Wah, serunya kebersamaan Yudistira dan Ashanna dibumbui gombalan tipis-tipis nan manis, biar makin harmonis. Kira-kira nanti mereka ke Jakarta mau ngapain, ya? Eh, sedikit bocoran, mereka juga akan bertemu seseorang yang membuat Yudistira cemburu. Duh, siapa, ya?
"Mas Yudistira, ya? Gantengnya! Nggak heran masnya cocok banget jadi founder sekaligus CEO YAIC!" Seorang wanita muda berseru di hadapan suamiku. Matanya berbinar kagum, suaranya ramah dan riang. Katanya ia bernama Lita, salah satu pengajar di tempat kursus ... masih training, sih. Pujian tadi tak berhenti sampai di situ. Dia bilang suamiku ganteng, gagah, pintar, cerdas, jenius, karena bisa menjadi founder tempat kursus bahasa Indonesia untuk wisatawan asing. Idenya brilian. Banyak, lah, pokoknya. Aku yang berdiri beberapa meter dari mereka merasa kesal. Sebal rasanya melihat wanita yang sok akrab dengan suami orang, spesifiknya itu suamiku. Kalau tidak mengingat kesopanan pasti sudah kuhampiri, dan kutunjukkan kepadanya bahwa pria yang disanjung-sanjungnya itu sudah beristri. Selama sedikit waktu aku masih merasa gerah, hingga akhirnya wanita bernama Lita tadi menghampiri dan berkenalan denganku. "Halo, Mbak! Saya Lita." Tanpa sungkan ia memperkenalkan dirinya kepadaku. "Saya A
"Hitung-hitung latihan, bila nanti kalian naksir seseorang, atau punya pasangan, kalian sudah paham caranya membuat pasangan tak berpaling dari kalian." Yudistira mengucapkan kalimat itu dengan begitu santai setelah orang-orang di sekitar kami menyorakinya karena merayuku di depan umum. Padahal awalnya kata-kata itu tercipta gara-gara ia cemburu dengan Park Min Gyu, eh, malah lanjut bergaya jadi guru cinta begini. Ampun, deh! "Ouh, Mas Yudistira so sweet banget, sih! Ajari lebih lanjut, dong, biar aku tahu cara merayu Min Gyu Oppa," seru Lita yang lagi kesemsem dengan murid Koreanya. "Begini, lho ...." Dengan gaya sok ahli Yudis mulai berceramah tentang trik mendekati dan mendapatkan hati lawan jenis. Herannya teman-teman begitu antusias mendengarkan. Sebenarnya mereka benar-benar tertarik atau sekadar kasihan kalau founder tempat kursus mereka ngomong dan nggak ada yang dengerin? Entahlah. Maklum para pengajar di tempat ini masih lajang semua. Berpikir positif saja, mereka meman
"Sombong, ya! Udah nikah duluan, nggak ngundang-undang lagi!" Seorang pemuda yang mirip Yudistira berdiri di hadapan kami. Maksudku mirip, sama-sama punya sepasang mata, hidung, telinga, dan mulut. Hehe Kupikir Yudis akan mengajakku bertemu tante atau omnya di Jakarta, ternyata keluarga yang ia maksud itu sepupu jauhnya, terang saja mereka tidak punya kemiripan. Hanya saja mereka sama-sama ramah, dan tampaknya pria ini juga tipe pekerja keras. Namanya Romi. Sepupu jauh yang hanya akan membuat puyeng kalau dijelaskan silsilahnya. Bu Ani memiliki kakak perempuan, suami kakaknya ini punya sepupu, sepupu tersebut mempunyai ipar, nah, iparnya ini emak si Romi. Pusing, 'kan? Nggak masalah, nggak perlu diingat-ingat karena ini tidak akan muncul di soal ujian sekolah. "Gimana pilihanku? Ciamik, 'kan?" Dengan jumawa suamiku meminta pujian dari sepupunya itu. "Kamu mau dipuji kemampuan otakmu atau kecantikan istrimu?" Romi bertanya balik. Kerecehan mereka tampaknya sebelas duabelas. "Jelas
"Bagaimana bisa begini, Mei? Tadi kalian makan apa? Buruan ganti baju Nico dengan yang lebih longgar," instruksiku di tengah kebingungan yang dihadapi sahabatku. Apes, hari ini kota Jogja hujan sedari pagi, dan di tengah cuaca yang tak bersahabat ini Nico, anak pertama Mei, justru tiba-tiba sakit. Sepertinya alergi makanan karena kulitnya kemerahan. Lebih apes lagi bagi ibu muda itu, ia hanya berdua saja dengan anaknya. Suaminya masih bekerja di luar kota, sementara mertuanya pergi melayat di tempat kerabat yang agak jauh. "Kayaknya gara-gara seafood, deh, tadi kami makan cumi. Kupikir nggak apa-apa, ternyata malah jadi kayak gini. Duh, aku bingung, Sha," serunya panik. Tingkahnya lucu, seperti induk ayam yang kebingungan mencari anaknya. Aku tertawa dalam hati menyaksikan ironi kehidupan ini, Mei yang telah memiliki anak, tetapi malah aku yang lebih cekatan bertindak dalam situasi semacam ini. Ya, bisa dimaklumi, sih, Mei sedang panik, apalagi ia dalam kondisi mengandung. Tidak a
"Apa maksudmu, Sha? Yudistira ditipu? Sama mantannya itu? Dibohongin gimana? Diselingkuhi? Ditipu uangnya? Atau harta gono-gini diambil sendiri?" Mei memberondongku dengan serangkaian pertanyaan setelah kami tiba kembali di rumah mertuanya. Ia begitu menggebu-gebu sampai bola matanya seolah akan keluar dari rongganya. Untung nggak beneran keluar, dan jatuh ke tanah. Kalau dipatuk ayam 'kan repot nyari mata di mana, ganti mata sapi saja kali, ya. Mana aneh lagi pertanyaannya; harta gono-gini? Nikah aja belum, sudah punya harta gono-gini. Ada-ada saja memang emaknya si Nico ini. Mei telah meminta penjelasan sejak kami berada di klinik, tetapi kubilang itu akan kujawab setelah kami sampai di rumah. Di mobil juga nggak enak kalau mau bergosip, ada si Nico. Jangan-jangan nanti dia mendengarkan hal yg buruk, yang tak sepatutnya didengar bocah, dan menjadi dewasa sebelum waktunya. Oh, tidak! "Iya, Mei. Ini memang baru dugaanku, tetapi menghitung hari detik demi detik ...." "Halah, Jeruk!
"Tempat yang tampaknya paling berbahaya justru adalah tempat yang paling aman." Kalimat tadi sukses membuatku tercengang, terutama karena kata-kata itu diucapkan oleh anak sulung keluarga Pandu yang selama ini terkesan kalem dan nggak neko-neko. Benar, sosok yang datang malam-malam ke rumah kami adalah Arjuna, kakak tiri Yudistira, sekaligus kakak iparku pastinya. Pria yang seumur hidupnya belum pernah menginjakkan kakinya di rumah ini, mendadak muncul seperti penyamun yang mencari tempat persembunyian. "Aku di atas saja," putusnya tak terbantahkan sembari menaiki tangga menuju lantai dua. Ia membawa tas ransel yang tidak terlalu berisi. Kalau sedang begini barulah terasa bahwa Juna memang anak kandung Pak Pandu. "Yud, di atas kan ada si kembar," gumamku cemas kepada suamiku. Aku sungkan kalau harus berbicara langsung dengan Juna, terutama dalam suasana seperti sekarang, tetapi rupanya ucapanku tertangkap oleh telinganya. "Kamar tidur di atas kan ada dua, aku akan pakai kamar yang
"Hahaha! Gambarnya kocak banget, Mas!" "Tapi keren, ih, Mas Juna!" "Iya, bagus banget!" Langkahku yang menaiki tangga terhenti, ketika kudengar canda tawa riang ketiga adikku di hari Minggu pagi. Dengan siapa lagi mereka tertawa kalau bukan dengan kakak iparku? Aku tak bisa melihat apa yang tengah mereka lakukan, sebab aku belum mencapai lantai dua, tetapi sepertinya Juna sedang memamerkan karya seni buatannya. "Kalau kayak gini gimana?" Sejenak terdengar suara pria itu, lalu mereka terdiam, dan akhirnya si kembar kembali tertawa heboh. Tampaknya Juna berhasil mendapatkan hati Disa, Desi, dan Dida dengan kemampuan seninya. Hatiku bimbang apakah aku harus lanjut naik atau kembali turun. Semula aku berniat memanggil adik-adikku untuk sarapan, tapi aku jadi takut kehadiranku akan merusak suasana asyik yang tercipta. Baru kali ini aku mendengar sisi lain dari Arjuna yang bisa membuat orang tertawa. Sepengenalanku iparku yang satu ini jarang tertawa. Ternyata aku belum benar-benar m
"Mohon dukungannya, Mas Yudistira dan Mbak Ashanna!" Aku dan suamiku melongo menyaksikan perempuan di depan kami berdiri sambil memohon, dan sedikit membungkukkan badan. Ia memohon dukungan kami? Kok aku jadi teringat kompetisi menyanyi itu, ya? "Jangan lupa dukung saya, ketik REG FITRI, kirim ke 3456789. Yang banyak, ya!" Rasanya aku pingin bikin yel-yel, "Go, Fitri! Go, Fitri! Go, go!" Padahal kami berdua baru saja menginjakkan kaki di rumah, sepulang kerja, belum sempat mandi pula, tahu-tahu ada tukang tahu, eh, salah, ada tamu maksudnya; tamu istimewa. Kekasih Fitri yang menyelamatkan kami dari suasana canggung ini. "Kamu calon istriku, Fit, aku kakak mereka, jadi kamu nggak perlu panggil mereka mas dan mbak begitu. Panggil nama saja," katanya sedikit memaksa. "Baru pertama ketemu, Mas, baru kenalan. Nggak enak kalau tiba-tiba nggak sopan manggil nama saja, saya belum terbiasa," bantah Fitri dengan lembut tetapi tegas. Terkesan ia masih agak rikuh dengan kami, sedangkan Jun