"Bahagiaku adalah saat kamu tersenyum,"
***
Dinka sudah terbangun dari tidur siangnya. Betapa senangnya hati Dinka saat melihat notifikasi di handphone-nya. Sebuah pesan yang berisi bahwa Dinka diberi izin oleh ayahnya untuk pergi ke pasar malam bersama Diki, kakaknya. Dinka langsung membangkitkan dirinya dari tempat tidur. Berlari menuju dapur mencari seseorang yang sangat ingin dipeluknya.
"Bunda?" panggil Dinka sambil masih melihat kesana-kemari.
"Ya nak, ada apa manggil-manggil?" sahut bunda Dinka dari dapur.
"Diki mana bun?" tanya Dinka dengan perasaan senangnya.
"Diki kakak kamu loh, panggil kakak jangan cuma namanya," tutur bunda Dinka.
"Hehe, iya maaf bun. Jadi, kakak mana?" tanya Dinka.
"Baru aja pergi ke kebun lagi. Ayah suruh bawa karung, karungnya kurang," jelas bunda Dinka.
"Ya udah sana gih mandi. Tadi Diki bilang suruh kamu untuk siap-siap. Supaya gak kemalaman ke pasar malamnya," seru bunda Dinka.
"Iya, jadi bunda ngizinin juga nih?" tanya Dinka dengan senyum lebar.
"Kalau ayah kamu udah ngizinin, bunda juga ngizinin kok," jawab ibu Dinka.
"Aaaa makasih bundaku tersayang. Semoga makin so sweet sama ayah," ucap Dinka memeluk dan mencium pipi bundanya yang sedang memotong bawang.
"Bun, aku bantu motong bahan-bahan ya," ucap Dinka dengan ceria sambil melepas pelukan untuk mengambil alih pisau.
"Gak usah nak, udah sana kamu mandi aja. Bunda tinggal motong bawang aja kok," ucap bunda Dinka dengan menjauhkan pisau dari jangkauan Dinka.
"Ya udah kalau gitu Dinka mau mandi dulu ya bun. Oh iya bun, jangan lupa, sayur untuk Dinka dipisah terus bawangnya kasih dikiiiit aja, kalau perlu gak usah. Hehe," ucap Dinka, lalu pergi berlalu menuju kamarnya untuk bersiap-siap.
"Nasib waktu hamilin Dinka, ngidam gak makan bawang gini nih jadinya, anak udah mirip vampir," desis bunda Dinka menggeleng-gelengkan kepala sambil melanjutkan aktifitas memotong bawang.
***
Sesampainya di pasar malam dengan motor yang sudah terparkir, Diki dan Dinka langsung masuk ke tempat pasar malam sambil bergandengan tangan layaknya orang pacaran.
"Mau kemana dulu, dek?" tanya Diki menoleh kearah Dinka.
"Beli gulali!" seru Dinka gemas sambil menunjuk dengan semangat setelah melihat salah satu pedagang yang menjual gulali.
"Ntar kalau sakit gigi gimana?" Ucap Diki khawatir.
"Gue gak pernah sakit gigi ya. Elo aja tuh yang pernah sakit gigi. Sampe nangis-nangis," ujar Dinka sambil mengejek.
"Gak usah buka aib juga dong!"
"Abisnya kemaren janjinya mau traktirin gue. Tapi sekarang apa?"
"Bukannya gak mau traktirin tapi entar sakit gigi adikku sayang," ucap Diki sambil mencubit hidung Dinka yang pesek menggunakan tangan yang satunya dengan sekilas.
"Berarti mau traktirin gue kan? Ayo gak mau tau dan gak mau denger alesan lagi, pokoknya beliin gue gulali," seru Dinka sambil menarik tangan Diki.
Setelah sampai di penjual Dinka berujar "Ayo beliin!"
"Iya iya."
"Bang, beli gulali-nya satu ya."
"Dua!" seru Dinka dengan memperlihatkan tangan jemari telunjuk dan jemari tengahnya ke depan wajah Diki, menandakan Dinka menginginkan dua gulali.
Melihat tingkah adiknya yang seperti anak kecil membuat Diki menghela nafasnya sejenak, "ya udah beli dua, bang."
"Untung sayang," ucap Diki sambil mencubit hidung Dinka lagi.
"Gitu dong," balas Dinka mencubit hidung Diki.
"Ini dek," ucap si abang penjual sambil memberikan dua gulali ke Dinka.
"Makasih bang," ucap Dinka sambil melepaskan genggaman tangannya dengan Diki untuk mengambil dua gulali-nya.
Setelah mendapatkan gulali yang diinginkan, Dinka berlalu begitu saja dengan berlari kecil menghampiri tempat duduk yang disediakan di pasar malam tanpa memperdulikan Diki yang masih berada di tempat penjual gulali bermaksud untuk membayar.
"Ini kembaliannya, mas."
"Makasih ya, bang."
"Sama-sama, mas."
Setelah mendapat kembalian, Diki menghampiri Dinka sambil menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah Dinka yang duduk di bangku yang agaknya tinggi, terlihat dari ujung kaki Dinka tidak sampai menyentuh tanah. Tingkah Dinka yang seolah tak peduli sekitar serta mengayun-ayunkan kakinya sambil memakan gulali membuat Dinka benar-benar seperti anak kecil.
"Bahagia banget ya bisa makan gulali sendiri, terus kakaknya ditinggalin," ujar Diki sambil duduk di samping Dinka.
"Ya iyalah bahagia. Ditraktir gulali pas banget makannya di pasar malem. Siapa yang gak suka coba?" ucap Dinka yang masih mengunyah gulali.
"Apalagi ditraktir.." cicit Dinka.
Tidak ada yang memulai pembicaraan lagi. Karena tak ingin mengganggu adiknya yang tenang dengan makan gulali, Diki menunggu Dinka sambil bermain dengan ponselnya dan sesekali melihat orang-orang yang berlalu-lalang dihadapannya.
Merasa didiamkan sang kakak, Dinka angkat bicara, "kak, elo mau?" sambil menyodorkan gulali ke hadapan kakaknya.
"Gak, elo aja."
"Terus kenapa lo diem?" tanya Dinka.
"Selesai lo makan. Baru gue bicara," ujar Diki.
Dinka mengangguk, "ya udah."
***
"Gue udah selesai. Tempat sampah mana ya?" ucap Dinka beranjak dari kursi sambil mencari tempat sampah untuk membuang plastiknya.
"Buang aja kali di sini dek, gak bakalan ada yang marah juga," saran Diki.
"Gak boleh gitu bang, seenggaknya kita masuk di masyarakat yang mematuhi peraturan 'buanglah sampah pada tempatnya'. Jangan alesan karena gak ada yang marah, kita jadi sebebasnya buang sampah sembarangan. Kalau pakai prinsip itu terus, kapan Indonesia bisa peduli dan bersih lingkungannya?" ujar Dinka sambil masih mengedarkan pandangannya.
"Nah itu dia.," ucap Dinka sambil berlari kecil menuju tempat sampah.
Setelah membuang sampah, Dinka berjalan menghampiri kakaknya sambil mengambil hand sanitizer dari dalam tas selempang nya. Diki yang sibuk bermain dengan ponselnya tidak memperhatikan Dinka. Dinka juga tidak terlalu memperhatikan jalan karena sibuk dengan hand sanitizer yang sudah diolesi di tangannya. Dinka langsung saja menaruhnya kembali ke dalam tas sambil mendongak. Alih-alih tangan sudah bersih, Dinka bertabrakan dengan orang yang berlari dihadapannya.
"Aw.." Dinka terjatuh dengan tangan kirinya yang sudah terluka sedikit tergores oleh kerikil-kerikil kecil yang tajam.
Mendengar jeritan sang adik, sontak saja Diki menaruh ponselnya ke dalam kantong celana. Lalu mengedarkan pandangannya mencari di mana Dinka berada. Setelah mendapat titik fokus yang ditujunya Diki langsung berlari menghampiri Dinka.
"Duh maaf ya."
Dinka sudah bangkit dari jatuhnya walau masih diiringi ringisan kecil mendongak ke arah orang yang menabraknya sambil membersihkan kotoran tanah yang berada di tubuhnya.
"Owen?" "Dinka?" Ucap mereka hampir bersamaan.
"Din, maaf ya gue gak sengaja. Gue buru-buru," pinta Owen.
"Iya gapapa. Emang lo kenapa sampe lari-lari?" ucap Dinka dengan tersenyum untuk meyakinkan bahwa dirinya tidak apa-apa.
"Kunci rumah, gak sengaja gue bawa. Ibu gue udah pulang kerja dan sekarang udah di rumah dan gak bawa kunci. Jadi gue mau pulang ngasih kunci," jelas Owen.
"Oh ya udah pulang gih, lagi pula gue gapapa," suruh Dinka.
"Beneran gapapa?" tanya Owen dengan hati-hati sambil menatap Diki yang berada di samping Dinka yang juga menatapnya dengan tajam.
"Iya," ucap Dinka mencoba meyakinkan lagi sambil menyikut lengan kakaknya.
"Kalo gitu gue duluan ya! maaf yaa Din."
"Iya."
"Oh iya kalau ada Radit bilangin gue udah pulang duluan ya," pinta Owen sambil berlari.
Dinka mengangguk. Radit ada di sini juga? Berarti Radit selalu pergi jalan-jalan malam? Kenapa mereka harus selalu dipertemukan? Semoga saja tingkah laku Radit tidak akan membuat Diki curiga atau merasa aneh, pikir Dinka.
Diki mengulurkan tangannya mencoba memaklumi apa yang terjadi, "coba liat tangannya?" ucap Diki yang sudah berada di samping Dinka.
Melihat kondisi tangan Dinka, membuat Diki mengambil keputusan, "kita pulang ya."
"Kok pulang sih? Kan belum main," sedih Dinka tak terima dengan keputusan sepihak Diki sambil melihat suasana pasar malam dengan berbagai wahana bermain.
"Kapan-kapan aja mainnya, tangan lo kalau dibiarin nanti infeksi, lo mau?" titah Diki dengan nada khawatir dan merasa kasihan menatap sang adik yang menampilkan wajah sedihnya.
"Gak juga. Tapi kalau mau pulang, tunggu bentar yaa. Gue nunggu temen gue dulu," tutur Dinka.
"Hm," Diki mengangguk.
Tak beberapa lama percakapan mereka akhiri, terlihat Radit langsung berlari setelah melihat Dinka.
"Dinka? kamu ngapain ke pasar malem?" ucap Radit menghampiri Dinka.
"Emangnya saya gak boleh ke pasar malem?" decit Dinka.
"Boleh-boleh aja sih, Kamu liat Owen gak?" tanya Radit, untunglah perlakuan Radit pada Dinka sekarang tidak seperti perlakuan Radit di sekolah.
"Owen dia pulang duluan, katanya dia yang bawa kunci rumah jadi dia pulang duluan," ucap Dinka.
"Oh saya kirain dia lagi mau main petak umpet sama saya, kesini bareng siapa?" tanya Radit, walau sebenarnya Radit tahu Dinka pergi ke pasar malam bersama laki-laki yang berada di samping Dinka.
Dinka menoleh ke arah kakaknya.
"Bareng..." belum selesai Dinka berbicara, kakaknya sudah angkat bicara duluan.
"Din udah kan bilangnya, kita pulang sekarang," ucap Diki menarik tangan kanan Dinka sambil melirik Radit dengan tak suka.
"Saya pulang duluan ya!" ucap Dinka sambil menyeimbangi langkah kakaknya.
Radit hanya mengangguk lalu berpikir, 'Siapa laki-laki yang sedang bersama Dinka?'
***
Dinka sudah berada di rumah, tepatnya sedang berada di kamar dengan posisi sedang duduk di kursi dekat meja belajar ditemani sang bunda yang sementara sedang mengobati luka Dinka. Sedangkan kakaknya yang sedari pulang pasar malam mendiami Dinka, sedang berbaring di atas kasur Dinka sambil bermain dengan ponselnya.
"Bunda kan udah selalu bilang kalau lagi pergi kemana-mana, apalagi ramai seperti pasar malam, kamu harus perhatiin sekitar kamu juga. Jangan sampai lalai begini. Untung jatuh, lukanya cuma kegores. Gimana kalau lukanya besar atau sobek?" resah bunda Dinka, setelah selesai memberikan obat merah pada luka Dinka.
"Maaf bun, Dinka udah buat bunda khawatir. Lagian Dinka udah gapapa kok. Kan ada bunda yang selalu ngobatin Dinka," ucap Dinka meminta maaf kepada bundanya.
"Iya, pokoknya kamu harus inget pesan bunda ya, jangan sampai lalai," saran bunda Dinka.
"Iya bundaku," balas Dinka.
"Bunda balik ke kamar ya, kamu langsung istirahat," pamit bunda Dinka beranjak dari kursi sambil mengecup kening Dinka.
"Dinka gak disuruh belajar dulu nih bun?" tanya Dinka kepada ibunya. Karena malam biasanya bunda Dinka menyuruh Dinka untuk belajar dulu, walau hanya membaca satu halaman setidaknya ada ilmu yang dibaca. Kata bundanya, kebiasaan itu akan berdampak baik untuk wawasan. Kalau dibiasakan akan jadi rutinitas setiap hari yang tidak bisa ditinggalkan.
"Kalau kamu mampu untuk belajar ya sudah, tapi jangan paksain diri kamu. Apalagi begadang. Jangan ya," ucap bunda Dinka sambil mengusap kepala Dinka.
"Bunda juga istirahat ya," ucap Dinka sambil mengecup pipi ibunya.
"Iya," ucap bunda Dinka menghampiri Diki yang asyik bermain ponselnya. Lalu mengambil ponsel yang digenggam Diki.
"Kakak jangan main hape terus. Apalagi main hape sambil baring itu gak boleh ya kak, nanti mata kamu rusak," ujar bunda.
Saat bundanya berkata, Diki langsung duduk. Bangun dari baringnya. "Diki gak akan main hape terus kok bun."
"Main hape terus tuh bun. Tadi aja Dinka jatuh, kak Diki gak nolongin karena main hape," lapor Dinka kepada bundanya. Lalu menjulurkan lidahnya seolah mengejek Diki.
Diki yang sedari tadi mendiami Dinka, angkat bicara. "Apaan, orang lo udah bangun duluan."
"Tapi kan dari sebelum kejadian gue jatoh, kan lo yang main hape mulu kak," lapor Dinka, yang membuat Diki gelagapan.
"Sudah jangan berantem dan jangan memperbesar masalah. Lagian bunda cuma ngingetin jangan terlalu sering main Hape," ucap bunda Dinka.
"Iya bunda," ucap Diki dan Dinka bersamaan.
"Yaudah," ucap bunda mengembalikan ponsel Diki. Dan mencium kening Diki sambil mengusap rambut Diki juga.
"Selamat malam anak-anak bunda," ucap bunda beranjak keluar kamar Dinka.
"Selamat malam bunda," ucap Diki dan Dinka bersamaan lagi.
Tidak beberapa lama dari bunda berlalu dari kamar Dinka, Diki mengeluarkan suaranya. "Tadi siapa?" Tanya Diki.
"Tadi siapa? Wah parah lo, itu bunda! Dasar anak durhaka," ucap Dinka dengan polosnya.
"Bukan itu maksud gue jelek, tadi yang di pasar malam siapa?" tanya Diki memperjelas.
Dinka yang sudah mengerti akan arah kemana ucapan Diki sepertinya ingin membuat kakaknya yang sudah mengatainya 'jelek' kesal dulu. "Hah? Yang tadi di pasar malam? Yang di pasar malam banyak kali. Mana mungkin gue tahu siapa semua yang ada di sana," ucap Dinka menjahili kakaknya
"Jangan pura-pura gak ngerti deh dek," ucap Diki dengan tatapan dinginnya.
"Bisa jelasin siapa tadi yang ada di pasar malem yang nabrak dan ketemu sama lo tadi?" lanjut Diki dengan memperjelas lagi.
"Lagian lo seenaknya banget ngomong gue jelek. Emang gue gak cantik apa?" ucap Dinka menatap tajam balik sang kakak sambil mengibaskan rambut panjangnya.
Diki hanya menatap diam tingkah adiknya, melihat ekspresi dingin kakaknya Dinka berdeham kecil lalu berucap
"Yang tadi nabrak gue itu Owen dan yang ketemu gue setelah Owen itu Radit. Dan mereka itu temen kelas gue," lanjut Dinka.
"Tapi kenapa kelakuan si Radit-Radit itu aneh ke elo?" tanya Diki mengintrogasi. Yap, ternyata kakaknya menyadari akan perbedaan sikap Radit kepadanya.
"Aneh gimana? Biasa aja kok," ucap Dinka mencoba meyakinkan kakaknya.
"Kenapa pake saya-kamu-an? Sok banget, Lo kira lo sama dia lagi jadi pasangan di film?" tanya kakak sambil mengeluarkan ekspresi jengkelnya.
"Apaan sih. Dia emang dari awal kayak gitu dan mana gue tahu sikapnya yang kayak gitu ke gue buat kakak gue yang datar ini mengira yang tidak-tidak," ucap Dinka menghampiri Diki lalu duduk di samping kakaknya. Ucapan Dinka membuat Diki berdiam sejenak.
"Ntar suruh dia jangan pakai saya-kamu-an pakai lo-gue aja. Biar yang denger gak berpikiran kalau kalian pacaran," titah Diki.
"Jadi ceritanya kakak gue ini lagi marah nih? Liat gue deket sama laki-laki lagi?" ucap Dinka sambil menggandeng sebelah tangan kanan Diki dan menatap Diki.
"Iya gue marah plus cemburu," ucap Diki menangkupkan kedua tangannya ke wajah Dinka.
"Kenapa cemburu? Lo kan bukan pacar gue," ujar Dinka seraya mengangkat sebelah alisnya.
"Gue cemburu lo ngomong sama dia pakai saya-kamu-an, sama gue yang kakak sendiri lo aja gak pernah ngomong kayak gitu, gak ada unsur sayangnya sama sekali," jawab Diki.
Mendengar hal itu, Dinka langsung saja menjalankan aksinya. "Jadi kakak mau aku ngomong kayak gini?" tanya Dinka sambil mengerjapkan matanya untuk menggoda Diki. Diki yang mendengar hal itu langsung terdiam lalu memasang ekspresi datar dan menurunkan tangannya dari wajah Dinka.
"Gak jadi deh, udah ngomong pakai lo-gue aja," ucap Diki yang merinding mendengar ucapan Dinka.
"Kok gitu? Barusan kamu kan yang mau," ucap Dinka mencoba menggoda kakaknya yang tak ayal membuat Diki merinding lagi.
"Apaan sih dek!"
"Udah malem, tidur gih tapi disini aja bareng aku. Nanti aku nyanyiin supaya bobo atau apa perlu aku bacain dongeng?" ucap Dinka sambil mendekatkan dirinya lagi kepada Diki.
"Dek udah ah, jangan kayak gitu merinding gue," ucap Diki melepaskan gandengan tangan Dinka lalu beranjak turun dari kasur dan berlari menuju kamarnya.
"Hahahahahaha!" Dinka ketawa lalu turun dari kasurnya menuju pintu guna menutup pintu.
"Makanya jangan sok-sok-an mau diromantisin kalau gak bisa diromantisin. Dasar jomblo dari lahir," ejek Dinka setelah menutup pintu kamarnya.
"Ya ampun adek gue jelmaan apa yak, dikodein dikit langsung jalan gitu otak gilanya," ucap Diki setelah sampai di kamarnya lalu duduk di sisi ranjang.
"Semoga aja kalau Hani ngomong kayak gitu, guenya gak geli. Nasib gak pernah pacaran gini amat ya," ucap Diki dengan suara kecilnya.
"Lucu ya, saling suka tapi terlalu malu mengungkapkan perasaan secara langsung, masih butuh perantara."***Dinka yang belum tidur masih tetap duduk di kursi dekat meja belajarnya. Mencoba fokus pada bukunya, tetapi ada hal yang membuatnya ingat akan sesuatu saat melihat luka di tangannya."Si Jay, gimana kabarnya ya?""Setiap gue luka, pasti dia yang ngobatin," ucap Dinka sambil mengusap pelan pergelangan tangan kiri yang telah diperban karena luka goresan."Jadi kangen," lirih Dinka.'Kalau kangen bilang ya. Jangan dipendam. Gak enak.'"Aish, kenapa saat lagi inget Jayden. Jadi inget dia juga sih. Ganggu. Hus huss," ucap Dinka mengetuk kepalanya dengan kepalan tangan kanannya lalu mengibas di depan mukanya seolah bayangan Radit ada di sana."Tapi ada benernya juga sih apa kata dia, mending gue telfon si Jayden aja ya,"
"Jadi ini ketertarikan yang dia maksud? lain kali tolong perjelas setiap kata yang ingin diutarakan. Jangan membuat orang merasa diistimewakan oleh suatu perkataan itu. Terlalu sakit untuk dibayangkan kembali." Dinka"Tertarik untuk berteman tidak salahkan?" Raka"Gue ingin cepat-cepat ada di samping lo. ngejaga lo dan ngejauhin lo dari orang yang ingin nyakitin lo." Jayden***Dinka sudah tiba di sekolah setengah jam lebih cepat, sekarang Dinka berada di parkiran sekolah dan Dinka bertemu dengan Aryan lagi di sana."Kak, sini helmnya," ucap Aryan dengan tidak semangat karena masih memikirkan Dinka
Usai mendengar keputusan sepihak Jayden. Dinka terlihat tidak semangat, sejak tadi Dinka sudah berada dalam kelas sedang duduk manis dan menatap kosong ponselnya. Kelas sedang sepi karena jam kosong masih berlanjut, hanya ada beberapa orang saja yang berada dalam kelas. Termasuk Gea yang pastinya sedang tidur dengan kepalanya yang bertumpu di meja beralaskan kedua tangannya.Dinka tidak bisa menelpon Jayden karena pulsa yang tidak mencukupi. Chat Online? Sudah banyak pesan yang Dinka kirimkan tapi Jayden tidak membacanya, padahal Jayden sedang aktif. Menelponnya lewat aplikasi? Sudah Dinka lakukan, semuanya sudah Dinka lakukan. Tapi tetap saja tidak direspon oleh Jayden.Teringat akan keputusan Jayden, Dinka lalu memberi kabar kepada kakaknya lewat pesan W***sA*p. Tidak lama kemudian Diki menelponnya."Ha--" Dinka baru saja mendekatkan ponselnya ke telinganya. Kakaknya sudah bicara duluan.
Siapa pun akan mengatakan Jayden tidak waras. Demi Dinka, dia rela mengambil penerbangan malam itu juga menuju kota tempat dia tinggal setelah siang itu ia berbincang dengan Dinka. Pers*tan dengan orang tuanya yang selalu sibuk dengan pekerjaan mereka itu, yang pasti Jayden tidak akan melepaskan jangkauannya dari Dinka.Setelah 2 jam perjalanan, Jayden sudah sampai di Kota. Dia langsung menuju ke rumahnya, tanpa istirahat dahulu pemuda itu mengambil mobil untuk dikendarainya menuju kampung Dinka. Tenang saja, Jayden sudah memiliki izin untuk mengemudi.Nekat? Jangan ditanya lagi. Dia Jayden, demi Dinka orang yang dia sayang dan orang yang benar-benar mengubah hari-harinya menjadi berwarna apa pun akan dia lakukan. Walaupun dia harus menempuh perjalanan sekitar 7 jam menuju di mana sekarang Dinka tinggal. Dia akan melakukannya, walaupun di hari yang sudah larut malam."Tunggu gue Dinka," ucap Jayden yang sudah mengendarai mobilnya. Sendirian.***
"Dinka!" panggil Aryan menghampiri Dinka sudah sampai di parkiran sekolah."Siapa?" tanya Aryan saat melihat Dinka bersama Jayden turun dari motor. Jayden menggunakan seragam yang digunakan Diki sewaktu SMA."Temen gue, Yan. Mau sekolah titipan di sini juga, namanya Jayden," ucap Dinka memperkenalkan Jayden ke Aryan. Diikuti anggukan oleh Jayden dan Aryan."Gue Jayden, temen Dinka.""Oh, gue Aryan. Temen kecil Dinka. Kalau tingkatan sekolah, gue adik kelasnya," ucap Aryan memperkenalkan diri kepada Jayden."Yan, mulai hari ini gak usah taruh helm di kantor ya. Gue taruh di sadel motor aja. Kasian lo nya bolak balik kantor," tutur Dinka.Dibalas anggukkan oleh Aryan."Ya udah deh, terserah lo. Sekolah juga kemarin udah masang CCTV," ucap Aryan sambil menunjuk letak CCTV dipasang, "keren gak?""Iya,""Karena lo tau gak, Kepala Sekolah l
Satu minggu setelah Radit dan Jayden mengibarkan bendera perang. Dinka malahan terlihat semakin dekat dengan Radit karena sejak pertama perlakuan manis Radit yang memberikan klepon padanya membuat Dinka menimang kembali untuk bermusuhan dengan Radit. Tapi, bukan berarti ia menaruh hati pada Radit.Berita tentang Dinka yang menjadi bahan rebutan oleh dua orang ini pun masih saja menjadi perbincangan hangat satu sekolah. Kedekatan Dinka dan Radit pun semakin mudah terlihat karena pasar malam yang sekarang berjadwal di daerah tinggal Gadis itu, desa di mana Dinka dan Radit tinggal. Mereka berdua sering berpergian ke pasar malam bersama.Tentu saja, kedekatan mereka tidak mungkin tanpa gangguan dari Jayden. Jayden pastinya mengikuti mereka berdua ke pasar minggu menjadi dinding pemisah antara Radit dan Dinka.Dinka diberi izin pergi ke pasar malam jika ada Jayden yang menemaninya. Kata Diki, 'takut nanti ada orang jahat ya
Jayden dan Dinka sedang dalam perjalanan pulang sekolah, dengan motor yang Jayden kendarai dan Dinka yang diboncengi."Eh Jay? Maksud lo apaan jadiin gue bahan taruhan?" tanya Dinka mengingat kejadian seminggu yang lalu sembari menepuk keras pundak Jayden.Walaupun terkesan lambat Dinka bertanya, ia benar-benar ingin tau dari mulut Jayden langsung, dirinya kesal akan Jayden yang di hari pertamanya sudah buat ulah. Gosip tentang Dinka yang diperebutkan Jayden dan Radit sudah menyebar luas satu sekolah dan itu benar-benar membuat Dinka benar-benar kesal. Dinka sangat tidak suka jika dirinya menjadi bahan gosip orang-orang."Bukan maksud gue untuk buat lo jadi bahan taruhan Dinka, cuma gue gak suka aja kalau si Radit-Radit itu deket sama lo," ucap Jayden lumayan keras."Kan gue suka sama lo, wajar kalau gue cemburu!" teriak Jayden seraya menambah kecepatan motor dengan tiba-tiba karena kesal akan hadirnya Radit di skenario cintanya dengan Dinka.Dinka
Setelah kemarin bertemu dengan mantan yang tak diundang, Dinka terbangun karena mimpi buruk yang menyambutnya. Mimpi itu seolah menyambung dan tak ingin membuat Dinka tidur dengan nyenyak malamnya. Pagi hari penampakan tubuh Dinka yang bercucuran keringat, rambut yang basah, wajah pucat dan tangan yang gemetar sangat miris untuk melihat hal itu.Dinka yang benci traumanya kembali hinggap, berusaha meraih laci meja belajar dimana ia menyembunyikan obat yang selama ini masih ia minum diam-diam tanpa sepengetahuan Diki kalau-kalau ia mengalami trauma kembali.Dinka meminum obat itu dengan jumlah yang cukup banyak, berusaha menelannya dengan dibantu air minum yang tersisa sedikit sejak semalam. Sesak masih terasa, ia lakukan memukul pelan bagian dadanya untuk mencoba menghilangkan rasa sakit itu. Gadis itu berusaha untuk kembali normal, sebelum ia turun dan disambut oleh keluarganya di pagi hari