Sudah jatuh, tertimpa tangga, kejedot tembok, ketiban genteng, mungkin komplikasi kesialan ini cocok menggambarkan situasi yang dialami Ashanna Dewi Purnama. Ia kehilangan pekerjaan, ibunya sakit, dan ayahnya terlilit utang sampai-sampai dirinya nyaris dibawa paksa untuk dijadikan istri muda sang rentenir. Ngeri-ngeri nggak sedap sih, kalau kayak gini! Yang tak kalah menyakitkan kekasih yang dicintainya berkhianat dengan sahabatnya sendiri. Sungguh terlalu! Namun, keajaiban itu ada. Yudistira Adi Nugraha, kawan masa kecil Ashanna, hadir kembali dalam hidupnya, menyelesaikan masalah yang dihadapinya tanpa syarat. Sayang, karena kecerobohannya sendiri, gadis itu harus menikah dengan Yudistira. Yah, kalau nikahnya sama cowok ganteng, kaya, penebus kehidupan kita, siapa yang bakalan nolak, sih? Meyakini bahwa cinta bisa tumbuh seiring berjalannya waktu, Ashanna berupaya membuat pernikahannya berhasil. Bagaimana bila ternyata Yudistira tak sebaik yang Ashanna bayangkan, serta menyimpan rahasia yang tak diketahui oleh siapapun?
ดูเพิ่มเติมPernah dengar pepatah 'sudah jatuh, tertimpa tangga'? Situasinya seperti yang kualami saat ini. Hanya saja ada sedikit komplikasi; sudah jatuh, tertimpa tangga, kejedot tembok, ketiban genteng.
Nggak perlu disebutin kondisinya kayak apa, anggap saja aku Tom di kartun Tom and Jerry, yang walaupun jatuh dari atap, tergencet sampai gepeng, atau badanku terbelah jadi dua, aku bakalan balik normal lagi. Hah!Karena kecurangan seorang teman kerja yang tidak suka kepadaku, aku difitnah, aku dituduh mencuri uang perusahaan, hingga aku sukses ... sukses dikeluarkan dari tempat kerja secara tidak hormat. Tidak ada acara, "Hormat grak!" seperti dalam upacara bendera hari Senin anak sekolahan.Beberapa teman yang dekat denganku merasa sedih, tapi lebih banyak yang menatapku sinis, karena berpikir aku telah menjadi pengkhianat kantor, dan layak untuk dikeluarkan dari tempat kerja."Sha, kamu yang sabar, ya. Semoga kamu segera mendapatkan pekerjaan baru," ucap Mei prihatin. Ia salah satu teman baikku di kantor. "Aku tetap nggak percaya pada tuduhan Pak Ernest. Tega sekali dia menyalahkan kamu tanpa menyelidiki terlebih dahulu. Aku tahu kamu nggak gitu, Sha."Kata-kata Mei yang tulus sedikit menghiburku. Mau bagaimana lagi, namanya juga dijebak. Si penjebak dengan begitu pandainya menempatkan barang bukti di laciku, hingga aku tak dapat mengelak atau membela diri.Pun bosku hanya mau mempercayai apa yang dilihat oleh matanya, tanpa mau tahu penyebab sebenarnya."Tenang saja, Mei, aku 'kan nggak bersalah. Santai! Pasti secepatnya aku dapat pekerjaan baru, yang lebih bagus daripada di sini," sahutku guna menenangkan Mei.Padahal dalam hati aku pun tak yakin hanya dengan ijazah diploma aku bisa melamar pekerjaan baru, dan diterima. Aku memang sudah punya pengalaman kerja tiga tahun di kantor ini, tapi dengan statusku yang di-PHK, kira-kira bos mana yang mau menerimaku?Aku tidak mungkin mendapatkan referensi pengalaman kerja yang bagus dari kantor ini. Yang ada aku malah ditanyai macam-macam, atau malah dilaporkan ke polisi, kan urusannya jadi semakin panjang.Dengan dagu tetap terangkat aku meninggalkan kantor. Pantang bagiku untuk menunduk, karena aku bukanlah pencuri. Aku pulang dengan harapan bisa menghibur diriku sejenak di rumah, tetapi hal yang kutemui semakin membuatku kalut."Jangan, Pak, jangan!"Terdengar rintihan Ibu dari dalam rumah saat aku tiba. Pintu depan terbuka lebar. Selain suara Ibu, ada suara pria tak dikenal yang terdengar berang, dan ... suara adik-adikku yang menangis. 'Kenapa ini?' batinku gelisah. Aku bergegas memasuki rumah."Ada apa ini, Pak? Bu?" tanyaku setelah berada di antara mereka.Rumah kami berantakan. Tampak beberapa barang elektronik dan perhiasan milik Ibu dikumpulkan, mungkin benda-benda itu yang akan dibawa oleh pria itu ... dan beberapa temannya. Rupanya ia tidak datang sendirian, tipikal penagih utang pasti main keroyokan."Shanna," rintih Ibu saat melihatku. Ia terduduk di lantai dengan badan yang lemah dan wajah kusut karena air mata."Nak, maafkan Bapak. Bapak berutang sama mereka." Ayahku ikut menyahut. Dalam waktu singkat otakku mencoba mencerna semua ini.Entah bagaimana ceritanya Bapak berutang kepada rentenir, tak tahu sudah berapa lama, yang jelas bunganya pasti sudah mencekik leher, lebih besar daripada nominal utang di awal, tipikal lintah darat.Bapak tidak sanggup melunasi, akhirnya mereka datang menagih ke rumah.Darahku terasa mendidih, aku ingin marah, tapi tidak tahu pada siapa. Bapak yang kukenal selalu baik dan bertanggung jawab. Bagaimana ceritanya Bapak bisa terlibat utang dengan rentenir? Mengapa Bapak tidak bercerita kepadaku?"Jadi ini anak sulung kalian, ya," pria itu kembali bersuara, membuyarkan pikiranku yang masih mencerna semua ini. "Juragan Suseno pasti akan memaafkan dan membebaskan kalian dari utang, asalkan kalian memberikan anak perempuan kalian ini sebagai istri Juragan Suseno.""Masih mending kami ambil anak sulung kalian. Atau kalian mau krucil-krucil tiga ekor ini yang kami bawa? Hahaha," tambah temannya.Apa??? Juragan Suseno??? Tidak!!!Seperti adegan drama Korea, atau FTV, atau sinetron azab, apa lah itu, semua meluncur begitu cepat.Tiba-tiba saja aku ditarik paksa oleh preman-preman itu. Ibu dan adik perempuanku menjerit-jerit, sedangkan Bapak berupaya menahan para preman agar tak membawaku pergi. Namun Bapak malah didorong hingga jatuh, dan para penagih utang itu berhasil menyeretku.Dalam benakku sudah terjadi adegan drama di mana aku dihadapkan kepada Juragan Suseno, pengusaha kaya raya yang suka mengambil keuntungan dari menipu orang kecil. Istrinya banyak, dan aku akan dijadikan istri yang ke berapa, aku tak tahu.Pria tua itu tertawa terbahak-bahak, mencoba merayuku dengan kekayaannya, menyentuh daguku, tapi aku mengelak dan meludahi wajahnya, "Cih!"Ia tertawa semakin kejam dalam kemarahannya, lalu ... ah, tidak!!! Baru membayangkannya saja sudah membuatku jijik. Aku tak sanggup memikirkan akan jadi apa diriku nanti, tapi aku juga tak punya daya untuk melawan mereka."Tidak! Lepaskan aku! Lepaskan!" teriakku sembari berupaya membebaskan diri sekuat tenaga. Namun, apalah daya seorang wanita yang belum makan, kalau harus melawan tiga orang pria dewasa yang berperawakan tinggi besar.Mereka memaksaku keluar rumah. Aku hanya bisa berdoa agar seorang penolong datang membebaskanku, pangeran berkuda putih yang mempunyai pedang panjang, kalau berjalan prok prok prok. Duh, salah zaman sih ini.Ya, pokoknya aku sungguh berharap ada orang yang rela melunasi utang ayahku yang jumlahnya tidak masuk akal itu, membebaskan kami, dan aku tidak perlu menjadi gundik si juragan tua.Lantas seperti sebuah keajaiban, sebuah mobil mewah dengan seorang pria muda di dalamnya, berhenti di depan rumah kami. Pria itu benar-benar menjadi penyelamatku."Berapa yang dibutuhkan? Tolong katakan, saya akan membayarnya." Pria muda itu berucap dengan begitu gagah pada sang penagih utang. Hebat sekali dia bisa mengetahui bahwa permasalahan yang tengah kami hadapi adalah utang piutang.Aku yang masih dicekal oleh preman-preman itu hanya bisa terpukau menyaksikan penampilan dan aksinya yang begitu cool. Setelan jas mahal berwarna abu-abu muda, serta kacamata hitam melengkapi wajahnya yang menarik. Aku plonga-plongo dibuatnya."Jangan main-main, Bung, ini menyangkut uang ratusan juta," tegur kepala preman itu dengan keras."Saya serius, Kisanak, berapapun akan saya bayar untuk gadis ini," sahut pria tampan itu. Ceilah, kisanak? Rupanya dia suka bercanda, rasanya aku ingin tertawa kalau situasi tidak sedang tegang seperti sekarang.Dengan tenang pemuda asing yang rasa-rasanya kukenal itu mengeluarkan ponselnya. "Berapa nomor bos Anda? Saya akan bicara langsung, dan segera saya transfer," katanya lagi, seraya menyodorkan ponsel canggih itu kepada si penjahat.Sesaat penagih utang itu ragu, tetapi tak butuh waktu lama baginya untuk meraih ponsel tersebut, dan menekan nomor bosnya.Negosiasi itu pun terjadi. Dalam waktu singkat pangeran bermobil menyatakan dengan tegas kepada Juragan Suseno, bahwa ia akan membayar semua utang bapakku, dan meminta mereka untuk tidak mengganggu kami lagi. Lebih wow lagi sang pangeran mengetahui nama bapakku, lho. Hebat!"Akan saya kirimkan uangnya sekarang," pungkasnya, mengakhiri pembicaraan di telepon dengan Juragan Suseno. Sebentar ia sibuk lagi dengan ponselnya, sepertinya ia benar-benar mengirimkan uang ke pria rentenir itu, karena dalam satu menit ia menunjukkan lagi layar ponselnya kepada si preman."Sudah terkirim, sekarang tolong lepaskan gadis itu." Pria itu kembali berujar dengan suara penuh wibawa. Kepala preman itu terbengong, lalu ponselnya sendiri berbunyi."Ya, Bos." Rupanya bosnya menelepon. Terjadi percakapan singkat, kemudian para preman itu melepaskanku dan meninggalkan rumah kami."Shanna ....""Mbaaaak ...."Ibu, ayah, dan ketiga adikku yang menyaksikan semuanya dari dalam rumah, kini bergabung bersamaku."Kamu nggak apa-apa 'kan, Nak?" tanya Ibu khawatir. Adik-adikku masih terisak, tetapi tidak sekeras tadi. Mereka seolah tahu bahaya sudah berlalu."Nggak apa-apa, Bu," jawabku untuk menenangkan Ibu. Aku beralih ke pangeran tampan yang telah menyelamatkanku. "Maaf sudah merepotkan Anda, dan terima kasih atas bantuan Anda. Tapi ... Anda ini siapa, ya?" tanyaku dengan perasaan tidak enak.Pria ini adalah orang yang tak kukenal, walau sejenak ada perasaan pernah mengenalnya, aku masih belum bisa menebak dia ini siapa. Tiba-tiba saja ia melunasi utang ayahku yang tidak sedikit, seolah-olah utang itu dihibahkan kepadanya. Dan tadi aku nyaris menjadi manusia pelunas utang; dijual untuk melunasi utang, maksudnya begitu.Sekarang apakah ayahku jadi berutang kepada pria ini? Terus, aku harus ... menikah dengan pria ini ... begitu? Inikah yang dimaksud dengan 'Sengsara Membawa Nikmat' kayak novel lawas itu? Ih, jadi ngayal kebangetan nih, aku! Sadar, woy!Senyuman kecil tersungging di bibirnya yang seksi, tapi tak ada penjelasan apapun keluar dari mulutnya. Semuanya terjawab oleh kata-kata Ibu selanjutnya."Nak Yudistira? Iya, kan? Kamu Yudistira, anaknya Bu Ani?" seru Ibu dengan penuh sukacita. "Wah, terima kasih banyak, Nak, kamu sudah menyelamatkan kami ...."Ucapan Ibu tak lagi kudengarkan karena aku syok memandang orang itu melepaskan kacamata hitamnya."Yudis ...," desisku setengah tidak percaya.Benarkah dia Yudistira? Yudistira yang tengil dan keling itu?Pemuda itu tersenyum kepadaku dengan begitu manisnya, mengalahkan manisnya minuman bersoda, serta manisan jengkol.Mendadak aku melihat banyak kunang-kunang di sekitarku. "Eh, kok tiba-tiba sudah malam, ya?" gumamku tidak jelas. Aku mulai merasakan tubuhku kehilangan tenaga.Sebelum semuanya menjadi gelap, aku masih sempat mendengar jeritan ibuku memanggil namaku, "Ashanna!" serta suara pria tengil tadi berkata, "Woy, jangan pingsan di sini!"(Tiga tahun kemudian) "Tangkap, anak-anak!" "Ayo, Dik! Lari!" "Ahahaha! Kakak!!!" Teriakan dan jeritan tawa khas bocah yang sanggup memekakkan telinga, membuat suasana di halaman belakang rumah mertuaku begitu ramai. Berisik, sekaligus menghangatkan hati. Yudistira, suami yang amat kucintai, bermain tangkap bola dengan kedua anak kami, Dias dan Nara. Meskipun keduanya mewarisi wajah sang ayah, sifat mereka sangat berbeda. Nara pemberani, cerewet, dan berjiwa pemimpin, cocok banget dengan suasana hati yang kurasakan ketika aku hamil. Sedangkan Dias lebih tenang, dan mudah tersentuh, cocok juga dengan pembawaanku yang suka mewek saat mengandungnya. Kupandang mereka bertiga penuh sayang. "Lucu banget, ya, cucu-cucu Mama," celetuk ibu mertuaku yang tiba-tiba berdiri di sampingku. "Anak Mama lebih lucu, Ma," sahutku sambil cengengesan. Kan, suamiku memang lucu. Sesaat Mama Ani terbengong, lalu dia memukulku main-main. "Baguslah, kalau kamu masih menganggap anak Mama yang paling luc
"Selamat, Nak! Sudah lengkap sekarang, satu perempuan, satu laki-laki." "Selamat, ya, Yudistira dan Ashanna, anak kalian ganteng banget!" "Lucunya anak kalian!" Pujian semacam itu sering kudengarkan beberapa hari ini setelah si Cendol lahir ke dunia. Membanggakan memang, tetapi tak semua pujian membuatku senang. "Ya, ampun! Ini sih foto copy-an Yudistira." "Mirip banget dengan bapaknya." "Benar, mirip plek ketlipek-tiplek." Katanya anak perempuan lebih mirip ayahnya, sedangkan anak lelaki lebih mirip ibunya. Nah, sekarang aku punya dua anak, satu perempuan, satu laki-laki, mengapa nggak ada satu pun yang mirip aku? Mereka berdua mirip bapaknya, ibunya kebagian apa? Seakan-akan aku cuma dijadikan jalan lewat mereka lahir ke dunia. Aku mau nitipin bentuk hidung saja mereka menolak.Memang sih, hidung suamiku lebih mancung ketimbang hidungku, jadi sudah pasti hidung anak-anakku juga mancung. Hah!"Malah bagus kali, Sha. Nggak akan ada yang meragukan bahwa kamu punya anak sama Yudi
"Sayang, ini kabar bahagia, mengapa kamu bersedih?" Pertanyaan suamiku, meskipun disampaikan dengan suara yang lembut, malah membuatku semakin galau, hingga rasanya aku ingin menangis. Bagaimana aku tidak sedih, baru juga enam bulan lalu aku melahirkan, eh, aku sudah hamil lagi. Bukannya aku tidak senang, tetapi anak pertamaku masih kecil, ia masih butuh banyak perhatian dariku, aku bahkan berencana untuk memberikan ASI eksklusif untuk Nara paling tidak selama setahun. "Seorang ibu hamil bisa saja menyusui, tetapi itu juga tergantung kondisi sang ibu. Bila ibu sehat, tak menutup kemungkinan untuk tetap menyusui," kata dokter kandunganku memberiku sedikit harapan.Sayangnya, aku tidak termasuk ibu sehat itu. Kehamilan kedua, aku malah teler luar biasa. Bukan hanya mengalami morning sick, tubuhku rasanya sangat lemas hingga tak mampu melakukan banyak aktivitas. Dan lagi-lagi suamiku yang harus repot mengurus kebutuhanku, membantuku bila aku perlu makan, atau ke kamar mandi.Namun, yan
"Sakit banget, ya, Sayang?" suamiku bertanya dengan wajah penuh kecemasan.Hanya seulas senyum yang mampu kuberikan sebagai jawaban, karena kuyakin ekspresi wajahku saat ini sudah cukup menggambarkan apa yang kurasakan.Kata orang sakit bersalin tuh sakit banget, dan itu benar kurasakan, padahal ini barulah awal prosesnya. Perut melilit seperti saat sedang kebelet BAB, ada desakan yang kuat untuk mengeluarkan isi perut, tetapi sayangnya melahirkan tak semudah itu.Belum lagi kontraksi yang terjadi, mirip sekali dengan kram perut. Aku pernah membaca di internet bahwa rasa sakit persalinan itu setara dengan 20 tulang yang dipatahkan secara bersamaan. Dalam kasusku kayaknya 21 tulang yang patah, deh."Sha, kamu benar-benar sanggup melahirkan secara normal? Atau mau operasi saja?" tanya suamiku tiba-tiba.Kupalingkan mataku kepadanya, matanya berkaca-kaca. Aku tertawa lemah. "Yud, aku yang sakit, tapi mengapa kamu yang menangis?" aku balik bertanya. Kusentuh pipi pria yang kucintai itu.K
"Mbak, ini serius pilihanmu, Mbak? Asli, bukan Mbak Ashanna banget, lho." Ketiga adikku memandangku dengan tatapan penuh komplikasi, antara kagum, heran, dan sedikit tak percaya. Nada suara mereka terdengar mencemooh. "Unbelievable! Cantik, sih, cantik ...," komentar Desi mengambang, masih belum sanggup menerima kenyataan. Selama ini aku memang suka tampil cantik, tapi kecenderungannya cantik yang anggun, elegan, bukan cantik ala ciwi-ciwi yang girly dan kemayu. Mengingat tema acara untuk wedding anniversary ketiga kami adalah pernikahan, sudah sewajarnya aku mengenakan gaun pernikahan. Namun, karena perutku yang semakin membesar, jalan bulan keenam gitu loh, aku tak bebas memakai sembarang baju, karena bentuk perutku yang seperti balon bisa terekspos. Berdasarkan rekomendasi dari ahli bridal yang sudah berpengalaman belasan tahun, aku dibantu untuk memperoleh gaun yang tepat. Pilihannya jatuh kepada gaun pengantin ala-ala princess berwarna putih cantik, dengan bagian rok merekah
"Gimana sih kokinya? Kenapa masakannya begini semua? Nggak asyik, ah!" gerutuku dengan wajah tidak senang. Ketiga adikku, terutama Desi yang menjadi koki utama, memandangku dengan wajah merengut. Mereka sebal, karena aku mencela makanan yang mereka buat. Iya, aku yang mengomel tadi, karena sedikit kecewa dengan hasil masakan mereka. "Ya sudahlah, Mbak, tinggal makan pun," gerutu Disa tak senang. "Nggak perlu protes, tinggal buka mulut, nyam nyam nyam, perut kenyang," timpal Desi. Dida pun menimpali, "Rempong bener, sih, Mbak Ashanna ini." "Habis gimana, dong? Kalian masak western food, katanya, makanan Italia, tapi kok semua mengandung keju begini?" Aku mempertegas alasanku memprotes mereka. "Namanya western food, Mbak, pakai keju. Kalau pakai cabai, brambang bawang, ya masakan Jawa. Kalau pakai andaliman masakan Batak. Sudah autentik itu," Desi berdalih lagi. "Lagian tuh makanannya mengandung kalsium tinggi. Bagus untuk pertumbuhan bayi dalam kandungan, sehat untuk bayinya Mbak
"Kamu nggak salah makan, Sha? Atau tadi di rumah sakit dokter nggak keliru nyuntik kamu serum kurang waras, 'kan?"Asyiknya Yudistira tuh kayak gini ini. Dia bisa saja langsung marah karena mendengar permintaanku yang aneh, tetapi ia malah bercanda. Mengejek memang, tapi main-main saja."Ngawur! Aku kan disuntik serum yang bikin bahagia," ucapku sambil senyum-senyum."Hah! Emang serum apaan?" tanyanya dengan nada mencemooh. Aku tertawa kecil. Sebenarnya Yudistira pasti cemburu gara-gara permintaanku yang aneh.Dengan wajah super serius aku menjawab, "Serum yang bikin bahagia? Serum ... ah sama kamu, hidup bersama kamu, punya anak dengan ....""Ahay!!!" seru Yudistira, kali ini ia kegirangan ditambah sedikit tersipu. Ah, kena juga gombalanku. Hihi."Terus tadi kamu bilang ingin menikah lagi tu, apa? Mau nikah sama siapa? Kamu mau poliandri?" Yudistira kembali bertanya menuntut penjelasan. Nah, kan! Mikirnya sudah aneh-aneh. Apalagi coba kalau bukan cemburu namanya?"Idih! Siapa juga ya
"Sudah delapan jam Ibu Fitri mengalami kontraksi, tetapi belum ada tanda-tanda bayinya akan lahir." Ucapan dokter tadi membuat kami cemas. Juna bilang sejak semalam istrinya telah merasakan kesakitan sebagai tanda akan melahirkan, mengingat usia kandungannya sudah melewati angka sembilan bulan. Namun, pagi ini berjam-jam Fitri telah mengalami kontraksi, tetapi si jabang bayi seperti belum rela meninggalkan perut ibunya. Duh, tak bisa kubayangkan, calon ibu ini pasti sudah menghabiskan banyak tenaga. Kalau seperti ini sudah bisa diperkirakan apa yang harus dilakukan terhadap Fitri dan bayinya. "Kami menyarankan untuk operasi saja, demi keselamatan ibu dan anak. Mohon segera diputuskan, Pak, agar Ibu tidak perlu menunggu terlalu lama," ungkap sang dokter kepada Mas Juna, menyatakan hal yang sama persis dengan perkiraan kami. Iparku berpikir di tengah kecemasan. Memang Fitri sendiri berharap ingin melahirkan secara normal, sudah sewajarnya wanita menginginkan metode ini saat bersalin
"Jangan pergi, Sayang! Aku nggak mau ditinggal. Please ...," rengekku sembari mencengkeram erat lengan suamiku.Yudistira menghentikan langkahnya. Ia sudah rapi, ganteng, wangi, dan siap berangkat kerja, tapi rasanya aku tak rela ditinggal di rumah sendiri.Semenjak hamil dan kerap mengalami morning sick, Yudistira, selaku bos dan suami, memberikanku cuti kehamilan tak terbatas waktu. Artinya aku bisa libur selama apapun aku mau, dan kembali kapanpun aku siap, tanpa resiko kena PHK, dan tetap mendapatkan gaji ... maksudnya gaji dari uang pribadi suamiku."Sayangku, Ashanna, kalau aku nggak pergi kerja, kita mau makan apa?" dalihnya agar aku membiarkannya pergi."Aku nggak butuh uang, Sayang, cukup cintamu. Cintamu saja untuk selamanya," ucapku romantis, dramatis, dan nylekutis. Suaraku bahkan terdengar kelewat manis, melebihi sakarin, aspartam dan biang gula manapun.Lagian bohong banget, dia nggak kerja sehari saja bingung mau makan apa? Hah! Kami liburan sebulan pun dia nggak akan b
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
ความคิดเห็น