"Apa semudah itu ketertarikan perempuan pada lawan jenis? Hanya sekedar mirip seseorang yang ia sukai?" Dinka
"Cantik, gue tertarik sama lo." Seorang laki-laki
"Saya harus bisa dekat sama kamu." Radit
***
Kriingggg... Bunyi bel, tanda istirahat tiba.
"Dinka ayo ke kantin. Kita makan," ajak Nada sembari mengisyaratkan dengat tangannya yang sedang makan kosong.
"Duluan aja. Lagian gue udah sarapan tadi di rumah," ucap Dinka.
"Oh, ok. Gue duluan ya," seru Nada. Setelah melihat Dinka mengangguk Nada menoleh ke bangku belakang, "Van ayoo."
Van? Siapa? Nada bukan memanggil Dinka? Van panggilan yang berbeda dengan nama Dinka.
"Vania ayo!" ucap Nada agak keras, karena orang yang dipanggil tidak mendengarkan panggilannya.
Tunggu dulu, Vania? Jadi Vania teman sekelas? Dinka mengira kalau Vania yang dibilang teman-teman tadi adik kelas.
Setelah menengok kebelakang Dinka mengerti. Pantas saja Dinka baru tahu, kalau Vania teman sekelas. Ternyata Vania adalah orang yang tadi baru masuk kelas dengan alasan selesai rapat pengurus inti OSIS yang diadakan dari jam pertama mulai hingga istirahat.
"Ayo, Dinka gue duluan ya," ucap Nada berjalan sambil menggandeng tangan Vania.
"Gue duluan ya," Vania ikut berseru.
"Iya," sahut Dinka sambil mengangguk.
Pelajaran selanjutnya juga kosong, kata Nada ini sering terjadi jika ada kegiatan di minggu sebelumnya pasti saja satu minggu berikutnya banyak jam kosong. Bosan berada dalam kelas terus. Dinka pergi keluar sambil membawa tasnya yang di dalamnya berisikan botol air minum, katanya buat jaga-jaga jika nanti haus supaya tidak bolak-balik ke kelas lagi.
Dinka menuju bangku taman depan kelas. Ternyata di situ ada teman SD Dinka lalu. Gea bersama temannya yang Dinka belum ketahui namanya.
"Gea!" Panggil Dinka.
"Eh Dinka, sini gabung," seru Gea mengajak Dinka untuk gabung.
"Hai!" sapa ramah teman Gea tersebut.
"Kenalin gue Tirni, teman sebangku Gea," ucap Tirni sambil mengulurkan tangan kanannya.
"Dinka." Ucap Dinka sambil berjabat-tangan dengan Tirni. Lalu duduk di bangku taman.
Usai berkenalan, mereka mulai bercakap-cakap walau awal agak canggung tapi dengan pembicaraan yang menyenangkan membuat mereka sewaktu-waktu tertawa.
"Hahaha iya, pokoknya jaman-jaman SD itu jaman terlucu sepanjang masa, gak bisa dilupain."
"Kalau diingetin, pasti bawaannya pengen ketawa mulu."
Di tengah pembicaraan mereka, tiba-tiba datang seorang laki-laki dari kelas sebelah, kelas IPS. Siswa itu langsung duduk di samping Dinka.
"Murid baru? Lo pindahan?" Laki-laki itu tiba-tiba bertanya sambil menatap mata Dinka. Tatapannya membuat Dinka terdiam sejenak, katakan saja terpesona, mungkin?
"Iya, tapi bukan pindahan," jawab Dinka.
"Terus?"
"Cuma murid titipan doang," jawab Dinka lagi. Laki-laki itu hanya mengangguk seolah mengerti.
"Nama lo siapa?" tanya Laki-laki itu sambil mengulurkan tangan kanannya untuk bersalaman
"Dinka," ucap Dinka tersenyum sambil menjabat tangan laki-laki tersebut. Menurut Dinka gerak-gerik dan tatapan laki-laki itu seperti salah satu orang yang disukai Dinka namun tidak bisa digapai, menawan. Walau sikap lelaki disampingnya ini agak sedikit dingin.
Karena memiliki kepribadian yang pemalu dan tak terbiasa dekat dengan laki-laki, Dinka memilih diam dan tidak balik bertanya walau hanya sekedar menanyakan nama laki-laki itu. Gea dan Tirni memasang ekspresi yang tidak bisa ditebak, melanjutkan pembicaraan berusaha untuk cuek dengan situasi canggung itu.
Dinka kira laki-laki itu hanya ingin sekedar tahu bahwa ada murid baru dan berkenalan saja. Tapi ternyata laki-laki itu tidak beranjak dari duduknya. Malah dia mulai pembicaraan dengan selalu menatap Dinka melali mata elangnya itu. Sekedar bertanya, bercerita yang dibumbui sedikit lelucon yang membuat Dinka ingin mengeluarkan tawanya tapi karena canggung di depan laki-laki itu, membuat Dinka hanya mengeluarkan senyumnya sambil memalingkan wajahnya untuk memandang sekitar.
Menatap Dinka dari samping, laki-laki itu tiba-tiba mengeluarkan suara yang hanya bisa didengar oleh Dinka.
"Lo cantik," ucapan itu membuat Dinka yang tadinya menghilangkan kegugupannya dengan mengayunkan kakinya tiba-tiba saja ayunan kakinya terhenti dan menoleh kembali ke arah laki-laki itu.
Dinka yang kaget dengan ucapan laki-laki itu spontan mengucapkan "Hm?" Semoga saja mulutnya tidak mengeluarkan bau, pikir Dinka.
"Lo can-tik," ucap laki-laki itu, mengulangnya dengan sedikit memperbesar dan memperjelas kata yang dikeluarkannya, membuat Gea dan Tirni yang berada disebelah Dinka yang lain ikut menoleh. Bahkan yang berlalu-lalang di depan koridor kelas IPA pun ikut mendengar tapi berusaha biasa saja dan kembali melanjutkan aktivitas.
Laki-laki itu menambahkan ucapannya dengan suara kecil agar hanya didengar oleh Dinka, yang sontak saja membuat Dinka salah tingkah. "Lo dilihat dari samping tetep cantik, jadi jangan keberatan kalau gue tertarik sama lo."
Dinka memalingkan wajahnya lagi dalam benaknya berbicara semoga saja ucapan lirih laki-laki itu tidak terdengar oleh yang lain. Saat memalingkan wajah, Dinka melihat bahwa kelas IPS siswa sudah berlarian untuk masuk mungkin gurunya sedang dalam perjalanan.
Tak beberapa lama benar saja dugaan Dinka, dari arah selatan koridor ada guru yang berjalan dan masuk ke kelas IPS. Dinka memalingkan wajahnya kembali ke arah laki-laki itu. Laki-laki itu juga ternyata melihat sejenak kearah kelasnya tapi tak beranjak dari duduknya, langsung saja Dinka berucap.
"Lo gak mau masuk kelas?" Tanya Dinka heran.
"Gak ah."
"Kenapa? Bolos?"
"Hmm," Laki-laki itu berpikir apa yang akan diucapnya. Benar dugaan Dinka.
Dilihat dari penampilan laki-laki ini yang bajunya di luar, tak memakai dasi, celana dikecilkan, memakai sepatu tapi tidak memakai kaos kaki, rambut yang sedikit panjang dan agak berantakan. Dinka menilai kalau laki-laki ini nakal dan suka bolos pastinya.
"Gak mau bolos, cuma males masuk aja. Males ngapalin sejarah otak mumet. Mending di sini bareng lo, otak gak mumet perasaan jadi adem."
Di saat seperti ini, laki-laki itu memberi alasan yang dibumbui gombalan. Dinka berbicara berusaha tidak terjebak dengan situasi. "Masuk gih, udah kelas tiga jangan sering bolos. Jangan lari dari tugas."
Ucapan Dinka sejenak tak diindahkan oleh laki-laki itu, malah laki-laki itu menoleh ke sana kemari sambil menyapa temannya yang sekedar lewat di depannya atau di sampingnya hingga laki-laki itu bertemu tatap dengan Dinka yang menatapnya diam namun mengintimidasi membuatnya mengiyakan saran Dinka.
"Iya iya, kalau yang cantik udah ngomong. Bakal gue laksanakan," setelah berkata seperti itu laki-laki itu beranjak dari duduknya, berlari menuju kelas sambil tersenyum menoleh dan melambaikan tangan ke arah Dinka membuat Dinka merasa seolah mau pergi jauh saja.
Untunglah dia mau masuk kelas, tapi apa katanya tadi 'kalau yang cantik udah ngomong? Bakal dilaksanakan' Ada-ada saja, memangnya ini upacara harus dilaksanakan? Entahlah tapi itu membuat Dinka tersenyum dengan menundukkan kepalanya yang membuat rambut panjangnya yang terurai mulai menutupi wajahnya, semoga saja tingkah Dinka tidak membuat Gea dan Tirni curiga.
"Lo jangan sampai baper ke dia Din," kata Tirni.
"Entar lo sakit hati," seru Gea.
Pikiran Dinka salah untuk saat ini, Gea dan Tirni ternyata dari tadi sudah memalingkan tatapan mereka ke arah Dinka memperhatikan gerak-gerik Dinka yang saat ini sedang salah tingkah.
"Kalau disuruh milih, gue lebih setuju lo sama Radit dari pada sama dia," sambung Gea.
Setuju-setuju untuk apa ini? Dinka hanya salah tingkah, apa tidak boleh? Dinka tidak memikirkan hal lebih. Lagi pula untuk sekarang Dinka tidak ingin menjalin hubungan, karena jika kakaknya tahu kalau Dinka pacaran dengan orang yang salah bisa habis orang itu dengan jurus bela diri yang dimiliki kakaknya. Itu hanya salah satu alasan Dinka.
Dan kenapa bawa-bawa Radit si tukang gombal itu? Kalau dipikir-pikir aneh juga rasanya. Padahal Dinka lebih menyukai orang yang rapi tidak seperti laki-laki tadi.
Radit, walau sering menjawab ucapan guru seperti tadi pagi. Radit adalah orang yang rapi dan cukup pintar. Untuk pintar itu Dinka tahu karena saat masuk pelajaran tadi, Radit bisa menjawab soal matematika dengan baik yang materinya baru saja diajari guru.
Tapi entah kenapa Dinka lebih terbawa perasaan oleh laki-laki itu dari pada Radit. Apa karena tatapan laki-laki itu seperti orang yang disukainya? Tapi masa sih hanya karena itu. Ah Dinka tidak mau memikirkannya.
"Gue gak baper sama dia, lagi pula lo setuju-setuju an apaan? Gue gak bakal milih siapa-siapa," ucap Dinka dengan perasaan gugup. Tapi untunglah Gea dan Tirni tak curiga.
"and then! kenapa harus bawa-bawa Radit sih?" tanya Dinka dengan diselimuti rasa heran.
"Gosip udah nyebar kali," seru Tirni.
Dinka meringis miris, dirinya benar benar tak suka jadi bahan gosip. Dilihatnya laki-laki itu keluar lagi menghampiri Dinka.
"Dinka gue pinjem pulpen dong. Gue gak bawa pulpen." ujar laki-laki itu tanpa tahu malu.
Sambil merogoh dalam tasnya untuk mengambil pulpen. Dinka berseru. "Ke sekolah kok gak bawa pulpen? Isi tas lo emang apaan?"
"Tadi gue kira satu hari penuh jam kosong."
"Jam kosong atau sengaja gak bawa apa-apa karena mau bolos?"
"Jujur ya, tadi sih mau bolos. Hehe."
"Hahe hahe. Udah sana masuk lagi," ucap Dinka sambil memberikan pulpen.
"Pulpennya jangan sampai hilang," sambung Dinka.
"Iya, makasih ya," seru laki-laki itu sambil berbalik lari menuju ke arah kelasnya.
Dari jauh ternyata sejak tadi Radit diam-diam memperhatikan Dinka. Rasanya tidak suka melihat Dinka bersama orang lain, tapi saat ini Radit memilih untuk membiarkannya saja. Untuk saat ini saja.
Sedangkan Owen yang baru saja menghampiri Radit, merasa terheran melihat teman karibnya itu terlihat fokus akan sesuatu membuat Owen mengikuti arah pandang Radit dan mulailah Owen mengerti kemana arah tujuan tatapan Radit, "lo suka ya sama Dinka?" Tukas Owen sambil menepuk pundak Radit dengan keras yang menimbulkan tatapan mata yang mendengar menoleh ke arah kedua lelaki itu.
Radit yang mendapat pukulan keras di pundaknya refleks menaruh telapak tangannya dimana tempat pukulan Owen mendarat, "Aww." Ucap Radit sesekali menoleh ke arah Dinka yang syukurlah Dinka sepertinya tidak mendengar pukulan dan perkataan Owen.
Setelah memastikan Dinka tidak mendengar suara rusuh yang ditimbulkan temannya ini, Radit berbalik kepada Owen dan mulai menyerang belakang kepala Owen dengan telapak tangannya, "Itu mulut mau gue lempar minyak panas gak? lemes banget tuh mulut!."
Radit berucap sambil memberi isyarat kepada Owen untuk diam dengan telunjuk tangan yang berada di depan bibirnya. Owen mendapat isyarat itu langsung mengulumkan bibirnya sendiri seolah sadar bahwa dirinya terlalu ceplas-ceplos.
"Dit, sini deh." Panggil Owen sembari memberi arahan dengan lambaian tangannya.
Radit yang tadi mengedarkan pandangannya kembali menoleh heran pada teman nya itu, "Apaan sih?" Gerutu Radit namun tetap melangkahkan kakinya mengikuti kemana Owen melangkah.
Setelah merasa jauh dari pendengaran orang-orang Owen mulai memberhentikan langkahnya lalu membalikkan tubuhnya untuk menghadap ke arah Radit yang sekarang memasang ekspresi bertanya. Owen mengangkat bicara, "Lo inget gak waktu kelas 5 SD? tentang Dinka?" tanya Owen dengan ambigu untuk didengar oleh Radit.
Radit sontak mengerutkan dahinya tanda tidak mengerti pembicaraan Owen, "Dinka? 5 SD? emang ada gitu temen kita yang namanya Dinka? Perasaan gak ada deh."
Owen menghela napas, "Itu lah kepikunan lo. hati-hati loh lo sama dia. Bisa abis lo kena amukan emak lo." ucap Owen mengisyaratkan sebuah arti namun terdengar ambigu oleh Radit.
"Apaan sih? gak jelas banget."
Melihat Radit yang masih tidak mengerti akan arah pembicaraan ini membuat Owen merasa ini mungkin memang bukan waktu yang tepat untuk mengungkit kejadian 7 tahun lalu. "Udahlah gak jadi."
Radit menatap dengan cengo membuat Owen terlintas ide jahilnya, "sebenernya gue mau ngomong..." ucap Owen sambil berjalan ke belakang tubuh Radit yang memang mulai akan berjalan ke arah kelas.
Radit yang masih penasaran akan pembicaraan Owen yang sedari tadi ambigu terdengar di telinganya membuatnya ikut membalikan badannya dan mulai mengikuti langkah lamban Owen dan berujar, "ngomong apaan sih?"
"Tunggu." Ucap Owen sesekali berjalan mundur. "Lo harus hitung satu sampai tiga."
Tak ingin berdebat membuat Radit mulai mengikuti perintah Owen, "Satu.... Dua.... Ti"
pruuut...
Belum selesai Radit berhitung sudah disambut dengan suara kentut Owen yang begitu terdengar dan disusul oleh bau yang menyengat. sementara pelaku yang kentut sudah berlari menuju kelas, "Owen sialaaaaan..." teriak Radit sembari mengejar temannya itu.
Dan terjadilah kejar-kejaran antara mereka berdua dan menjadi pusat perhatian karena sampai berlari ditengah lapangan.
"Maafin saya yang ngancurin kesan di hari pertama kita bertemu." Radit "Apapun akan gue lakuin untuk buat adek gue ceria lagi. Gue sayang adek gue." Sang kakak *** Kringgg... Bel panjang menandakan waktunya pulang, Dinka berjalan keluar kelas beriringan dengan Gea dan Tirni sambil menghembuskan nafas leganya. Betapa senangnya hati Dinka. Hari pertamanya masuk sekolah berjalan dengan baik. Walaupun lebih banyak jam kosong yang membuat Dinka merasa sedikit rugi. "Perhatian-perhatian, mohon maaf kepada bapak/ibu guru yang masih berada dalam kelas. Kepada seluruh siswa diharapkan segera menuju ke lapangan." "Itu ngapain semuanya disuruh ke lapangan?" tanya Dinka terheran walau pun sepertinya Dinka mengetahui arah dan tujuan suara itu. Perkataan itu sering Dinka dengar di SMA 3 Garuda.
"Pendiam, bukan berarti tidak memiliki umpatan jahat dalam hatinya." Dinka"Lo gakingetgue," Siswaosis***Pagi harinya, terlihat Dinka yang sudah memakai seragam sekolahnya sedang duduk di kursi berkumpul di meja makan bersama ayah, bunda dan kakaknya, Diki. Terlihat berbeda dari biasanya, Dinka makan dengan tentram tanpa ocehan bahkan sesekali melamun dan saat ditanya hanya menjawab jika Dinka memang ingin meresapi makanannya. Orang tua mereka menerima alasan si bungsu sedangkan Diki merasakan adiknya sedang berbohong. Usai sarapan Dinka bergegas ke bagasi untuk memanaskan motornya sejenak sebelum
" Gue lupa sama lo. Maaf"Dinka"Kenapa harus gagal lagi?"Radit***Setelah bubaran Apel siang. Dinka langsung menuju parkiran. Untuk mengambil motornya, agar ia cepat pulang. Karena Dinka berpikir ia harus dapat waktu tidur siang yang cukup agar sebentar malam tidak mengantuk di pasar malam. Tidak lucu kalau dirinya ketiduran di pasar malam.Namun sepertinya keinginan Dinka untuk cepat pulang tidak bisa terwujudkan karena masih menunggu siswa yang bernama Aryan itu untuk mengambil helmnya kembali. Dan Dinka tidak suka menunggu untuk hal yang tidak bisa dipastikan kapan datangnya. Sekolah sudah mulai agak sepi. Tapi Aryan belum juga kelihatan wujudnya. Dinka yang sudah k
"Bahagiaku adalah saat kamu tersenyum,"***Dinka sudah terbangun dari tidur siangnya. Betapa senangnya hati Dinka saat melihat notifikasi dihandphone-nya. Sebuah pesan yang berisi bahwa Dinka diberi izin oleh ayahnya untuk pergi ke pasar malam bersama Diki, kakaknya. Dinka langsung membangkitkan dirinya dari tempat tidur. Berlari menuju dapur mencari seseorang yang sangat ingin dipeluknya."Bunda?" panggil Dinka sambil masih melihat kesana-kemari."Ya nak, ada apa manggil-manggil?" sahut bunda Dinka dari dapur."Diki mana bun?" tanya Dinka dengan perasaan senangnya.
"Lucu ya, saling suka tapi terlalu malu mengungkapkan perasaan secara langsung, masih butuh perantara."***Dinka yang belum tidur masih tetap duduk di kursi dekat meja belajarnya. Mencoba fokus pada bukunya, tetapi ada hal yang membuatnya ingat akan sesuatu saat melihat luka di tangannya."Si Jay, gimana kabarnya ya?""Setiap gue luka, pasti dia yang ngobatin," ucap Dinka sambil mengusap pelan pergelangan tangan kiri yang telah diperban karena luka goresan."Jadi kangen," lirih Dinka.'Kalau kangen bilang ya. Jangan dipendam. Gak enak.'"Aish, kenapa saat lagi inget Jayden. Jadi inget dia juga sih. Ganggu. Hus huss," ucap Dinka mengetuk kepalanya dengan kepalan tangan kanannya lalu mengibas di depan mukanya seolah bayangan Radit ada di sana."Tapi ada benernya juga sih apa kata dia, mending gue telfon si Jayden aja ya,"
"Jadi ini ketertarikan yang dia maksud? lain kali tolong perjelas setiap kata yang ingin diutarakan. Jangan membuat orang merasa diistimewakan oleh suatu perkataan itu. Terlalu sakit untuk dibayangkan kembali." Dinka"Tertarik untuk berteman tidak salahkan?" Raka"Gue ingin cepat-cepat ada di samping lo. ngejaga lo dan ngejauhin lo dari orang yang ingin nyakitin lo." Jayden***Dinka sudah tiba di sekolah setengah jam lebih cepat, sekarang Dinka berada di parkiran sekolah dan Dinka bertemu dengan Aryan lagi di sana."Kak, sini helmnya," ucap Aryan dengan tidak semangat karena masih memikirkan Dinka
Usai mendengar keputusan sepihak Jayden. Dinka terlihat tidak semangat, sejak tadi Dinka sudah berada dalam kelas sedang duduk manis dan menatap kosong ponselnya. Kelas sedang sepi karena jam kosong masih berlanjut, hanya ada beberapa orang saja yang berada dalam kelas. Termasuk Gea yang pastinya sedang tidur dengan kepalanya yang bertumpu di meja beralaskan kedua tangannya.Dinka tidak bisa menelpon Jayden karena pulsa yang tidak mencukupi. Chat Online? Sudah banyak pesan yang Dinka kirimkan tapi Jayden tidak membacanya, padahal Jayden sedang aktif. Menelponnya lewat aplikasi? Sudah Dinka lakukan, semuanya sudah Dinka lakukan. Tapi tetap saja tidak direspon oleh Jayden.Teringat akan keputusan Jayden, Dinka lalu memberi kabar kepada kakaknya lewat pesan W***sA*p. Tidak lama kemudian Diki menelponnya."Ha--" Dinka baru saja mendekatkan ponselnya ke telinganya. Kakaknya sudah bicara duluan.
Siapa pun akan mengatakan Jayden tidak waras. Demi Dinka, dia rela mengambil penerbangan malam itu juga menuju kota tempat dia tinggal setelah siang itu ia berbincang dengan Dinka. Pers*tan dengan orang tuanya yang selalu sibuk dengan pekerjaan mereka itu, yang pasti Jayden tidak akan melepaskan jangkauannya dari Dinka.Setelah 2 jam perjalanan, Jayden sudah sampai di Kota. Dia langsung menuju ke rumahnya, tanpa istirahat dahulu pemuda itu mengambil mobil untuk dikendarainya menuju kampung Dinka. Tenang saja, Jayden sudah memiliki izin untuk mengemudi.Nekat? Jangan ditanya lagi. Dia Jayden, demi Dinka orang yang dia sayang dan orang yang benar-benar mengubah hari-harinya menjadi berwarna apa pun akan dia lakukan. Walaupun dia harus menempuh perjalanan sekitar 7 jam menuju di mana sekarang Dinka tinggal. Dia akan melakukannya, walaupun di hari yang sudah larut malam."Tunggu gue Dinka," ucap Jayden yang sudah mengendarai mobilnya. Sendirian.***
Dinka menundukkan kepalanya menerima lemparan demi lemparan telur yang tertuju padanya, orang-orang yang melempari beberapa namun banyak yang ikut mengerumuni, mereka melakukan itu karena menganggap Dinka hanyalah pengganggu."Cuma titipan tapi sok ngelabrak Vania!""Lo bukan apa-apanya dibanding Vania!""Dibaikin ngelunjak!""Lepas jaket lo penyakitan!"Woi!" Radit menembus kerumunan diikuti Jayden, Radit menatap sejenak pada Vania sembari menghela napas lalu menatap kerumunan."Woo!""Pahlawannya dateng!""Kalian bisa gak sih gak ngebully orang?! Kalian gak tau maksud dibelakangnya! Gak usah sok tau! dan gak usah sok ngebela dan nyudutin orang lain!" Geram Radit menatap satu per satu pelaku yang melempari Dinka menggunakan telur.Radit menatap ke belakangnya melihat Dinka yang saat ini sedang pegang bahunya oleh Jayden, Radit memang berdiri menghalangi teman-temannya yang melempar Dinka berusaha menutup
Setelah tiga hari dirawat, Dinka memaksakan diri untuk ingin pulang. Bunda gadis itu pun yang ikut melihat perkembangan dan menjaga saat Dinka dirawat pun memilih mengiyakan Dinka untuk pulang ke rumah dari pada mendapat tatapan iba dari teman-teman kerjanya di puskesmas yang bisa saja mengganggu ketenangan Dinka.Diki yang hari itu memilih menunggu di rumah menyambut kepulangan adiknya dengan senyum serta tatapan hangat, saat Dinka menapakkan kakinya di halaman rumah, kakak gadis itu langsung berjalan cepat padanya memberikan pelukan kasih sayang pada gadis itu. Tidak ada yang boleh menyakiti adiknya.Diki tau tatapan takut Dinka pada ayahnya sendiri masih ada walaupun hari sebelumnya ayahnya sudah meminta maaf dan berakhir menangis bersama antara keluarga itu, karena itu jugalah Diki memilih mengalihkan perhatian ketakutan Dinka denga
Setelah diberikan izin oleh Jayden, Radit melangkah masuk ke ruang rawat Dinka, "Din, H-Hai.." sapa canggung Radit karena takut-takut akan membuat Dinka merasa tidak nyaman akan kehadirannya. Berbeda seperti biasanya, Radit melihat Dinka yang sekarang bukanlah Dinka yang ia temui sebelumnya, tatapan gadis itu seperti kosong tak ada maksud. Radit dengan perlahat mendekat sembari menarik sudut bibirnya untuk tersenyum. Namun tetap, hal yang ia dapatkan hanyalah kebisuan dalam ruangan itu, kedipan mata Dinka pun seperti tak memiliki arti manusia yang ingin melanjutkan hidupnya. Sangat kosong dan benar-benar kosong. Sama halnya saat tatapan Dinka melempar ke arah luar, Jayden yang sengaja mengintip dan mendapatkan tatapan seperti itu dari Dinka pun merasakan bahwa tatapan gadis itu hanyalah refleks tubuhnya tanpa terbawa perasaan apapun, seperti perasaan bernyawa namun terkesan mati. "Hai Din," sapa Radit lagi kepada Dinka yang tetap menatapnya diam. Radit tetap
Sampai di rumah dengan cepat ayahnya mematikan motor dan mulai menarik kasar tangan Dinka untuk masuk ke dalam dapur, Dinka mulai ketakutan melihat ayahnya yang tak menunjukan wajah ramah seperti biasanya kepadanya.Plak!Terdengar suara tamparan berasal dari tangan sang ayah yang tak pernah menampar anak-anaknya itu. Dinka yang dihadiahi tamparan itu merasa kaget, dan langsung meneteskan air mata saking kuat dan sakitnya tamparan ayahnya.Bahkan tiga orang, Bunda, Jayden dan Diki yang berada di ruang tamu terkaget akan kejadian yang cepat terjadi itu."A-Ayah," ucap Diki ikut ketakutan melihat Dinka yang ditampar oleh ayahnya yang mulai menampakkan wajah beringasnya. Ayah dua anak itu mengabaikan ucapan Diki.Dinka yang tertunduk menahan tangis yang rasanya mulai meluruh akan tindakan ayahnya tidak pernah sekalipun marah kepadanya."Ayah gak pernah sekalipun ajar
"Andra lo nggak sadar sama apa yang udah lo lakuin ke gue? Bukan lo yang tersakiti disini tapi gue, jadi jangan seolah-olah elo yang jadi korban!" ucap Dinka menunjuk dirinya sendiri dengan suara yang mulai hilang.Andra yang sebenarnya juga tidak kuat kuasa menahan dan mendengar suara lirih Dinka mulai mengusak-usakan rambutnya ke belakang."Apa?!" tegas Andra. Andra menarik napasnya sebelum mengangkat bicara lagi."Apa yang gue nggak ngerti disini?! apa yang nggak gue sadar?! Gue lihat dengan mata kepala gue sendiri kalau lo jalan sama Jordan! Sepupu gue sendiri Dinka! Bahkan di jalan gue lihat lo pelukan sama dia, lo selingkuh Din! dasar murahan!" ucap Andra menahan suaranya agar tidak membesar dan didengar oleh orang-orang."Andra," ucap Dinka sekali lagi sambil memejamkan matanya sejenak lalu mulai mencoba berani menatap Andra dan dirinya sungguh-sungguh ingin menuntaskan percakapan ini walau dirinya
Setelah Jayden dan Dinka membersihkan diri, semuanya berkumpul di ruang makan mereka menyantap makan malam bersama dengan tenang. Sementara ayah saat melihat jika santapan makan malam itu sudah hampir tandas, kepala rumah tangga itu mulai mengangkat bicara dan mengatakan pada Dinka."Dek? Besok kamu ikut ayah ke rumah temen ayah ya? yang anaknya yang seumuran kamu itu, siapa ya namanya? kok ayah lupa."Orang yang diajak bicara oleh ayah tersedak karena merasa kaget akan mengucapkan sang ayah, bukan hanya Dinka melainkan Diki dan juga Jayden merasa kaget akan hal itu.Sedangkan bunda yang mengetahui rencana ayah untuk mengajak Dinka silahturahmi ke teman lama sekaligus senior saat kuliah suaminya itu hanya ikut terdiam. Walaupun mulai terburu-buru berusaha untuk mengambil air minum dan memberikannya kepada Dinka karena Dinka yang sedang tersedak."Maksud Ayah, kita ke rumah Andra?" tanya Dinka setelah meras
"Mereka lucu gak sih?" tanya Dinka melihat anak penyu yang sedang diurus oleh petugas pantai di sana.Dinka dengan segala tingkah lucunya melihat anak penyu sambil memanyunkan bibirnya dan tangan yang bergerak gemas seolah ingin memegang anak penyu tersebut membuat Jayden yang tersenyum mulai terkekeh."Mau pegang anak penyu nya gak mbak?" tanya seorang petugas pantai yang lumayan muda sepertinya pekerja baru atau anak dari petugas pantai yang ada disini karena lumayan tua.Dinka dan Jayden menoleh ke arah petugas pantai tersebut, "emang boleh mas?""Boleh mba," ucap petugas tersebut melemparkan senyuman yang dibalas senyum tipis oleh Dinka, lalu petugas itu mempersilahkan Dinka untuk mengikutinya menuju ke arah penyu yang sudah diperbolehkan untuk disentuh oleh wisatawan.Jayden melihat interaksi keduanya rasanya ingin melemparkan kepalan tangan pada petugas tersebut karena berani-beraninya tersenyum pada gadisnya, "cih!"***"Seneng
Sudah lebih dari dua minggu Dinka sekolah dengan status siswa yang berbeda, melihat perkembangan Dinka dan jadwal sekolah yang tidak beraturan membuat ayah Dinka mengatakan kepada DInka dan juga Jayden untuk istirahat sejenak."Kalian berdua besok gak usah ke sekolah aja dulu," ucap ayah Dinka sambil menatap layar yang masih memberitakan keadaan terkini di kota setelah bencana yang sudah lewat sekitar 2 minggu yang lalu.Ucapan ayah Dinka mendapatkan respon yang membuat orang seisi rumah terkejut, pasalnya baru kali ini ayah Dinka menyuruh anaknya untuk tidak ke sekolah."ih, Ayah!" seru Dinka tidak terima, ini bukan alasan Dinka seperti remaja yang sedang jatuh cinta dan semangat untuk pergi ke sekolah, apalagi bertemu dengan Radit, bukan.
Dinka duduk bersila di rerumputan tepat pada lapangan luas sekolah. Tentu saja dirinya tidak bodoh, dirinya duduk di bawah pohon menghindari panasnya terik matahari.Dinka sedang meminum minuman gelas ditemani Gea dan Tirni di sampingnya. Gea dan Tirni sedang membicarakan cowok yang mereka sukai, kata yang lebih keren dikalangan kaum perempuan, curhat."Cowok mulu diurusin," sahut Dinka yang sedari tadi hanya menjadi pendengar curhatan para jomblo ngenes bawa perasaan."Emang lu mau tukeran jiwa?" ucap Gea."Mentang-mentang lo yang dikejar cowok-cowok, sok iye," seru Tirni dengan nada bercanda."Kalau keberuntungan gue kayak lo, kalau gue cantik kayak lo, udah dari dulu gue diem aja, biarin cowoknya yang dateng," iri Gea."Gak usah diomongin, cowok lo udah ada di depan mata," Tirni berucap sembari menyenggol tangan Dinka, lalu menunjuk dengan lirikan mata siapa yang datang