"Sayang, apa kamu sudah selesai berbicara? Ayo, kita pulang, sepertinya Marren sedang kerepotan dengan anak-anaknya. Sebaiknya kita pamit," ucap seorang wanita yang tiba-tiba datang dan menggandeng lengan Vano, perut wanita itu terlihat sedikit buncit. Arsan menatap wanita tersebut, yang menatapnya dengan sopan namun sangat jelas terlihat dia menikmati apa yang sedang dilihatnya. "Sarah? Kamu sudah selesai berbicara dengan Marren?" tanya Vani menoleh pada wanita yang terlihat agak genit itu."Perkenalkan, Tuan Muda, ini istri saya Sarah, dan Sarah ini adalah Tuan Muda....""Arsan, Tuan Muda Arsan, suami Marren.""Salam kenal, Tuan Muda Arsan, saya Sarah, istri Tuan Vano ini, pemilik restoran yang punya banyak cabang di beberapa mall di kota-kota besar di Indonesia," sela Sarah memotong ucapan Vano dan mengulurkan tangannya untuk dijabat Arsan. Ucapan Sarah, membuat Vano jengah dan menegurnya walau dengan suara lembut. Akan tetapi sepertinya Sarah sangat menikmati pamer di hadap
Marren mendorong Arsan dari dekapannya dan menatapnya dengan mata terbelalak tak percaya. "Ada apa, Arsan? Kenapa kamu tiba-tiba seperti ini? Kenapa tiba-tiba kamu mengucapkan itu? Apa maksudmu, tiba-tiba seperti ini?" cecar Marren tercekat tak percaya. Wanita cantik itu menatap Arsan dengan tatapan mata berkaca-kaca.Melihat Arsan hanya terdiam membisu, Marren mengangguk paham."Apa ini ya.... Saya telah melarikan diri bersama Arland waktu itu? Jadi kamu tak percaya..." "Marren, Sayang...." sela Arsan yang kini bersimpuh di kaki Marren dan memeluk lututnya dan menghentikan ucapan Marren yang kini terpaku diam menatap Arsan yang ada di lututnya. "Dosa Ryzadrd terlalu besar untuk diampuni. Kakek telah menghancurkan hidupmu begini rupa. Saya terlalu malu untuk menatapmu sekarang. Tak ada lagi yang bisa Saya banggakan dan saya persembahkan untukmu, Marren. Saya bahkan yang hanya memiliki sedikit perasan kepadamu tanpa sadar hanya diperalat untuk mengikatmu secara paksa." Buliran a
Sore hari seperti biasa Marren sudah menyelesaikan semua tugas kuliah, ia bergegas menemui Ibunya yang sedang sibuk di dapur. ''Marren? apa yang kamu lakukan, Nak? Sudah biar Mama saja. Kerjakan saja tugas kuliahmu" tegur mommy Marren yang melihat putri semata wayangnya itu meraih rendaman baju kotor yang siap di cuci. "Marren sudah selesai semua, Mom. Mommy yang harusnya istirahat, Mom sudah seharian ini bekerja, Marren tidak mau Mommy nanti sakit.'' Marren segera menggandeng tangan Ibunya dan membawanya ke ruang tengah sekaligus ruang tamu rumah kecil itu. Meyda menepuk pipi putrinya dengan sayang, wanita itu menuruti perintah Marren dengan senyum mengembang. "Iya, iya... Galak sekali, Putri Mommy ini..." keluh wanita setengah baya yang masih terlihat cantik itu menerima tangan Marren yang membimbingnya masuk rumah. ''Biar saja, daripada Mommy sakitnya kambuh lagi, Marren tidak mau. Lagian ini juga Mommy masih terima cucian lagi sih? Kan Marren sudah kerja.
Marren sesegera mungkin meninggalkan warung makan dan segera berlari pulang dengan jalan memutar, ia tak mau mengambil risiko ia akan di culik diam-diam saat ia melewati lahan kosong. Sambil membawa beberapa camilan ia mengetuk pintu dan mengucap salam sebelum masuk. "Sayang, ke mana saja kamu, Nak? Kenapa lama sekali baru pulang?" Tanya Mommy-nya dengan wajah yang sangat terlihat panik. "Maaf Mom, tadi Marren berjalan-jalan di pasar malam, Marren bawa camilan untuk Mommy. Tadi dapat bonus lumayan. Mereka baik ya Mom, yuk makan" jawab Marren sedikit berbohong untuk menghilangkan kekhawatiran sang Mommy. "Ya sudah kalau begitu. Mommy khawatir jika Marren belum pulang, mana tidak bawa handphone lagi kamu, Nak!" "Hah! Iya Maaf Mom, Marren pikir cuma sebentar." Marren membuka roti bakar coklat yang masih menguarkan asap panas dan wewangian makanan itu. "Mom... Tuan Jack itu siapa? Kok Mommy bisa punya pelanggan itu? Baru kali ini kan Mommy mencuci bajunya?" Marren mulai
Sesampainya dalam kelas, dengan kesal Marren menghempaskan tubuhnya. Wira terheran-heran menatap sahabatnya yang terlihat kacau dan berantakan."Pagi Ren, ada apa kamu? Tidak seperti biasanya kamu terlambat?" "Saya sedang kesal! Dan... Ah... Ini kenapa harus terbawa?" Marren tersadar bahwa ia masih membawa sapu tangan Pemuda tampan itu di tangannya saat ia akan mendekap wajahnya. Buru-buru ia memasukkan sapu tangan itu ke dalam tas selempangnya dan mengambil botol minuman dari dalam tasnya.la minum dengan sangat puasnya, hal itu membuat Wira terkekeh geli melihat Marren terengah setelah hampir menghabiskan setengah botol air minumnya."Jadi?" "Ya, jadi hari ini Saya dua kali berkelahi dengan preman! Yang satu karena dia menjambret tas dan satu lagi karena menolong bocah dipalak tapi malah dia seolah-olah 'tidak apa-apa kok, duit kecil ini! Benar-benar menyebalkan! Sumpah! Dan siapa pula dia?" Marren bersandar dengan kasar sambil menutup botol minumnya lalu memasukkannya kembali
Seperti biasa seusai kuliah Marren langsung menuju sebuah restoran yang ada di sebuah mall kecil yang terletak tak jauh dari Kampusnya. Marren segera menuju ruang karyawan untuk berganti pakaian. Kini gadis itu telah berganti seragam pramusaji restoran. Marren menyapa beberapa rekan kerja dan seorang manajer restoran yang sangat mengenalnya dengan baik. "Hai Ren, apa kabar hari ini?" sapa Manajer yang sedang duduk di sebuah ceruk ruang karyawan melepas kesibukannya dengan pembukuan yang ada di hadapannya. "Baik Pak! Sangat baik!" jawab Marren dengan antusias yang membuat lelaki bertubuh tinggi besar dan bertampang maskulin itu mengangkat wajahnya dari aktivitasnya. menatap lembaran bon dan buku kas. "Hei, ada apa? Sepertinya kamu sedang sangat bersemangat, ya?" Pak Evan meneguk kopinya dengan senyuman khasnya yang membuat aura maskulinnya terlihat lebih ramah. "Marren kan memang selalu kelebihan energi pak! Seperti baterai Kelinci itu Pak!" sahut Radi yang sedang me
''Ya Tuhan... Kumohon pertolongan-Mu, tolong selamatkanlah Mommy..." Marren mulai menitikkan air mata. Sekuat apa pun dia jika sesuatu menimpa Mommy-nya, ia akan hancur berkeping-keping. Segala yang ia lakukan demi kebahagiaan Mommy-nya yang kini sakit-sakitan akibat jantung lemah sejak kepergian Daddy Marren yang mengalami sebuah kecelakaan pesawat dalam perjalanan bisnis bersama Kakeknya, serasa tak ada artinya jika ia tak bisa menjaga Mommy-nya dengan benar. Dan kini Mommy-nya berada dalam bahaya di tangan seorang penculik atau bahkan lebih dari satu orang. ''Tidak! tidak ada waktu untuk menangis! Aku harus kuat demi Mommy, apa pun yang terjadi. Aku harus bisa menyelamatkan Mommy!" Sumpah Marren kepda dirinya sendiri. Gadis itu berlari ke gerbang utama rumah susun dan berdiri menunggu dengan tenang. Benar saja, tak berapa lama kemudian sebuah mobil mewah berwarna hitam mengkilap memasuki jalanan rumah susun sederhana yang mengesankan pemandangan yang sangat kontras
Marren mengerjapkan mata sebelum akhirnya membuka mata sepenuhnya. Gadis itu terlonjak kaget dan bingung saat menyadari ia terbangun di sebuah kamar yang sangat indah dan penuh perabotan mewah. 'Nona, sudah sadar?" Marren menoleh ke arah sumber suara yang berasal dari seorang gadis belia yang baru saja memasuki ruangan itu dan sedang berjalan ke arahnya. Gadis belia itu tampak sangat antusias menyambutnya. "Ini... Di mana? Kamu siapa?" Marren mencoba bangkit namun langsung di cegah oleh Sang Gadis yang memakai seragam itu. ''Aaah ini, ini di kamar Anda, Nona. Dan saya Haura, yang akan merawat dan membantu segala kebutuhan, Nona." jawab Haura menunduk penuh hormat. "Apa?" Belum sempat Marren bertanya lebih jauh, tiba-tiba seseorang membuka pintu. Ceklek! Pintu terbuka dan tertutup. Kali ini seorang wanita lebih tua dengan rambut putih yang menutupi hampir seluruh kepala datang dengan sikap anggun. Wanita itu terlihat sangat luwes dan berwibawa dengan setelan jas dan
Marren mendorong Arsan dari dekapannya dan menatapnya dengan mata terbelalak tak percaya. "Ada apa, Arsan? Kenapa kamu tiba-tiba seperti ini? Kenapa tiba-tiba kamu mengucapkan itu? Apa maksudmu, tiba-tiba seperti ini?" cecar Marren tercekat tak percaya. Wanita cantik itu menatap Arsan dengan tatapan mata berkaca-kaca.Melihat Arsan hanya terdiam membisu, Marren mengangguk paham."Apa ini ya.... Saya telah melarikan diri bersama Arland waktu itu? Jadi kamu tak percaya..." "Marren, Sayang...." sela Arsan yang kini bersimpuh di kaki Marren dan memeluk lututnya dan menghentikan ucapan Marren yang kini terpaku diam menatap Arsan yang ada di lututnya. "Dosa Ryzadrd terlalu besar untuk diampuni. Kakek telah menghancurkan hidupmu begini rupa. Saya terlalu malu untuk menatapmu sekarang. Tak ada lagi yang bisa Saya banggakan dan saya persembahkan untukmu, Marren. Saya bahkan yang hanya memiliki sedikit perasan kepadamu tanpa sadar hanya diperalat untuk mengikatmu secara paksa." Buliran a
"Sayang, apa kamu sudah selesai berbicara? Ayo, kita pulang, sepertinya Marren sedang kerepotan dengan anak-anaknya. Sebaiknya kita pamit," ucap seorang wanita yang tiba-tiba datang dan menggandeng lengan Vano, perut wanita itu terlihat sedikit buncit. Arsan menatap wanita tersebut, yang menatapnya dengan sopan namun sangat jelas terlihat dia menikmati apa yang sedang dilihatnya. "Sarah? Kamu sudah selesai berbicara dengan Marren?" tanya Vani menoleh pada wanita yang terlihat agak genit itu."Perkenalkan, Tuan Muda, ini istri saya Sarah, dan Sarah ini adalah Tuan Muda....""Arsan, Tuan Muda Arsan, suami Marren.""Salam kenal, Tuan Muda Arsan, saya Sarah, istri Tuan Vano ini, pemilik restoran yang punya banyak cabang di beberapa mall di kota-kota besar di Indonesia," sela Sarah memotong ucapan Vano dan mengulurkan tangannya untuk dijabat Arsan. Ucapan Sarah, membuat Vano jengah dan menegurnya walau dengan suara lembut. Akan tetapi sepertinya Sarah sangat menikmati pamer di hadap
"Bagaimana, Brian?" tanya Arsan setelah dokter Brian memeriksa kondisi Kakek Ryzadrd. Dokter Brian memegang gagang kacamatanya dengan gelisah dan mendesah perlahan."Arsan, Kakek meninggal karena pembuluh darah arterinya putus dan kehilangan banyak darah dan mengakibatkan syok dalam jantungnya. Dan Kakek meninggal sekitar 2 sampai 3 jam yang lalu," ungkap dokter Brian dengan tatapan penuh simpati. "Kenapa tidak pasti?" sela Arland kepada Brian menutupi ranjang dan seprei yang berlumuran darah Kakek Ryzadrd yang mengering. "Karena suhu ruangan ini sangat rendah, jadi membuat suhu tubuh juga semakin cepat turun dan dapat mempengaruhi pembekuan dengan cepat," jawab Brian yang membuat Arland terdiam menguyup wajahnya sendiri dengan kasar. Pria itu terlihat sangat stres. "Dan memang beliau meninggal karena sebab bunuh diri, tak ada tanda-tanda kekerasan apa pun yang terjadi," lanjut Brian dengan wajah penuh duka. Dokter muda yang berumur tak jauh di atas Arsan itu menghela napas deng
Mendengar ucapan Arsan yang terbata-bata, Arland tak kuasa menahan gelak tawanya dan membuat Marren dan Madya menatapnya dengan tatapan heran."Ada apa, Arland? Apa yang sebenarnya terjadi?" tegur Madya yang langsung membuat Arland menghentikan gelak tawanya. Lalu dengan menyisakan tawanya, akhirnya Arland mengakui, bahwa dia sengaja membisikkan kata-kata itu untuk membuat Arsan marah dan bangun."Apalagi yang bisa membuatmu marah selain itu? Lihat saja, Ma, bahkan dia bisa melawan dan bangkit dari kematian hanya karena Marren," papar Arland yang membuat Marren dan Madya menangis terharu. Marren kembali memeluk dan menciumi tangan Arsan. Sementara Arsan menahan sakit karena tawanya yang terlepas begitu saja. "Awas... kau... Arland...." ancam Arsan dengan suara berat, namun lagi lagi Arland mengendikan bahunya dengan acuh. "Bangun dengan benar lebih dulu, baru kau bisa mengancamku," ledek Arland dengan wajah senang.🥀🥀🥀Akhirnya setelah beberapa hari di rawat, Arsan diperbolehk
Hari itu suasana ruang tunggu ICCU terlihat lengang dan penuh kesedihan. Karena saat mereka sampai di sana, kamar Arsan sedang di penuhi oleh para dokter dan perawat yang sedang mengupayakan keselamatan Arsan dari berhentinya detak jantung pria tampan itu. Dalam sehari sepeninggal Marren, sudah dua kali jantung Arsan berhenti berdetak hingga harus mendapatkan serangkai penyelamatan dari para dokter, seperti yang sedang dilakukan saat ini. "Ya, Tuhan, Saya mohon selamatkanlah Arsan, selamatkanlah suami Saya. Saya dan anak-anak masih sangat membutuhkannya. Izinkanlah Arsan sembuh dan hidup bersama anak-anaknya, karena itu adalah impiannya sejak dulu. Ya, Tuhan, Saya mohon kepada-Mu," doa Marren dalam hati seraya menahan isaknya. Marren terus menatap kaca transparan yang kini tertutup oleh korden tebal berwarna putih agar mereka tak melihat apa yang telah terjadi di dalam ruangan tersebut. Marren menguatkan hatinya seraya meletakkan tangan bersandarkan kaca itu. Sementara Masya t
Arland meninggalkan ruangan itu dan menutup pintunya rapat rapat tanpa tahu jari-jemari Arsan mulai bergerak walau hanya sesaat. Hingga rombongan Arland dan Marren meninggalkan rumah sakit itu demi membawa Marren pulang setelah ia berbicara dengan Dokter pengawas Arsan dan menyerahkan nomor ponsel Arland jika ada perkembangan kondisi Arsan. Sesampainya di rumah, Marren menangis tersedu dalam pelukan Ibunya dan Arland menegaskan Marren harus makan dan beristirahat. Mengabaikan semua itu Marren menatap kedua bayinya yang terlelap dalam keranjang bayi. Marren meneteskan air mata menatap si kembar dengan lemah terkulai di ranjang. Madya menahan isaknya saat melihat Marren yang begitu pucat dan seolah kehilangan semangat dalam hidupnya. "Sayang, makanlah dan beristirahatlah barang sejenak. Kamu harus sehat demi anak-anak. Mommy akan siapkan makanan untukmu dan kamu harus makan," bujuk Madya seraya membelai rambut Marren yang tergerai berantakan di pundak. "Kamu juga harus makan, Arl
Marren menatap sosok Arsan yang berbaring lemah tak berdaya di hadapannya. Kini ia harus kuat menghadapi kenyataan yang ada.Wanita cantik itu hanya terdiam membeku dan menatap satu persatu alat yang terpasang di sekitar tubuh Arsan dengan selang atau pun kabel yang berakhir di badan Arsan. Sebuah selang pun melekat di dalam mulut Arsan yang sedikit terbuka. Dengan tangan gemetar hebat, Marren memegang punggung tangan awan yang diam tak bergerak. Tangan yang dulu selalu kokoh menggenggamnya itu, kini terkulai lemah dengan selang infus tertancap di sana Marren menggenggam ringan tangan dan jari-jemari Arsan.Marren menciumnya tanpa mengatakan apa pun. Seraya memandang wajah Arsan yang terlelap, Marren memeluk tangan itu meletakkannya pada pipinya. "Syukurlah, Nyonya terlihat tenang dan baik-baik saja sejak siuman tadi. Nyonya, sepertinya sudah menerima keadaan Tuan Muda," ujar Naura memecah kesunyian. la menatap Marren melalui kaca transparan di balik ruangan itu bersama Arland.
"Arsan!" pekik Marren dengan bangun tersentak kaget. Hal itu membuat Naura segera menghambur ke hadapan Marren. "Nyonya? Anda sudah siuman? Syukurlah," sahut Naura dengan wajah senang namun tak bisa menutupi wajah sedihnya Wajahnya terlihat sangat sembab karena terlalu banyak menangis. "Nau, apa yang terjadi? Ini di mana?" tanya Marren kebingungan seraya melihat ke sekelilingnya, la terbangun di sebuah kamar serba putih dan di kelilingi oleh kelambu dengan warna yang sama. "Anda pingsan. Nyonya. Sekarang sedang di UGD. Tadi Tuan Arland yang membawa Anda kemari," papar Naura dengan tatapan berkaca-kaca.Mendengar penjelasan Naura, Marren melompat dari ranjang dengan tergesa gesa."Di mana Arsan? Di mana, suami saya?" pekik marry kebingungan dan panik. Naura memeluk Marren dengan cepat dan menangis tersedu-sedu."Nyonya, harus tenang. Anda baru sadar. Sebaiknya pelan-pelan dulu," cegah Naura dengan bingung dan penuh kekhawatiran."Saya ingin melihat kondisi Arsan. Apa ada perkembang
Marren diam termangu di depan ruang tunggu kamar operasi. Saat ini la hanya bisa diam tanpa bisa menangis karena sudah terlalu lelah menangis.la merasakan kedua matanya yang terasa bengkak dan perih akibat terlalu banyak menangis. "Ya, Tuhan, Arsan... Kita baru saja bertemu kembali setelah berbulan-bulan lamanya terpisah karena kesalahan Saya. Tetapi, sekarang kamu malah seperti ini. Kita baru saja bertemu dan bahagia, Arsan. Saya mohon, bertahanlah dan jangan tinggalkan Saya dan anak anak kita," gumam Marren berdoa di dalam hatinya. Sebulir air mata bening meluncur begitu saja membasahi kedua pipinya, la tak bisa menahan buliran demi buliran air mata yang terus menerus turun membasahi pipinya. Saat itu ia hanya di temani oleh Naura, karena Madya harus menenangkan kedua cucunya dengan asi Marren dan susu formula yang telah disiapkan khusus untuk keduanya. Apalagi kini Marren sedang menghadapi sebuah musibah dengan tertembaknya Arsan oleh sang kakek demi melindungi dirinya. Nau