"Sha, nonton film, yuk," ajak suamiku sore itu. "Hayuk!" sambutku antusias.Dengan penuh semangat aku berjalan menuju kamar tengah, tempat televisi berada, tetapi Yudis mencegahku. "Eh, bukan di depan, Sha!" serunya.Langkahku terhenti. "Terus di mana? Di jalan depan rumah?" Yudistira terkekeh. "Kalau di depan rumah bukan nonton film namanya, tapi main film," guraunya genit. "Di kamar kita, ya, sambil tiduran, gitu." Sejenak aku memandang suamiku yang pringas-pringis mencurigakan. Wah, jangan-jangan ada udang di balik gorengan. "Kamu nggak berniat macam-macam, 'kan? Ini masih sore, lho, Yud," ujarku penuh kecurigaan. Lagi-lagi dia tertawa. "Enggak, Sha! Palingan kamu sendiri yang mikir aneh-aneh, orang aku cuma pingin nonton film di kamar," elaknya. "Benar?" tanyaku memastikan. "Benar! Kalau kamu tak percaya, belahlah dadaku." "Ih, malas banget! Nanti kalau dadamu dibelah, terus kamu mati, aku harus nyari suami pengganti di mana? Di pasar Beringharjo ada nggak?" "Banyak ....
"Sha, coba lihat ke atas sana," kata Yudis menginterupsi keasyikanku dengan makanan-makanan lezat di atas meja."Apaan, Yud?" tanyaku masih sibuk dengan bakso bakar yang enaknya ngalahin sayur kemarin. Hehe, apaan sih? Ya kali sayur basi enak?"Kamu sudah lupa dengan kampung halamanmu, Sha?" Suara Yudis terdengar lelah."Apaan sih, Yud? Drama nih pasti," kekehku. Aku sudah tahu ke mana arah pembicaraan pria ini. "Ya, deh, aku lihat." Aku sedikit menengadah dan melihat ke langit timur di mana bulan purnama bersinar sempurna.Sesaat kami terpaku memandang penerang malam itu. Keindahannya mengalahkan lampu-lampu kota yang kami saksikan di rooftop rumah kami.Tak kusangka, walau hanya dari atap rumah seperti ini pemandangan Jogja di malam hari cukup memukau. Meskipun masih jauh dari pusat kota, lampu-lampu yang menyala di sana-sini membuat suasana menarik. Tapi tetap sang rembulan lebih cantik, apalagi malam ini langit cerah."Ciptaan Tuhan yang satu itu benar-benar cantik, ya, Sha," ucap
"Apa rahasianya, Ma? Apa?" desakku kepo. Kegelisahanku terasa sampai ke ujung kaki.Ibu mertuaku tersenyum menggoda, seolah tidak ada niat untuk memberitahukan resep rahasia keberhasilannya dalam membujuk ibuku.Sekian tahun aku, Bapak, bahkan ketiga adikku berupaya meyakinkan Ibu setidaknya untuk mengecek benjolan yang ada di payudaranya, tapi hasilnya nihil. Nah, ini, belum ada sebulan Mama Ani turun tangan, eh, ibuku langsung menurut."Memang hanya mereka yang sudah mendekati masa lansia yang bisa membujuk Ibu, Sha," sahut Yudistira yang langsung dipelototi oleh mamanya."Eh, sembarangan kamu, ya! Mama belum ada lima puluh tahun, masih muda tahu," gerutu ibu mertuaku dengan air muka lucu. Anak lelakinya meringis kesenangan. Kocak benar mereka ini!Untungnya ibu mertuaku tidak punya niat untuk bermain rahasia. Terungkaplah resep rahasia keberhasilan Mama Ani membujuk Ibu Susi."Jeng, aku tahu Jeng Susi takut cek kesehatan, dioperasi, kemoterapi, tapi apa Jeng pernah berpikir bahwa de
"Idenya bermula dari sini." Yudistira merentangkan kedua lengannya di hadapanku. Senyuman lebar menghiasi wajahnya. Kami tengah berada di pekarangan belakang rumah orang tuaku. Lagi-lagi aku harus mengagumi kejeniusannya. Awalnya kukira Yudistira akan memberikan modal untuk orang tuaku berjualan, pekerjaan yang sudah fasih dilakukan oleh ibuku. Bukankah dia bilang bapak dan ibuku bisa bersama 24 jam? Apa lagi, dong, kalau bukan melanjutkan bisnis makanan yang sudah ada? Namun, aku salah, Yudistira jauh lebih peduli lagi kepada orang tuaku, yang juga bapak dan ibu mertuanya."Aku ingin Bapak dan Ibu melakukan pekerjaan yang santai dan menyenangkan hati. Jangan terlalu berat, pokoknya," ucapnya bersungguh-sungguh. "Yud, kamu pintar banget, sih? Dengan cara apa aku bisa berterima kasih kepadamu?" Kebahagiaan dan rasa bangga memenuhi hatiku. "Peluk aku, Sha." Ia kembali merentangkan kedua lengannya, kali ini mengharapkan diriku mendekat kepadanya. "Ogah," tolakku, "malu, Yud, di liha
"Yang sabar, ya, Dik. Dia memang begitu orangnya." Wanita muda yang tengah menggendong anak bayinya di hadapanku itu menunjukkan keprihatinannya. "Nggak apa-apa, Mbak Ola. Santai aja," sahutku sembari memberikan senyuman dan menepuk lengannya pelan. Mbak Ola, nama aslinya Laura, adalah tetangga seberang jalan, depan rumahku. Ia seorang ibu rumah tangga dengan dua putra yang masih kecil. Anak pertamanya berumur lima tahun, namanya Charlie, sedangkan anak bungsunya bernama Chaplin ... eh, bukan, ding! Hehe. Anak kedua bernama Cherry, belum genap setahun umurnya. Saat senggang kadang aku main ke rumah mereka, niatnya sekadar menyapa, tapi kalau sudah bertemu Mbak Ola, pasti diajak cerita ngalor ngidul. Sebenarnya wanita ini hanya dua tahun lebih tua dariku, tetapi ia bersikap seolah aku ini adiknya. Kami memiliki posisi yang berlawanan dalam keluarga kami masing-masing. Aku anak pertama, sedangkan Mbak Ola anak bungsu. Bisa jadi dalam hatinya ia senang menemukan teman baru, yang lebi
"Des, Mas Yudis pergi, ya? Naik mobil?" tanyaku kepada Desi, sementara mataku sibuk memindai area di depan rumah. Mobil tidak ada di garasi, di jalan pun tidak ada. "Eh, iya, Mbak. Tadi pas Mbak Shanna lagi mandi, Mas Yudi dapat telepon dari resort, katanya disuruh cepat ke sana, ada tamu VIP yang harus diantar keliling, investor gitu. Mobil di resort kepakai semua, makanya Mas Yudi bawa mobil sendiri," jawab Desi tak melewatkan satu informasi pun. "Oh, gitu," sahutku kurang bersemangat. Yudistira memang pernah menyinggung tentang calon investor dari Belanda yang akan datang dan menginap di resort hari ini, tapi katanya sudah ada Papa dan beberapa staf lain yang mengurusnya. Ternyata Yudis masih dipanggil juga. Itu bukan masalah, sih. Yang menjadi problem adalah hari ini ketiga adikku datang. Yudis berjanji akan menemani kami jalan ke mall, eh, tahu-tahu dia pergi membawa mobil. Aku sudah memiliki SIM A, seandainya Yudis batal ikut, kami bisa pergi berempat. Namun, mobil malah dip
"Aku transfer, ya," Yudistira menyahut santai, seolah uang lima juta itu bukan apa-apa. Suamiku memang memiliki tabungan dari jerih payahnya semenjak masih lajang. Aku tidak tahu isinya berapa, dan tak perlu bertanya. Itu adalah hasil kerja kerasnya sendiri. Sebagai kepala rumah tangga, ia selalu menafkahiku, bahkan memanjakan diriku secara materi. Kalau soal harta gono-gini, oh, please, itu tidak perlu dibicarakan, malu malahan. Aku tak punya kontribusi apapun, karena aku menjadi istrinya dalam kondisi kere, tak memiliki apa-apa. "Yud, masalahnya bukan itu!" rengekku lagi. "Terus gimana, Sha?" Buatku kehilangan uang lima juta memang mengguncangkan jiwa. Itu bukan jumlah yang kecil. Namun, masalahnya adalah sebagian besar dari uang itu adalah uang gajiku setelah bekerja selama sebulan. Rasanya sia-sia, apalagi sampai sekarang aku belum tahu keberadaan uang itu di mana. Yudistira bisa menggantinya, aku bisa membelikan barang-barang yang adikku mau, tetapi esensinya akan berbeda. A
"Keluarga Pak Pandu ini lucu, ya, Arjuna anak pertama, Yudistira malah jadi anak kedua." Komentar semacam itu biasa terdengar saat seseorang mengenal keluarga mertuaku. Ketiga pria yang ada di keluarga ini semuanya memiliki nama seperti tokoh pewayangan, khususnya keluarga Pandawa. Mertuaku bernama Pandu, anak sulungnya dari mendiang istri pertamanya bernama Arjuna, lalu ada suamiku Yudistira. Entah mengapa dinamai seperti itu, tetapi pada kenyataannya pembawaan Mas Juna ini memang santun dan lemah lembut. Untungnya, setahuku, dia bukan laki-laki yang memiliki banyak wanita. Malahan sampai sekarang ia masih sendiri, Yudistira yang setahun lebih muda darinya justru menikah duluan. "Mas Juna itu anak kandung, dan Mas Yudistira itu anak tiri, tapi Pak Pandu kayaknya lebih suka sama anak tirinya ketimbang anak kandung sendiri," ucap salah satu pembantu keluarga Pandu. Dulu sebelum aku menjadi istri Yudis, mereka sangat gemar bercerita kepadaku tentang keluarga majikannya. Selama ini c