Dengan perasaan malu, Marren mengamati dirinya di cermin kamar mandi, la benar-benar melihat tanda bekas ciuman seseorang.
Bukan hanya satu, ada beberapa di leher, pundak dan dadanya. Marren merabanya, ada getaran aneh yang ia rasakan. la juga meraba bibirnya yang terasa lebih tebal dan bengkak. 'Itu kamar siapa? Tapi tak ada siapa pun di sana?' batin Marren penasaran, lalu segera memakai baju yang ia dapatkan dari Haura. 'Oh tidak! Apalagi ini? Kenapa pagi begini harus memakai gaun resmi seperti ini?" Marren menggerutu dalam hati. Lebih-lebih potongan baju yang agak rendah itu tak bisa menutupi tanda merah di leher dan pundaknya. 'Sial! Sepertinya aku harus memakai syal tinggi untuk menutupinya. Ah tapi pasti akan terlihat aneh, kan? Ini masih terlalu pagi!' gerutunya dalam hati. Tok! Tok! Tok! "Nona, apa Anda baik-baik saja?" panggil Haura dari balik pintu kamar mandi. "I... lya, sebentar lagi aku selesai," Marren menjawab dengan gugup, karena terlalu lama diam di kamar mandi. 'Kurasa Haura harus menolongku.' "Haura, boleh kan aku memanggilmu begitu?'' Marren mendekati Haura yang disambut wajah cerah gadis itu. "lya Nona, dengan senang hati!" jawabnya merasa lebih dekat dengan majikan barunya itu. "Ini, apa ada syal? Aku butuh syal, gaun ini membuatku tak nyaman dengan potongan rendah begini." Haura bergegas membuka lemari pakaian yang ada di sebuah ruangan sebelah kamar mandi. "Di sini Nona, Anda bisa memilih syal, atau Nona ingin mengganti baju? Maaf itu tadi atas pilihan Bu Aira." "Kalau begitu syal saja. Aku tak ingin mengecewakan Bu Aira yang telah repot-repot memilihkan baju ini untukku" sahut Marren yang langsung menambah kekaguman Haura yang terpancar dari tatapan dan sikapnya. Selama bekerja sebagai asisten rumah tangga di beberapa orang kaya, ia baru kali ini menemukan majikan. yang begitu pengertian dan baik hati. Apalagi pemilik rumah ini adalah orang-orang dari golongan orang-orang yang kelewat kaya. "Haura, semalam itu kamar siapa?'' tanya Marren setelah mengenakan syal pilihannya dengan warna pastel yang senada dengan gaun berleher sabrina yang ia kenakan. Haura kini sedang menyisir rambut panjang dan ikal Marren yang lembut dan cantik. "Itu, Kamar Tuan Arland, Nona'' Haura menjawab sambil melihat rambut Marren yang bergulung-gulung indah di bawah dengan alami. 'Arland? Apa dia calon suamiku? Apa jangan-jangan dia pelakunya semalam?' Pikiran Marren bekerja dengan cepat. "Apa dia ada di sini?" tanya Marren takut-takut. "Tidak, Nona, Tuan Arland sedang ada di Jerman dan belum pulang kembali sejak setahun terakhir" lanjut Haura dengan memasangkan jepitan rambut di pinggiran rambut Marren. 'Lalu bagaimana dengan kiss mark ini?' pikir Marren. "Apa kamar itu berhantu?" "Ah, Nona! Itu, itu... Saya, saya tidak tahu tapi, tapi kenapa Nona berpikir demikian?" Hanura tiba-tiba tergagap ketakutan, spontan membuatnya celangak-celinguk memandang sekitarnya. Marren tergelak melihat pantulan diri Haura yang ketakutan di cermin. "Jadi kamar itu tak berpenghuni?" tanya Marren dan membuat Haura langsung mengangguk dengan gugup. "Oke, ya sudah kalau begitu." "Nona Anda cantik sekali" puji Aira bersungguh-sungguh dari balik pintu kamar yang terbuka. Ia datang untuk menjemput Marren agar segera sarapan pagi karena waktu untuk sarapan pagi telah lewat, begitu juga vitamin yang harus diminum gadis itu. "Terima kasih Bu Aira" jawab Marren tersenyum sekedarnya, walaupun begitu tetap tak bisa menutupi aura kecantikannya. "Mari Nona sudah waktunya Anda harus sarapan. Anda tak boleh melewatkan sarapan pagi. Mari ikuti saya." Aira berjalan mendahului Marren menuju ruang makan yang cukup besar dan menyediakan kursi untuk lima orang. Setelah selesai sarapan, kini Marren sedang berdiri menyongsong kedatangan Pria berusia lanjut dengan tubuh tambun dan perutnya yang agak buncit. Namun aura pria paruh baya itu terlihat sangat mendominasi dan kuat. "Oh... Marren Sayang! Cucuku Marren!" pekik pria paruh baya berambut putih itu dengan senyum mengembang langsung memeluk Marren dengan sikap bangga. 'Cucu?' Marren terbelalak dengan apa yang ia dengar. Pria tua itu terkekeh. Gurat ketampanan yang menghiasi wajah keriput itu masih terlihat jelas di mata Marren yang berdiri sangat dekat dengannya. "Kenapa kau begitu terkejut? Sebentar lagi kau akan menikahi cucuku, tentu saja kau akan menjadi cucuku juga, kan?" Pria tua itu merebahkan dirinya di atas kursi besar di ruangan besar itu. "lya, Kakek benar" sahut Marren tersenyum canggung. "Melihatmu yang seperti ini rasanya waktu berlalu sangat cepat. Aku jadi merasa tua. Orang tua ini sepertinya sudah sangat lelah. Kau pasti lupa dengan Kakekmu ini, Marren" ujarnya terbahak-bahak. Marren menahan tawanya. Aira datang dengan seorang pelayan yang membawa nampan dengan teko teh dan dua cangkir berserta tatakannya. Lalu wanita itu dengan anggun meletakkannya di atas meja yang ada di hadapan mereka. "Ah terima kasih Aira. Aku memang sangat haus. Tapi aku ingin tanpa gula" "Baik Tuan Besar, sahut Aira dengan senyum khasnya. Lalu ia juga menuangkan air teh ke cangkir Marren dan meletakkan gula dengan potongan balok mungil itu di sebuah stoples kecil. Marren pun mengucapkan terima kasih kepada kedua wanita itu yang kembali ke dapur. "Maksud Kakek, kita pernah bertemu?" Marren bertanya dengan antusias. "Oh bukan hanya bertemu Nak, tapi keluarga kita memang sangat dekat. Aku ini, Si Tua Ryzadrd adalah teman baik Kakekmu, Azer. Dan melihatmu yang seperti ini aku jadi teringat padanya," kenang kakek tua itu dengan menatap Marren penuh arti. "Oh, Anda Kakek Ryzadrd? Kakek yang dulu sering datang ke rumah?" Marren mencoba mengingat. "Ya, kau masih mengingatnya?" "Marren ingat seorang Kakek yang selalu datang dan membawakan permen dan manisan yang membuat gigi saya jadi sakit!" Mendengar ucapan mart keduanya tertawa berderai. Keduanya terlihat saling berebut bercerita dengan antusias hingga para pelayan melihat keakraban mereka yang benar-benar seperti seorang Cucu dan Kakek. Namun, tak berapa lama tawa itu terhenti berganti suasana tegang yang tiba-tiba menyeruak di seluruh ruangan. Pak Tua Ryzadrd menyeruput teh tanpa gula yang masih hangat. Pria tua itu melirh dengan berat. "Marren, apa kau tahu alasan kenapa kamu harus di bawa kemari? Maaf, Kakek harus menggunakan cara seperti ini. Karena kau terus melarikan diri." Marren menegakkan punggungnya dan mulai merasakan aura ketegangan yang ada. la diam menunggu. "Ya, mungkin itu yang terbaik melihat mereka juga menginginkanmu." 'Mereka?' tanya marren didalam batin. "Tapi Kakek lebih berhak mendapatkanmu karena semua ini Kakek lakukan untukmu Nak dan juga untuk Madya, Mamamu. Karena ini merupakan wasiat dan perjanjian Kakekmu Azer pada Kakek." "Perjanjian?" ulang Marren tanpa sadar. "Ya, benar! Kakek berdua sahabat baik sejak masih Sekolah sampai membuat usaha bersama. Dan karena itulah kami berdua membuat kesepakatan untuk saling mengikat persaudaraan dengan menikahkan anak-anak kami." "Tapi Daddy?" "Ya. Karena kami berdua hanya punya satu anak laki-laki saja. Akhirnya kami batal merencanakan itu hingga kau lahir. Kelahiranmu benar-benar membawa kebahagiaan tersendiri buat kami. Kau tahu itu?" Marren menganga dengan wajah haru bercampur senang. Pria tua itu menatap Marren dengan tatapan penuh kasih sayang. "Lalu dibuatlah perjanjian itu kembali." "Eeemm... tapi Kakek tidak ada di pemakaman Kakek dan Daddy mu? Maaf maksud Marren...." tanya Marren dengan tak enak hati. Kakek Ryzadrd menepiskan tangannya memaklumi. "Saat itu Kakek juga mengalami kesedihan luar biasa yang membuat Kakek jatuh sakit. Apa kau tak tahu, Anak dan Menantu Kakek ada dalam satu pesawat itu?" Kakek Ryzadrd mulai terkekeh walau masih berkaca-kaca. "Apa kau tahu? Kalau saja sekarang Kakekmu ada di sini dia pasti sedang menertawai Kakek. Heh, Devan kau ini pria atau wanita? Pakai rok sana!' Begitu pasti" pria tua itu tertawa berderai diikuti tawa Marren yang menatap lucu Kakek tua itu mengikuti gaya Kakeknya. "Jadi kau menerima pernikahan ini, kan?" Kakek Ryzadrd tiba-tiba berkata langsung ke inti permasalahan. "Itu... Itu yang Marren mau tanya, Kek. Apa setelah Marren menikah, Mommy Marren akan dibebaskan?" tanyanya dengan terus terang. "Dibebaskan? Memangnya siapa yang menculik Mommy-mu, Nak?" sahut Pria tua itu. Marren melongo bengong. 'Hah? Jadi?' Lagi-lagi Kakek itu terkekeh. "Ini pasti ulah bocah itu. Mana dia? Felix, Panggil dia! Bukannya dia sudah datang lebih dulu? Panggil dia Felix!" perintah Kakek Ryzadrd setengah berteriak. Felix yang berdiri tak jauh dari ruangan itu bergegas melaksanakan perintah tuannya. 'Dia?' "Maksud Kakek tadi apa?" Marren mengulangi. "lya, Kakek datang dan berbicara panjang lebar dengan Mommy kamu. Kakek sangat merindukannya. Apa kau tahu berapa tahun Kakek mencari kalian? Maafkan Kakek yang tak datang tepat waktu saat kalian dalam masalah itu, tapi Kakek akan mendapatkan rumah itu kembali nanti." Marren menggeleng sedih. "Tidak apa-apa Kek." "Lalu Mommy mu setuju untuk ikut kami, dan Kakek mengirim Felix untuk menjemputmu setelah kau pulang ke rumah. Memangnya apa yang terjadi?" Dengan wajah bersungut-sungut Marren menceritakan menemukan tulisan ancaman penculikan Mommy-nya di balik pintu hingga ia harus berdebat dengan Felix, karena merasa terancam akan keselamatan sang Mommy. Bahkan karena itu pulalah yang membuat Marren pingsan. Kakek Ryzadrd tergelak tak percaya saat mendengar semua penuturan Marren. "Dasar bocah kurang ajar! Dia itu nakal sekali! Mana dia!" "Aku di sini, Kek." Marren menoleh ke sumber suara yang berasal dari belakangnya, langsung terkejut dengan sosok itu sampai membuatnya berdiri. "Kamu!" "lya, Marren. Dia inilah calon suamimu!" "Apa? Arsan calon suami saya, kek?" Arsan tersenyum miring dengan angkuhnya, sementara Marren menatap tak percaya. 'Yang benar saja!'"Ada apa ini? Kalian sepertinya sudah saling mengenal, tapi Kakek rasa bukan dalam keadaan baik. Apa itu benar?" Kakek Devan memandang keduanya bergantian. Refleks Marren menghela napas dengan kesal dan menceritakan kejadian saat pertama kali bertemu Arsan, seperti anak kecil yang sedang mengadukan kenakalan Kakak pada orang tuanya. Kakek Devan mendengarnya dengan antusias di selingi gelak tawanya menatap Marren yang bersungut-sungut. "Ya, mau bagaimana lagi. Arsan sedang bosan, Kek. Apalagi saat tahu kalau dia pandai berkelahi, makanya Arsan iseng saja sekalian" sahut Arsan dengan santai sambil duduk di seberang kursi Kakeknya. "Iseng! Yang benar saja!" Marren bersedekap defensif dan memandang Arsan dengan masam, akan tetapi Pria tampan yang mempunyai lesung pipi itu mengabaikannya dengan mengendikan bahunya. Bahkan ia mengerlingkan iris hazel dengan manis dan membuat Marren semakin jengkel. "Iya Kek! Coba Kakek melihatnya sendiri, saat dia menghajar penjambret
Marren menggeliat dengan manja dan merentangkan tangannya dengan bebas. Namun, ia merasakan tubuhnya terasa sangat berat seolah ada batu besar yang menimpanya. Perlahan gadis itu membuka lentik kedua matanya. Marren tersentak dari tidurnya dan betapa terkejutnya dia saat mendapati dirinya tanpa sehelai benang pun yang menutupi tubuhnya. Dengan panik, ia membungkus diri dalam selimut dan menyalakan lampu tidur yang ada di meja samping ranjang. Gadis itu menahan gusar karena ia tak mengingat apa pun yang terjadi. ''Oh tidak! Apa yang sudah terjadi? Apa aku dan Arsan sudah...?" Marren menggigit bibir menahan isaknya, ia mencoba menenangkan diri untuk mengingat apa yang terjadi, namun ia tak bisa mengingat apa pun. Marren memaksakan untuk bangkit dan membasuh dirinya, ia berendam cukup lama untuk menenangkan diri jika saja hal terburuk yang ia pikirkan benar-benar terjadi. Namun, tetap saja ia tidak bisa mengingat apa pun di malam pertama setelah pernikahannya. Apalagi ia m
🥀🥀🥀 Makan malam telah terhidang di meja makan. Namun, hanya Marren yang sedang asyik menikmati makan malam itu. Dua piring yang telah disediakan di atas meja masih dalam keadaan tertelungkup, karena Sang Empunya belum menampakkan batang hidungnya. Untuk itulah Marren sengaja makan lebih awal karena ingin buru-buru menyelesaikan aktivitasnya agar bisa menghindari kedua Kakak Beradik itu. Walaupun para asisten rumah tangga itu memandangnya aneh karena terlihat sangat jelas ingin menghindari makan malam bersama dengan para Tuan Muda, Marren tidak memedulikan itu semua, karena ia mulai tidak nyaman malam bersama dengan para Tuan Muda. Marren tidak memedulikan itu semua, karena ia mulai tidak nyaman dengan situasi yang ada. Belum sempat ia bisa hidup tenang karena sikap Arsan, kini Arland pun tiba-tiba hadir di antara mereka dan Marren merasakan perasaan yang aneh dan menekannya saat menatap sosok Arland. Dengan perasaan lega Marren meneguk air putih di tangannya, lalu b
"Maafkan Saya Pak Vano, Saya harus melakukan itu di hadapan Bapak, agar Bapak bisa segera melupakan Saya dengan rasa sakit yang Bapak terima hari ini. Tidak apa-apa jika saja Bapak memandang Saya seperti wanita ja***g atau bahkan pela**r yang menjual diri pada konglomerat! Tidak apa-apa, asal Bapak selamat!" jerit batin Marren yang berkecamuk tak karuan. Sambil menyisakan tangisnya, ia memasuki sebuah kamar kosong yang ada di lantai dua, la sengaja memilih kamar dengan posisi terjauh di rumah itu, agar ia bisa menenangkan dirinya tanpa gangguan siapa pun, terutama Arsan. Hatinya benar-benar remuk redam. Marren yang dulu memang sempat jatuh cinta pada Vano yang tampan, dewasa dan sangat bertanggung jawab itu kini harus mengubur rasa cintanya dalam-dalam. Walaupun begitu ia sangat tahu diri bahwa umur mereka yang terpaut cukup jauh membuatnya lebih memilih mundur, apalagi ia melihat teman kerjanya juga sangat menyukai manajernya itu dengan sepenuh
Siang itu Marren terbangun dengan keadaan yang masih tanpa sehelai benang pun. Tubuh polosnya tertutup selimut tebal yang hangat karena udara yang dingin dari AC menembus kulitnya. Marren menutup wajahnya dengan malu setelah teringat apa yang telah terjadi sebelumnya. la memeluk tubuhnya erat-erat dan segera berlari membilas diri di kamar mandi dengan selimut yang melilit tubuhnya. 'Tidak apa-apa. Toh dia suamimu Marren! Tidak apa-apa! Lagi pula ini demi menyelamatkan Pak Vano. Dan lagi, Saya selalu meminum pil KB itu terus, jadi Saya tidak akan hamil, sekiranya Arsan tidak memakai pengaman pun kurasa tidak akan apa-apa. Tapi si brengsek itu sepertinya tidak pernah pakai pengaman? Aku tidak sempat memperhatikannya! Boro-boro! Yang penting dengan begini Pak Vano terlepas dari cengkeraman Arsan!' Marren mendumel dalam hati dan mencoba membuang ingatan semua tingkah binalnya demi meredam amarah Arsan. Namun semakin ia membuang semakin jelas gambar
"Ya, mana Saya tahu, Arsan? Saya juga baru selesai telepon video dengan Mommy. Kamu bilang Saya tidak boleh keluar kamar, ya sudah Saya hanya telepon Mommy!" jawab Marren dengan nada jengkel. Arsan terdiam beberapa saat, "oke, tunggu aku pulang." Arsan menutup telepon dengan seenaknya. Marren menggeram jengkel bukan main. "Oh astaga! Apa-apaan sih dia itu? Benar-benar menjengkelkan! Menyebalkan! Huh!" Marren melempar ponselnya ke sofa di sebelahnya. Haura yang menyaksikan itu hanya bisa membeku tanpa bergerak sedikit pun. Marren menatap gadis itu dengan penuh iba. la terlupa akan keberadaan. Haura yang telah membawa buku-bukunya. "Oh Haura, maafkan Saya. Letakkan saja buku-buku itu di sana dan kamu boleh pergi." Marren menatap gadis itu dengan tersenyum penuh pengertian. "Tap... Tapi Nyonya, saya... saya sudah berjanji akan menemani Nyonya sepanjang waktu! Pasti Nyonya butuh teman bicara." Haura menawarkan dir
"Marren, Saya menunggu jawabanmu!" Arsan menatap Marren yang makin terlihat pucat pasi. Wanita muda itu menelan kebingungannya dalam matanya yang berkaca-kaca. "Ti... dak Arsan. Saya, Saya memang tadi sempat bermimpi buruk, tapi entah kenapa Saya, ehm di mimpi Saya ada Kakak ipar dan, dan entah kenapa setiap ada dia membuat Saya tidak nyaman. Entahlah Saya hanya aneh dan takut" papar Marren dengan perkataan yang terbata-bata. Hening sesaat. Arsan hanya memandang Marren beberapa saat lalu pergi meninggalkannya tanpa kata-kata atau pun sikap kemarahannya yang sering meledak-ledak jika ia merasa cemburu dengan setiap Pria yang dekat dengan Marren. Hal itu membuat Marren bertanya-tanya dan kebingungan seketika menderanya. 'Arsan pergi begitu saja? Dia tidak marah? Tidak mungkin! Apa dia bisa meredam kemarahannya kali ini atau.... Atau... la... Oh tidak! Apa jangan-jangan ia langsung pergi menemui Arland? Oh tidak, bagaimana
Malam telah larut, namun Marren tetap tidak bisa memejamkan kelopak matanya. Dia hanya membolak-balikkan badannya dengan gelisah, apalagi Arsan tidak ada di sampingnya. Sejak pria itu meninggalkannya dengan sikap yang aneh, ia tidak lagi menemui Marren. 'Aneh sekali dia hari ini, tapi dengan diamnya ini Saya jadi semakin takut dengan apa yang akan diperbuatnya. Ya, walaupun kami memang tidak selalu setiap saat bersama, tapi baru kali ini Saya merasa sendirian. Rasanya benar-benar tidak nyaman. Lebih baik dia mencak-mencak seperti biasanya saja, kalau begini Saya jadi bingung sendiri harus bersikap bagaimana" keluh Marren dalam hati. Wanita itu memaksakan dirinya untuk memejamkan matanya. Hingga hari menjelang siang, Marren tidak juga melihat sosok Arsan yang berkeliaran di dalam rumah, ponselnya pun tidak ada pemberitahuan apa pun tentang Arsan yang biasanya selalu meramaikan suara benda pintar itu. Bahkan Marren tidak melihat pria yang menjaga kamar
Marren mendorong Arsan dari dekapannya dan menatapnya dengan mata terbelalak tak percaya. "Ada apa, Arsan? Kenapa kamu tiba-tiba seperti ini? Kenapa tiba-tiba kamu mengucapkan itu? Apa maksudmu, tiba-tiba seperti ini?" cecar Marren tercekat tak percaya. Wanita cantik itu menatap Arsan dengan tatapan mata berkaca-kaca.Melihat Arsan hanya terdiam membisu, Marren mengangguk paham."Apa ini ya.... Saya telah melarikan diri bersama Arland waktu itu? Jadi kamu tak percaya..." "Marren, Sayang...." sela Arsan yang kini bersimpuh di kaki Marren dan memeluk lututnya dan menghentikan ucapan Marren yang kini terpaku diam menatap Arsan yang ada di lututnya. "Dosa Ryzadrd terlalu besar untuk diampuni. Kakek telah menghancurkan hidupmu begini rupa. Saya terlalu malu untuk menatapmu sekarang. Tak ada lagi yang bisa Saya banggakan dan saya persembahkan untukmu, Marren. Saya bahkan yang hanya memiliki sedikit perasan kepadamu tanpa sadar hanya diperalat untuk mengikatmu secara paksa." Buliran a
"Sayang, apa kamu sudah selesai berbicara? Ayo, kita pulang, sepertinya Marren sedang kerepotan dengan anak-anaknya. Sebaiknya kita pamit," ucap seorang wanita yang tiba-tiba datang dan menggandeng lengan Vano, perut wanita itu terlihat sedikit buncit. Arsan menatap wanita tersebut, yang menatapnya dengan sopan namun sangat jelas terlihat dia menikmati apa yang sedang dilihatnya. "Sarah? Kamu sudah selesai berbicara dengan Marren?" tanya Vani menoleh pada wanita yang terlihat agak genit itu."Perkenalkan, Tuan Muda, ini istri saya Sarah, dan Sarah ini adalah Tuan Muda....""Arsan, Tuan Muda Arsan, suami Marren.""Salam kenal, Tuan Muda Arsan, saya Sarah, istri Tuan Vano ini, pemilik restoran yang punya banyak cabang di beberapa mall di kota-kota besar di Indonesia," sela Sarah memotong ucapan Vano dan mengulurkan tangannya untuk dijabat Arsan. Ucapan Sarah, membuat Vano jengah dan menegurnya walau dengan suara lembut. Akan tetapi sepertinya Sarah sangat menikmati pamer di hadap
"Bagaimana, Brian?" tanya Arsan setelah dokter Brian memeriksa kondisi Kakek Ryzadrd. Dokter Brian memegang gagang kacamatanya dengan gelisah dan mendesah perlahan."Arsan, Kakek meninggal karena pembuluh darah arterinya putus dan kehilangan banyak darah dan mengakibatkan syok dalam jantungnya. Dan Kakek meninggal sekitar 2 sampai 3 jam yang lalu," ungkap dokter Brian dengan tatapan penuh simpati. "Kenapa tidak pasti?" sela Arland kepada Brian menutupi ranjang dan seprei yang berlumuran darah Kakek Ryzadrd yang mengering. "Karena suhu ruangan ini sangat rendah, jadi membuat suhu tubuh juga semakin cepat turun dan dapat mempengaruhi pembekuan dengan cepat," jawab Brian yang membuat Arland terdiam menguyup wajahnya sendiri dengan kasar. Pria itu terlihat sangat stres. "Dan memang beliau meninggal karena sebab bunuh diri, tak ada tanda-tanda kekerasan apa pun yang terjadi," lanjut Brian dengan wajah penuh duka. Dokter muda yang berumur tak jauh di atas Arsan itu menghela napas deng
Mendengar ucapan Arsan yang terbata-bata, Arland tak kuasa menahan gelak tawanya dan membuat Marren dan Madya menatapnya dengan tatapan heran."Ada apa, Arland? Apa yang sebenarnya terjadi?" tegur Madya yang langsung membuat Arland menghentikan gelak tawanya. Lalu dengan menyisakan tawanya, akhirnya Arland mengakui, bahwa dia sengaja membisikkan kata-kata itu untuk membuat Arsan marah dan bangun."Apalagi yang bisa membuatmu marah selain itu? Lihat saja, Ma, bahkan dia bisa melawan dan bangkit dari kematian hanya karena Marren," papar Arland yang membuat Marren dan Madya menangis terharu. Marren kembali memeluk dan menciumi tangan Arsan. Sementara Arsan menahan sakit karena tawanya yang terlepas begitu saja. "Awas... kau... Arland...." ancam Arsan dengan suara berat, namun lagi lagi Arland mengendikan bahunya dengan acuh. "Bangun dengan benar lebih dulu, baru kau bisa mengancamku," ledek Arland dengan wajah senang.🥀🥀🥀Akhirnya setelah beberapa hari di rawat, Arsan diperbolehk
Hari itu suasana ruang tunggu ICCU terlihat lengang dan penuh kesedihan. Karena saat mereka sampai di sana, kamar Arsan sedang di penuhi oleh para dokter dan perawat yang sedang mengupayakan keselamatan Arsan dari berhentinya detak jantung pria tampan itu. Dalam sehari sepeninggal Marren, sudah dua kali jantung Arsan berhenti berdetak hingga harus mendapatkan serangkai penyelamatan dari para dokter, seperti yang sedang dilakukan saat ini. "Ya, Tuhan, Saya mohon selamatkanlah Arsan, selamatkanlah suami Saya. Saya dan anak-anak masih sangat membutuhkannya. Izinkanlah Arsan sembuh dan hidup bersama anak-anaknya, karena itu adalah impiannya sejak dulu. Ya, Tuhan, Saya mohon kepada-Mu," doa Marren dalam hati seraya menahan isaknya. Marren terus menatap kaca transparan yang kini tertutup oleh korden tebal berwarna putih agar mereka tak melihat apa yang telah terjadi di dalam ruangan tersebut. Marren menguatkan hatinya seraya meletakkan tangan bersandarkan kaca itu. Sementara Masya t
Arland meninggalkan ruangan itu dan menutup pintunya rapat rapat tanpa tahu jari-jemari Arsan mulai bergerak walau hanya sesaat. Hingga rombongan Arland dan Marren meninggalkan rumah sakit itu demi membawa Marren pulang setelah ia berbicara dengan Dokter pengawas Arsan dan menyerahkan nomor ponsel Arland jika ada perkembangan kondisi Arsan. Sesampainya di rumah, Marren menangis tersedu dalam pelukan Ibunya dan Arland menegaskan Marren harus makan dan beristirahat. Mengabaikan semua itu Marren menatap kedua bayinya yang terlelap dalam keranjang bayi. Marren meneteskan air mata menatap si kembar dengan lemah terkulai di ranjang. Madya menahan isaknya saat melihat Marren yang begitu pucat dan seolah kehilangan semangat dalam hidupnya. "Sayang, makanlah dan beristirahatlah barang sejenak. Kamu harus sehat demi anak-anak. Mommy akan siapkan makanan untukmu dan kamu harus makan," bujuk Madya seraya membelai rambut Marren yang tergerai berantakan di pundak. "Kamu juga harus makan, Arl
Marren menatap sosok Arsan yang berbaring lemah tak berdaya di hadapannya. Kini ia harus kuat menghadapi kenyataan yang ada.Wanita cantik itu hanya terdiam membeku dan menatap satu persatu alat yang terpasang di sekitar tubuh Arsan dengan selang atau pun kabel yang berakhir di badan Arsan. Sebuah selang pun melekat di dalam mulut Arsan yang sedikit terbuka. Dengan tangan gemetar hebat, Marren memegang punggung tangan awan yang diam tak bergerak. Tangan yang dulu selalu kokoh menggenggamnya itu, kini terkulai lemah dengan selang infus tertancap di sana Marren menggenggam ringan tangan dan jari-jemari Arsan.Marren menciumnya tanpa mengatakan apa pun. Seraya memandang wajah Arsan yang terlelap, Marren memeluk tangan itu meletakkannya pada pipinya. "Syukurlah, Nyonya terlihat tenang dan baik-baik saja sejak siuman tadi. Nyonya, sepertinya sudah menerima keadaan Tuan Muda," ujar Naura memecah kesunyian. la menatap Marren melalui kaca transparan di balik ruangan itu bersama Arland.
"Arsan!" pekik Marren dengan bangun tersentak kaget. Hal itu membuat Naura segera menghambur ke hadapan Marren. "Nyonya? Anda sudah siuman? Syukurlah," sahut Naura dengan wajah senang namun tak bisa menutupi wajah sedihnya Wajahnya terlihat sangat sembab karena terlalu banyak menangis. "Nau, apa yang terjadi? Ini di mana?" tanya Marren kebingungan seraya melihat ke sekelilingnya, la terbangun di sebuah kamar serba putih dan di kelilingi oleh kelambu dengan warna yang sama. "Anda pingsan. Nyonya. Sekarang sedang di UGD. Tadi Tuan Arland yang membawa Anda kemari," papar Naura dengan tatapan berkaca-kaca.Mendengar penjelasan Naura, Marren melompat dari ranjang dengan tergesa gesa."Di mana Arsan? Di mana, suami saya?" pekik marry kebingungan dan panik. Naura memeluk Marren dengan cepat dan menangis tersedu-sedu."Nyonya, harus tenang. Anda baru sadar. Sebaiknya pelan-pelan dulu," cegah Naura dengan bingung dan penuh kekhawatiran."Saya ingin melihat kondisi Arsan. Apa ada perkembang
Marren diam termangu di depan ruang tunggu kamar operasi. Saat ini la hanya bisa diam tanpa bisa menangis karena sudah terlalu lelah menangis.la merasakan kedua matanya yang terasa bengkak dan perih akibat terlalu banyak menangis. "Ya, Tuhan, Arsan... Kita baru saja bertemu kembali setelah berbulan-bulan lamanya terpisah karena kesalahan Saya. Tetapi, sekarang kamu malah seperti ini. Kita baru saja bertemu dan bahagia, Arsan. Saya mohon, bertahanlah dan jangan tinggalkan Saya dan anak anak kita," gumam Marren berdoa di dalam hatinya. Sebulir air mata bening meluncur begitu saja membasahi kedua pipinya, la tak bisa menahan buliran demi buliran air mata yang terus menerus turun membasahi pipinya. Saat itu ia hanya di temani oleh Naura, karena Madya harus menenangkan kedua cucunya dengan asi Marren dan susu formula yang telah disiapkan khusus untuk keduanya. Apalagi kini Marren sedang menghadapi sebuah musibah dengan tertembaknya Arsan oleh sang kakek demi melindungi dirinya. Nau