Duh, pembicaraannya dalem banget ya, Mbak Mei, tapi emang penting sih untuk keberlangsungan dan kebahagiaan pasangan. Btw, siapa ya penipu itu? Simak jawabannya di bab selanjutnya.
"Puas banget aku, Sha, akhirnya si serigala berbulu domba ketahuan belangnya," seru Mei berapi-api, hingga aku membayangkan ada api unggun beneran di matanya. Sepintar-pintarnya orang menyimpan bangkai, baunya akan tercium juga. Serapi apapun kebusukan disimpan, suatu saat akan ketahuan. Ungkapan yang tepat untuk menggambarkan Isabela, mantan teman kerjaku dulu. Wajahnya yang cantik, tutur kata yang terkesan lembut hanyalah kepalsuan untuk menyembunyikan kelicikannya. Wanita itulah yang menjebakku hingga aku harus keluar dari tempat kerja meskipun sebenarnya aku tak bersalah. Pak Ernest, bosku, mengatakan uang yang ada di atas mejanya hilang. "Geledah semuanya!" perintahnya dengan suara keras. Semua meja, laci, dan lemari diteliti, termasuk meja kerjaku. Hari itu laci yang biasanya bisa dibuka oleh siapapun, tiba-tiba saja terkunci, dan anak kuncinya ditemukan di dalam tasku. "Ini apa, Ashanna?" tanya Pak Ernest dengan suara keras sembari memegang amplop berisi sejumlah uang yang
"Serius, Yud? Pak Ridwan yang itu?" tanyaku sambil melotot."Memang ada berapa Ridwan yang jadi manajer keuangan di sini, Sha?"Sejenak aku termenung, mencoba memahami berita yang baru saja kudengar dari Yudistira. Kami duduk di kantornya di tempat kursus. Para murid dan guru yang lain sudah pulang.Pak Ridwan, manajer keuangan Resort Pandawa, kabur membawa uang perusahaan yang jumlahnya ratusan juta rupiah. Ada kemungkinan juga selama bertahun-tahun ia telah melakukan korupsi."Padahal Pak Ridwan yang kukenal orangnya baik, lho, ramah, nggak neko-neko," komentarku."Ingat, don't judge the book by its cover, Sha. Penampilan luar bisa menipu, kita nggak pernah tahu isi hati orang bisa sebusuk apa."Mataku masih menatap Yudistira, seolah berharap hal itu hanya sebuah gosip. "Kami sudah beberapa waktu menyelidiki, Sha, baru sekaranglah ini bisa terungkap," katanya. Wajah Yudis terlihat lelah.Rupanya selama ini Yudistira sering lembur karena harus menyelidiki Pak Ridwan. Pantas saja wajah
"Kamu ... ngapain di sini???" seruku mengambil ancang-ancang bila tiba-tiba aku harus lari."Aku ngapain? Kerja, lah! Ngapain lagi?" jawab orang itu dengan wajah ngeselin."Oh."Sungguh aku tak menyangka, di tengah kegalauanku, aku malah berjumpa dengan seseorang yang sangat tidak ingin kutemui lagi.Ialah Aldo, mantan pacar sekaligus pengkhianat yang meninggalkan catatan kelam dalam hidupku. Aku lupa kalau dia bekerja di Ruling, sebuah perusahaan mobil ternama. Rupanya hari ini mereka mengadakan pameran di mall."Kamu sendiri ngapain, Sha, ke mall sendirian? Nggak sama suamimu?" Suaranya terkesan mengejek."Memang kamu pikir aku ini ekor suamiku, ke mana-mana mesti ngikutin dia? Aku bukan tahanan, Do," tegasku."Oh, kirain ...." Aldo menggantung ucapannya. Bisa dilihat ia bermaksud menyudutkanku.Bagaimanapun kami sudah saling mengenal cukup lama, bahkan berpacaran selama beberapa tahun. Ia mengetahui sifat dan prinsip hidupku.Hubunganku dengan Aldo sudah berakhir, dan kami sudah mem
"I love you, Sha, I love you so much," bisik Yudistira lekat di telingaku."Kamu rindu aku? Aku lebih kangen lagi, Sha, kangen setengah mati.""Kamu sangat cantik, Ashanna. Kamu wanita terindah yang pernah kutemui."Kata-kata cinta terus meluncur dari mulut Yudistira, saat kami memadu kasih. Lebih tepatnya sih ia melancarkan rayuan gombal. Gombal, tapi aku suka. Iih, gemes banget!Seluruh ruang hati yang kosong saat dia pergi kini telah terisi penuh, bahkan meluber-luber.Lebay, ya, padahal baru tiga hari tidak ketemu, tetapi aku sungguh bahagia melebihi apapun yang pernah kurasakan sampai saat ini. Jadi begini rasanya dimabuk asmara."Malam ini aku milikmu, Ashanna. Miliki diriku seutuhnya," bisiknya mesra di telingaku.Yudistira benar-benar melaksanakan ucapannya, ia tak menahan dirinya lagi. Malam pengantin yang tertunda pun akhirnya terjadi. Tak seperti tatapannya yang serupa mahkluk kelaparan, Yudis memperlakukanku dengan sangat lembut.Ah, kini aku telah menjadi seorang wanita se
"Apa maksudmu, Yud? Aku jadi pacar kamu?""Iya, Sha. Kita pacaran.""Apa???"Menjadi pacar Yudistira? Kupikir itu bukanlah hal yang buruk. Aku justru penasaran seberapa gombal dan romantisnya dia, seberapa manis ia akan memperlakukanku.Tapi ..., kami 'kan sudah menikah. Pacaran dari mana coba? Dari Hongkong?"Maafkan jika perkataanku terdengar aneh, Ashanna, aku maklum jika kamu bingung," ujar Yudis. "Kita menjalin hubungan dengan cara yang tidak biasa. Kita nggak pernah pacaran, tahu-tahu aku melamar kamu, dan kita menikah. Makanya aku ingin kita merasakan masa berkencan yang terlewatkan itu."Ah, jadi itu maksudnya? Masa pacaran yang terlambat tidak terdengar buruk. Yang namanya pacaran memang asyik sih, apalagi kalau pacarannya dengan laki-laki seganteng, sebaik, dan setajir Yudistira, pasti seru.Eh, tunggu dulu! Kalau status kami berubah jadi pacaran, berarti ...."Ada apa, Sha? Kamu tampaknya mikir berat banget," tanya Yudis setelah beberapa saat melihatku bengong."Yud, kalau s
"Sha, nonton film, yuk," ajak suamiku sore itu. "Hayuk!" sambutku antusias.Dengan penuh semangat aku berjalan menuju kamar tengah, tempat televisi berada, tetapi Yudis mencegahku. "Eh, bukan di depan, Sha!" serunya.Langkahku terhenti. "Terus di mana? Di jalan depan rumah?" Yudistira terkekeh. "Kalau di depan rumah bukan nonton film namanya, tapi main film," guraunya genit. "Di kamar kita, ya, sambil tiduran, gitu." Sejenak aku memandang suamiku yang pringas-pringis mencurigakan. Wah, jangan-jangan ada udang di balik gorengan. "Kamu nggak berniat macam-macam, 'kan? Ini masih sore, lho, Yud," ujarku penuh kecurigaan. Lagi-lagi dia tertawa. "Enggak, Sha! Palingan kamu sendiri yang mikir aneh-aneh, orang aku cuma pingin nonton film di kamar," elaknya. "Benar?" tanyaku memastikan. "Benar! Kalau kamu tak percaya, belahlah dadaku." "Ih, malas banget! Nanti kalau dadamu dibelah, terus kamu mati, aku harus nyari suami pengganti di mana? Di pasar Beringharjo ada nggak?" "Banyak ....
"Sha, coba lihat ke atas sana," kata Yudis menginterupsi keasyikanku dengan makanan-makanan lezat di atas meja."Apaan, Yud?" tanyaku masih sibuk dengan bakso bakar yang enaknya ngalahin sayur kemarin. Hehe, apaan sih? Ya kali sayur basi enak?"Kamu sudah lupa dengan kampung halamanmu, Sha?" Suara Yudis terdengar lelah."Apaan sih, Yud? Drama nih pasti," kekehku. Aku sudah tahu ke mana arah pembicaraan pria ini. "Ya, deh, aku lihat." Aku sedikit menengadah dan melihat ke langit timur di mana bulan purnama bersinar sempurna.Sesaat kami terpaku memandang penerang malam itu. Keindahannya mengalahkan lampu-lampu kota yang kami saksikan di rooftop rumah kami.Tak kusangka, walau hanya dari atap rumah seperti ini pemandangan Jogja di malam hari cukup memukau. Meskipun masih jauh dari pusat kota, lampu-lampu yang menyala di sana-sini membuat suasana menarik. Tapi tetap sang rembulan lebih cantik, apalagi malam ini langit cerah."Ciptaan Tuhan yang satu itu benar-benar cantik, ya, Sha," ucap
"Apa rahasianya, Ma? Apa?" desakku kepo. Kegelisahanku terasa sampai ke ujung kaki.Ibu mertuaku tersenyum menggoda, seolah tidak ada niat untuk memberitahukan resep rahasia keberhasilannya dalam membujuk ibuku.Sekian tahun aku, Bapak, bahkan ketiga adikku berupaya meyakinkan Ibu setidaknya untuk mengecek benjolan yang ada di payudaranya, tapi hasilnya nihil. Nah, ini, belum ada sebulan Mama Ani turun tangan, eh, ibuku langsung menurut."Memang hanya mereka yang sudah mendekati masa lansia yang bisa membujuk Ibu, Sha," sahut Yudistira yang langsung dipelototi oleh mamanya."Eh, sembarangan kamu, ya! Mama belum ada lima puluh tahun, masih muda tahu," gerutu ibu mertuaku dengan air muka lucu. Anak lelakinya meringis kesenangan. Kocak benar mereka ini!Untungnya ibu mertuaku tidak punya niat untuk bermain rahasia. Terungkaplah resep rahasia keberhasilan Mama Ani membujuk Ibu Susi."Jeng, aku tahu Jeng Susi takut cek kesehatan, dioperasi, kemoterapi, tapi apa Jeng pernah berpikir bahwa de