Terima kasih sudah membaca kisah Yudistira dan Ashanna sampai bab ini. Sempatkan utk berkomentar, ya. Sumbangan gem juga sangat saya hargai.
"Tidak! Aku tidak seperti itu." "Tidak! Itu bukan kesalahanku." Berdalih ataupun menyangkal adalah satu tindakan yang orang lakukan untuk membela diri dari celaan orang lain. Tidak ingin dicap buruk, manusia mencari banyak dalih, dan pembenaran diri. Itulah yang kulakukan saat ini. Gosip bernada menuduh yang kudengar di warung tadi seperti pukulan beruntun yang meremukkan seluruh hati dan harga diriku. Mereka seolah berkata aku hanyalah anak tidak berharga, yang egois, dan tidak peduli kepada keluarganya. 'Nggak! Itu bukan salahku, aku nggak pernah tahu kalau bapakku berutang, Bapak nggak pernah cerita kepadaku, bagaimana aku bisa membantu? Bapak yang mata duitan!' protesku dalam hati. Dengan susah payah aku pulang, seraya menahan sakit kepala, dan sakit hati yang tak tertahankan. Ibu masih di dapur, jadi ia tak melihatku. Ketimbang bergabung lagi dengan Ibu, aku memilih untuk masuk ke kamarku. Kulihat wajahku yang kusut dan merana di cermin. Aku sudah terlalu lelah untuk lanjut
"Tidur yang nyaman, ya, Sha," ucap Yudis dengan suara rendah. Pria itu menciumku lagi? Kali ini di kening. Kata orang, ciuman di kening menandakan perasaan sayang, dan keinginan untuk melindungi orang yang dikasihi. Jadi, apakah ini berarti Yudistira memang menyayangiku? Ataukah itu spontan karena sikap bertanggung jawab yang dimilikinya sebagai seorang suami? Ah, apapun itu, aku tak sanggup berpikir lagi. Hormon endorfin, si pereda nyeri, dan oksitosin, si penebar cinta, meliputi syaraf otakku. Hanya perasaan senang, aman, dan damai yang kurasakan, yang membuatku tertidur nyaman dan pulas. Sembari menemaniku, Yudistira kembali bekerja, karena saat aku membuka mata, ia tak lagi ada di sampingku, di atas tempat tidur, melainkan duduk di kursi dengan laptop di atas meja. Pria yang telah menikahiku itu tampak serius. Dasar workaholic! Tapi aku salut dengan komitmen dan kerja kerasnya. Dengan mata setengah mengantuk aku memandanginya. Bahkan hanya bagian belakang tubuhnya saja yang te
Berbicara dengan ayahku bukanlah hal yang sulit. Bapak sebenarnya sangat penyabar dan terbuka, kecuali terkait utang dengan rentenir kemarin."Kopi, Pak," ucapku seraya meletakkan secangkir kopi untuknya di atas meja."Terima kasih, Nak," sahutnya sumringah. Aku bergabung dengan Bapak, duduk di teras depan rumah sore itu. Sepulang kerja, seusai mandi, Bapak suka bersantai di teras, sekadar melepaskan penat, sekaligus menyapa orang-orang yang lewat."Kerjaannya gimana, Pak?" tanyaku memulai percakapan."Yah, begitulah, seperti biasa. Namanya juga buruh." Bapak bercerita tentang tugas-tugas yang dilakukannya hari ini. Ada beberapa pekerja yang baru training, anak-anak muda yang masih fresh."Yang tua pada akhirnya akan digantikan oleh yang muda," komentarnya."Bapak, kapan kontraknya habis? Mau diperpanjang lagi?" tanyaku iseng. Usia ayahku sudah 50 tahun lebih. Memang ia masih sehat, tapi nantinya kekuatan dan ketelitiannya akan kalah juga dengan anak muda."Sebulan lagi, Nak, belum ta
"Gitu, ya, kalian sekarang! Udah lupa sama Mama, udah nggak sayang lagi sama Mama!"Ibu mertuaku merajuk. Ia menatap kami tajam, dengan raut muka tak bersahabat. Anehnya ia terlihat menggemaskan, sampai aku harus menahan diri agar tidak tertawa. Kutundukkan kepalaku, dan kugigit bibirku.Mama Ani bukan orang jahat, ia malahan orang yang sangat baik. Ibu mertuaku sangat perhatian, tapi lebih suka lagi meminta perhatian. Tidak selalu seperti itu, tapi baginya kasih sayang harus dibagi secara adil, dan harus berbalas.Semua anaknya, baik yang terlahir dari rahimnya sendiri ataupun anak tiri dari istri pertama ayah mertuaku, disayang dengan kadar yang sama."Tentu sayang dong! Sekarang 'kan kami sudah di sini, Ma." Yudis yang duduk di sebelahku menanggapi keluhan ibunya dengan santai. Seperti pesannya kemarin, aku tak perlu bicara, ia yang akan menjawab pertanyaan atau omelan mamanya."Halah, kemarin kalian ke mana saja? Disuruh main ke mari, tidur di sini saja nggak mau. Giliran ke rumah
Malam itu aku 'dimonopoli' oleh adik iparku; udah kayak mainan jual beli tanah, rumah, dan hotel itu. "Mbak Sha, bantuin buat PR!" rengek Arum. "Mbak Sha, aku haus, ambilin minum, dong!" "Mbak Sha, ayo makan buah!" "Mbak Sha, tidur sini!" "Mbak Sha ..., Mbak Sha ..., Mbak Sha ...." Kupikir suara kecil itu tak akan berhenti menggangguku, tapi akhirnya Arum tidur juga sekitar jam sepuluh, dan tak lama berselang aku menyusulnya. Sungguh tenagaku terkuras, hingga badanku rasanya remuk redam. Tak kupedulikan hal lain, aku hanya berpikir untuk tidur. Aku sempat terjaga, tetapi karena sudah larut malam aku tak meninggalkan kamar Arum. Kupikir Yudistira pasti juga sudah tidur. Biarlah, toh cuma beberapa hari saja kami di sini. Hari Minggu atau Senin kami sudah pulang lagi. Keesokan harinya Arum bangun dengan begitu ceria, berbanding terbalik dengan Yudistira yang semakin mirip panda, dengan lingkar hitam di sekitar matanya. "Begadang, Yud?" tanyaku ketika kami sarapan. "Banyak kerja
Sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya jatuh juga. Secerdas-cerdasnya manusia, kadang ada masa blo'onnya juga. Otakku yang biasanya encer, kini membeku. Syaraf reflektifku terlambat mengirimkan pesan ke tubuhku saat bola berwarna hijau itu melesat begitu cepat. Kudengar suara orang-orang yang kaget, tapi ada satu seruan di samping yang menarik perhatianku, "Awas!" Kepalaku menoleh, sosok itu bergerak cepat untuk melindungiku. Ia mendorongku, tapi hebatnya tangannya menahan kepalaku agar tak terbentur kursi atau semacamnya. "Dug!!" Bola itu mengenai area yang tidak jauh dariku, tapi aku tak terkena. Pemandangan di depan mataku lebih menakjubkan. Aku bisa melihat wajah Yudistira tepat di depan wajahku dalam jarak yg begitu dekat. Tatapan kami berjumpa, dan saling menyapa. Belum pernah kami bertatapan dalam posisi sedekat ini. Aku bisa melihat pupil matanya yang berwarna cokelat terang dengan jelas, indah dan menghanyutkan. Beberapa detik itu terasa begitu lama, beberapa detik
"Ya, ampun! Produktif banget sih, kamu!" "Hehehe." "Sudah jalan berapa bulan?" "Sudah masuk bulan keempat." "Aku ikut senang, deh. Selamat, ya, bestie!" Itu tadi pembicaraan antara aku dan Mei, mantan teman kerjaku di kantor lama. Kami lagi ngomongin kehamilan; dia yang hamil, tentu saja, bukan aku. Mei setahun lebih tua dariku, seumuran Yudistira, dia sudah empat tahun menikah, dan sudah punya seorang anak lelaki. Sekarang ia hamil anak yang kedua. "Kamu sendiri gimana, Sha? Sudah ada tanda-tanda belum?" Mei begitu antusias ingin tahu kehidupanku sebagai seorang istri. Biasa, lah, sesama perempuan. "Hehehe, belum, Mei," jawabku setengah hati. Sebenarnya aku sedikit enggan membicarakan hal ini. "Belum apa ini? Belum hamil, atau ...?" tanyanya penuh selidik. "Ya ... belum itu, Mei." Aku mengisyaratkan dengan wajah dan mataku yang seperti cacing kepanasan, dan Mei langsung paham. "Serius, Ashanna???" Matanya membelalak tak percaya. "Ssst! Nggak usah kencang-kencang gitu, dong
"Puas banget aku, Sha, akhirnya si serigala berbulu domba ketahuan belangnya," seru Mei berapi-api, hingga aku membayangkan ada api unggun beneran di matanya. Sepintar-pintarnya orang menyimpan bangkai, baunya akan tercium juga. Serapi apapun kebusukan disimpan, suatu saat akan ketahuan. Ungkapan yang tepat untuk menggambarkan Isabela, mantan teman kerjaku dulu. Wajahnya yang cantik, tutur kata yang terkesan lembut hanyalah kepalsuan untuk menyembunyikan kelicikannya. Wanita itulah yang menjebakku hingga aku harus keluar dari tempat kerja meskipun sebenarnya aku tak bersalah. Pak Ernest, bosku, mengatakan uang yang ada di atas mejanya hilang. "Geledah semuanya!" perintahnya dengan suara keras. Semua meja, laci, dan lemari diteliti, termasuk meja kerjaku. Hari itu laci yang biasanya bisa dibuka oleh siapapun, tiba-tiba saja terkunci, dan anak kuncinya ditemukan di dalam tasku. "Ini apa, Ashanna?" tanya Pak Ernest dengan suara keras sembari memegang amplop berisi sejumlah uang yang