Wah, punya tetangga kayak Mbak sulit, eh, Mbak Angel memang menyusahkan, ya. Semoga Ashanna kuat. Eh, tapi insiden apa sih yang dialaminya? Simak di bab berikutnya, ya. Terima kasih.
"Des, Mas Yudis pergi, ya? Naik mobil?" tanyaku kepada Desi, sementara mataku sibuk memindai area di depan rumah. Mobil tidak ada di garasi, di jalan pun tidak ada. "Eh, iya, Mbak. Tadi pas Mbak Shanna lagi mandi, Mas Yudi dapat telepon dari resort, katanya disuruh cepat ke sana, ada tamu VIP yang harus diantar keliling, investor gitu. Mobil di resort kepakai semua, makanya Mas Yudi bawa mobil sendiri," jawab Desi tak melewatkan satu informasi pun. "Oh, gitu," sahutku kurang bersemangat. Yudistira memang pernah menyinggung tentang calon investor dari Belanda yang akan datang dan menginap di resort hari ini, tapi katanya sudah ada Papa dan beberapa staf lain yang mengurusnya. Ternyata Yudis masih dipanggil juga. Itu bukan masalah, sih. Yang menjadi problem adalah hari ini ketiga adikku datang. Yudis berjanji akan menemani kami jalan ke mall, eh, tahu-tahu dia pergi membawa mobil. Aku sudah memiliki SIM A, seandainya Yudis batal ikut, kami bisa pergi berempat. Namun, mobil malah dip
"Aku transfer, ya," Yudistira menyahut santai, seolah uang lima juta itu bukan apa-apa. Suamiku memang memiliki tabungan dari jerih payahnya semenjak masih lajang. Aku tidak tahu isinya berapa, dan tak perlu bertanya. Itu adalah hasil kerja kerasnya sendiri. Sebagai kepala rumah tangga, ia selalu menafkahiku, bahkan memanjakan diriku secara materi. Kalau soal harta gono-gini, oh, please, itu tidak perlu dibicarakan, malu malahan. Aku tak punya kontribusi apapun, karena aku menjadi istrinya dalam kondisi kere, tak memiliki apa-apa. "Yud, masalahnya bukan itu!" rengekku lagi. "Terus gimana, Sha?" Buatku kehilangan uang lima juta memang mengguncangkan jiwa. Itu bukan jumlah yang kecil. Namun, masalahnya adalah sebagian besar dari uang itu adalah uang gajiku setelah bekerja selama sebulan. Rasanya sia-sia, apalagi sampai sekarang aku belum tahu keberadaan uang itu di mana. Yudistira bisa menggantinya, aku bisa membelikan barang-barang yang adikku mau, tetapi esensinya akan berbeda. A
"Keluarga Pak Pandu ini lucu, ya, Arjuna anak pertama, Yudistira malah jadi anak kedua." Komentar semacam itu biasa terdengar saat seseorang mengenal keluarga mertuaku. Ketiga pria yang ada di keluarga ini semuanya memiliki nama seperti tokoh pewayangan, khususnya keluarga Pandawa. Mertuaku bernama Pandu, anak sulungnya dari mendiang istri pertamanya bernama Arjuna, lalu ada suamiku Yudistira. Entah mengapa dinamai seperti itu, tetapi pada kenyataannya pembawaan Mas Juna ini memang santun dan lemah lembut. Untungnya, setahuku, dia bukan laki-laki yang memiliki banyak wanita. Malahan sampai sekarang ia masih sendiri, Yudistira yang setahun lebih muda darinya justru menikah duluan. "Mas Juna itu anak kandung, dan Mas Yudistira itu anak tiri, tapi Pak Pandu kayaknya lebih suka sama anak tirinya ketimbang anak kandung sendiri," ucap salah satu pembantu keluarga Pandu. Dulu sebelum aku menjadi istri Yudis, mereka sangat gemar bercerita kepadaku tentang keluarga majikannya. Selama ini c
"Maksudmu apa, Yud?" tanyaku dengan nada suara sedikit meninggi. "Kamu memang mengincar resort? Uangmu masih kurang kah? Kursusan dan jabatan wakil direktur masih kurang?" "Ashanna, ngapain sih ngeributin hal kayak gitu?" Yudistira masih bersikap santai, tetapi aku tidak bisa. Ini menyangkut prinsip. "Yud, aku ini istrimu, bukan orang lain. Aku juga berhak tahu apa yang dipikirkan oleh suamiku. Bagaimana bisa orang lain lebih mengenal kamu daripada aku?" Yudistira yang semula cuek kini menatapku sepenuhnya ... tajam. Rahangnya mengeras, sejenak kupikir ia akan mengatakan sesuatu, aku sedikit gentar, tetapi hanya desahan panjang yang terdengar seperti orang lelah. Pria itu mengusap wajahnya, naik terus sampai tangannya menjangkau rambutnya sendiri dan meremasnya putus asa. "Sudahlah, Ashanna. Aku lelah meributkan hal yang tak penting ini," desahnya lemah.Seharusnya aku berhenti bertanya saat itu juga, suamiku bukanlah orang yang terbiasa menuruti emosi, tapi diamnya Yudistira justr
"Sha, tahu nggak persamaan antara kamu sama es teh ini?" Yudistira mengaduk-aduk es teh di hadapannya sembari menatapku mesra. "Apa, ya?" Aku menanggapi pertanyaan suamiku dengan wajah serius ... tapi pura-pura doang. Sudah pasti pertanyaan ini akan menuju rayuan gombal tidak bermutu, senyumannya saja sudah mencurigakan. "Sama-sama nyegerin," kekeh Yudistira kesenangan. Aku mencebikkan bibir menahan senyum. "Bukan sama-sama meleleh kalau kamu senyumin?" timpalku. Yudistira menyambutnya dengan tawa renyah. Kalau lagi mesra gini aku kayaknya memang harus dekat-dekat kulkas, deh, biar nggak meleleh terus. Ea! "Kalau perbedaan kamu sama sedotan itu apa, Yud?" Aku balik bertanya, membalas gombalan Yudistira. "Apa, ya?" Ia tersenyum lebar, menantikan balasan gombalan dariku. "Kalau sedotan itu bisa dipakai mengaduk-aduk minuman, kalau kamu bisa mengaduk-aduk hatiku dengan rayuan gombal," jawabku telak. "Hahahaha." Kami kompak tertawa cukup keras, hingga orang-orang yang ada di sekit
"Citra itu mantan pacar Yudistira." Pernyataan ini kudengar dari beberapa orang yang mengenal Yudistira, dan mengetahui hubungan percintaannya di masa lalu. Hanya saja tak ada yang tahu detail perpisahan mereka seperti apa. "Setahu Mama, Yudistira cuma bilang dia sudah putus dengan Citra, dan ingin fokus pada pekerjaan. Setelah putus dari Citra, dan sebelum menikah sama kamu, Yudi nggak pernah pacaran lagi. Mama juga tidak tahu penyebab mereka putus karena Yudi nggak cerita. Dia bilang mereka berbeda visi, itu saja," papar ibu mertuaku saat kutanya kepadanya. Yudistira berpacaran dengan Citra di usia awal dua puluhan selama kurang lebih dua tahun. Kemungkinan saat itu Yudistira sangat mencintai Citra, terbukti efeknya masih terasa setelah empat tahun berlalu, pria itu pucat pasi ketika melihat lagi mantan pacarnya itu. Kira-kira seberapa dalam, ya, perasaan Yudistira dulu kepada Citra? Duh, kenapa aku cemburu? Padahal jelas-jelas mereka cuma mantan, dan masing-masing telah memiliki
'Apa maksudmu, Yud? Kamu kriminal? Siapa yang kamu bunuh? Bagaimana kalau nanti aku kamu bunuh juga?' Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk di kepalaku tanpa mampu kuluapkan. Aku tak boleh gegabah, belum tentu Yudistira benar-benar membunuh orang, siapa tahu dia membunuh nyamuk ..., atau membunuh karakter, lebih kejam 'kan itu, menganggap orang yang di depan mata seperti tidak ada."Aku di sini, Yud, aku nggak akan ke mana-mana," hiburku dengan harapan suamiku bisa lebih tenang. Sejujurnya aku juga kebingungan dengan sikapnya ini, Yudistira yang biasanya kuat, cuek terhadap hal yang tidak penting, bisa menangis seperti ini. Pasti selama ini ia menyimpan beban yang sangat berat di dalam dirinya. Kisah kelam seperti apa yang telah ia alami, aku sungguh penasaran. Namun, aku harus menahan diri dan menunggu suamiku tenang sebelum bertanya lebih lanjut. Kubiarkan ia menumpahkan kegetiran yang entah berapa lama ditanggungnya sendiri. "Setiap orang, sekuat apapun dia, pasti memiliki sisi r
"Yud, biar aku yang nyetir, kamu duduk manis saja," sergahku seraya mendorong suamiku agar duduk di kursi penumpang di samping sopir. "Kamu yakin? Jalannya berkelok-kelok, lho," tanyanya setengah ragu. "Tentu saja, suamiku," sahutku sembari tersenyum manis. "Biar aku tunjukkan seberapa hebat hasil belajarku di kursus menyetir Yudistira Adi Saputra." "Nugraha, Sha, bukan Saputra! Memangnya aku saudaranya Nicholas Saputra?" gerutunya dengan suara bergumam. Sembari memasang sabuk pengaman aku mengulum senyum. Enak banget dia nyebut Nicholas Saputra, aktor yang jelas-jelas terkenal dan ganteng, bukan tokoh bernama Saputra yang lain. "Kalian memang saudara, Yud," timpalku, "sama-sama terlahir dari rahim seorang wanita. Saudara beda bapak, lain ibu." Yudistira terkekeh pelan, tapi hanya sesaat. Sejak "pengakuan dosanya" kemarin, Yudistira jadi lebih pendiam. Yah, biarlah, setidaknya dia sudah kembali narsis, berasumsi bahwa dirinya setampan aktor ... walaupun memang ganteng, sih, suami