Marren menjerit takut bukan kepalang, ia menatap beberapa orang di hadapannya tergeletak bergelimpangan dengan darah terciprat di mana-mana akibat tembakan dari beberapa arah. "Ya Tuhan! Apa yang terjadi? Apa yang terjadi?" pekik Marren seraya berural air mata."Tolong! Ya, Tuhan, tolonglah saya, tolong....!" Imbuhnya dengan wajah ketakutan dan berusaha bangkit. Wanita itu kembali bersembunyi di balik kamar dengan tergopoh-gopoh, ia hanya bisa menangis menahan sakit dan ketakutan yang luar biasa dengan semua yang terpampang di hadapannya. "Ya Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa tiba tiba ada peperangan seperti itu? Ya Tuhan.... Mommy, Arsan, apa saya akan mati? Saya akan mati! Oh sayang" ujar Marren mengelus perutnya yang membuncit."Arsam Anak kita," lirih Marren yang lelah berputus asa.Marren semakin terisak ketakutan dan terus berdo'a dalam hati. Dengan sekuat tenaga ia mendorong pintu kamar dan menutupnya. Namun, alangkah terkejutnya saat is melihat sebuah sepatu panto
Letusan panjang, itu membuat Black terkapar menimpa Arsan dan cipratan darah itu memercik pada wajah Arsan.Dengan wajah terkejut dan heran Arsan menatap seseorang yang berlarian mendekat padanya dengan langkah terburu buru. Arsan bangkit setelah meletakkan jenazah Black di hadapannya dengan hati-hati. "Untungnya saya dalang tepat waktu. Jika tidak, saya tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada Tuan Muda. Orang seperti dia memang pantas mati seperti ini," sahut pria tampan itu yang berusia tak lebih muda dari Arsan dengan wajah yang selalu tampak tersenyum. "Jack? Apa yang kau lakukan di sini? Bagaimana kau bisa sampai kemari? Apa Kakek yang mengirimmu?" cecar Arsan dengan pandangan tajam, seraya berjalan cepat menuju dalam gedung di mana Marren menunggu. "Sebaiknya Tuan Muda segera membawa Nyonya dan Tuan Arland ke rumah sakit. Jangan khawatirkan keadaan di sini, Tuan Muda. Sisanya biar kami yang mengurusnya," ucap Jack seraya mengangkat tangannya kepada beberapa pria ya
"Marren? Sayang?" panggil Arsan dengan tatapan bingung."Dokter? Ada apa dengan istri saya?" imbuhnya pada dokter wanita paruh baya itu yang kini berada di belakangnya. "Walau sangat lemah, kondisi istri Tuan sudah jauh lebih stabil daripada saat operasi dan ini akan baik-baik saja. Beliau sedang tertidur karena pengaruh obat bius yang masih tersisa. Tidak apa-apa, Tuan, Anda jangan khawatir. Justru yang saya khawatirkan adalah si kembar," papar Dokter itu dengan tatapan simpati. "Ada apa dengan anak anak saya, Dokter?" sahut Arsan dengan sikap waswas. "Saya melihat kondisi keduanya sepertinya mereka terlahir lebih cepat. dari yang seharusnya? Apa itu benar?" tanya dokter itu dengan wajah simpati dan penuh perhatian. Pertanyaan itu sukses membuat Arsan terenyak untuk sesaat, karena ia tak tahu menahu masalah kehamilan Marren sejak Marren meninggalkannya. Dan seberkas keraguan siapa ayah dari anak-anak itu membuat Arsan berkaca kaca tanpa bisa menjawab. "Baiklah, mungkin ada s
Dengan menahan wajah masam dan kesal, Marren menarik cincin dari jari manis Arsan. "Kamu mau apa, Marren?" sela Arsan terkejut, namun membiarkan Marren melakukan apa pun yang sedang ia lakukan. Marren memakaikan cincin Arsan di jari manisnya sendiri, namun benda berbentuk lingkaran emas itu hanya sampai di pertengahan jari Marren."Kamu lihat, kan? Cincinmu dulu yang lebih besar dari Saya saja tak muat di jari ini. Apalagi cincin Saya, Arsan? Itulah kenapa saya tak memakainya lagi sejak 4 bulan yang lalu. Karena tidak bisa. Karena entah bagaimana jari-jemari Saya jadi semakin segemuk ini," sungutnya kesal dan segera mengembalikan cincin itu pada Arsan. Arsan menerima cincin itu dengan terkekeh. "Jadi?" sambung Arsan masih menyisakan tawanya seraya menatap Marren yang masih terlihat kesal. "Ya, begitulah Kamu tak lihat Saya jadi segemuk ini? Dan, Saya juga tak paham, selama mengandung Saya benar-benar seperti orang tak waras. Makan yang tak pernah kenyang, apa saja Saya makan. O
Marren memeluk Madya dengan berurai air mata. Madya balas menciumi putri semata wayangnya dengan perasaan bersyukur dan penuh haru. Demikian halnya Kakek Ryzadrd memeluk Arsan dan Arland secara bergantian. Suasana yang sempat canggung karena pembicaraan yang mereka lakukan sebelumnya langsung cair karena tangis bayi yang ada dalam salah satu keranjang. Belum sempat mereka berkomentar si kecil satu lagi pun ikut menangis. Seolah ia mendengar panggilan suara kakaknya. Berdua mereka saling bersahutan. Keheningan pun berubah menjadi ramai dan panik karena tak ada satu pun yang berani menggendong bayi mungil tersebut selain Madya. Tetapi tetap saja karena kondisi mereka yang belum stabil mereka harus memanggil suster jaga untuk membantu proses menyusui. Madya tak mau mengambil risiko untuk menggendong bayi itu tanpa persetujuan dokter. Akhirnya setelah keduanya selesai disusui dan kembali tenang, kini mereka pun menjadi lebih lega dan saling berbicara layaknya keluarga normal, tanpa
Marren segera menghapus pesan-pesan yang la kirimkan untuk Arsan dan Arland dari ponsel ibunya.la tak ingin ibunya membaca dan menjadi khawatir dengan apa yang telah terjadi. Tak berapa lama kemudian Arsan muncul di balik pintu dan memasuki ruangan dengan perlahan karena melihat anak-anaknya dan Madya yang kembali terlelap. Hanya Marren yang masih terjaga dengan gelisah, Arsan segera meraih Marren dalam pelukannya. "Jangan takut, sudah jangan khawatir. Orang orang kepercayaan Saya sudah berjaga di depan. Saya jamin mereka juga tak akan kembali lagi. Sudah, ya," bisik Arsan di telinga Marren lalu mengecup pelipis Marren dalam-dalam. "Siapa mereka, Arsan? Kenapa mereka berani sekali datang, padahal jelas-jelas ada Saya, Mommy dan juga kamu? Tapi, entah bagaimana sepertinya mereka tahu kamu sedang tak ada bersama kami," sahut Marren dengan tatapan penuh kekhawatiran. "Siapa pun mereka, kita akan tahu nanti. Yang penting sekarang kalian semua aman," bisik Arsan merapatkan pelukanny
"Itu... Itu darah Marren, Mom Kemarin Arsan yang menggendong Marren sampai ke dalam kamar operasi dan Marren sempat mengalami pendarahan, Mom,'' sela Marren mengambil alih situasi. Karena melihat Arsan yang tampak tak siap dengan pertanyaan Madya. "Ya, Tuhan. Pantas saja. Syukurlah semua sudah baik-baik saja sekarang. Oh, iya Arsan, sepertinya kamu tidak tidur dari semalam, seharusnya kamu beristirahat, Nak,"Tegur Madya dengan sayang pada Arsan yang kini duduk mendekat di tepian tempat tidur Marren."Arsan sudah beristirahat di kamar Arland, Mom. Jadi, tidak apa-apa," jawab Arsan dengan senyum mengembang."Oh, iya, Arsan sudah bicara dengan dokter, Mom, besok kita sudah bisa pulang dan membawa anak-anak serta Arsan akan menyediakan kotak inkubator di rumah sesuai arahan dokter, karena melihat perkembangan si kembar yang jauh lebih baik dari yang diperkirakan, jadi mereka mengizinkan kita pulang membawa anak-anak," papar Arsan membuat Marren dan Madya sangat senang. "Baguslah kalau
Berbagai macam cara dilakukan Arsan, agar Dennis membuka mulut, namun laki-laki itu seolah memang diperintahkan untuk mengunci mulutnya dengan apa pun yang akan ia hadapi. "Baiklah, jika memang itu maumu, kau sendiri yang rugi," ucap Arsan seraya menelepon dan berbicara dengan seseorang. Suasana hening sejenak saat Arsan berbicara dengan seseorang melalui ponselnya. Bahkan Dennis pun terlihat menatap Arsan dengan wajah penuh pertanyaan. "Baiklah, tunggu sebentar," ucap Arsan sesaat menghentikan pembicaraannya di telepon dan beralih pada Dennis dengan senyum mengembang."Dennis, sepertinya, Lena, istrimu ingin berbicara. denganmu, apa kau mau menerimanya?" tanya Arsan dengan suara ramah. Mendengar ucapan Arsan sontak membuat Dennis menjatuhkan dirinya, berlutut di hadapan Arsan dan memohon ampun. "Tolong, Tuan Muda jangan sakiti keluarga saya, tolong, saya mohon. Saya akan mengaku, saya akan mengaku," mohon Dennis dengan menangis di kaki Arsan. "Kel, jaga mereka untukku. Sebelum