan?" Raka"Gue ingin cepat-cepat ada di samping lo. ngejaga lo dan ngejauhin lo dari orang yang ingin nyakitin lo." Jayden***Dinka sudah tiba di sekolah setengah jam lebih cepat, sekarang Dinka berada di parkiran sekolah dan Dinka bertemu dengan Aryan lagi di sana."Kak, sini helmnya," ucap Aryan dengan tidak semangat karena masih memikirkan Dinka
Usai mendengar keputusan sepihak Jayden. Dinka terlihat tidak semangat, sejak tadi Dinka sudah berada dalam kelas sedang duduk manis dan menatap kosong ponselnya. Kelas sedang sepi karena jam kosong masih berlanjut, hanya ada beberapa orang saja yang berada dalam kelas. Termasuk Gea yang pastinya sedang tidur dengan kepalanya yang bertumpu di meja beralaskan kedua tangannya.Dinka tidak bisa menelpon Jayden karena pulsa yang tidak mencukupi. Chat Online? Sudah banyak pesan yang Dinka kirimkan tapi Jayden tidak membacanya, padahal Jayden sedang aktif. Menelponnya lewat aplikasi? Sudah Dinka lakukan, semuanya sudah Dinka lakukan. Tapi tetap saja tidak direspon oleh Jayden.Teringat akan keputusan Jayden, Dinka lalu memberi kabar kepada kakaknya lewat pesan W***sA*p. Tidak lama kemudian Diki menelponnya."Ha--" Dinka baru saja mendekatkan ponselnya ke telinganya. Kakaknya sudah bicara duluan.
Siapa pun akan mengatakan Jayden tidak waras. Demi Dinka, dia rela mengambil penerbangan malam itu juga menuju kota tempat dia tinggal setelah siang itu ia berbincang dengan Dinka. Pers*tan dengan orang tuanya yang selalu sibuk dengan pekerjaan mereka itu, yang pasti Jayden tidak akan melepaskan jangkauannya dari Dinka.Setelah 2 jam perjalanan, Jayden sudah sampai di Kota. Dia langsung menuju ke rumahnya, tanpa istirahat dahulu pemuda itu mengambil mobil untuk dikendarainya menuju kampung Dinka. Tenang saja, Jayden sudah memiliki izin untuk mengemudi.Nekat? Jangan ditanya lagi. Dia Jayden, demi Dinka orang yang dia sayang dan orang yang benar-benar mengubah hari-harinya menjadi berwarna apa pun akan dia lakukan. Walaupun dia harus menempuh perjalanan sekitar 7 jam menuju di mana sekarang Dinka tinggal. Dia akan melakukannya, walaupun di hari yang sudah larut malam."Tunggu gue Dinka," ucap Jayden yang sudah mengendarai mobilnya. Sendirian.***
"Dinka!" panggil Aryan menghampiri Dinka sudah sampai di parkiran sekolah."Siapa?" tanya Aryan saat melihat Dinka bersama Jayden turun dari motor. Jayden menggunakan seragam yang digunakan Diki sewaktu SMA."Temen gue, Yan. Mau sekolah titipan di sini juga, namanya Jayden," ucap Dinka memperkenalkan Jayden ke Aryan. Diikuti anggukan oleh Jayden dan Aryan."Gue Jayden, temen Dinka.""Oh, gue Aryan. Temen kecil Dinka. Kalau tingkatan sekolah, gue adik kelasnya," ucap Aryan memperkenalkan diri kepada Jayden."Yan, mulai hari ini gak usah taruh helm di kantor ya. Gue taruh di sadel motor aja. Kasian lo nya bolak balik kantor," tutur Dinka.Dibalas anggukkan oleh Aryan."Ya udah deh, terserah lo. Sekolah juga kemarin udah masang CCTV," ucap Aryan sambil menunjuk letak CCTV dipasang, "keren gak?""Iya,""Karena lo tau gak, Kepala Sekolah l
Satu minggu setelah Radit dan Jayden mengibarkan bendera perang. Dinka malahan terlihat semakin dekat dengan Radit karena sejak pertama perlakuan manis Radit yang memberikan klepon padanya membuat Dinka menimang kembali untuk bermusuhan dengan Radit. Tapi, bukan berarti ia menaruh hati pada Radit.Berita tentang Dinka yang menjadi bahan rebutan oleh dua orang ini pun masih saja menjadi perbincangan hangat satu sekolah. Kedekatan Dinka dan Radit pun semakin mudah terlihat karena pasar malam yang sekarang berjadwal di daerah tinggal Gadis itu, desa di mana Dinka dan Radit tinggal. Mereka berdua sering berpergian ke pasar malam bersama.Tentu saja, kedekatan mereka tidak mungkin tanpa gangguan dari Jayden. Jayden pastinya mengikuti mereka berdua ke pasar minggu menjadi dinding pemisah antara Radit dan Dinka.Dinka diberi izin pergi ke pasar malam jika ada Jayden yang menemaninya. Kata Diki, 'takut nanti ada orang jahat ya
Jayden dan Dinka sedang dalam perjalanan pulang sekolah, dengan motor yang Jayden kendarai dan Dinka yang diboncengi."Eh Jay? Maksud lo apaan jadiin gue bahan taruhan?" tanya Dinka mengingat kejadian seminggu yang lalu sembari menepuk keras pundak Jayden.Walaupun terkesan lambat Dinka bertanya, ia benar-benar ingin tau dari mulut Jayden langsung, dirinya kesal akan Jayden yang di hari pertamanya sudah buat ulah. Gosip tentang Dinka yang diperebutkan Jayden dan Radit sudah menyebar luas satu sekolah dan itu benar-benar membuat Dinka benar-benar kesal. Dinka sangat tidak suka jika dirinya menjadi bahan gosip orang-orang."Bukan maksud gue untuk buat lo jadi bahan taruhan Dinka, cuma gue gak suka aja kalau si Radit-Radit itu deket sama lo," ucap Jayden lumayan keras."Kan gue suka sama lo, wajar kalau gue cemburu!" teriak Jayden seraya menambah kecepatan motor dengan tiba-tiba karena kesal akan hadirnya Radit di skenario cintanya dengan Dinka.Dinka