Beranda / Romansa / Suami Pelarian / 06. Rumah Baru

Share

06. Rumah Baru

"Jadi ini kejutannya, Yud?" tanyaku serius.

Yudistira menggaruk kepalanya. Wajahnya mencerminkan kepasrahan ... pasrah kalau aku meledeknya.

"Bukan begini maksudku, Sha. Ini di luar kemampuanku, bukan kejutan buatmu. Kalau kejutan 'kan memang sengaja dibuat untuk memberi euforia lebih," paparnya mengakui keterbatasannya.

Aku mengulum senyum. "Oh, gitu," komentarku singkat. Yudistira melebarkan senyuman di bibirnya, satu jurus untuk mendapatkan permakluman dariku. Aduh, lucunya suamiku!

Pasangan yang baru menikah idealnya langsung tinggal di rumah mereka sendiri, entah itu milik pribadi ataupun kontrak. Sebagai sesama penganut prinsip anti ribut dengan mertua, aku dan Yudistira sepakat untuk tinggal terpisah dari orang tua kami masing-masing.

Sayangnya tingkat kepercayaan diri seorang Yudistira kadang sedikit over. Karena fokus dengan urusan pernikahan, hunting rumah belum membuahkan hasil.

"Nyari yang cocok nggak gampang, Sha. Sebisa mungkin aku mencari yang lokasinya dekat resort biar kita nggak jauh dari tempat kerja, dan yang nyaman untuk dihuni," begitu Yudistira beralasan.

"Nggak apa-apa, Yud. Sabar aja, semoga cepat ketemu, ya." Aku berupaya memberi semangat dan dukungan kepada suamiku.

Untuk sementara waktu kami menjadi warga nomaden; kadang tidur di resort, atau di rumah mertuaku. Sesekali kami menginap juga di rumah orangtuaku, agar mereka tak merasa diabaikan.

Pencarian kami berakhir sekitar sebulan setelah kami menikah. Secara tidak sengaja kami melihatnya. Entah sejak kapan tulisan "Dijual Tanpa Perantara" tertera di sana, tapi kami sangat beruntung bisa menemukannya sebelum ada orang lain yang membeli rumah itu.

Lokasinya di perumahan tak jauh dari resort, bukan di pinggir jalan besar, masih agak masuk gang, tapi justru lebih nyaman karena tidak akan terlalu bising. Dan yang pasti harganya bisa lebih murah. Lebih beruntung lagi saat kami menyambangi rumah itu, pemiliknya sedang ada di sana.

"Permisi, Pak. Rumah ini dijual, ya?" sapa Yudistira pada seorang bapak yang kami temui di depan rumah.

"Betul, Mas. Masnya minat mau beli?" Bapak itu bertanya balik. Senyuman dan sorot matanya mengesankan keramahannya.

"Kalau cocok, Pak. Boleh kami lihat-lihat?"

"Monggo, Mas, saya antar."

Bapak itu membuka pintu gerbang untuk kami. "Taruh sini saja motornya," katanya seraya menunjuk sudut halaman.

Dari perkenalan singkat kami mengetahui bahwa bapak itu bernama Hadi Riyanto. Usianya mungkin sekitar lima puluhan, seumuran dengan Pak Pandu. Bedanya kalau ayah mertuaku masih secara rutin menyemir hitam rambutnya, Pak Hadi ini membiarkan rambutnya memutih secara alami.

Ia bercerita bahwa rumah ini belum terlalu lama dibangun, baru sekitar lima tahun. Anak-anak Pak Hadi sudah besar, dan memiliki pekerjaan yang mapan di luar Jogja.

Beberapa bulan lalu, ibu Pak Hadi yang tinggal di Gunung Kidul jatuh sakit. Bisa dihitung lah, kalau Pak Hadi saja sudah berumur lima puluhan, ibunya pasti sudah lansia.

"Makanya ketimbang rumah ini dibiarkan terbengkalai, kami jual saja, biar kami bisa nemani Ibu di desa. Sekalian juga saya sama istri bisa menikmati masa tua nanti di sana. Kalau disewakan mungkin kami masih harus repot berurusan sama penyewa, tapi dijual sekali urus langsung selesai," paparnya.

Di bagian luar rumah ini sudah tampak asri dengan taman sederhana tapi cantik. Rumah berukuran sedang dengan dua lantai. Saat kami masuk, rasanya lebih menakjubkan lagi. Rumah ini seperti rumah impianku, rumah dengan banyak jendela kaca, sehingga sinar matahari bisa masuk dan menjadi penerang alami di siang hari. Lantainya dipasangi keramik warna putih yang klasik.

Berbeda dengan lantainya yang seragam, setiap ruangan dipasangi wallpaper yang berbeda-beda, membuat suasana semakin menyenangkan. Ada tiga kamar tidur di bawah, dan dua di atas. Katanya ini karena Pak Hadi punya keluarga besar. Iya sih, anaknya ada empat, sama seperti keluargaku, dan keluarga Yudistira. Kebetulan banget, ya.

Di lantai bawah dan atas ada dapur, meskipun yang di atas dapurnya lebih sederhana. Siapa tahu malam-malam penghuni di lantai dua ingin membuat mie instan, 'kan nggak perlu turun ke lantai satu. Tempat mencuci baju ada di atas, tempat menjemurnya bajunya cukup luas, dengan banyak pot berisi tanaman menghiasi. Sepertinya cocok juga bersantai di situ di malam hari saat tidak hujan. Penghuni rumah bisa duduk santai mengobrol sambil memandang langit yang berbintang.

Tur singkat yang begitu seru. Aku tak sanggup menyembunyikan kegembiraanku, rasanya aku benar-benar jatuh cinta pada rumah ini. Yudistira bisa melihatnya dari wajahku.

"Kamu suka, Sha?" tanyanya. Aku mengangguk malu-malu. Pasti senang kalau kami bisa tinggal di rumah ini, tapi aku juga sedikit ragu mengingat ukurannya yang cukup besar. Harganya pasti mahal.

"Dibuka harga berapa, Pak?" Yudistira bertanya tanpa basa-basi. Pak Hadi menyebutkan angka yang membuatku menahan napas. Kalau aku sendiri yang harus membeli, pasti sedari awal aku cuma berani memimpikannya.

Terjadilah negosiasi yang sedikit alot. Pak Hadi tidak berani menurunkan harga terlalu banyak. Yudistira tampak berpikir keras.

"Memang yang mau tinggal di sini nanti siapa, Mas?" Pak Hadi bertanya sambil lalu.

"Kami berdua, Pak," jawab Yudistira. Dari tadi aku memang cuma jadi ekornya, ngikutin saja tanpa berani banyak bicara, kecuali membuat penilaian singkat tentang ruangan-ruangan di rumah ini.

"Oh, sudah punya anak berapa?" selidik Pak Hadi lagi.

"Masih baru, Pak."

"Loh! Saya pikir sudah lama, lho." Raut muka pria paruh baya itu terlihat sedikit heran.

"Masa sih, Pak?"

"Biasanya, 'kan, pengantin baru tuh masih anget, lengket. Mas Yudistira sama Mbak Shanna tampak biasa saja, saya kira kakak-adik malahan," terangnya. Waduh! Kena deh ini!

Aku sih cuma bisa pringas-pringis mati gaya, tapi yang namanya Yudistira selalu punya banyak gaya. "Istri saya ini memang pemalu, Pak," timpal Yudistira seraya menaruh lengannya di pundakku, dan menarikku agar lebih mendekat padanya.

Duh, malu beneran kalau kayak gini! Jantungku berdebar tak karuan, mukaku pasti merah padam. Untungnya si bapak orangnya pengertian.

Pak Hadi nggak tahu sih, kami memang pasangan yang jarang menunjukkan kemesraan di depan umum, apalagi saat cuma berdua, benar-benar hanya seperti teman.

Pembicaraan berlanjut membahas urusan pekerjaan. Saat Yudi menyebutkan tentang resort, Pak Hadi kaget saat mengetahui bahwa Pak Pandu adalah ayah tiri Yudistira.

"Saya ini kawan lama Pandu, lho. Sudah berapa lama, ya, kami nggak jumpa? Nggak nyangka saya bisa ketemu anaknya di sini," ucap Pak Hadi bersemangat.

"Bapak mau bicara sama Papa?"

"Wah, boleh, jelas mau banget saya," jawabnya antusias.

Dasar tukang bisnis! Ngerti banget, ya, si Yudis ini cara mendapatkan hati calon partner. Ya, ya, bisa dilihat juga sih, dari cara ia membuatku mati kutu, dan tak bisa menolak lamarannya kala itu.

"Halo, Pandu ... ini aku, Hadi. Wah, sudah lama, ya, kita nggak ketemu," sapa Pak Hadi saat panggilan suara dengan mertuaku tersambung. Secara alami pria itu berjalan meninggalkan kami, dengan ponsel Yudistira di tangannya.

"Gimana, Yud? Kemahalan ini," tanyaku dengan suara yang tak begitu keras.

"Kamu suka 'kan?" Ia balik bertanya.

"Suka, sih, tapi ...."

"Ya sudah, kita lihat saja, apakah pembicaraan dengan Papa bisa mengubah pikiran Pak Hadi," ujarnya enteng.

Yudi mengatakan ayah mertuaku sudah berjanji akan memberi uang untuk kami membeli rumah. Pak Pandu tidak membayar seratus persen, bisa dibilang mereka patungan. Bagaimanapun Yudistira ingin bertanggung jawab atas pilihannya untuk menikah, jadi ia tetap mau mengeluarkan uangnya sendiri.

Tak lama Pak Hadi kembali bergabung dengan kami. Mukanya berseri-seri, seperti kota Solo ... 'kan slogannya Solo Berseri. Hehe.

"Seru juga nih kayaknya Pak Hadi ngobrol dengan Papa," komentar Yudistira kala Pak Hadi menyerahkan kembali ponselnya.

"Hahaha, begitulah, Mas, kawan lama. Saya sudah ngomong sama Pandu tadi, beres lah pokoknya," sahut pria itu ceria. Pak Hadi menyebutkan harga yang telah disepakati dengan ayah mertuaku, bisa turun lumayan banyak daripada penawaran awal. Wajah Yudistira penuh senyum kemenangan.

"Saya senang, rumah ini bisa saya jual ke orang yang sudah saya kenal, apalagi yang membeli anaknya pemilik Pandawa Resort," tambah Pak Hadi. "Saya percaya rumah ini pasti akan kalian rawat dengan baik."

"Pastinya, Pak."

"Karena kita sudah saling kenal, kapan-kapan kalau saya kangen kota Jogja, saya boleh, ya, main ke sini, nginap di sini?" Mata Pak Hadi kembali berkilat-kilat.

"Tentu saja boleh, Pak," jawab Yudistira lugas.

"Hahaha. Terima kasih lho, Mas Yudistira, tapi saya cuma bercanda. Nggak enak saya menganggu pasangan baru." Pak Hadi kembali menggoda kami.

Yudistira berjanji untuk datang lagi besok, sambil membawa surat perjanjian jual beli bersama seorang notaris. Dalam waktu tiga hari kami telah mengurus kepindahan, menaruh barang-barang dan perabotan yang kami butuhkan. Kami tak perlu banyak bersih-bersih, karena Pak Hadi masih merawat rumahnya dengan baik.

Maka selesailah urusan rumah. Kami berdua lega telah menemukan rumah untuk kami tinggali, yang sesuai harapan kami.

Namun, yang namanya hidup, apalagi hidup berumah tangga, pasti ada masalah. Dan masalah yang kami hadapi menyangkut orang-orang di tempat kerja kami.

Kami sepakat aku bisa tetap bekerja setelah menikah, tetapi tak ada angin, tak ada hujan Yudistira mengeluarkan ultimatum. "Sha, mulai besok kamu nggak usah kerja."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status