Waduh, ada apa dengan Citra? Siapakah dia sebenarnya? Harap bersabar menunggu kelanjutan kisah ini, ya, pembaca yang budiman. Komentar dan sumbangan gem Anda sangat saya hargai. Terima kasih.- Teha^^
"Citra itu mantan pacar Yudistira." Pernyataan ini kudengar dari beberapa orang yang mengenal Yudistira, dan mengetahui hubungan percintaannya di masa lalu. Hanya saja tak ada yang tahu detail perpisahan mereka seperti apa. "Setahu Mama, Yudistira cuma bilang dia sudah putus dengan Citra, dan ingin fokus pada pekerjaan. Setelah putus dari Citra, dan sebelum menikah sama kamu, Yudi nggak pernah pacaran lagi. Mama juga tidak tahu penyebab mereka putus karena Yudi nggak cerita. Dia bilang mereka berbeda visi, itu saja," papar ibu mertuaku saat kutanya kepadanya. Yudistira berpacaran dengan Citra di usia awal dua puluhan selama kurang lebih dua tahun. Kemungkinan saat itu Yudistira sangat mencintai Citra, terbukti efeknya masih terasa setelah empat tahun berlalu, pria itu pucat pasi ketika melihat lagi mantan pacarnya itu. Kira-kira seberapa dalam, ya, perasaan Yudistira dulu kepada Citra? Duh, kenapa aku cemburu? Padahal jelas-jelas mereka cuma mantan, dan masing-masing telah memiliki
'Apa maksudmu, Yud? Kamu kriminal? Siapa yang kamu bunuh? Bagaimana kalau nanti aku kamu bunuh juga?' Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk di kepalaku tanpa mampu kuluapkan. Aku tak boleh gegabah, belum tentu Yudistira benar-benar membunuh orang, siapa tahu dia membunuh nyamuk ..., atau membunuh karakter, lebih kejam 'kan itu, menganggap orang yang di depan mata seperti tidak ada."Aku di sini, Yud, aku nggak akan ke mana-mana," hiburku dengan harapan suamiku bisa lebih tenang. Sejujurnya aku juga kebingungan dengan sikapnya ini, Yudistira yang biasanya kuat, cuek terhadap hal yang tidak penting, bisa menangis seperti ini. Pasti selama ini ia menyimpan beban yang sangat berat di dalam dirinya. Kisah kelam seperti apa yang telah ia alami, aku sungguh penasaran. Namun, aku harus menahan diri dan menunggu suamiku tenang sebelum bertanya lebih lanjut. Kubiarkan ia menumpahkan kegetiran yang entah berapa lama ditanggungnya sendiri. "Setiap orang, sekuat apapun dia, pasti memiliki sisi r
"Yud, biar aku yang nyetir, kamu duduk manis saja," sergahku seraya mendorong suamiku agar duduk di kursi penumpang di samping sopir. "Kamu yakin? Jalannya berkelok-kelok, lho," tanyanya setengah ragu. "Tentu saja, suamiku," sahutku sembari tersenyum manis. "Biar aku tunjukkan seberapa hebat hasil belajarku di kursus menyetir Yudistira Adi Saputra." "Nugraha, Sha, bukan Saputra! Memangnya aku saudaranya Nicholas Saputra?" gerutunya dengan suara bergumam. Sembari memasang sabuk pengaman aku mengulum senyum. Enak banget dia nyebut Nicholas Saputra, aktor yang jelas-jelas terkenal dan ganteng, bukan tokoh bernama Saputra yang lain. "Kalian memang saudara, Yud," timpalku, "sama-sama terlahir dari rahim seorang wanita. Saudara beda bapak, lain ibu." Yudistira terkekeh pelan, tapi hanya sesaat. Sejak "pengakuan dosanya" kemarin, Yudistira jadi lebih pendiam. Yah, biarlah, setidaknya dia sudah kembali narsis, berasumsi bahwa dirinya setampan aktor ... walaupun memang ganteng, sih, suami
"Kenapa nangis, Sha?" Yudistira mengusap air mata yang sedikit membasahi pipiku. Aku menggelengkan kepala, lalu menghempaskan diri ke pelukannya hingga tubuh suamiku tak kuat menahanku dan terjatuh ke belakang. Kami berdua berbaring di atas tikar. "Duh, manjanya istriku!" Dengan lembut ia membelai rambutku, sementara aku meletakkan kepalaku di dadanya. Suamiku telah kembali, harapanku bersemi, kebahagiaanku tak terperi. Aku meresapi setiap kehangatan dari kedekatan kami, tidak hanya secara fisik, tapi terutama secara emosi. Masa rongrongan Citra telah berlalu, kini cuma ada kau dan aku, suamiku. Ah, senangnya! "Sha ...," panggil Yudis tiba-tiba. "Hmmm." "Mancing, yuk!" "Hah? Mancing apaan?" "Tuh, ikan lele sama mujaer di laut." "Aahh, nyebelin!!!" Dengan gemas kucubit perut dan lengan suamiku hingga dia tertawa dan meminta ampun. Gara-gara gurauannya aku tak berminat berbaring lagi. Dadanya turun naik karena tertawa, tidak nyaman lagi dijadikan bantal. Memang tadi aku benar-
"Bulan madu di tempat seperti ini? Terus kita mau ngapain? Ups!" Seketika aku menutup mulutku sendiri dengan tangan karena tersadar seruanku cukup keras. "Memang menurutmu kalau bulan madu kita ngapain saja, Sha?" Yudis bertanya balik. "Emang ngapain, Yud?" "Ngapain, ya?" kekehnya menolak untuk menjawab. Yang namanya bulan madu pasti identik dengan pasangan yang pergi berdua, mesra-mesraan, dimabuk asmara, dan ujung-ujungnya ke urusan ranjang. Bukannya aku tak mau, tapi kami sedang berkemah di tempat terbuka, bukan berada di bangunan tertutup di mana kami bisa berduaan saja tanpa ada orang lain yang melihat dan mendengar. Etika, dong, etika! Jadilah kusinggung hal tersebut dengan suamiku, biar jelas apa maksudnya, eh, dia malah cengengesan. Benar-benar mencurigakan lelaki satu ini. "Memangnya kamu nggak ingin begitu, Yud?" tanyaku terus terang. "Aku? Enggak, lah! Nggak salah, Sha! Hahaha." "Ih, emang nyebelin kamu ini, ya." Aku mencubitinya dengan gemas. Eh, kalau kayak gini t
"Mas Yudistira, ya? Gantengnya! Nggak heran masnya cocok banget jadi founder sekaligus CEO YAIC!" Seorang wanita muda berseru di hadapan suamiku. Matanya berbinar kagum, suaranya ramah dan riang. Katanya ia bernama Lita, salah satu pengajar di tempat kursus ... masih training, sih. Pujian tadi tak berhenti sampai di situ. Dia bilang suamiku ganteng, gagah, pintar, cerdas, jenius, karena bisa menjadi founder tempat kursus bahasa Indonesia untuk wisatawan asing. Idenya brilian. Banyak, lah, pokoknya. Aku yang berdiri beberapa meter dari mereka merasa kesal. Sebal rasanya melihat wanita yang sok akrab dengan suami orang, spesifiknya itu suamiku. Kalau tidak mengingat kesopanan pasti sudah kuhampiri, dan kutunjukkan kepadanya bahwa pria yang disanjung-sanjungnya itu sudah beristri. Selama sedikit waktu aku masih merasa gerah, hingga akhirnya wanita bernama Lita tadi menghampiri dan berkenalan denganku. "Halo, Mbak! Saya Lita." Tanpa sungkan ia memperkenalkan dirinya kepadaku. "Saya A
"Hitung-hitung latihan, bila nanti kalian naksir seseorang, atau punya pasangan, kalian sudah paham caranya membuat pasangan tak berpaling dari kalian." Yudistira mengucapkan kalimat itu dengan begitu santai setelah orang-orang di sekitar kami menyorakinya karena merayuku di depan umum. Padahal awalnya kata-kata itu tercipta gara-gara ia cemburu dengan Park Min Gyu, eh, malah lanjut bergaya jadi guru cinta begini. Ampun, deh! "Ouh, Mas Yudistira so sweet banget, sih! Ajari lebih lanjut, dong, biar aku tahu cara merayu Min Gyu Oppa," seru Lita yang lagi kesemsem dengan murid Koreanya. "Begini, lho ...." Dengan gaya sok ahli Yudis mulai berceramah tentang trik mendekati dan mendapatkan hati lawan jenis. Herannya teman-teman begitu antusias mendengarkan. Sebenarnya mereka benar-benar tertarik atau sekadar kasihan kalau founder tempat kursus mereka ngomong dan nggak ada yang dengerin? Entahlah. Maklum para pengajar di tempat ini masih lajang semua. Berpikir positif saja, mereka meman
"Sombong, ya! Udah nikah duluan, nggak ngundang-undang lagi!" Seorang pemuda yang mirip Yudistira berdiri di hadapan kami. Maksudku mirip, sama-sama punya sepasang mata, hidung, telinga, dan mulut. Hehe Kupikir Yudis akan mengajakku bertemu tante atau omnya di Jakarta, ternyata keluarga yang ia maksud itu sepupu jauhnya, terang saja mereka tidak punya kemiripan. Hanya saja mereka sama-sama ramah, dan tampaknya pria ini juga tipe pekerja keras. Namanya Romi. Sepupu jauh yang hanya akan membuat puyeng kalau dijelaskan silsilahnya. Bu Ani memiliki kakak perempuan, suami kakaknya ini punya sepupu, sepupu tersebut mempunyai ipar, nah, iparnya ini emak si Romi. Pusing, 'kan? Nggak masalah, nggak perlu diingat-ingat karena ini tidak akan muncul di soal ujian sekolah. "Gimana pilihanku? Ciamik, 'kan?" Dengan jumawa suamiku meminta pujian dari sepupunya itu. "Kamu mau dipuji kemampuan otakmu atau kecantikan istrimu?" Romi bertanya balik. Kerecehan mereka tampaknya sebelas duabelas. "Jelas