Halo, Pembaca! Bagaimana pendapat Anda tentang kisah Yudistira-Ashanna sampai bab 27 ini? Sampaikan komentar dan saran Anda, ya, demi peningkatan kualitas tulisan author. Sumbangan gem juga sangat saya hargai. Terima kasih.
"Apa rahasianya, Ma? Apa?" desakku kepo. Kegelisahanku terasa sampai ke ujung kaki.Ibu mertuaku tersenyum menggoda, seolah tidak ada niat untuk memberitahukan resep rahasia keberhasilannya dalam membujuk ibuku.Sekian tahun aku, Bapak, bahkan ketiga adikku berupaya meyakinkan Ibu setidaknya untuk mengecek benjolan yang ada di payudaranya, tapi hasilnya nihil. Nah, ini, belum ada sebulan Mama Ani turun tangan, eh, ibuku langsung menurut."Memang hanya mereka yang sudah mendekati masa lansia yang bisa membujuk Ibu, Sha," sahut Yudistira yang langsung dipelototi oleh mamanya."Eh, sembarangan kamu, ya! Mama belum ada lima puluh tahun, masih muda tahu," gerutu ibu mertuaku dengan air muka lucu. Anak lelakinya meringis kesenangan. Kocak benar mereka ini!Untungnya ibu mertuaku tidak punya niat untuk bermain rahasia. Terungkaplah resep rahasia keberhasilan Mama Ani membujuk Ibu Susi."Jeng, aku tahu Jeng Susi takut cek kesehatan, dioperasi, kemoterapi, tapi apa Jeng pernah berpikir bahwa de
"Idenya bermula dari sini." Yudistira merentangkan kedua lengannya di hadapanku. Senyuman lebar menghiasi wajahnya. Kami tengah berada di pekarangan belakang rumah orang tuaku. Lagi-lagi aku harus mengagumi kejeniusannya. Awalnya kukira Yudistira akan memberikan modal untuk orang tuaku berjualan, pekerjaan yang sudah fasih dilakukan oleh ibuku. Bukankah dia bilang bapak dan ibuku bisa bersama 24 jam? Apa lagi, dong, kalau bukan melanjutkan bisnis makanan yang sudah ada? Namun, aku salah, Yudistira jauh lebih peduli lagi kepada orang tuaku, yang juga bapak dan ibu mertuanya."Aku ingin Bapak dan Ibu melakukan pekerjaan yang santai dan menyenangkan hati. Jangan terlalu berat, pokoknya," ucapnya bersungguh-sungguh. "Yud, kamu pintar banget, sih? Dengan cara apa aku bisa berterima kasih kepadamu?" Kebahagiaan dan rasa bangga memenuhi hatiku. "Peluk aku, Sha." Ia kembali merentangkan kedua lengannya, kali ini mengharapkan diriku mendekat kepadanya. "Ogah," tolakku, "malu, Yud, di liha
"Yang sabar, ya, Dik. Dia memang begitu orangnya." Wanita muda yang tengah menggendong anak bayinya di hadapanku itu menunjukkan keprihatinannya. "Nggak apa-apa, Mbak Ola. Santai aja," sahutku sembari memberikan senyuman dan menepuk lengannya pelan. Mbak Ola, nama aslinya Laura, adalah tetangga seberang jalan, depan rumahku. Ia seorang ibu rumah tangga dengan dua putra yang masih kecil. Anak pertamanya berumur lima tahun, namanya Charlie, sedangkan anak bungsunya bernama Chaplin ... eh, bukan, ding! Hehe. Anak kedua bernama Cherry, belum genap setahun umurnya. Saat senggang kadang aku main ke rumah mereka, niatnya sekadar menyapa, tapi kalau sudah bertemu Mbak Ola, pasti diajak cerita ngalor ngidul. Sebenarnya wanita ini hanya dua tahun lebih tua dariku, tetapi ia bersikap seolah aku ini adiknya. Kami memiliki posisi yang berlawanan dalam keluarga kami masing-masing. Aku anak pertama, sedangkan Mbak Ola anak bungsu. Bisa jadi dalam hatinya ia senang menemukan teman baru, yang lebi
"Des, Mas Yudis pergi, ya? Naik mobil?" tanyaku kepada Desi, sementara mataku sibuk memindai area di depan rumah. Mobil tidak ada di garasi, di jalan pun tidak ada. "Eh, iya, Mbak. Tadi pas Mbak Shanna lagi mandi, Mas Yudi dapat telepon dari resort, katanya disuruh cepat ke sana, ada tamu VIP yang harus diantar keliling, investor gitu. Mobil di resort kepakai semua, makanya Mas Yudi bawa mobil sendiri," jawab Desi tak melewatkan satu informasi pun. "Oh, gitu," sahutku kurang bersemangat. Yudistira memang pernah menyinggung tentang calon investor dari Belanda yang akan datang dan menginap di resort hari ini, tapi katanya sudah ada Papa dan beberapa staf lain yang mengurusnya. Ternyata Yudis masih dipanggil juga. Itu bukan masalah, sih. Yang menjadi problem adalah hari ini ketiga adikku datang. Yudis berjanji akan menemani kami jalan ke mall, eh, tahu-tahu dia pergi membawa mobil. Aku sudah memiliki SIM A, seandainya Yudis batal ikut, kami bisa pergi berempat. Namun, mobil malah dip
"Aku transfer, ya," Yudistira menyahut santai, seolah uang lima juta itu bukan apa-apa. Suamiku memang memiliki tabungan dari jerih payahnya semenjak masih lajang. Aku tidak tahu isinya berapa, dan tak perlu bertanya. Itu adalah hasil kerja kerasnya sendiri. Sebagai kepala rumah tangga, ia selalu menafkahiku, bahkan memanjakan diriku secara materi. Kalau soal harta gono-gini, oh, please, itu tidak perlu dibicarakan, malu malahan. Aku tak punya kontribusi apapun, karena aku menjadi istrinya dalam kondisi kere, tak memiliki apa-apa. "Yud, masalahnya bukan itu!" rengekku lagi. "Terus gimana, Sha?" Buatku kehilangan uang lima juta memang mengguncangkan jiwa. Itu bukan jumlah yang kecil. Namun, masalahnya adalah sebagian besar dari uang itu adalah uang gajiku setelah bekerja selama sebulan. Rasanya sia-sia, apalagi sampai sekarang aku belum tahu keberadaan uang itu di mana. Yudistira bisa menggantinya, aku bisa membelikan barang-barang yang adikku mau, tetapi esensinya akan berbeda. A
"Keluarga Pak Pandu ini lucu, ya, Arjuna anak pertama, Yudistira malah jadi anak kedua." Komentar semacam itu biasa terdengar saat seseorang mengenal keluarga mertuaku. Ketiga pria yang ada di keluarga ini semuanya memiliki nama seperti tokoh pewayangan, khususnya keluarga Pandawa. Mertuaku bernama Pandu, anak sulungnya dari mendiang istri pertamanya bernama Arjuna, lalu ada suamiku Yudistira. Entah mengapa dinamai seperti itu, tetapi pada kenyataannya pembawaan Mas Juna ini memang santun dan lemah lembut. Untungnya, setahuku, dia bukan laki-laki yang memiliki banyak wanita. Malahan sampai sekarang ia masih sendiri, Yudistira yang setahun lebih muda darinya justru menikah duluan. "Mas Juna itu anak kandung, dan Mas Yudistira itu anak tiri, tapi Pak Pandu kayaknya lebih suka sama anak tirinya ketimbang anak kandung sendiri," ucap salah satu pembantu keluarga Pandu. Dulu sebelum aku menjadi istri Yudis, mereka sangat gemar bercerita kepadaku tentang keluarga majikannya. Selama ini c
"Maksudmu apa, Yud?" tanyaku dengan nada suara sedikit meninggi. "Kamu memang mengincar resort? Uangmu masih kurang kah? Kursusan dan jabatan wakil direktur masih kurang?" "Ashanna, ngapain sih ngeributin hal kayak gitu?" Yudistira masih bersikap santai, tetapi aku tidak bisa. Ini menyangkut prinsip. "Yud, aku ini istrimu, bukan orang lain. Aku juga berhak tahu apa yang dipikirkan oleh suamiku. Bagaimana bisa orang lain lebih mengenal kamu daripada aku?" Yudistira yang semula cuek kini menatapku sepenuhnya ... tajam. Rahangnya mengeras, sejenak kupikir ia akan mengatakan sesuatu, aku sedikit gentar, tetapi hanya desahan panjang yang terdengar seperti orang lelah. Pria itu mengusap wajahnya, naik terus sampai tangannya menjangkau rambutnya sendiri dan meremasnya putus asa. "Sudahlah, Ashanna. Aku lelah meributkan hal yang tak penting ini," desahnya lemah.Seharusnya aku berhenti bertanya saat itu juga, suamiku bukanlah orang yang terbiasa menuruti emosi, tapi diamnya Yudistira justr
"Sha, tahu nggak persamaan antara kamu sama es teh ini?" Yudistira mengaduk-aduk es teh di hadapannya sembari menatapku mesra. "Apa, ya?" Aku menanggapi pertanyaan suamiku dengan wajah serius ... tapi pura-pura doang. Sudah pasti pertanyaan ini akan menuju rayuan gombal tidak bermutu, senyumannya saja sudah mencurigakan. "Sama-sama nyegerin," kekeh Yudistira kesenangan. Aku mencebikkan bibir menahan senyum. "Bukan sama-sama meleleh kalau kamu senyumin?" timpalku. Yudistira menyambutnya dengan tawa renyah. Kalau lagi mesra gini aku kayaknya memang harus dekat-dekat kulkas, deh, biar nggak meleleh terus. Ea! "Kalau perbedaan kamu sama sedotan itu apa, Yud?" Aku balik bertanya, membalas gombalan Yudistira. "Apa, ya?" Ia tersenyum lebar, menantikan balasan gombalan dariku. "Kalau sedotan itu bisa dipakai mengaduk-aduk minuman, kalau kamu bisa mengaduk-aduk hatiku dengan rayuan gombal," jawabku telak. "Hahahaha." Kami kompak tertawa cukup keras, hingga orang-orang yang ada di sekit