"Arsan, apa maksudmu?" ulang Marren menyentuh wajah Arsan yang basah oleh bulir-bulir air mata yang membasahi. "Arsan, Sayang... Sayamohon padamu, tolong katakan yang sejujurnya," desak Marren dengan tatapan memohon seraya membelai wajah Arsan dengan lembut dan membuat Arsan meraih tangan Marren dan menciuminya. Arsan menerawang jauh seolah mengenang sesuatu dengan wajah terluka, "Saat itu Saya bertengkar hebat dengan Papa, karena tiba-tiba saya tak boleh melanjutkan kuliah ke Inggris seperti yang di sepakati sebelumnya, jika hanya untuk bersenang-senang dan tak serius seperti Arland. Saya kesal, semua selalu dibanding-bandingkan dengan Arland. Apa, apa selalu Arland." Arsan menahan isaknya. Marren membelai wajah lelah Arsan yang tertutup mendung kesedihan. "Saat itu juga Saya mengatakan bahwa saya akan membuktikan bahwa Saya mampu dan akan melebihi Arland yang Papa selalu banggakan.Saya tak butuh Papa dan semuanya lagi. Percuma hidup serasa tak diinginkan, lebih baik hidup tanp
"Bagaimana, Brian? Apa istri saya baik-baik saja?" tanya Arsan kepada dokter Beian setelah selesai memeriksa kondisi kesehatan Marren, pagi itu. "Tidak apa-apa, la pingsan karena kurang cairan dan kurang darah. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Mungkin karena selain kelelahan, jangan sampai dia stres yang berlebihan. Saya sudah menuliskan resep untuk di tebus. Saya rasa dia tak perlu di rawat, jika di rawat dia mungkin akan semakin stres," papar Brian menatap Arsan dan Madya secara bergantian. "Baiklah, terima kasih. Tapi, bisakah kamu sering-sering datang kemari untuk memastikan Marren dan anak-anak baik-baik saja?" tanya Arsan dengan ragu-ragu. "Tentu saja, Arsan. Kamu bisa menelepon saya kapan saja. Dan mungkin lusa Saya akan kembali untuk memastikan kondisi mereka. Dan ngomong-ngomong Arsan, selamat ya atas kelahiran mereka. Mereka anak-anak yang cantik dan juga tampan," ucap Dokter Brian dengan senyum mengembang. "Terima kasih, kamu tak melihat siapa Ayahnya, tentu saja
Seharian itu Arsan dan Arland sibuk dengan orang-orangnya untuk menyiapkan pesta perjamuan makan malam untuk selamatan kelahiran Si Kembar. Para lelaki pengawal itu saling bahu membahu menghias rumah, taman hingga teras rumah. Semua bekerja atas perintah Arland dan Arsan. Marren yang menyaksikan kekompakan dua Kakak beradik itu terlihat senang sekaligus heran, akan tetapi hati kecilnya berkali-kali mengucap syukur atas perdamaian yang telah mereka lakukan setelah melewati sebuah pertaruhan kematian bersama. Arsan mendekat ke arah Marren yang berdiri menatapnya dengan terpana, pria tampan itu tersenyum dan merangkul pinggang Marren untuk membawanya masuk kembali ke kamar. "Kenapa di sini? Ayo, seharusnya Kamu beristirahat. Tenanglah, kita baru menghias dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan," hibur Arsan melihat Marren yang terlihat bingung. "Tidak Arsan, walau saya sempat bingung, tetapi saya sangat senang, akhirnya kamu bisa berdamai dengan Kakakmu," sahut Marren membelai lembu
"Apa maksud Kakek?" tanya Arsan pura-pura kebingungan.la lalu berbalik menatap dinding yang telah terpajang foto dalam bingkai dengan ukuran yang sangat besar. Foto-foto itu menampilkan gambar Papa dan Mama Arsan serta Daddy dan kakek Marren. "Ada apa dengan, Kakek? Arsan hanya ingin kita sama sama berdoa untuk mereka. Agar mereka juga ikut merasakan kebahagiaan pesta ini, Kek. Hanya itu. Apa Arsan salah, Kek?" imbuh Arsan dengan wajah sedih. Walau sempat tak enak hati, akan tetapi Kakek Ryzadrd tetap menolak kembali ke atas panggung. Akhirnya Arsan memutuskan menempatkan Kakeknya di kursi makan yang telah ia sediakan khusus untuk Sang Kakek. Dan Arland pun mengambil alih acara dan melanjutkan pidato Sang Kakek, mewakili keluarga Ryzadrd yang tertua."Maafkan atas yang terjadi, Kakek saya memang sedang dalam kondisi yang kurang sehat saat ini, jadi biar saya sebagai perwakilan keluarga Ryzadrd tertua akan melanjutkan sambutan ini," buka Arland dengan sikap penuh simpati dan memb
Marren diam termangu di depan ruang tunggu kamar operasi. Saat ini la hanya bisa diam tanpa bisa menangis karena sudah terlalu lelah menangis.la merasakan kedua matanya yang terasa bengkak dan perih akibat terlalu banyak menangis. "Ya, Tuhan, Arsan... Kita baru saja bertemu kembali setelah berbulan-bulan lamanya terpisah karena kesalahan Saya. Tetapi, sekarang kamu malah seperti ini. Kita baru saja bertemu dan bahagia, Arsan. Saya mohon, bertahanlah dan jangan tinggalkan Saya dan anak anak kita," gumam Marren berdoa di dalam hatinya. Sebulir air mata bening meluncur begitu saja membasahi kedua pipinya, la tak bisa menahan buliran demi buliran air mata yang terus menerus turun membasahi pipinya. Saat itu ia hanya di temani oleh Naura, karena Madya harus menenangkan kedua cucunya dengan asi Marren dan susu formula yang telah disiapkan khusus untuk keduanya. Apalagi kini Marren sedang menghadapi sebuah musibah dengan tertembaknya Arsan oleh sang kakek demi melindungi dirinya. Nau
"Arsan!" pekik Marren dengan bangun tersentak kaget. Hal itu membuat Naura segera menghambur ke hadapan Marren. "Nyonya? Anda sudah siuman? Syukurlah," sahut Naura dengan wajah senang namun tak bisa menutupi wajah sedihnya Wajahnya terlihat sangat sembab karena terlalu banyak menangis. "Nau, apa yang terjadi? Ini di mana?" tanya Marren kebingungan seraya melihat ke sekelilingnya, la terbangun di sebuah kamar serba putih dan di kelilingi oleh kelambu dengan warna yang sama. "Anda pingsan. Nyonya. Sekarang sedang di UGD. Tadi Tuan Arland yang membawa Anda kemari," papar Naura dengan tatapan berkaca-kaca.Mendengar penjelasan Naura, Marren melompat dari ranjang dengan tergesa gesa."Di mana Arsan? Di mana, suami saya?" pekik marry kebingungan dan panik. Naura memeluk Marren dengan cepat dan menangis tersedu-sedu."Nyonya, harus tenang. Anda baru sadar. Sebaiknya pelan-pelan dulu," cegah Naura dengan bingung dan penuh kekhawatiran."Saya ingin melihat kondisi Arsan. Apa ada perkembang
Marren menatap sosok Arsan yang berbaring lemah tak berdaya di hadapannya. Kini ia harus kuat menghadapi kenyataan yang ada.Wanita cantik itu hanya terdiam membeku dan menatap satu persatu alat yang terpasang di sekitar tubuh Arsan dengan selang atau pun kabel yang berakhir di badan Arsan. Sebuah selang pun melekat di dalam mulut Arsan yang sedikit terbuka. Dengan tangan gemetar hebat, Marren memegang punggung tangan awan yang diam tak bergerak. Tangan yang dulu selalu kokoh menggenggamnya itu, kini terkulai lemah dengan selang infus tertancap di sana Marren menggenggam ringan tangan dan jari-jemari Arsan.Marren menciumnya tanpa mengatakan apa pun. Seraya memandang wajah Arsan yang terlelap, Marren memeluk tangan itu meletakkannya pada pipinya. "Syukurlah, Nyonya terlihat tenang dan baik-baik saja sejak siuman tadi. Nyonya, sepertinya sudah menerima keadaan Tuan Muda," ujar Naura memecah kesunyian. la menatap Marren melalui kaca transparan di balik ruangan itu bersama Arland.
Arland meninggalkan ruangan itu dan menutup pintunya rapat rapat tanpa tahu jari-jemari Arsan mulai bergerak walau hanya sesaat. Hingga rombongan Arland dan Marren meninggalkan rumah sakit itu demi membawa Marren pulang setelah ia berbicara dengan Dokter pengawas Arsan dan menyerahkan nomor ponsel Arland jika ada perkembangan kondisi Arsan. Sesampainya di rumah, Marren menangis tersedu dalam pelukan Ibunya dan Arland menegaskan Marren harus makan dan beristirahat. Mengabaikan semua itu Marren menatap kedua bayinya yang terlelap dalam keranjang bayi. Marren meneteskan air mata menatap si kembar dengan lemah terkulai di ranjang. Madya menahan isaknya saat melihat Marren yang begitu pucat dan seolah kehilangan semangat dalam hidupnya. "Sayang, makanlah dan beristirahatlah barang sejenak. Kamu harus sehat demi anak-anak. Mommy akan siapkan makanan untukmu dan kamu harus makan," bujuk Madya seraya membelai rambut Marren yang tergerai berantakan di pundak. "Kamu juga harus makan, Arl