"Pendiam, bukan berarti tidak memiliki umpatan jahat dalam hatinya." Dinka
"Lo gak inget gue," Siswa osis
***
Pagi harinya, terlihat Dinka yang sudah memakai seragam sekolahnya sedang duduk di kursi berkumpul di meja makan bersama ayah, bunda dan kakaknya, Diki. Terlihat berbeda dari biasanya, Dinka makan dengan tentram tanpa ocehan bahkan sesekali melamun dan saat ditanya hanya menjawab jika Dinka memang ingin meresapi makanannya. Orang tua mereka menerima alasan si bungsu sedangkan Diki merasakan adiknya sedang berbohong. Usai sarapan Dinka bergegas ke bagasi untuk memanaskan motornya sejenak sebelum berangkat.
"Lo biar gue anterin aja," kata Diki yang menghampiri Dinka dengan perasaan tidak mau Dinka berangkat sendiri. Karena ia melihat kembali raut wajah Dinka yang tak pernah mau ia lihat lagi. Ya, Raut wajah seperti ketakutan namun berusaha ia sembunyikan.
"Gak usah, gue bawa motor sendiri aja," tolak Dinka.
Diki menghela napas sejenak lalu menatap adiknya, "Lo mimpi buruk lagi ya? inget kejadian yang lalu lagi?" Dinka terdiam sejenak lalu menoleh ke arah kakaknya yang sedang khawatir kepadanya, untungnya orang tuanya berada dalam jarak yang lumayan jauh dan adanya suara bising dari motor membuat Dinka maupun Diki yakin pembicaraan ini tidak didengar oleh orang tuanya.
Tebakan Diki benar membuat Dinka memaksakan diri tersenyum tipis dan menggelengkan kepalanya kembali berusaha menutupi raut takutnya agar orang tuanya tidak mengetahui dan bertanya-tanya.
Walau ditimpa trauma mendalam di masa lalunya, Dinka berusaha menutupi dengan rapih hal itu dari kedua orang tuanya. Gadis itu berusaha senormal mungkin dan seolah tidak terjadi apa-apa, biarlah hanya Diki dan sahabatnya yang tau akan traumanya itu. Ia benar-benar takut orang tuanya menganggapnya aib keluarga dan terjadi hal yang tidak diinginkan dalam keluarganya.
Ditengah kilas balik akan traumanya, Dinka mengingat perkataan Radit kemarin membuat Dinka berpikir dia harus bawa motor sendiri agar tak berurusan dengan Radit lagi. entah benar atau tidaknya perkataan Radit kemarin. Dinka merasa harus selalu berjauhan dengan lawan jenisnya karena takut hal yang ia tidak inginkan terulang kembali.
"Udah biarin Dinka sendiri, lagi pula katanya kamu pagi ini mau bantu ayah berkebun kan?" Ucap ayah Dinka menghampiri dan sudah berada di belakang kedua anaknya.
"Tapi yah, nanti Dinka kan bisa capek kalau bawa motor sendiri, apalagi jalan yang Dinka lewatin itu naik-turun gunung terus," ucap Diki dengan sayang.
"Udah ya, kakakku sayang. Biarin gue bawa motor sendiri dulu hari ini ya. Kalau besok-besok gue lagi males buat bawa motor. Pasti gue minta lo yang nganterin gue. Ok?" seru Dinka memberi perhatian pada Diki.
Lalu Dinka mematikan motornya. Untuk mengambil helm sekalian mencium tangan ayah dan bundanya.
"Ok deh," ucap Diki mengiyakan.
"Ya udah ayah, bunda, Dinka berangkat ya. Kakak gue yang ganteng, adikmu yang cantik ini berangkat ya," ucap Dinka menaiki motornya sambil memakai helmnya.
"Hati-hati di jalan nak," seru ayah.
"Pelan-pelan bawa motor. Jangan ngebut-ngebut," ucap Diki.
"Iya-iya. Berangkat dulu ya," ucap Dinka sambil menghidupkan motornya dan berlalu pergi.
***
Dinka sudah masuk area sekolah. Dari balik helmnya, Dinka melihat banyak orang yang nongkrong di parkiran. Ya para lelaki. Benar-benar pemandangan yang menyebalkan dan mengerikan menurut Dinka.
Dengan motornya Dinka menuju parkiran ternyata di sana ada juga beberapa pengurus OSIS terlihat dari lambang sekolah yang dikhususkan warnanya berbeda dengan siswa lain. Sekedar informasi saja, pengurus OSIS ada di sana guna untuk merapihkan motor yang terparkir. Sekaligus membantu guru piket melihat siswa-siswi yang terlambat.
Dinka yang sudah mendapatkan tempat parkir tidak ingin bergaul dengan banyak orang, berusaha cuek, pura-pura tidak melihat sekitar dan pura-pura tuli. Saat melepaskan helmnya dan membuka bagasi motor untuk menyimpan helmnya, tiba-tiba ada yang menghampiri Dinka dan meletakkan tangannya dengan bebas di sadel motor Dinka.
"Kakak gak denger saya manggil-manggil ya?" ucap seorang siswa menghampiri Dinka, yang Dinka lihat dari lambangnya merupakan Pengurus OSIS.
"Ya? Oh maaf saya gak denger. Kenapa?" ucap Dinka dengan sopan.
"Jangan naruh helm di parkiran kak. Di sini banyak anak nakal. Nanti helmnya dicuri. Mending bawa ke kelas," tutur siswa itu.
Mendengar ucapan siswa itu, Dinka berpikir akan repot membawa helm ke sana ke mari. Pasti ada yang menggosipinya nanti. Kebiasaan anak kota ya takut banget barangnya hilang, sok sok-an. Ya walaupun itu hanya ada dalam pikiran Dinka.
"Gak papa, kemarin juga saya taruh helm di sini gak papa," ucap Dinka meyakinkan.
Kringggg.... Sepertinya Apel pagi akan dimulai.
"Udah ya kak. Kalau kakak gak mau naruh di kelas mending helmnya kasih ke saya aja. Nanti saya taruh di kantor biar aman," saran siswa itu.
"Gak usah. Gak papa, saya taruh di sini aja," ucap Dinka menolak dengan halus.
"Kepada seluruh siswa diharapkan segera menuju ke lapangan untuk Apel sekarang."
Siswa itu gemas akan tingkah Dinka langsung saja mengambil helm yang masih di pegang Dinka. Siswa itu bergegas menuju kantor. Dinka yang sadar akan itu langsung saja menutup kembali bagasi motor, berlari mengikuti siswa itu yang ternyata berjalan sangat cepat.
Dinka sudah berada di samping siswa itu berusaha untuk menyesuaikan langkahnya, Dinka sadar langkah kakinya membawanya menuju kantor kepala sekolah. Kenapa harus di kantor kepala sekolah? Sambil menatap siswa itu yang sudah memasang wajah datar, Dinka berucap dengan rasa kesalnya.
"Kamu kenapa maksa sih? Kan saya bilang gak usah," cegah Dinka dengan wajah kesalnya.
"Kalau yang kakak khawatirin takut untuk ngambilnya. Nanti saya yang ambilin, pas pulang kakak tinggal tunggu di parkiran aja," ucap siswa itu.
"Sekali lagi, kepada seluruh siswa diharapkan segera menuju ke lapangan Apel sekarang."
"Aish, terserah kamu aja," Dinka yang sudah jengkel langsung bergegas meninggalkan siswa itu. Bermaksud menuju kelas menaruh tasnya. Lalu bergegas menuju lapangan.
"Kak, nama saya Aryan kelas XI IPA!" teriak siswa itu. Dinka masih mendengarnya, mengatakan dalam hati 'Bodo amat!' melanjutkan langkahnya.
***
Sesuai kata Nada kemarin, setelah kegiatan pasti banyak jam yang kosong. Karena jam kosong, banyak siswa yang memilih keluar kelas sekedar untuk duduk di kursi taman dan ada juga yang pergi ke kantin. Tapi, Dinka hari ini memilih untuk tetap di dalam kelas karena cuaca hari ini begitu terik menyengat kulitnya.
Sambil duduk di kursinya, Dinka memilih memainkan ponselnya. Setelah beberapa lama asyik dengan ponselnya. Tiba-tiba saja Dinka mendengar keributan dari luar ternyata banyak siswa yang berlari menuju satu titik. Gea yang juga ada di dalam kelas memilih tidur di jam kosong ini pun jadi terusik. Gea terbangun langsung berdiri, karena 'kepo'. Dengan suara yang dibesarkan Gea bertanya pada orang yang tepat di depan kelas.
"Ada apa sih?"
"Ada gempa," ucap orang itu sambil berlari.
Walau saat itu tidak merasakan adanya gempa, Dinka langsung saja ikut berlari keluar kelas dan mengikuti kemana orang itu pergi dan Gea juga mengikuti. Aneh memang tapi itu terjadi secara spontan. Selepasnya lari, Dinka tiba-tiba berhenti tepat di depan kelas XII IPS. Ternyata orang-orang yang berlari tadi hanya ingin menyaksikan dua orang yang sedang berkelahi. Ah, Dinka sudah tertipu oleh orang itu 'Dasar usil.' batinnya.
"Aish, gue kira gempa beneran. Ganggu banget padahal gue udah tidur nyenyak tadi," Gea yang juga sudah berada di samping Dinka, berucap dengan kesal.
Tapi pikir Dinka, mengapa tidak sekalian saja ikut melihat selagi sudah di sini. Karena banyak yang berkerumun dan posisi Dinka yang berada di belakang. Membuatnya tak bisa melihat siapa yang sedang berkelahi.
Perkelahian itu tinggal adu mulut dan dorong-dorongan saja. Sepertinya yang baru datang ketinggalan melihat adu jotosnya, itu karena Dinka bisa melihat salah satu dari mereka ada yang babak belur dan Dinka pun tidak mengenali itu siapa. Tapi, walau hanya tinggal adu mulut tidak ada yang mau beranjak dari tempatnya tetap saja menyaksikan. Ingin mengetahui permasalahannya mungkin?
Tak lama kemudian datang guru BK.
"Sudah-sudah kalian yang tidak bersangkutan silahkan bubar."
Setelah guru BK berkata seperti itu, beberapa siswa yang menyaksikan pergi meninggalkan tempat, ya bubar. Kebetulan perkelahian itu berada di depan kelas jadi yang lain tak memikirkan untuk bubar sama seperti Dinka.
Karena beberapa siswa sudah bubar, akhirnya Dinka melihat siswa yang satunya lagi. Tunggu, itu bukannya laki-laki yang menghampiri Dinka kemarin? Ternyata benar dugaan Dinka, laki-laki itu anak yang nakal.
"Raka, Gani, ke ruangan bapak sekarang."
"Tapi Raka yang salah pak!" ucap Gani tak terima. Raka? Dia responnya biasa saja. Mungkin saja dia sudah sering keluar-masuk ruang BK.
"Sudah nanti kamu jelaskan di ruang BK saja," ucap guru tersebut dengan kedua tangan di belakang punggung dan menepuk-nepuk punggung guru itu sendiri dengan kayu rotan yang kebetulan dipegangnya sambil melangkahkan kakinya menuju ruangannya.
Merasa Raka dan Gani tidak mengikutinya dari belakang, sontak saja guru tersebut memberhentikan langkahnya dan berbalik.
"Tunggu apa lagi?" ucap guru tersebut sambil melangkah kembali menuju dimana Raka dan Gani berdiri saling menatap benci.
"Masih perlu saya tuntun lagi?" ucap Guru tersebut sambil menepuk pelan rotan yang dipegangnya ke telapak tangan guru itu sendiri, mendengar hal itu Raka dan Gani sontak saja langsung berjalan dan mengatakan.
"Tidak perlu pak," ucap Gani dengan takut.
"Tidak usah repot-repot pak. Saya bisa jalan sendiri," ucap Raka dengan cepat. Karena tahu apa yang akan Guru BK lakukan setelah berbicara seperti itu.
"Tunggu!" ucap guru tersebut, berjalan sambil merenggangkan kedua tangannya.
"Sini kalian," dan langsung menjewer satu telinga Raka dan Gani sambil melanjutkan langkahnya.
"Aaaa iya pak!"
"Sakit aelah!"
Setelah yang bermasalah dibawa ke ruang BK, tinggallah siswa-siswi yang masih berada di tempat kejadian lebih tepatnya di taman depan kelas XII IPS sembari berbasa-basi.
"Ko? itu mereka kenapa bisa berantem sih?" tanya Gea penasaran kepada salah satu siswa di kelas itu.
"Itu Ge, kelas gue kan disuruh bersih-bersih sama wali kelas. Nah Gani sama Raka dapat bagian untuk nyabut rumput-..." Belum selesai ucapan siswa itu, Gea sudah memotong ucapannya.
"Oo.. Gue tahu. Gani marah sama Raka karena Raka gak ngelakuin tugasnya. Alhasil cuma Gani doang yang nyabut rumput. Benerkan!" seru Gea seolah ia tahu apa yang terjadi.
"Gue belom selesai ngomong!" ucap siswa itu dengan kesal.
"Lah tapi yang gue omongin benerkan?" ucap Gea dengan percaya diri.
"Kurang tepat!" ucap siswa itu.
"Biasa aja kali."
"Terus yang tepat apa?" ucap Dinka yang juga penasaran.
Sepertinya siswa itu tidak memperhatikan adanya Dinka di situ. Sontak saja siswa itu mengeluarkan ekspresi kagetnya.
"Astaga, gue kira lo hantu..." ucap siswa itu sambil memalingkan wajahnya.
Tidak heran jika siswa itu mengira hantu, karena Dinka berdiri di sampingnya dengan rambut hitamnya yang panjang terurai.
"Yang tepatnya itu, kata Gani gak masalah sebenernya kalau Raka gak ngebantu dia. Asalkan Raka gak ganggu yang lain lagi kerja. Soalnya Gani tahu watak Raka tuh kayak gimana. Susah banget buat disuruh bersih-bersih kelas," jelas siswa itu.
"Terus?" tanya Gea.
"si Gani kan lagi nyabut rumput yang tinggal dikit lagi udah selesai, tiba-tiba aja Raka yang lagi lari-lari terus gak sengaja nendang rumput yang udah dicabut terus dikumpulin sama Gani. Alhasil kehambur lagi."
"Terus mereka berantem, gitu?" tanya Dinka.
Siswa itu mengangguk menyetujui.
"Iya. Gimana gak jengkel juga si Gani. Raka gak minta maaf sama sekali sama Gani yang udah kepanasan kerja di bawah teriknya matahari nyabut rumput. Malahan Raka masih sempet mau lari-lari lagi," ucap siswa itu dengan memberhentikan penjelasannya untuk menghela nafasnya sejenak.
"Terus Gani panggil si Raka. Dan terjadi lah kayak yang tadi," lanjut siswa itu.
"Oh, sampe segitunya diberantemin," lanjut Gea dengan suara kecil dan Dinka mengangguk menyetujui.
'Anak nakal' Ucap Dinka dalam hati.
"Yaudah, makasih yaudah ngejelasin. Gue balik kelas dulu. Yuk Din kita ke kelas," ujar Gea sambil menarik tangan Dinka.
"Iya," seru Dinka.
" Gue lupa sama lo. Maaf"Dinka"Kenapa harus gagal lagi?"Radit***Setelah bubaran Apel siang. Dinka langsung menuju parkiran. Untuk mengambil motornya, agar ia cepat pulang. Karena Dinka berpikir ia harus dapat waktu tidur siang yang cukup agar sebentar malam tidak mengantuk di pasar malam. Tidak lucu kalau dirinya ketiduran di pasar malam.Namun sepertinya keinginan Dinka untuk cepat pulang tidak bisa terwujudkan karena masih menunggu siswa yang bernama Aryan itu untuk mengambil helmnya kembali. Dan Dinka tidak suka menunggu untuk hal yang tidak bisa dipastikan kapan datangnya. Sekolah sudah mulai agak sepi. Tapi Aryan belum juga kelihatan wujudnya. Dinka yang sudah k
"Bahagiaku adalah saat kamu tersenyum,"***Dinka sudah terbangun dari tidur siangnya. Betapa senangnya hati Dinka saat melihat notifikasi dihandphone-nya. Sebuah pesan yang berisi bahwa Dinka diberi izin oleh ayahnya untuk pergi ke pasar malam bersama Diki, kakaknya. Dinka langsung membangkitkan dirinya dari tempat tidur. Berlari menuju dapur mencari seseorang yang sangat ingin dipeluknya."Bunda?" panggil Dinka sambil masih melihat kesana-kemari."Ya nak, ada apa manggil-manggil?" sahut bunda Dinka dari dapur."Diki mana bun?" tanya Dinka dengan perasaan senangnya.
"Lucu ya, saling suka tapi terlalu malu mengungkapkan perasaan secara langsung, masih butuh perantara."***Dinka yang belum tidur masih tetap duduk di kursi dekat meja belajarnya. Mencoba fokus pada bukunya, tetapi ada hal yang membuatnya ingat akan sesuatu saat melihat luka di tangannya."Si Jay, gimana kabarnya ya?""Setiap gue luka, pasti dia yang ngobatin," ucap Dinka sambil mengusap pelan pergelangan tangan kiri yang telah diperban karena luka goresan."Jadi kangen," lirih Dinka.'Kalau kangen bilang ya. Jangan dipendam. Gak enak.'"Aish, kenapa saat lagi inget Jayden. Jadi inget dia juga sih. Ganggu. Hus huss," ucap Dinka mengetuk kepalanya dengan kepalan tangan kanannya lalu mengibas di depan mukanya seolah bayangan Radit ada di sana."Tapi ada benernya juga sih apa kata dia, mending gue telfon si Jayden aja ya,"
"Jadi ini ketertarikan yang dia maksud? lain kali tolong perjelas setiap kata yang ingin diutarakan. Jangan membuat orang merasa diistimewakan oleh suatu perkataan itu. Terlalu sakit untuk dibayangkan kembali." Dinka"Tertarik untuk berteman tidak salahkan?" Raka"Gue ingin cepat-cepat ada di samping lo. ngejaga lo dan ngejauhin lo dari orang yang ingin nyakitin lo." Jayden***Dinka sudah tiba di sekolah setengah jam lebih cepat, sekarang Dinka berada di parkiran sekolah dan Dinka bertemu dengan Aryan lagi di sana."Kak, sini helmnya," ucap Aryan dengan tidak semangat karena masih memikirkan Dinka
Usai mendengar keputusan sepihak Jayden. Dinka terlihat tidak semangat, sejak tadi Dinka sudah berada dalam kelas sedang duduk manis dan menatap kosong ponselnya. Kelas sedang sepi karena jam kosong masih berlanjut, hanya ada beberapa orang saja yang berada dalam kelas. Termasuk Gea yang pastinya sedang tidur dengan kepalanya yang bertumpu di meja beralaskan kedua tangannya.Dinka tidak bisa menelpon Jayden karena pulsa yang tidak mencukupi. Chat Online? Sudah banyak pesan yang Dinka kirimkan tapi Jayden tidak membacanya, padahal Jayden sedang aktif. Menelponnya lewat aplikasi? Sudah Dinka lakukan, semuanya sudah Dinka lakukan. Tapi tetap saja tidak direspon oleh Jayden.Teringat akan keputusan Jayden, Dinka lalu memberi kabar kepada kakaknya lewat pesan W***sA*p. Tidak lama kemudian Diki menelponnya."Ha--" Dinka baru saja mendekatkan ponselnya ke telinganya. Kakaknya sudah bicara duluan.
Siapa pun akan mengatakan Jayden tidak waras. Demi Dinka, dia rela mengambil penerbangan malam itu juga menuju kota tempat dia tinggal setelah siang itu ia berbincang dengan Dinka. Pers*tan dengan orang tuanya yang selalu sibuk dengan pekerjaan mereka itu, yang pasti Jayden tidak akan melepaskan jangkauannya dari Dinka.Setelah 2 jam perjalanan, Jayden sudah sampai di Kota. Dia langsung menuju ke rumahnya, tanpa istirahat dahulu pemuda itu mengambil mobil untuk dikendarainya menuju kampung Dinka. Tenang saja, Jayden sudah memiliki izin untuk mengemudi.Nekat? Jangan ditanya lagi. Dia Jayden, demi Dinka orang yang dia sayang dan orang yang benar-benar mengubah hari-harinya menjadi berwarna apa pun akan dia lakukan. Walaupun dia harus menempuh perjalanan sekitar 7 jam menuju di mana sekarang Dinka tinggal. Dia akan melakukannya, walaupun di hari yang sudah larut malam."Tunggu gue Dinka," ucap Jayden yang sudah mengendarai mobilnya. Sendirian.***
"Dinka!" panggil Aryan menghampiri Dinka sudah sampai di parkiran sekolah."Siapa?" tanya Aryan saat melihat Dinka bersama Jayden turun dari motor. Jayden menggunakan seragam yang digunakan Diki sewaktu SMA."Temen gue, Yan. Mau sekolah titipan di sini juga, namanya Jayden," ucap Dinka memperkenalkan Jayden ke Aryan. Diikuti anggukan oleh Jayden dan Aryan."Gue Jayden, temen Dinka.""Oh, gue Aryan. Temen kecil Dinka. Kalau tingkatan sekolah, gue adik kelasnya," ucap Aryan memperkenalkan diri kepada Jayden."Yan, mulai hari ini gak usah taruh helm di kantor ya. Gue taruh di sadel motor aja. Kasian lo nya bolak balik kantor," tutur Dinka.Dibalas anggukkan oleh Aryan."Ya udah deh, terserah lo. Sekolah juga kemarin udah masang CCTV," ucap Aryan sambil menunjuk letak CCTV dipasang, "keren gak?""Iya,""Karena lo tau gak, Kepala Sekolah l
Satu minggu setelah Radit dan Jayden mengibarkan bendera perang. Dinka malahan terlihat semakin dekat dengan Radit karena sejak pertama perlakuan manis Radit yang memberikan klepon padanya membuat Dinka menimang kembali untuk bermusuhan dengan Radit. Tapi, bukan berarti ia menaruh hati pada Radit.Berita tentang Dinka yang menjadi bahan rebutan oleh dua orang ini pun masih saja menjadi perbincangan hangat satu sekolah. Kedekatan Dinka dan Radit pun semakin mudah terlihat karena pasar malam yang sekarang berjadwal di daerah tinggal Gadis itu, desa di mana Dinka dan Radit tinggal. Mereka berdua sering berpergian ke pasar malam bersama.Tentu saja, kedekatan mereka tidak mungkin tanpa gangguan dari Jayden. Jayden pastinya mengikuti mereka berdua ke pasar minggu menjadi dinding pemisah antara Radit dan Dinka.Dinka diberi izin pergi ke pasar malam jika ada Jayden yang menemaninya. Kata Diki, 'takut nanti ada orang jahat ya
Dinka menundukkan kepalanya menerima lemparan demi lemparan telur yang tertuju padanya, orang-orang yang melempari beberapa namun banyak yang ikut mengerumuni, mereka melakukan itu karena menganggap Dinka hanyalah pengganggu."Cuma titipan tapi sok ngelabrak Vania!""Lo bukan apa-apanya dibanding Vania!""Dibaikin ngelunjak!""Lepas jaket lo penyakitan!"Woi!" Radit menembus kerumunan diikuti Jayden, Radit menatap sejenak pada Vania sembari menghela napas lalu menatap kerumunan."Woo!""Pahlawannya dateng!""Kalian bisa gak sih gak ngebully orang?! Kalian gak tau maksud dibelakangnya! Gak usah sok tau! dan gak usah sok ngebela dan nyudutin orang lain!" Geram Radit menatap satu per satu pelaku yang melempari Dinka menggunakan telur.Radit menatap ke belakangnya melihat Dinka yang saat ini sedang pegang bahunya oleh Jayden, Radit memang berdiri menghalangi teman-temannya yang melempar Dinka berusaha menutup
Setelah tiga hari dirawat, Dinka memaksakan diri untuk ingin pulang. Bunda gadis itu pun yang ikut melihat perkembangan dan menjaga saat Dinka dirawat pun memilih mengiyakan Dinka untuk pulang ke rumah dari pada mendapat tatapan iba dari teman-teman kerjanya di puskesmas yang bisa saja mengganggu ketenangan Dinka.Diki yang hari itu memilih menunggu di rumah menyambut kepulangan adiknya dengan senyum serta tatapan hangat, saat Dinka menapakkan kakinya di halaman rumah, kakak gadis itu langsung berjalan cepat padanya memberikan pelukan kasih sayang pada gadis itu. Tidak ada yang boleh menyakiti adiknya.Diki tau tatapan takut Dinka pada ayahnya sendiri masih ada walaupun hari sebelumnya ayahnya sudah meminta maaf dan berakhir menangis bersama antara keluarga itu, karena itu jugalah Diki memilih mengalihkan perhatian ketakutan Dinka denga
Setelah diberikan izin oleh Jayden, Radit melangkah masuk ke ruang rawat Dinka, "Din, H-Hai.." sapa canggung Radit karena takut-takut akan membuat Dinka merasa tidak nyaman akan kehadirannya. Berbeda seperti biasanya, Radit melihat Dinka yang sekarang bukanlah Dinka yang ia temui sebelumnya, tatapan gadis itu seperti kosong tak ada maksud. Radit dengan perlahat mendekat sembari menarik sudut bibirnya untuk tersenyum. Namun tetap, hal yang ia dapatkan hanyalah kebisuan dalam ruangan itu, kedipan mata Dinka pun seperti tak memiliki arti manusia yang ingin melanjutkan hidupnya. Sangat kosong dan benar-benar kosong. Sama halnya saat tatapan Dinka melempar ke arah luar, Jayden yang sengaja mengintip dan mendapatkan tatapan seperti itu dari Dinka pun merasakan bahwa tatapan gadis itu hanyalah refleks tubuhnya tanpa terbawa perasaan apapun, seperti perasaan bernyawa namun terkesan mati. "Hai Din," sapa Radit lagi kepada Dinka yang tetap menatapnya diam. Radit tetap
Sampai di rumah dengan cepat ayahnya mematikan motor dan mulai menarik kasar tangan Dinka untuk masuk ke dalam dapur, Dinka mulai ketakutan melihat ayahnya yang tak menunjukan wajah ramah seperti biasanya kepadanya.Plak!Terdengar suara tamparan berasal dari tangan sang ayah yang tak pernah menampar anak-anaknya itu. Dinka yang dihadiahi tamparan itu merasa kaget, dan langsung meneteskan air mata saking kuat dan sakitnya tamparan ayahnya.Bahkan tiga orang, Bunda, Jayden dan Diki yang berada di ruang tamu terkaget akan kejadian yang cepat terjadi itu."A-Ayah," ucap Diki ikut ketakutan melihat Dinka yang ditampar oleh ayahnya yang mulai menampakkan wajah beringasnya. Ayah dua anak itu mengabaikan ucapan Diki.Dinka yang tertunduk menahan tangis yang rasanya mulai meluruh akan tindakan ayahnya tidak pernah sekalipun marah kepadanya."Ayah gak pernah sekalipun ajar
"Andra lo nggak sadar sama apa yang udah lo lakuin ke gue? Bukan lo yang tersakiti disini tapi gue, jadi jangan seolah-olah elo yang jadi korban!" ucap Dinka menunjuk dirinya sendiri dengan suara yang mulai hilang.Andra yang sebenarnya juga tidak kuat kuasa menahan dan mendengar suara lirih Dinka mulai mengusak-usakan rambutnya ke belakang."Apa?!" tegas Andra. Andra menarik napasnya sebelum mengangkat bicara lagi."Apa yang gue nggak ngerti disini?! apa yang nggak gue sadar?! Gue lihat dengan mata kepala gue sendiri kalau lo jalan sama Jordan! Sepupu gue sendiri Dinka! Bahkan di jalan gue lihat lo pelukan sama dia, lo selingkuh Din! dasar murahan!" ucap Andra menahan suaranya agar tidak membesar dan didengar oleh orang-orang."Andra," ucap Dinka sekali lagi sambil memejamkan matanya sejenak lalu mulai mencoba berani menatap Andra dan dirinya sungguh-sungguh ingin menuntaskan percakapan ini walau dirinya
Setelah Jayden dan Dinka membersihkan diri, semuanya berkumpul di ruang makan mereka menyantap makan malam bersama dengan tenang. Sementara ayah saat melihat jika santapan makan malam itu sudah hampir tandas, kepala rumah tangga itu mulai mengangkat bicara dan mengatakan pada Dinka."Dek? Besok kamu ikut ayah ke rumah temen ayah ya? yang anaknya yang seumuran kamu itu, siapa ya namanya? kok ayah lupa."Orang yang diajak bicara oleh ayah tersedak karena merasa kaget akan mengucapkan sang ayah, bukan hanya Dinka melainkan Diki dan juga Jayden merasa kaget akan hal itu.Sedangkan bunda yang mengetahui rencana ayah untuk mengajak Dinka silahturahmi ke teman lama sekaligus senior saat kuliah suaminya itu hanya ikut terdiam. Walaupun mulai terburu-buru berusaha untuk mengambil air minum dan memberikannya kepada Dinka karena Dinka yang sedang tersedak."Maksud Ayah, kita ke rumah Andra?" tanya Dinka setelah meras
"Mereka lucu gak sih?" tanya Dinka melihat anak penyu yang sedang diurus oleh petugas pantai di sana.Dinka dengan segala tingkah lucunya melihat anak penyu sambil memanyunkan bibirnya dan tangan yang bergerak gemas seolah ingin memegang anak penyu tersebut membuat Jayden yang tersenyum mulai terkekeh."Mau pegang anak penyu nya gak mbak?" tanya seorang petugas pantai yang lumayan muda sepertinya pekerja baru atau anak dari petugas pantai yang ada disini karena lumayan tua.Dinka dan Jayden menoleh ke arah petugas pantai tersebut, "emang boleh mas?""Boleh mba," ucap petugas tersebut melemparkan senyuman yang dibalas senyum tipis oleh Dinka, lalu petugas itu mempersilahkan Dinka untuk mengikutinya menuju ke arah penyu yang sudah diperbolehkan untuk disentuh oleh wisatawan.Jayden melihat interaksi keduanya rasanya ingin melemparkan kepalan tangan pada petugas tersebut karena berani-beraninya tersenyum pada gadisnya, "cih!"***"Seneng
Sudah lebih dari dua minggu Dinka sekolah dengan status siswa yang berbeda, melihat perkembangan Dinka dan jadwal sekolah yang tidak beraturan membuat ayah Dinka mengatakan kepada DInka dan juga Jayden untuk istirahat sejenak."Kalian berdua besok gak usah ke sekolah aja dulu," ucap ayah Dinka sambil menatap layar yang masih memberitakan keadaan terkini di kota setelah bencana yang sudah lewat sekitar 2 minggu yang lalu.Ucapan ayah Dinka mendapatkan respon yang membuat orang seisi rumah terkejut, pasalnya baru kali ini ayah Dinka menyuruh anaknya untuk tidak ke sekolah."ih, Ayah!" seru Dinka tidak terima, ini bukan alasan Dinka seperti remaja yang sedang jatuh cinta dan semangat untuk pergi ke sekolah, apalagi bertemu dengan Radit, bukan.
Dinka duduk bersila di rerumputan tepat pada lapangan luas sekolah. Tentu saja dirinya tidak bodoh, dirinya duduk di bawah pohon menghindari panasnya terik matahari.Dinka sedang meminum minuman gelas ditemani Gea dan Tirni di sampingnya. Gea dan Tirni sedang membicarakan cowok yang mereka sukai, kata yang lebih keren dikalangan kaum perempuan, curhat."Cowok mulu diurusin," sahut Dinka yang sedari tadi hanya menjadi pendengar curhatan para jomblo ngenes bawa perasaan."Emang lu mau tukeran jiwa?" ucap Gea."Mentang-mentang lo yang dikejar cowok-cowok, sok iye," seru Tirni dengan nada bercanda."Kalau keberuntungan gue kayak lo, kalau gue cantik kayak lo, udah dari dulu gue diem aja, biarin cowoknya yang dateng," iri Gea."Gak usah diomongin, cowok lo udah ada di depan mata," Tirni berucap sembari menyenggol tangan Dinka, lalu menunjuk dengan lirikan mata siapa yang datang