"Sha, coba lihat ke atas sana," kata Yudis menginterupsi keasyikanku dengan makanan-makanan lezat di atas meja."Apaan, Yud?" tanyaku masih sibuk dengan bakso bakar yang enaknya ngalahin sayur kemarin. Hehe, apaan sih? Ya kali sayur basi enak?"Kamu sudah lupa dengan kampung halamanmu, Sha?" Suara Yudis terdengar lelah."Apaan sih, Yud? Drama nih pasti," kekehku. Aku sudah tahu ke mana arah pembicaraan pria ini. "Ya, deh, aku lihat." Aku sedikit menengadah dan melihat ke langit timur di mana bulan purnama bersinar sempurna.Sesaat kami terpaku memandang penerang malam itu. Keindahannya mengalahkan lampu-lampu kota yang kami saksikan di rooftop rumah kami.Tak kusangka, walau hanya dari atap rumah seperti ini pemandangan Jogja di malam hari cukup memukau. Meskipun masih jauh dari pusat kota, lampu-lampu yang menyala di sana-sini membuat suasana menarik. Tapi tetap sang rembulan lebih cantik, apalagi malam ini langit cerah."Ciptaan Tuhan yang satu itu benar-benar cantik, ya, Sha," ucap
"Apa rahasianya, Ma? Apa?" desakku kepo. Kegelisahanku terasa sampai ke ujung kaki.Ibu mertuaku tersenyum menggoda, seolah tidak ada niat untuk memberitahukan resep rahasia keberhasilannya dalam membujuk ibuku.Sekian tahun aku, Bapak, bahkan ketiga adikku berupaya meyakinkan Ibu setidaknya untuk mengecek benjolan yang ada di payudaranya, tapi hasilnya nihil. Nah, ini, belum ada sebulan Mama Ani turun tangan, eh, ibuku langsung menurut."Memang hanya mereka yang sudah mendekati masa lansia yang bisa membujuk Ibu, Sha," sahut Yudistira yang langsung dipelototi oleh mamanya."Eh, sembarangan kamu, ya! Mama belum ada lima puluh tahun, masih muda tahu," gerutu ibu mertuaku dengan air muka lucu. Anak lelakinya meringis kesenangan. Kocak benar mereka ini!Untungnya ibu mertuaku tidak punya niat untuk bermain rahasia. Terungkaplah resep rahasia keberhasilan Mama Ani membujuk Ibu Susi."Jeng, aku tahu Jeng Susi takut cek kesehatan, dioperasi, kemoterapi, tapi apa Jeng pernah berpikir bahwa de
"Idenya bermula dari sini." Yudistira merentangkan kedua lengannya di hadapanku. Senyuman lebar menghiasi wajahnya. Kami tengah berada di pekarangan belakang rumah orang tuaku. Lagi-lagi aku harus mengagumi kejeniusannya. Awalnya kukira Yudistira akan memberikan modal untuk orang tuaku berjualan, pekerjaan yang sudah fasih dilakukan oleh ibuku. Bukankah dia bilang bapak dan ibuku bisa bersama 24 jam? Apa lagi, dong, kalau bukan melanjutkan bisnis makanan yang sudah ada? Namun, aku salah, Yudistira jauh lebih peduli lagi kepada orang tuaku, yang juga bapak dan ibu mertuanya."Aku ingin Bapak dan Ibu melakukan pekerjaan yang santai dan menyenangkan hati. Jangan terlalu berat, pokoknya," ucapnya bersungguh-sungguh. "Yud, kamu pintar banget, sih? Dengan cara apa aku bisa berterima kasih kepadamu?" Kebahagiaan dan rasa bangga memenuhi hatiku. "Peluk aku, Sha." Ia kembali merentangkan kedua lengannya, kali ini mengharapkan diriku mendekat kepadanya. "Ogah," tolakku, "malu, Yud, di liha
"Yang sabar, ya, Dik. Dia memang begitu orangnya." Wanita muda yang tengah menggendong anak bayinya di hadapanku itu menunjukkan keprihatinannya. "Nggak apa-apa, Mbak Ola. Santai aja," sahutku sembari memberikan senyuman dan menepuk lengannya pelan. Mbak Ola, nama aslinya Laura, adalah tetangga seberang jalan, depan rumahku. Ia seorang ibu rumah tangga dengan dua putra yang masih kecil. Anak pertamanya berumur lima tahun, namanya Charlie, sedangkan anak bungsunya bernama Chaplin ... eh, bukan, ding! Hehe. Anak kedua bernama Cherry, belum genap setahun umurnya. Saat senggang kadang aku main ke rumah mereka, niatnya sekadar menyapa, tapi kalau sudah bertemu Mbak Ola, pasti diajak cerita ngalor ngidul. Sebenarnya wanita ini hanya dua tahun lebih tua dariku, tetapi ia bersikap seolah aku ini adiknya. Kami memiliki posisi yang berlawanan dalam keluarga kami masing-masing. Aku anak pertama, sedangkan Mbak Ola anak bungsu. Bisa jadi dalam hatinya ia senang menemukan teman baru, yang lebi
"Des, Mas Yudis pergi, ya? Naik mobil?" tanyaku kepada Desi, sementara mataku sibuk memindai area di depan rumah. Mobil tidak ada di garasi, di jalan pun tidak ada. "Eh, iya, Mbak. Tadi pas Mbak Shanna lagi mandi, Mas Yudi dapat telepon dari resort, katanya disuruh cepat ke sana, ada tamu VIP yang harus diantar keliling, investor gitu. Mobil di resort kepakai semua, makanya Mas Yudi bawa mobil sendiri," jawab Desi tak melewatkan satu informasi pun. "Oh, gitu," sahutku kurang bersemangat. Yudistira memang pernah menyinggung tentang calon investor dari Belanda yang akan datang dan menginap di resort hari ini, tapi katanya sudah ada Papa dan beberapa staf lain yang mengurusnya. Ternyata Yudis masih dipanggil juga. Itu bukan masalah, sih. Yang menjadi problem adalah hari ini ketiga adikku datang. Yudis berjanji akan menemani kami jalan ke mall, eh, tahu-tahu dia pergi membawa mobil. Aku sudah memiliki SIM A, seandainya Yudis batal ikut, kami bisa pergi berempat. Namun, mobil malah dip
"Aku transfer, ya," Yudistira menyahut santai, seolah uang lima juta itu bukan apa-apa. Suamiku memang memiliki tabungan dari jerih payahnya semenjak masih lajang. Aku tidak tahu isinya berapa, dan tak perlu bertanya. Itu adalah hasil kerja kerasnya sendiri. Sebagai kepala rumah tangga, ia selalu menafkahiku, bahkan memanjakan diriku secara materi. Kalau soal harta gono-gini, oh, please, itu tidak perlu dibicarakan, malu malahan. Aku tak punya kontribusi apapun, karena aku menjadi istrinya dalam kondisi kere, tak memiliki apa-apa. "Yud, masalahnya bukan itu!" rengekku lagi. "Terus gimana, Sha?" Buatku kehilangan uang lima juta memang mengguncangkan jiwa. Itu bukan jumlah yang kecil. Namun, masalahnya adalah sebagian besar dari uang itu adalah uang gajiku setelah bekerja selama sebulan. Rasanya sia-sia, apalagi sampai sekarang aku belum tahu keberadaan uang itu di mana. Yudistira bisa menggantinya, aku bisa membelikan barang-barang yang adikku mau, tetapi esensinya akan berbeda. A
"Keluarga Pak Pandu ini lucu, ya, Arjuna anak pertama, Yudistira malah jadi anak kedua." Komentar semacam itu biasa terdengar saat seseorang mengenal keluarga mertuaku. Ketiga pria yang ada di keluarga ini semuanya memiliki nama seperti tokoh pewayangan, khususnya keluarga Pandawa. Mertuaku bernama Pandu, anak sulungnya dari mendiang istri pertamanya bernama Arjuna, lalu ada suamiku Yudistira. Entah mengapa dinamai seperti itu, tetapi pada kenyataannya pembawaan Mas Juna ini memang santun dan lemah lembut. Untungnya, setahuku, dia bukan laki-laki yang memiliki banyak wanita. Malahan sampai sekarang ia masih sendiri, Yudistira yang setahun lebih muda darinya justru menikah duluan. "Mas Juna itu anak kandung, dan Mas Yudistira itu anak tiri, tapi Pak Pandu kayaknya lebih suka sama anak tirinya ketimbang anak kandung sendiri," ucap salah satu pembantu keluarga Pandu. Dulu sebelum aku menjadi istri Yudis, mereka sangat gemar bercerita kepadaku tentang keluarga majikannya. Selama ini c
"Maksudmu apa, Yud?" tanyaku dengan nada suara sedikit meninggi. "Kamu memang mengincar resort? Uangmu masih kurang kah? Kursusan dan jabatan wakil direktur masih kurang?" "Ashanna, ngapain sih ngeributin hal kayak gitu?" Yudistira masih bersikap santai, tetapi aku tidak bisa. Ini menyangkut prinsip. "Yud, aku ini istrimu, bukan orang lain. Aku juga berhak tahu apa yang dipikirkan oleh suamiku. Bagaimana bisa orang lain lebih mengenal kamu daripada aku?" Yudistira yang semula cuek kini menatapku sepenuhnya ... tajam. Rahangnya mengeras, sejenak kupikir ia akan mengatakan sesuatu, aku sedikit gentar, tetapi hanya desahan panjang yang terdengar seperti orang lelah. Pria itu mengusap wajahnya, naik terus sampai tangannya menjangkau rambutnya sendiri dan meremasnya putus asa. "Sudahlah, Ashanna. Aku lelah meributkan hal yang tak penting ini," desahnya lemah.Seharusnya aku berhenti bertanya saat itu juga, suamiku bukanlah orang yang terbiasa menuruti emosi, tapi diamnya Yudistira justr
(Tiga tahun kemudian) "Tangkap, anak-anak!" "Ayo, Dik! Lari!" "Ahahaha! Kakak!!!" Teriakan dan jeritan tawa khas bocah yang sanggup memekakkan telinga, membuat suasana di halaman belakang rumah mertuaku begitu ramai. Berisik, sekaligus menghangatkan hati. Yudistira, suami yang amat kucintai, bermain tangkap bola dengan kedua anak kami, Dias dan Nara. Meskipun keduanya mewarisi wajah sang ayah, sifat mereka sangat berbeda. Nara pemberani, cerewet, dan berjiwa pemimpin, cocok banget dengan suasana hati yang kurasakan ketika aku hamil. Sedangkan Dias lebih tenang, dan mudah tersentuh, cocok juga dengan pembawaanku yang suka mewek saat mengandungnya. Kupandang mereka bertiga penuh sayang. "Lucu banget, ya, cucu-cucu Mama," celetuk ibu mertuaku yang tiba-tiba berdiri di sampingku. "Anak Mama lebih lucu, Ma," sahutku sambil cengengesan. Kan, suamiku memang lucu. Sesaat Mama Ani terbengong, lalu dia memukulku main-main. "Baguslah, kalau kamu masih menganggap anak Mama yang paling luc
"Selamat, Nak! Sudah lengkap sekarang, satu perempuan, satu laki-laki." "Selamat, ya, Yudistira dan Ashanna, anak kalian ganteng banget!" "Lucunya anak kalian!" Pujian semacam itu sering kudengarkan beberapa hari ini setelah si Cendol lahir ke dunia. Membanggakan memang, tetapi tak semua pujian membuatku senang. "Ya, ampun! Ini sih foto copy-an Yudistira." "Mirip banget dengan bapaknya." "Benar, mirip plek ketlipek-tiplek." Katanya anak perempuan lebih mirip ayahnya, sedangkan anak lelaki lebih mirip ibunya. Nah, sekarang aku punya dua anak, satu perempuan, satu laki-laki, mengapa nggak ada satu pun yang mirip aku? Mereka berdua mirip bapaknya, ibunya kebagian apa? Seakan-akan aku cuma dijadikan jalan lewat mereka lahir ke dunia. Aku mau nitipin bentuk hidung saja mereka menolak.Memang sih, hidung suamiku lebih mancung ketimbang hidungku, jadi sudah pasti hidung anak-anakku juga mancung. Hah!"Malah bagus kali, Sha. Nggak akan ada yang meragukan bahwa kamu punya anak sama Yudi
"Sayang, ini kabar bahagia, mengapa kamu bersedih?" Pertanyaan suamiku, meskipun disampaikan dengan suara yang lembut, malah membuatku semakin galau, hingga rasanya aku ingin menangis. Bagaimana aku tidak sedih, baru juga enam bulan lalu aku melahirkan, eh, aku sudah hamil lagi. Bukannya aku tidak senang, tetapi anak pertamaku masih kecil, ia masih butuh banyak perhatian dariku, aku bahkan berencana untuk memberikan ASI eksklusif untuk Nara paling tidak selama setahun. "Seorang ibu hamil bisa saja menyusui, tetapi itu juga tergantung kondisi sang ibu. Bila ibu sehat, tak menutup kemungkinan untuk tetap menyusui," kata dokter kandunganku memberiku sedikit harapan.Sayangnya, aku tidak termasuk ibu sehat itu. Kehamilan kedua, aku malah teler luar biasa. Bukan hanya mengalami morning sick, tubuhku rasanya sangat lemas hingga tak mampu melakukan banyak aktivitas. Dan lagi-lagi suamiku yang harus repot mengurus kebutuhanku, membantuku bila aku perlu makan, atau ke kamar mandi.Namun, yan
"Sakit banget, ya, Sayang?" suamiku bertanya dengan wajah penuh kecemasan.Hanya seulas senyum yang mampu kuberikan sebagai jawaban, karena kuyakin ekspresi wajahku saat ini sudah cukup menggambarkan apa yang kurasakan.Kata orang sakit bersalin tuh sakit banget, dan itu benar kurasakan, padahal ini barulah awal prosesnya. Perut melilit seperti saat sedang kebelet BAB, ada desakan yang kuat untuk mengeluarkan isi perut, tetapi sayangnya melahirkan tak semudah itu.Belum lagi kontraksi yang terjadi, mirip sekali dengan kram perut. Aku pernah membaca di internet bahwa rasa sakit persalinan itu setara dengan 20 tulang yang dipatahkan secara bersamaan. Dalam kasusku kayaknya 21 tulang yang patah, deh."Sha, kamu benar-benar sanggup melahirkan secara normal? Atau mau operasi saja?" tanya suamiku tiba-tiba.Kupalingkan mataku kepadanya, matanya berkaca-kaca. Aku tertawa lemah. "Yud, aku yang sakit, tapi mengapa kamu yang menangis?" aku balik bertanya. Kusentuh pipi pria yang kucintai itu.K
"Mbak, ini serius pilihanmu, Mbak? Asli, bukan Mbak Ashanna banget, lho." Ketiga adikku memandangku dengan tatapan penuh komplikasi, antara kagum, heran, dan sedikit tak percaya. Nada suara mereka terdengar mencemooh. "Unbelievable! Cantik, sih, cantik ...," komentar Desi mengambang, masih belum sanggup menerima kenyataan. Selama ini aku memang suka tampil cantik, tapi kecenderungannya cantik yang anggun, elegan, bukan cantik ala ciwi-ciwi yang girly dan kemayu. Mengingat tema acara untuk wedding anniversary ketiga kami adalah pernikahan, sudah sewajarnya aku mengenakan gaun pernikahan. Namun, karena perutku yang semakin membesar, jalan bulan keenam gitu loh, aku tak bebas memakai sembarang baju, karena bentuk perutku yang seperti balon bisa terekspos. Berdasarkan rekomendasi dari ahli bridal yang sudah berpengalaman belasan tahun, aku dibantu untuk memperoleh gaun yang tepat. Pilihannya jatuh kepada gaun pengantin ala-ala princess berwarna putih cantik, dengan bagian rok merekah
"Gimana sih kokinya? Kenapa masakannya begini semua? Nggak asyik, ah!" gerutuku dengan wajah tidak senang. Ketiga adikku, terutama Desi yang menjadi koki utama, memandangku dengan wajah merengut. Mereka sebal, karena aku mencela makanan yang mereka buat. Iya, aku yang mengomel tadi, karena sedikit kecewa dengan hasil masakan mereka. "Ya sudahlah, Mbak, tinggal makan pun," gerutu Disa tak senang. "Nggak perlu protes, tinggal buka mulut, nyam nyam nyam, perut kenyang," timpal Desi. Dida pun menimpali, "Rempong bener, sih, Mbak Ashanna ini." "Habis gimana, dong? Kalian masak western food, katanya, makanan Italia, tapi kok semua mengandung keju begini?" Aku mempertegas alasanku memprotes mereka. "Namanya western food, Mbak, pakai keju. Kalau pakai cabai, brambang bawang, ya masakan Jawa. Kalau pakai andaliman masakan Batak. Sudah autentik itu," Desi berdalih lagi. "Lagian tuh makanannya mengandung kalsium tinggi. Bagus untuk pertumbuhan bayi dalam kandungan, sehat untuk bayinya Mbak
"Kamu nggak salah makan, Sha? Atau tadi di rumah sakit dokter nggak keliru nyuntik kamu serum kurang waras, 'kan?"Asyiknya Yudistira tuh kayak gini ini. Dia bisa saja langsung marah karena mendengar permintaanku yang aneh, tetapi ia malah bercanda. Mengejek memang, tapi main-main saja."Ngawur! Aku kan disuntik serum yang bikin bahagia," ucapku sambil senyum-senyum."Hah! Emang serum apaan?" tanyanya dengan nada mencemooh. Aku tertawa kecil. Sebenarnya Yudistira pasti cemburu gara-gara permintaanku yang aneh.Dengan wajah super serius aku menjawab, "Serum yang bikin bahagia? Serum ... ah sama kamu, hidup bersama kamu, punya anak dengan ....""Ahay!!!" seru Yudistira, kali ini ia kegirangan ditambah sedikit tersipu. Ah, kena juga gombalanku. Hihi."Terus tadi kamu bilang ingin menikah lagi tu, apa? Mau nikah sama siapa? Kamu mau poliandri?" Yudistira kembali bertanya menuntut penjelasan. Nah, kan! Mikirnya sudah aneh-aneh. Apalagi coba kalau bukan cemburu namanya?"Idih! Siapa juga ya
"Sudah delapan jam Ibu Fitri mengalami kontraksi, tetapi belum ada tanda-tanda bayinya akan lahir." Ucapan dokter tadi membuat kami cemas. Juna bilang sejak semalam istrinya telah merasakan kesakitan sebagai tanda akan melahirkan, mengingat usia kandungannya sudah melewati angka sembilan bulan. Namun, pagi ini berjam-jam Fitri telah mengalami kontraksi, tetapi si jabang bayi seperti belum rela meninggalkan perut ibunya. Duh, tak bisa kubayangkan, calon ibu ini pasti sudah menghabiskan banyak tenaga. Kalau seperti ini sudah bisa diperkirakan apa yang harus dilakukan terhadap Fitri dan bayinya. "Kami menyarankan untuk operasi saja, demi keselamatan ibu dan anak. Mohon segera diputuskan, Pak, agar Ibu tidak perlu menunggu terlalu lama," ungkap sang dokter kepada Mas Juna, menyatakan hal yang sama persis dengan perkiraan kami. Iparku berpikir di tengah kecemasan. Memang Fitri sendiri berharap ingin melahirkan secara normal, sudah sewajarnya wanita menginginkan metode ini saat bersalin
"Jangan pergi, Sayang! Aku nggak mau ditinggal. Please ...," rengekku sembari mencengkeram erat lengan suamiku.Yudistira menghentikan langkahnya. Ia sudah rapi, ganteng, wangi, dan siap berangkat kerja, tapi rasanya aku tak rela ditinggal di rumah sendiri.Semenjak hamil dan kerap mengalami morning sick, Yudistira, selaku bos dan suami, memberikanku cuti kehamilan tak terbatas waktu. Artinya aku bisa libur selama apapun aku mau, dan kembali kapanpun aku siap, tanpa resiko kena PHK, dan tetap mendapatkan gaji ... maksudnya gaji dari uang pribadi suamiku."Sayangku, Ashanna, kalau aku nggak pergi kerja, kita mau makan apa?" dalihnya agar aku membiarkannya pergi."Aku nggak butuh uang, Sayang, cukup cintamu. Cintamu saja untuk selamanya," ucapku romantis, dramatis, dan nylekutis. Suaraku bahkan terdengar kelewat manis, melebihi sakarin, aspartam dan biang gula manapun.Lagian bohong banget, dia nggak kerja sehari saja bingung mau makan apa? Hah! Kami liburan sebulan pun dia nggak akan b