Sore hari seperti biasa Marren sudah menyelesaikan semua tugas kuliah, ia bergegas menemui Ibunya yang sedang sibuk di dapur.
''Marren? apa yang kamu lakukan, Nak? Sudah biar Mama saja. Kerjakan saja tugas kuliahmu" tegur mommy Marren yang melihat putri semata wayangnya itu meraih rendaman baju kotor yang siap di cuci. "Marren sudah selesai semua, Mom. Mommy yang harusnya istirahat, Mom sudah seharian ini bekerja, Marren tidak mau Mommy nanti sakit.'' Marren segera menggandeng tangan Ibunya dan membawanya ke ruang tengah sekaligus ruang tamu rumah kecil itu. Meyda menepuk pipi putrinya dengan sayang, wanita itu menuruti perintah Marren dengan senyum mengembang. "Iya, iya... Galak sekali, Putri Mommy ini..." keluh wanita setengah baya yang masih terlihat cantik itu menerima tangan Marren yang membimbingnya masuk rumah. ''Biar saja, daripada Mommy sakitnya kambuh lagi, Marren tidak mau. Lagian ini juga Mommy masih terima cucian lagi sih? Kan Marren sudah kerja. Ya walau masih setengah hari, setidaknya Mommy sudah tak perlu terima mencuci baju lagi." Marren terdengar mengomel membuat Mommy-nya kembali tersenyum. "Mommy harus janji, tidak akan kerja berat-berat lagi. Tidak ada ya terima cucian lagi saat Marren tidak ada di rumah," tambahnya dengan wajah cemberut. ''Baik bos! Siap!" jawab Mayda sambil mengacungkan hormat kepada putrinya. Mendengar jawaban Mommy-nya yang begitu patuhnya membuat keduanya tergelak bersama. Sementara Marren kembali ke kamar mandi untuk mencuci baju-baju yang akan di cuci, Mayda merapikan baju yang telah di setrika dan memasukkannya ke dalam plastik sesuai daftar yang ia tulis di sebuah buku catatan. 5 plastik cuci yang siap kirim telah selesai ia rapikan. Mayda menitikkan air matanya melirik punggung Marren yang sedang bekerja keras menyikat beberapa baju berat dan besar, terdengar bunyi gesekan sikat yang menggesek baju berbahan jins diiringi kucuran air dari kran yang mulai memenuhi ember-ember besar di kamar mandi tersebut. Wanita setengah baya itu mendesah pilu saat kembali terkenang akan masa-masa indah bersama suami dan Ayah mertuanya sebelum kecelakaan tragis merenggut keduanya dalam waktu bersamaan. Ketika itu Marren masih berumur 5 tahun, bertepatan ia memasuki tahun ajaran baru di sekolah pertamanya. Saat itu ia sangat senang telah diterima di sekolah unggulan dengan nilai yang bagus, walaupun ia bisa saja menggunakan koneksi dan kekuasaan Kakeknya. Namun, ia lebih suka mendapatkannya dengan kerja keras seperti yang selalu diajarkan oleh Kakeknya. Namun tak berapa lama Marren mendengar kabar tentang kecelakaan pesawat yang ditumpangi oleh Daddy dan Kakeknya ketika mereka melakukan perjalanan bisnis ke Singapura. Belum lama keduanya dimakamkan, matre harus menghadapi sebuah masalah besar tentang hutang perusahaan yang ditinggalkan Daddy yang membuat Mommy-nya mengalami stres berat dan mendapat serangan jantung. Walau akhirnya Ibunya selamat dari kondisi kritisnya, namun mereka harus kehilangan rumah besar dan seisinya demi menutup semua hutang yang terlalu besar untuk ditanggung mereka. Marren dan Mommy-nya yang terusir dari rumahnya sendiri memutuskan untuk pergi. Namun tak hanya sampai di situ saja, ia harus berpindah-pindah rumah dan Sekolah demi menghindari orang-orang yang terus mengejar mereka karena menginginkan Shakira. 14 tahun berlalu kini mereka bisa hidup tenang tanpa kejaran orang-orang yang menginginkan Marren. Apa pun alasan mereka, Mayda tak ingin menyerahkan Putrinya sebagai penebus. kesalahan Suami dan Ayah mertuanya dulu. Bertahun-tahun ia mati-matian berhasil menyembunyikan Marren. Namun karena sakit yang ia derita, membuat keadaan berbalik, Marren yang kini menjadi tulang punggung keluarga sekaligus pelindungnya. Hal itu membuatnya selalu diam-diam menangis. Ketegaran hati matre yang membuatnya terus tetap bisa bertahan. walau hidup dengan serba kekurangan. Wanita itu tak henti-hentinya berdoa agar kesehatannya kembali membaik agar bisa meringankan beban yang harus dipikul putrinya sendirian. Tak terasa waktu menunjukkan pukul 8 malam, Marren baru menyelesaikan semua cucian dan menjemurnya. Gadis itu menyeringai senang dan menghela napas dengan puas saat membawa ember kosong terakhirnya. "Akhirnya selesai juga! Huwaah.... Lapar...!" Marten meletakkan ember di tumpukan ember yang lain yang ada di sudut kamar mandi kecilnya. ''Sini makan. Tadi Mama masak telur gulung kesukaanmu, Makan yang banyak." Ibunya menyendok nasi untuk Marren. Setelah mencuci tangannya dengan bersih, gadis itu duduk di meja makan berseberangan dengan Mommy-nya. la menatap dengan sangat antusias telur gulung yang dipotong-potong menjadi beberapa bagian di sebuah piring kecil. Tak lupa ia membubuhkan saus sambal kesukaannya di atas. telur telur itu. Keduanya makan dengan lahap di selingi canda tawa tentang kisah Marren di kampus yang masih suka melarikan diri setiap ada acara. Walau nilai akademisnya tak terlalu menonjol namun Marren sering menjadi juara kelas saat ia masih duduk di bangku sekolah. Nilainya jadi terus menurun karena masalah keluarga yang menimpanya selama 14 tahun belakangan. Karena sering menjadi kejar-kejaran orang-orang tak dikenal, matre lebih mementingkan memperdalam ilmu bela diri demi melindungi diri dan Mommy-nya. Walau masih mahasiswi di tahun pertama Marren merasa ia harus melepaskan kuliahnya demi biaya pengobatan Mommy-nya. Namun Madya tak pernah menyukai gagasan Marren yang ingin bekerja. Berkali-kali mereka mendebatkan masalah yang sama hingga akhirnya Marren mengalah dan tetap kuliah di sela-sela pekerjaan paruh waktunya di restoran di sebuah Mall. Setelah menyelesaikan makan malam, Marren mengemasi piring-piring kotor mereka ke dapur memastikan Mommy-nya minum obat dan multivitamin, Marren membawa bungkusan-bungkusan cucian untuk di antarkan kepada para pelanggan yang merupakan tetangga yang tinggal di sekitar rumah susun itu. Sambil membawa tas besar di tangan kanan dan kirinya, ia pergi ke beberapa tempat yang telah dicatatkan oleh ibunya. Tak butuh waktu lama Marren telah berhasil memberikan baju-baju cucian itu serta mendapatkan upahnya. Beberapa di antaranya memberinya bonus karena kerja Marren dan Mommy-nya yang selalu tepat waktu serta Marren mau bersusah payah untuk mengantarnya. Marren bersenandung riang sambil menenteng satu bungkusan lagi milik seseorang yang ada di bangunan seberang rumah susunnya. Karena ingin mempersingkat waktu, gadis itu memilih jalan pintas melewati kebun kecil yang terbengkalai, namun kebun itu dimanfaatkan untuk tempat parkir bagi penghuni rumah susun dan warga sekitarnya. ''Nona Lira atau Tuan jack? Kok bisa Mommy sampai dapat pelanggan jauh begini sih? Dan sepertinya dia orang asing? Ah sudahlah. Yang penting habis ini beli makanan buat Mommy" batin Marren sangat senang saat ia membawa pulang banyak bonus untuk Mommy-nya. Saat melewati kebun kosong itu, Marren tak menyadari beberapa pasang mata sedang menatapnya dengan tajam, hingga gadis itu memasuki halaman bangunan rumah susun yang ia tuju. Setelah menemukan alamat yang di tuju Marren mencoba mengetuk pintu rumah yang tertutup rapat. Untuk beberapa saat menunggu akhirnya pintu itu terbuka dan Marren menghadapi sosok pria asing yang sangat tampan. Walau sempat terkesima, ia tahu pria yang ada di hadapannya itu adalah pelanggan yang harus dijaganya, dan Marren segera pamit dengan baik-baik walau pria itu memaksanya masuk untuk sekedar minum dan makan kue. Marren tetap menahan sabar dan berbicara baik-baik saat Pria itu berani menarik tangannya dengan paksa agar ikut masuk ke dalam rumah susun yang lebih mewah dari gedung yang Marren tinggali. Akan tetapi Pria i itu mulai merayu dan ingin mencium Marren dengan paksa, mau tak mau Marren mencoba berontak dan berteriak. Belum sempat Pria itu merengkuhnya Marren berhasil menendang alat vital Pria itu dengan kuat yang membuatnya langsung tersungkur kesakitan. Hal itu dimanfaatkannya berlari meninggalkan tempat itu. Namun sial, Pria itu masih sempat menarik kakinya hingga membuatnya terjatuh. Marren meronta-ronta sambil terus berteriak minta tolong. Sekali lagi Marren berhasil menendang orang itu dan membuatnya menjauh. Di ujung lorong itu ia melihat beberapa orang memakai pakaian serba hitam berjalan cepat ke arahnya karena mendengar teriakannya. Merasakan ada yang tak beres Marren segera berlari meninggalkan tempat itu. la sengaja berlari memutar arah dan memilih jalan terjauh, bahkan ia keluar dari area rumah susun itu dan menuju pasar malam yang ada di belakang gedung. Dengan napas memburu gadis itu bersembunyi dan berbaur dengan beberapa pedagang yang ramai pembeli dalam keadaan kalut dan bingung. Lalu ia memutuskan untuk memasuki tenda makan yang ada di samping pintu masuk gedung rumah susun itu. Sambil terengah gadis itu memesan minuman dingin kepada penjual makanan itu. "Loh, Marren? Kok tumben? Sendirian saja?" sapa Sang Penjual yang sudah mengenal Marren dan Mommy-nya sejak mereka tinggal di situ. "Hah... hah... Aah iya, Bang." "Ada apa? Kok terengah-engah begitu?" "Itu, tadi lihat hantu...." sahut Marren seenaknya dan membuat Abang Penjual tergelak. "Baru jam 08.40 ini, mana ada hantu sih? Kamu ini ada-ada saja, Marren." Mereka tergelak bersama mendengar Marren yang asal bicara. Untuk beberapa saat Marren berdiam di tenda makan itu hingga ia melihat dua mobil mewah yang keluar dari gerbang rumah susun itu. 'Siapa mereka? Apa mereka orang-orang penagih utang itu? Padahal kata Mommy, perjanjiannya sudah selesai setelah mereka mengambil alih semua saham Daddy dan Kakek? Lalu apa lagi?' batin Marren berkecamuk.NEXTMarren sesegera mungkin meninggalkan warung makan dan segera berlari pulang dengan jalan memutar, ia tak mau mengambil risiko ia akan di culik diam-diam saat ia melewati lahan kosong. Sambil membawa beberapa camilan ia mengetuk pintu dan mengucap salam sebelum masuk. "Sayang, ke mana saja kamu, Nak? Kenapa lama sekali baru pulang?" Tanya Mommy-nya dengan wajah yang sangat terlihat panik. "Maaf Mom, tadi Marren berjalan-jalan di pasar malam, Marren bawa camilan untuk Mommy. Tadi dapat bonus lumayan. Mereka baik ya Mom, yuk makan" jawab Marren sedikit berbohong untuk menghilangkan kekhawatiran sang Mommy. "Ya sudah kalau begitu. Mommy khawatir jika Marren belum pulang, mana tidak bawa handphone lagi kamu, Nak!" "Hah! Iya Maaf Mom, Marren pikir cuma sebentar." Marren membuka roti bakar coklat yang masih menguarkan asap panas dan wewangian makanan itu. "Mom... Tuan Jack itu siapa? Kok Mommy bisa punya pelanggan itu? Baru kali ini kan Mommy mencuci bajunya?" Marren mulai
Sesampainya dalam kelas, dengan kesal Marren menghempaskan tubuhnya. Wira terheran-heran menatap sahabatnya yang terlihat kacau dan berantakan."Pagi Ren, ada apa kamu? Tidak seperti biasanya kamu terlambat?" "Saya sedang kesal! Dan... Ah... Ini kenapa harus terbawa?" Marren tersadar bahwa ia masih membawa sapu tangan Pemuda tampan itu di tangannya saat ia akan mendekap wajahnya. Buru-buru ia memasukkan sapu tangan itu ke dalam tas selempangnya dan mengambil botol minuman dari dalam tasnya.la minum dengan sangat puasnya, hal itu membuat Wira terkekeh geli melihat Marren terengah setelah hampir menghabiskan setengah botol air minumnya."Jadi?" "Ya, jadi hari ini Saya dua kali berkelahi dengan preman! Yang satu karena dia menjambret tas dan satu lagi karena menolong bocah dipalak tapi malah dia seolah-olah 'tidak apa-apa kok, duit kecil ini! Benar-benar menyebalkan! Sumpah! Dan siapa pula dia?" Marren bersandar dengan kasar sambil menutup botol minumnya lalu memasukkannya kembali
Seperti biasa seusai kuliah Marren langsung menuju sebuah restoran yang ada di sebuah mall kecil yang terletak tak jauh dari Kampusnya. Marren segera menuju ruang karyawan untuk berganti pakaian. Kini gadis itu telah berganti seragam pramusaji restoran. Marren menyapa beberapa rekan kerja dan seorang manajer restoran yang sangat mengenalnya dengan baik. "Hai Ren, apa kabar hari ini?" sapa Manajer yang sedang duduk di sebuah ceruk ruang karyawan melepas kesibukannya dengan pembukuan yang ada di hadapannya. "Baik Pak! Sangat baik!" jawab Marren dengan antusias yang membuat lelaki bertubuh tinggi besar dan bertampang maskulin itu mengangkat wajahnya dari aktivitasnya. menatap lembaran bon dan buku kas. "Hei, ada apa? Sepertinya kamu sedang sangat bersemangat, ya?" Pak Evan meneguk kopinya dengan senyuman khasnya yang membuat aura maskulinnya terlihat lebih ramah. "Marren kan memang selalu kelebihan energi pak! Seperti baterai Kelinci itu Pak!" sahut Radi yang sedang me
''Ya Tuhan... Kumohon pertolongan-Mu, tolong selamatkanlah Mommy..." Marren mulai menitikkan air mata. Sekuat apa pun dia jika sesuatu menimpa Mommy-nya, ia akan hancur berkeping-keping. Segala yang ia lakukan demi kebahagiaan Mommy-nya yang kini sakit-sakitan akibat jantung lemah sejak kepergian Daddy Marren yang mengalami sebuah kecelakaan pesawat dalam perjalanan bisnis bersama Kakeknya, serasa tak ada artinya jika ia tak bisa menjaga Mommy-nya dengan benar. Dan kini Mommy-nya berada dalam bahaya di tangan seorang penculik atau bahkan lebih dari satu orang. ''Tidak! tidak ada waktu untuk menangis! Aku harus kuat demi Mommy, apa pun yang terjadi. Aku harus bisa menyelamatkan Mommy!" Sumpah Marren kepda dirinya sendiri. Gadis itu berlari ke gerbang utama rumah susun dan berdiri menunggu dengan tenang. Benar saja, tak berapa lama kemudian sebuah mobil mewah berwarna hitam mengkilap memasuki jalanan rumah susun sederhana yang mengesankan pemandangan yang sangat kontras
Marren mengerjapkan mata sebelum akhirnya membuka mata sepenuhnya. Gadis itu terlonjak kaget dan bingung saat menyadari ia terbangun di sebuah kamar yang sangat indah dan penuh perabotan mewah. 'Nona, sudah sadar?" Marren menoleh ke arah sumber suara yang berasal dari seorang gadis belia yang baru saja memasuki ruangan itu dan sedang berjalan ke arahnya. Gadis belia itu tampak sangat antusias menyambutnya. "Ini... Di mana? Kamu siapa?" Marren mencoba bangkit namun langsung di cegah oleh Sang Gadis yang memakai seragam itu. ''Aaah ini, ini di kamar Anda, Nona. Dan saya Haura, yang akan merawat dan membantu segala kebutuhan, Nona." jawab Haura menunduk penuh hormat. "Apa?" Belum sempat Marren bertanya lebih jauh, tiba-tiba seseorang membuka pintu. Ceklek! Pintu terbuka dan tertutup. Kali ini seorang wanita lebih tua dengan rambut putih yang menutupi hampir seluruh kepala datang dengan sikap anggun. Wanita itu terlihat sangat luwes dan berwibawa dengan setelan jas dan
Dengan perasaan malu, Marren mengamati dirinya di cermin kamar mandi, la benar-benar melihat tanda bekas ciuman seseorang. Bukan hanya satu, ada beberapa di leher, pundak dan dadanya. Marren merabanya, ada getaran aneh yang ia rasakan. la juga meraba bibirnya yang terasa lebih tebal dan bengkak. 'Itu kamar siapa? Tapi tak ada siapa pun di sana?' batin Marren penasaran, lalu segera memakai baju yang ia dapatkan dari Haura. 'Oh tidak! Apalagi ini? Kenapa pagi begini harus memakai gaun resmi seperti ini?" Marren menggerutu dalam hati. Lebih-lebih potongan baju yang agak rendah itu tak bisa menutupi tanda merah di leher dan pundaknya. 'Sial! Sepertinya aku harus memakai syal tinggi untuk menutupinya. Ah tapi pasti akan terlihat aneh, kan? Ini masih terlalu pagi!' gerutunya dalam hati. Tok! Tok! Tok! "Nona, apa Anda baik-baik saja?" panggil Haura dari balik pintu kamar mandi. "I... lya, sebentar lagi aku selesai," Marren menjawab dengan gugup, karena terlalu lam
"Ada apa ini? Kalian sepertinya sudah saling mengenal, tapi Kakek rasa bukan dalam keadaan baik. Apa itu benar?" Kakek Devan memandang keduanya bergantian. Refleks Marren menghela napas dengan kesal dan menceritakan kejadian saat pertama kali bertemu Arsan, seperti anak kecil yang sedang mengadukan kenakalan Kakak pada orang tuanya. Kakek Devan mendengarnya dengan antusias di selingi gelak tawanya menatap Marren yang bersungut-sungut. "Ya, mau bagaimana lagi. Arsan sedang bosan, Kek. Apalagi saat tahu kalau dia pandai berkelahi, makanya Arsan iseng saja sekalian" sahut Arsan dengan santai sambil duduk di seberang kursi Kakeknya. "Iseng! Yang benar saja!" Marren bersedekap defensif dan memandang Arsan dengan masam, akan tetapi Pria tampan yang mempunyai lesung pipi itu mengabaikannya dengan mengendikan bahunya. Bahkan ia mengerlingkan iris hazel dengan manis dan membuat Marren semakin jengkel. "Iya Kek! Coba Kakek melihatnya sendiri, saat dia menghajar penjambret
Marren menggeliat dengan manja dan merentangkan tangannya dengan bebas. Namun, ia merasakan tubuhnya terasa sangat berat seolah ada batu besar yang menimpanya. Perlahan gadis itu membuka lentik kedua matanya. Marren tersentak dari tidurnya dan betapa terkejutnya dia saat mendapati dirinya tanpa sehelai benang pun yang menutupi tubuhnya. Dengan panik, ia membungkus diri dalam selimut dan menyalakan lampu tidur yang ada di meja samping ranjang. Gadis itu menahan gusar karena ia tak mengingat apa pun yang terjadi. ''Oh tidak! Apa yang sudah terjadi? Apa aku dan Arsan sudah...?" Marren menggigit bibir menahan isaknya, ia mencoba menenangkan diri untuk mengingat apa yang terjadi, namun ia tak bisa mengingat apa pun. Marren memaksakan untuk bangkit dan membasuh dirinya, ia berendam cukup lama untuk menenangkan diri jika saja hal terburuk yang ia pikirkan benar-benar terjadi. Namun, tetap saja ia tidak bisa mengingat apa pun di malam pertama setelah pernikahannya. Apalagi ia m
Marren mendorong Arsan dari dekapannya dan menatapnya dengan mata terbelalak tak percaya. "Ada apa, Arsan? Kenapa kamu tiba-tiba seperti ini? Kenapa tiba-tiba kamu mengucapkan itu? Apa maksudmu, tiba-tiba seperti ini?" cecar Marren tercekat tak percaya. Wanita cantik itu menatap Arsan dengan tatapan mata berkaca-kaca.Melihat Arsan hanya terdiam membisu, Marren mengangguk paham."Apa ini ya.... Saya telah melarikan diri bersama Arland waktu itu? Jadi kamu tak percaya..." "Marren, Sayang...." sela Arsan yang kini bersimpuh di kaki Marren dan memeluk lututnya dan menghentikan ucapan Marren yang kini terpaku diam menatap Arsan yang ada di lututnya. "Dosa Ryzadrd terlalu besar untuk diampuni. Kakek telah menghancurkan hidupmu begini rupa. Saya terlalu malu untuk menatapmu sekarang. Tak ada lagi yang bisa Saya banggakan dan saya persembahkan untukmu, Marren. Saya bahkan yang hanya memiliki sedikit perasan kepadamu tanpa sadar hanya diperalat untuk mengikatmu secara paksa." Buliran a
"Sayang, apa kamu sudah selesai berbicara? Ayo, kita pulang, sepertinya Marren sedang kerepotan dengan anak-anaknya. Sebaiknya kita pamit," ucap seorang wanita yang tiba-tiba datang dan menggandeng lengan Vano, perut wanita itu terlihat sedikit buncit. Arsan menatap wanita tersebut, yang menatapnya dengan sopan namun sangat jelas terlihat dia menikmati apa yang sedang dilihatnya. "Sarah? Kamu sudah selesai berbicara dengan Marren?" tanya Vani menoleh pada wanita yang terlihat agak genit itu."Perkenalkan, Tuan Muda, ini istri saya Sarah, dan Sarah ini adalah Tuan Muda....""Arsan, Tuan Muda Arsan, suami Marren.""Salam kenal, Tuan Muda Arsan, saya Sarah, istri Tuan Vano ini, pemilik restoran yang punya banyak cabang di beberapa mall di kota-kota besar di Indonesia," sela Sarah memotong ucapan Vano dan mengulurkan tangannya untuk dijabat Arsan. Ucapan Sarah, membuat Vano jengah dan menegurnya walau dengan suara lembut. Akan tetapi sepertinya Sarah sangat menikmati pamer di hadap
"Bagaimana, Brian?" tanya Arsan setelah dokter Brian memeriksa kondisi Kakek Ryzadrd. Dokter Brian memegang gagang kacamatanya dengan gelisah dan mendesah perlahan."Arsan, Kakek meninggal karena pembuluh darah arterinya putus dan kehilangan banyak darah dan mengakibatkan syok dalam jantungnya. Dan Kakek meninggal sekitar 2 sampai 3 jam yang lalu," ungkap dokter Brian dengan tatapan penuh simpati. "Kenapa tidak pasti?" sela Arland kepada Brian menutupi ranjang dan seprei yang berlumuran darah Kakek Ryzadrd yang mengering. "Karena suhu ruangan ini sangat rendah, jadi membuat suhu tubuh juga semakin cepat turun dan dapat mempengaruhi pembekuan dengan cepat," jawab Brian yang membuat Arland terdiam menguyup wajahnya sendiri dengan kasar. Pria itu terlihat sangat stres. "Dan memang beliau meninggal karena sebab bunuh diri, tak ada tanda-tanda kekerasan apa pun yang terjadi," lanjut Brian dengan wajah penuh duka. Dokter muda yang berumur tak jauh di atas Arsan itu menghela napas deng
Mendengar ucapan Arsan yang terbata-bata, Arland tak kuasa menahan gelak tawanya dan membuat Marren dan Madya menatapnya dengan tatapan heran."Ada apa, Arland? Apa yang sebenarnya terjadi?" tegur Madya yang langsung membuat Arland menghentikan gelak tawanya. Lalu dengan menyisakan tawanya, akhirnya Arland mengakui, bahwa dia sengaja membisikkan kata-kata itu untuk membuat Arsan marah dan bangun."Apalagi yang bisa membuatmu marah selain itu? Lihat saja, Ma, bahkan dia bisa melawan dan bangkit dari kematian hanya karena Marren," papar Arland yang membuat Marren dan Madya menangis terharu. Marren kembali memeluk dan menciumi tangan Arsan. Sementara Arsan menahan sakit karena tawanya yang terlepas begitu saja. "Awas... kau... Arland...." ancam Arsan dengan suara berat, namun lagi lagi Arland mengendikan bahunya dengan acuh. "Bangun dengan benar lebih dulu, baru kau bisa mengancamku," ledek Arland dengan wajah senang.🥀🥀🥀Akhirnya setelah beberapa hari di rawat, Arsan diperbolehk
Hari itu suasana ruang tunggu ICCU terlihat lengang dan penuh kesedihan. Karena saat mereka sampai di sana, kamar Arsan sedang di penuhi oleh para dokter dan perawat yang sedang mengupayakan keselamatan Arsan dari berhentinya detak jantung pria tampan itu. Dalam sehari sepeninggal Marren, sudah dua kali jantung Arsan berhenti berdetak hingga harus mendapatkan serangkai penyelamatan dari para dokter, seperti yang sedang dilakukan saat ini. "Ya, Tuhan, Saya mohon selamatkanlah Arsan, selamatkanlah suami Saya. Saya dan anak-anak masih sangat membutuhkannya. Izinkanlah Arsan sembuh dan hidup bersama anak-anaknya, karena itu adalah impiannya sejak dulu. Ya, Tuhan, Saya mohon kepada-Mu," doa Marren dalam hati seraya menahan isaknya. Marren terus menatap kaca transparan yang kini tertutup oleh korden tebal berwarna putih agar mereka tak melihat apa yang telah terjadi di dalam ruangan tersebut. Marren menguatkan hatinya seraya meletakkan tangan bersandarkan kaca itu. Sementara Masya t
Arland meninggalkan ruangan itu dan menutup pintunya rapat rapat tanpa tahu jari-jemari Arsan mulai bergerak walau hanya sesaat. Hingga rombongan Arland dan Marren meninggalkan rumah sakit itu demi membawa Marren pulang setelah ia berbicara dengan Dokter pengawas Arsan dan menyerahkan nomor ponsel Arland jika ada perkembangan kondisi Arsan. Sesampainya di rumah, Marren menangis tersedu dalam pelukan Ibunya dan Arland menegaskan Marren harus makan dan beristirahat. Mengabaikan semua itu Marren menatap kedua bayinya yang terlelap dalam keranjang bayi. Marren meneteskan air mata menatap si kembar dengan lemah terkulai di ranjang. Madya menahan isaknya saat melihat Marren yang begitu pucat dan seolah kehilangan semangat dalam hidupnya. "Sayang, makanlah dan beristirahatlah barang sejenak. Kamu harus sehat demi anak-anak. Mommy akan siapkan makanan untukmu dan kamu harus makan," bujuk Madya seraya membelai rambut Marren yang tergerai berantakan di pundak. "Kamu juga harus makan, Arl
Marren menatap sosok Arsan yang berbaring lemah tak berdaya di hadapannya. Kini ia harus kuat menghadapi kenyataan yang ada.Wanita cantik itu hanya terdiam membeku dan menatap satu persatu alat yang terpasang di sekitar tubuh Arsan dengan selang atau pun kabel yang berakhir di badan Arsan. Sebuah selang pun melekat di dalam mulut Arsan yang sedikit terbuka. Dengan tangan gemetar hebat, Marren memegang punggung tangan awan yang diam tak bergerak. Tangan yang dulu selalu kokoh menggenggamnya itu, kini terkulai lemah dengan selang infus tertancap di sana Marren menggenggam ringan tangan dan jari-jemari Arsan.Marren menciumnya tanpa mengatakan apa pun. Seraya memandang wajah Arsan yang terlelap, Marren memeluk tangan itu meletakkannya pada pipinya. "Syukurlah, Nyonya terlihat tenang dan baik-baik saja sejak siuman tadi. Nyonya, sepertinya sudah menerima keadaan Tuan Muda," ujar Naura memecah kesunyian. la menatap Marren melalui kaca transparan di balik ruangan itu bersama Arland.
"Arsan!" pekik Marren dengan bangun tersentak kaget. Hal itu membuat Naura segera menghambur ke hadapan Marren. "Nyonya? Anda sudah siuman? Syukurlah," sahut Naura dengan wajah senang namun tak bisa menutupi wajah sedihnya Wajahnya terlihat sangat sembab karena terlalu banyak menangis. "Nau, apa yang terjadi? Ini di mana?" tanya Marren kebingungan seraya melihat ke sekelilingnya, la terbangun di sebuah kamar serba putih dan di kelilingi oleh kelambu dengan warna yang sama. "Anda pingsan. Nyonya. Sekarang sedang di UGD. Tadi Tuan Arland yang membawa Anda kemari," papar Naura dengan tatapan berkaca-kaca.Mendengar penjelasan Naura, Marren melompat dari ranjang dengan tergesa gesa."Di mana Arsan? Di mana, suami saya?" pekik marry kebingungan dan panik. Naura memeluk Marren dengan cepat dan menangis tersedu-sedu."Nyonya, harus tenang. Anda baru sadar. Sebaiknya pelan-pelan dulu," cegah Naura dengan bingung dan penuh kekhawatiran."Saya ingin melihat kondisi Arsan. Apa ada perkembang
Marren diam termangu di depan ruang tunggu kamar operasi. Saat ini la hanya bisa diam tanpa bisa menangis karena sudah terlalu lelah menangis.la merasakan kedua matanya yang terasa bengkak dan perih akibat terlalu banyak menangis. "Ya, Tuhan, Arsan... Kita baru saja bertemu kembali setelah berbulan-bulan lamanya terpisah karena kesalahan Saya. Tetapi, sekarang kamu malah seperti ini. Kita baru saja bertemu dan bahagia, Arsan. Saya mohon, bertahanlah dan jangan tinggalkan Saya dan anak anak kita," gumam Marren berdoa di dalam hatinya. Sebulir air mata bening meluncur begitu saja membasahi kedua pipinya, la tak bisa menahan buliran demi buliran air mata yang terus menerus turun membasahi pipinya. Saat itu ia hanya di temani oleh Naura, karena Madya harus menenangkan kedua cucunya dengan asi Marren dan susu formula yang telah disiapkan khusus untuk keduanya. Apalagi kini Marren sedang menghadapi sebuah musibah dengan tertembaknya Arsan oleh sang kakek demi melindungi dirinya. Nau