Aduh, duh, duh! Apa lagi ini, Yudistira? Benarkah dirimu pria yang ambisius dan materialistis? Apakah masih ada rahasia lain yang kamu simpan? Yuk, simak terus kelanjutan novel ini, ya. Ceritanya akan semakin seru.- Teha ^^
"Maksudmu apa, Yud?" tanyaku dengan nada suara sedikit meninggi. "Kamu memang mengincar resort? Uangmu masih kurang kah? Kursusan dan jabatan wakil direktur masih kurang?" "Ashanna, ngapain sih ngeributin hal kayak gitu?" Yudistira masih bersikap santai, tetapi aku tidak bisa. Ini menyangkut prinsip. "Yud, aku ini istrimu, bukan orang lain. Aku juga berhak tahu apa yang dipikirkan oleh suamiku. Bagaimana bisa orang lain lebih mengenal kamu daripada aku?" Yudistira yang semula cuek kini menatapku sepenuhnya ... tajam. Rahangnya mengeras, sejenak kupikir ia akan mengatakan sesuatu, aku sedikit gentar, tetapi hanya desahan panjang yang terdengar seperti orang lelah. Pria itu mengusap wajahnya, naik terus sampai tangannya menjangkau rambutnya sendiri dan meremasnya putus asa. "Sudahlah, Ashanna. Aku lelah meributkan hal yang tak penting ini," desahnya lemah.Seharusnya aku berhenti bertanya saat itu juga, suamiku bukanlah orang yang terbiasa menuruti emosi, tapi diamnya Yudistira justr
"Sha, tahu nggak persamaan antara kamu sama es teh ini?" Yudistira mengaduk-aduk es teh di hadapannya sembari menatapku mesra. "Apa, ya?" Aku menanggapi pertanyaan suamiku dengan wajah serius ... tapi pura-pura doang. Sudah pasti pertanyaan ini akan menuju rayuan gombal tidak bermutu, senyumannya saja sudah mencurigakan. "Sama-sama nyegerin," kekeh Yudistira kesenangan. Aku mencebikkan bibir menahan senyum. "Bukan sama-sama meleleh kalau kamu senyumin?" timpalku. Yudistira menyambutnya dengan tawa renyah. Kalau lagi mesra gini aku kayaknya memang harus dekat-dekat kulkas, deh, biar nggak meleleh terus. Ea! "Kalau perbedaan kamu sama sedotan itu apa, Yud?" Aku balik bertanya, membalas gombalan Yudistira. "Apa, ya?" Ia tersenyum lebar, menantikan balasan gombalan dariku. "Kalau sedotan itu bisa dipakai mengaduk-aduk minuman, kalau kamu bisa mengaduk-aduk hatiku dengan rayuan gombal," jawabku telak. "Hahahaha." Kami kompak tertawa cukup keras, hingga orang-orang yang ada di sekit
"Citra itu mantan pacar Yudistira." Pernyataan ini kudengar dari beberapa orang yang mengenal Yudistira, dan mengetahui hubungan percintaannya di masa lalu. Hanya saja tak ada yang tahu detail perpisahan mereka seperti apa. "Setahu Mama, Yudistira cuma bilang dia sudah putus dengan Citra, dan ingin fokus pada pekerjaan. Setelah putus dari Citra, dan sebelum menikah sama kamu, Yudi nggak pernah pacaran lagi. Mama juga tidak tahu penyebab mereka putus karena Yudi nggak cerita. Dia bilang mereka berbeda visi, itu saja," papar ibu mertuaku saat kutanya kepadanya. Yudistira berpacaran dengan Citra di usia awal dua puluhan selama kurang lebih dua tahun. Kemungkinan saat itu Yudistira sangat mencintai Citra, terbukti efeknya masih terasa setelah empat tahun berlalu, pria itu pucat pasi ketika melihat lagi mantan pacarnya itu. Kira-kira seberapa dalam, ya, perasaan Yudistira dulu kepada Citra? Duh, kenapa aku cemburu? Padahal jelas-jelas mereka cuma mantan, dan masing-masing telah memiliki
'Apa maksudmu, Yud? Kamu kriminal? Siapa yang kamu bunuh? Bagaimana kalau nanti aku kamu bunuh juga?' Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk di kepalaku tanpa mampu kuluapkan. Aku tak boleh gegabah, belum tentu Yudistira benar-benar membunuh orang, siapa tahu dia membunuh nyamuk ..., atau membunuh karakter, lebih kejam 'kan itu, menganggap orang yang di depan mata seperti tidak ada."Aku di sini, Yud, aku nggak akan ke mana-mana," hiburku dengan harapan suamiku bisa lebih tenang. Sejujurnya aku juga kebingungan dengan sikapnya ini, Yudistira yang biasanya kuat, cuek terhadap hal yang tidak penting, bisa menangis seperti ini. Pasti selama ini ia menyimpan beban yang sangat berat di dalam dirinya. Kisah kelam seperti apa yang telah ia alami, aku sungguh penasaran. Namun, aku harus menahan diri dan menunggu suamiku tenang sebelum bertanya lebih lanjut. Kubiarkan ia menumpahkan kegetiran yang entah berapa lama ditanggungnya sendiri. "Setiap orang, sekuat apapun dia, pasti memiliki sisi r
"Yud, biar aku yang nyetir, kamu duduk manis saja," sergahku seraya mendorong suamiku agar duduk di kursi penumpang di samping sopir. "Kamu yakin? Jalannya berkelok-kelok, lho," tanyanya setengah ragu. "Tentu saja, suamiku," sahutku sembari tersenyum manis. "Biar aku tunjukkan seberapa hebat hasil belajarku di kursus menyetir Yudistira Adi Saputra." "Nugraha, Sha, bukan Saputra! Memangnya aku saudaranya Nicholas Saputra?" gerutunya dengan suara bergumam. Sembari memasang sabuk pengaman aku mengulum senyum. Enak banget dia nyebut Nicholas Saputra, aktor yang jelas-jelas terkenal dan ganteng, bukan tokoh bernama Saputra yang lain. "Kalian memang saudara, Yud," timpalku, "sama-sama terlahir dari rahim seorang wanita. Saudara beda bapak, lain ibu." Yudistira terkekeh pelan, tapi hanya sesaat. Sejak "pengakuan dosanya" kemarin, Yudistira jadi lebih pendiam. Yah, biarlah, setidaknya dia sudah kembali narsis, berasumsi bahwa dirinya setampan aktor ... walaupun memang ganteng, sih, suami
"Kenapa nangis, Sha?" Yudistira mengusap air mata yang sedikit membasahi pipiku. Aku menggelengkan kepala, lalu menghempaskan diri ke pelukannya hingga tubuh suamiku tak kuat menahanku dan terjatuh ke belakang. Kami berdua berbaring di atas tikar. "Duh, manjanya istriku!" Dengan lembut ia membelai rambutku, sementara aku meletakkan kepalaku di dadanya. Suamiku telah kembali, harapanku bersemi, kebahagiaanku tak terperi. Aku meresapi setiap kehangatan dari kedekatan kami, tidak hanya secara fisik, tapi terutama secara emosi. Masa rongrongan Citra telah berlalu, kini cuma ada kau dan aku, suamiku. Ah, senangnya! "Sha ...," panggil Yudis tiba-tiba. "Hmmm." "Mancing, yuk!" "Hah? Mancing apaan?" "Tuh, ikan lele sama mujaer di laut." "Aahh, nyebelin!!!" Dengan gemas kucubit perut dan lengan suamiku hingga dia tertawa dan meminta ampun. Gara-gara gurauannya aku tak berminat berbaring lagi. Dadanya turun naik karena tertawa, tidak nyaman lagi dijadikan bantal. Memang tadi aku benar-
"Bulan madu di tempat seperti ini? Terus kita mau ngapain? Ups!" Seketika aku menutup mulutku sendiri dengan tangan karena tersadar seruanku cukup keras. "Memang menurutmu kalau bulan madu kita ngapain saja, Sha?" Yudis bertanya balik. "Emang ngapain, Yud?" "Ngapain, ya?" kekehnya menolak untuk menjawab. Yang namanya bulan madu pasti identik dengan pasangan yang pergi berdua, mesra-mesraan, dimabuk asmara, dan ujung-ujungnya ke urusan ranjang. Bukannya aku tak mau, tapi kami sedang berkemah di tempat terbuka, bukan berada di bangunan tertutup di mana kami bisa berduaan saja tanpa ada orang lain yang melihat dan mendengar. Etika, dong, etika! Jadilah kusinggung hal tersebut dengan suamiku, biar jelas apa maksudnya, eh, dia malah cengengesan. Benar-benar mencurigakan lelaki satu ini. "Memangnya kamu nggak ingin begitu, Yud?" tanyaku terus terang. "Aku? Enggak, lah! Nggak salah, Sha! Hahaha." "Ih, emang nyebelin kamu ini, ya." Aku mencubitinya dengan gemas. Eh, kalau kayak gini t
"Mas Yudistira, ya? Gantengnya! Nggak heran masnya cocok banget jadi founder sekaligus CEO YAIC!" Seorang wanita muda berseru di hadapan suamiku. Matanya berbinar kagum, suaranya ramah dan riang. Katanya ia bernama Lita, salah satu pengajar di tempat kursus ... masih training, sih. Pujian tadi tak berhenti sampai di situ. Dia bilang suamiku ganteng, gagah, pintar, cerdas, jenius, karena bisa menjadi founder tempat kursus bahasa Indonesia untuk wisatawan asing. Idenya brilian. Banyak, lah, pokoknya. Aku yang berdiri beberapa meter dari mereka merasa kesal. Sebal rasanya melihat wanita yang sok akrab dengan suami orang, spesifiknya itu suamiku. Kalau tidak mengingat kesopanan pasti sudah kuhampiri, dan kutunjukkan kepadanya bahwa pria yang disanjung-sanjungnya itu sudah beristri. Selama sedikit waktu aku masih merasa gerah, hingga akhirnya wanita bernama Lita tadi menghampiri dan berkenalan denganku. "Halo, Mbak! Saya Lita." Tanpa sungkan ia memperkenalkan dirinya kepadaku. "Saya A