"Kamu istriku, Ashanna, milikku. Jangan kau ingkari itu," bisiknya di telingaku.
Yudistira mulai mencumbuku. Tidak ada bagian dari wajahku yang ia lewatkan. Aku yang polos dan tak berpengalaman hanya bisa pasrah, serta mencoba untuk mengikuti naluriku sebagai perempuan.
Sempat terpikir olehku untuk menolaknya, tetapi hati nuraniku berkata aku harus melakukan kewajibanku sebagai seorang istri. Lagipula pikiran untuk menolak itu hanya terlintas sekejap, karena kedekatan kami langsung melenyapkan semua pemikiran lain.
Pria yang telah menjadi suamiku itu mencium bibirku. Aku mencoba membalasnya, walaupun aku tak tahu jika yang aku lakukan sudah benar. Anggap saja aku aktris yang lagi main drama Korea.Sejenak Yudis berhenti, lalu menatapku dengan mata sayu. "Sha." Ia memanggil namaku lirih, lalu menjauh dari wajahku, dan meletakkan kepalanya di dadaku. Kemudian ....Semua berhenti begitu saja."Yud ..., Yudistira," panggilku saat tak terjadi apapun. Hanya keheningan yang ada, dan punggungnya yang sedikit bergerak teratur karena bernapas. Waduh, jangan-jangan ia tertidur."Yud," panggilku sekali lagi seraya menggoyangkan pundaknya. Tak ada jawaban, hanya hangat embusan napasnya yang kurasakan."Ish, keterlaluan kamu, Yud," desisku dengan emosi bercampur aduk.Meskipun kesal, aku memindahkan kepalanya agar ia bisa tidur dengan nyaman. Capek juga kalau aku harus menahan kepalanya yang berat. Yudis bahkan tidak terbangun, walaupun tubuhnya sedikit terguncang. Ia hanya mendengus sebentar, lalu tertidur lagi.
Aku mengepalkan tangan dan berbuat seolah akan meninju wajahnya. Mengesalkan! Aku sudah mulai terhanyut, eh, ternyata hanya di-PHP-in. Lantas kuselimuti tubuhnya agar tak kedinginan.Yudistira sudah bertekad untuk melakukan kewajibannya sebagai seorang suami malam ini, eh, malah ketiduran sendiri."Gimana sih manusia satu ini? Katanya insomnia, tapi belum apa-apa sudah keok," gerutuku seorang diri. Harusnya aku senang, malam ini aku belum jadi diapa-apain sama Yudis, tapi harga diriku sebagai wanita serasa jatuh. Ia yang katanya insomnia malah tertidur di "tengah jalan". Eh, bukan! Baru beberapa langkah saja Yudistira sudah pingsan.Dari ibu mertuaku aku mendengar bahwa anak lelakinya ini sering susah tidur di malam hari, dan dari yang kulihat sendiri Yudis memang punya kantung mata. Hmm, setahuku penyebab insomnia adalah sering begadang, banyak pikiran, atau bahkan depresi. Tidak mengherankan, sih, karena ia seorang workaholic.Namun, yang jadi pertanyaan mengapa di saat sepenting ini ia malah tertidur? Tekadnya yang tadi mana? Melempem kayak kerupuk di toples yang lupa ditutup?Semakin aku memikirkannya, semakin aku kesal. Akhirnya aku memilih untuk kembali berbaring di samping suamiku yang tertidur lelap seperti bayi. Sejenak aku memandanginya dengan cahaya lampu tidur yang temaram."Kamu memang ganteng, lho, Yud. Yah, lumayan deh, bisa dipamerin ke orang-orang kalau suamiku ganteng," kekehku sendirian, diiringi irama embusan napas Yudistira yang teratur. Ternyata ia tidak mendengkur saat tidur, malahan aku yang kadang ngorok, kata adikku.Wajahnya begitu damai, ada perasaan puas tergambar di sana. Yudistira pasti lelah, sekaligus lega karena urusan pernikahan sudah beres.Selama sebulan ini ia sendiri yang langsung turun tangan mengejarkan semua hal yang menyangkut pernikahan kami. Meskipun ada yang membantu, ia terus memantau jika ada kesulitan."Sha, siapa saja yang mau kamu undang ke resepsi kita? Bikin daftar, ya, biar sekalian masuk ke daftar tamu undangan." Yudistira menyerahkan buku catatan dan pena ke tanganku.Dengan malas aku hanya menulis beberapa nama dari orang-orang yang benar-benar dekat denganku. Bahkan teman kerjaku yang dulu saja tak semuanya kuundang. Pokoknya aku ogah-ogahan. Lagian pernikahan instan begini, apa yang bisa dibanggakan? Yang ada nanti aku ditanya macam-macam."Ini doang?" tanya Yudis sewaktu melihat daftar nama yang hanya seuprit. Kujawab dengan anggukan. Kupikir pria itu akan mengomel, tapi dia hanya mengatakan oke dan berlalu melanjutkan urusannya."Kamu duduk manis saja, aku yang akan mengurus semuanya," kata Yudistira. Ya udah, aku nggak perlu membantu, biar saja kalau ia kerepotan, dan urusan tidak selesai tepat waktu.Aku hanya melihat, tetapi aku malah stres. Baik ibu kandungku maupun ibu mertuaku selalu repot menyuruhku ini itu sebagai persiapan calon pengantin; melakukan berbagai macam perawatan calon pengantin di salon, dan memberiku banyak nasihat perkawinan untuk seorang istri.Arrkh, pusing! Aku sampai berharap Yudistira mundur di tengah jalan, karena rasanya sungguh membuatku frustrasi. Tapi doa yang jelek tak bisa mengalahkan tekad sekeras baja. Pada akhirnya aku tetap menjadi istrinya.Hebat benar kamu, Yudistira Adi Nugraha! Kendati sibuk dengan keperluan pernikahan kami, ia tetap bekerja di tempat kursus dan membantu ayahnya mengurus resort seperti biasanya. Benar-benar workaholic pria satu ini! Mungkin ini yang namanya the power of kepepet.Yudis bahkan berkali-kali merecoki aku dan muridku yang sedang belajar. "Please remember, this beautiful lady is my future wife," ucapnya pada setiap murid pria yang kuajar, membuat kami terbengong. Aku sangat malu dengan sikapnya yang tiba-tiba posesif, dan itu hampir setiap hari.Setelah lamaran yang mendadak itu, ia langsung mengumumkan ke semua orang, termasuk murid-murid kursus, bahwa kami telah bertunangan, dan akan menikah dalam waktu dekat.John, salah satu murid dari Australia, bertanya kepadaku dengan rasa tidak percaya, "Ashanna, kamu yakin Yudistira itu pria yang akan kamu menikahi? Dia gila."Aku tersenyum mendengarnya. John adalah salah satu murid yang menunjukkan ketertarikan padaku sedari awal aku bergabung di sini. "Mungkin kami memang jodoh, John," jawabku sekenanya.Kalau dipikir-pikir memang lucu. Yudistira menamai tempat kursus bahasa Indonesianya YAIC, kependekan dari Yogyakarta Assertive Indonesian Course. Siapa sangka YA juga menjadi gabungan inisial nama kami berdua; Yudistira dan Ashanna. Ah, itu sih karanganku saja yang suka cocoklogi sedikit maksa."Oh, ya, John," tambahku, "kamu lupa menghilangkan imbuhan me- pada kata menikahi. Harusnya kamu katakan 'pria yang akan kamu nikahi' bukan 'pria yang akan kamu menikahi'. Tolong dicatat, ya.""Oh, come on, Ashanna," keluhnya, tetapi ia tetap menuruti perintahku untuk mencatatnya.Aku tersenyum sendiri ketika mengingat orang-orang di tempat kerjaku yang baru. Secara refleks aku kembali menengok ke samping.Yudistira terlihat sangat berbeda saat tidur, tidak ada kesan bahwa ia seorang wakil direktur sebuah resort, CEO dari sebuah kursus bahasa Indonesia yang bermuridkan banyak orang asing, serta seorang pria yang gila kerja. Tak ada pula kesan jahil, apalagi gila seperti kata John."Betapa tenang dunia ini ketika kamu tidak gila, Yud. Semoga kamu bisa menjadi suami yang waras untukku," desahku pelan.Kadang kala aku bertanya, apa yang ada di benak Yudistira. Pria yang telah menjadi suamiku ini nekat mengeluarkan uang ratusan juta hanya untuk melunasi utang seorang kenalan lama, dan (katanya) tidak mengharapkan imbalan apapun.Sebulan kemudian tahu-tahu saja perempuan yang dibantunya itu berhasil ia nikahi, tanpa banyak kesulitan. Drama macam apa ini? Bagaimana bila ternyata Yudistira ini pria yang sedikit psycho atau diam-diam terobsesi olehku?"Pulangkan saja aku pada ibuku, atau ayahku ...." Mungkin lagu lawas itu akan menjadi backsound saat aku melarikan diri darinya.Duh, kami baru resmi menikah, tapi pikiranku sudah aneh-aneh saja. Yang jelas Yudistira tidak punya catatan kriminal. Keluarganya menyayanginya, jadi pasti ia orang yang baik, setidaknya untuk saat ini hal itu bisa aku pegang.Hubunganku dengan Yudistira tidak dimulai seperti pasangan pada umumnya. Dan setahuku, dari pengalaman orang-orang, kehidupan berumah tangga tak semudah dan seindah kisah novel. Oleh sebab itu aku harus berjuang untuk membuat perkawinan ini berhasil. Kami telah terikat komitmen seumur hidup.Selama beberapa waktu aku terjaga, dan tak sanggup memejamkan mata. Dini hari barulah rasa kantuk menyerang, aku tertidur lelap, hingga tanpa sadar aku bangun kesiangan. Untung tidak ada yang berkomentar, "Dasar perempuan malas!" karena kalau ada yang bilang begitu, aku akan balik tidur lagi.Aku menyusul suamiku di meja makan dengan malu-malu karena bangun kesiangan. Pagi itu saat kami sarapan berdua. Setelah tidur semalaman wajahnya tampak lebih segar ... dan tampan. Duh, mikir apa sih aku ini?Hanya saja manusia satu ini telah kembali ke wajah workaholic-nya yang serius. Hilang sudah kesan yang ditimbulkannya semalam. Memang dasarnya amburadul orang ini!"Yud," panggilku sejenak mencoba mengalihkannya dari perangkat elektronik yang dipegangnya tanpa hasil. Hanya lenguhan, "Hmm," yang menjadi jawaban, sementara perhatiannya masih tertuju pada tablet di tangannya."Kenapa, ya, baru menuju 24 jam kita resmi menikah, tapi perasaanku bilang bahwa hidup denganmu itu nggak seru?" tanyaku lesu.Kini Yudistira memalingkan wajahnya kepadaku sepenuhnya. Aku memang mengucapkan kalimat tadi untuk mengusik harga dirinya sebagai pria, dan akhirnya berhasil juga. Hihi."Kata siapa, Sha?" sahutnya cepat."Nggak perlu pakai kata siapa, udah kelihatan kok. Pagi-pagi sarapan bareng, tapi yang dilihat gawainya mulu. Ditanya kek istrinya, mau makan apa, mau minum apa gitu," cemoohku dengan bibir manyun.Dan kena lagi! Yudistira mulai perhatian. Ia menuangkan teh hangat ke cangkirku, dan mendekatkan roti isi di hadapanku."Makan ini dulu, ya, nanti siangan dikit kita makan yang lebih kenyang," ujarnya lembut.Suaranya mengundangku untuk melihat wajahnya. Ia tengah menatapku lekat, dengan senyuman selembut puding coklat. Alamak!"Iya, Yud," sahutku cepat. Aku memalingkan wajah karena tersipu, tak mampu menghadapi tatapannya. Salah tingkah aku mengambil roti isi itu dan memakannya pelan-pelan. Sesekali kulirik dia malu-malu.Rupanya pria ini membaca gestur tubuhku. Dalam sekejap mata raut mukanya berubah. Seringaian jahil dan sorot mata licik menghiasi wajahnya. "Tunggu saja, Sha. Kamu akan melihat bahwa hidup denganku akan penuh dengan kejutan yang tak pernah kamu bayangkan sebelumnya.""Jadi ini kejutannya, Yud?" tanyaku serius. Yudistira menggaruk kepalanya. Wajahnya mencerminkan kepasrahan ... pasrah kalau aku meledeknya. "Bukan begini maksudku, Sha. Ini di luar kemampuanku, bukan kejutan buatmu. Kalau kejutan 'kan memang sengaja dibuat untuk memberi euforia lebih," paparnya mengakui keterbatasannya. Aku mengulum senyum. "Oh, gitu," komentarku singkat. Yudistira melebarkan senyuman di bibirnya, satu jurus untuk mendapatkan permakluman dariku. Aduh, lucunya suamiku! Pasangan yang baru menikah idealnya langsung tinggal di rumah mereka sendiri, entah itu milik pribadi ataupun kontrak. Sebagai sesama penganut prinsip anti ribut dengan mertua, aku dan Yudistira sepakat untuk tinggal terpisah dari orang tua kami masing-masing. Sayangnya tingkat kepercayaan diri seorang Yudistira kadang sedikit over. Karena fokus dengan urusan pernikahan, hunting rumah belum membuahkan hasil. "Nyari yang cocok nggak gampang, Sha. Sebisa mungkin aku mencari yang lokasinya dekat resor
"Sha, mulai besok kamu jangan ngajar si Kim Jong Un lagi," ucap Yudistira tiba-tiba. Aku meletakkan buku yang tengah kubaca seraya menatap pria itu tak percaya. Yudistira mendadak aneh. "Kenapa, Yud? Ada masalah? Namanya Kim Jong In, ya, bukan Kim Jong Un." Kan ... nama orangnya saja sampai diganti sama dia. "Kim itu nggak baik, Sha. Berbahaya," alasannya terlalu dibuat-buat. Mulai provokatif nih orang. "Berbahaya bagaimana? Kalau Jong In memang membahayakan, laporkan ke polisi, keluarkan dari tempat kursus." Sedikit kesal aku menanggapi Yudistira yang mengeluh manja. "Ya, nggak bisa gitu juga ...," Yudis ngedumel tidak jelas. Aku tak paham apa maunya, apalagi terkesan ia egois dan memaksakan kehendaknya yang tidak masuk akal. Aku memutuskan untuk kembali membaca novelku, walau mood-ku sudah mulai terganggu. Kupikir Yudis sudah melupakan permintaannya yang kekanakan, sampai akhirnya ia mengucapkan kalimat yang membuatku sangat sebal. "Sha, kamu jadi ibu rumah tangga saja, ya, di
"Apa-apaan ini?" desisku kehabisan akal. Aku mengepalkan kedua tanganku begitu geram. Mengapa Yudistira malah kabur? Beginikah caranya menyelesaikan masalah? Ia bahkan tidak berpamitan kepadaku. Jangan-jangan .... Ah, cepat-cepat kuusir pikiran yang mulai melantur tidak jelas. Semenyebalkan apapun Yudistira, aku yakin ia akan berupaya menjadi suami yang setia, sekalipun tidak atau belum ada cinta di antara kami, Yudistira pasti berpegang pada komitmennya sendiri. Dengan lesu aku kembali ke dalam, duduk di sofa di ruang tengah, ketimbang masuk ke kamar tidur. Aku masih kesal, tetapi aku mencoba untuk menjernihkan pikiranku yang tengah kacau. "Tahun pertama perkawinan adalah masa tersulit untuk pasangan, Sha. Lima bulan pertama mungkin mereka masih mesra, tapi memasuki akhir semester pertama masalah pelik mulai muncul. Belum lagi dibutuhkan penyesuaian karakter masing-masing. Mereka yang dulunya hanya melihat yang manis-manis saat pacaran, bisa kaget ketika tahu keseharian dan sifat
Orang Kaya Baru, julukan itu mungkin dapat dengan gampang disematkan pada keluargaku. Ayahku yang berutang ratusan juta, mendadak bebas tanpa syarat karena kebaikan seseorang yang seperti superhero. Lebih ajaib lagi mas superhero tiba-tiba melamarku, dan sebulan kemudian, kami menikah. Udah gitu doi nggak cuma ganteng, dan berpenampilan keren, ia juga tajir melintir. "Nggak cuma ketiban duren si Ashanna itu, ketiban duren satu truk," komentar seorang tetangga. Untung saja itu cuma peribahasa. Jadi apa diriku kalau sampai ketiban durian satu truk beneran. Balik jadi Tom and Jerry lagi kali ya? Keluargaku jelas mengalami gegar budaya. Kami yang selama ini hidup sederhana, Bapak, Ibu, dan aku bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan kami, mendadak menerima sendok emas di tangan kami. Namun, yang paling terpengaruh oleh perubahan ini adalah ketiga adikku. Aku adalah anak sulung dari empat bersaudara. Ketiga adikku perempuan, mereka duduk di bangku SMP, dan seumuran. Mereka memang kemb
"Apaan, sih, kalian ini?" tegurku, teguran yang lemah karena aku tak bisa menyembunyikan senyuman di bibirku. Wajahku pun panas. "Eciee, Mbak Shanna yang galak tersipu-sipu," ledek Dida. "Mbak Shanna yang suka ngomel blushing, pemirsa," tambah Disa. "Mbak Shanna langsung klepek-klepek saat ditanya tentang Mas Yudistira," pungkas Desi, melengkapi ledekan sekaligus ejekan mereka padaku. Seraya bertambah besar, ketiga adikku semakin pintar berolok-olok. Dulu mereka biasanya marah atau ngambek kalau kugoda, sekarang mereka pintar menggoda balik dengan lebih sadis. Duh, adik siapa sih ini? "Nanya kok aneh-aneh gitu sih. Terus apa tadi? Mas Yudis kalian bilang mirip sama Sule? Memangnya suamiku susu kedele? Kalau Mas Yudis marah, baru tahu rasa kalian nanti," gertakku, padahal aku tahu, Yudis nggak mungkin marah cuma karena dibilang mukanya mirip sang komedian. Habisnya aku bingung mesti menjawab bagaimana. Kan nggak lucu saat seorang perempuan ditanya, apakah ia mencintai suaminya, da
"Yud, selesai kursus aku mau ke rumah Ibu, ya. Aku dengar dari Disa Ibu lagi sakit," tuturku sedikit gugup. Aku mengaduk-aduk makanan di hadapanku dengan gelisah. Siang itu kami makan di restoran resort. Sebenarnya Yudistira bukan suami yang sulit, dia pasti mau memahami jika ada situasi tak terduga. "Keluargamu adalah keluargaku sekarang. Jika ada masalah di rumah, segera bilang padaku," begitu ia mewanti-wanti agar dirinya dilibatkan jika keluargaku mengalami kesulitan. Saat aku ingin ke rumah orang tuaku, kami selalu pergi bersama. Masalahnya hari ini ada rapat direksi resort, dan Yudistira harus datang. Apakah aku akan diizinkan untuk pergi sendiri? Tadi pagi Disa mengirimiku pesan, mengabarkan kondisi Ibu sedang kurang sehat. Pikiranku langsung mengarah ke penyakit yang selama beberapa tahun ini muncul. "Jangan-jangan benjolannya makin parah," gumamku, tak luput dari pendengaran Yudistira. "Makan yang benar, Sha. Kasihan pak tani yang sudah capek-capek menanam," tegurnya, d
"Pak ... aku tak percaya Bapak seperti itu," kecamku dengan raut wajah mengeras. Gigiku bergemeretak, dan rahangku terkatup keras. Jika orang lain yang mengatakannya, aku mungkin tak akan percaya, tapi ini ayahku sendiri yang bicara. "Maaf, Nak. Bapak bukan orang tua yang baik," sesalnya dengan wajah tertunduk lesu. "Pak ... aarrkkh!!!" geramku kesal. "Bukankah Bapak sendiri yang selalu mengajarkan anak-anak untuk bekerja keras, belajar giat, berusaha sekuat tenaga, dan bukan mengejar hasil mudah, tapi dengan cara tak terpuji?" Suara hujan dan petir di malam itu membuat suasana hatiku semakin buruk, apalagi setelah mengetahui bahwa ayah yang selama ini kubanggakan, kujadikan panutan, ternyata bisa tergoda untuk melakukan tindakan yang tak pantas. "Aku kecewa sama Bapak," pungkasku, sebelum meninggalkan pria paruh baya itu sendirian. Batinku terlalu lelah, tak siap menerima fakta konyol ini. "Shanna." Ibu sempat memanggilku, ketika ia masuk ke ruang tamu tempat aku dan Bapak bi
Sebaik apapun manusia, masih saja ada celah yang orang temukan untuk mencari kejelekan kita. Mereka bebas menilai orang lain sesuka hati, tak peduli itu benar atau salah. Dulu sewaktu aku masih sekolah hingga kuliah, penampilanku seadanya, sesuai budget seorang anak yang masih minta uang jajan dari orang tua. Penilaian orang cenderung positif. "Ashanna itu anaknya baik, ya, manis, sederhana, rajin," celetuk seseorang penuh pujian. "Iya, pintar pula. Sejak SMA sampai kuliah juga dia selalu dapat beasiswa," timpal yang lain menyetujui. Kurang lebih semacam itu komentar orang-orang, baik yang kudengar langsung ataupun dari teman yang melaporkan padaku. Bangga, dong, diriku mendapatkan banyak pujian. Sebagai anak sulung dari empat bersaudara dari keluarga sederhana, aku tahu biaya hidup dan sekolahku tidak murah. Ayahku hanya bekerja sebagai buruh pabrik, dan ibuku berjualan makanan. Mereka tak pernah mengeluh, selalu tampak gembira di depan anak-anak atau orang lain. Namun, suatu k
(Tiga tahun kemudian) "Tangkap, anak-anak!" "Ayo, Dik! Lari!" "Ahahaha! Kakak!!!" Teriakan dan jeritan tawa khas bocah yang sanggup memekakkan telinga, membuat suasana di halaman belakang rumah mertuaku begitu ramai. Berisik, sekaligus menghangatkan hati. Yudistira, suami yang amat kucintai, bermain tangkap bola dengan kedua anak kami, Dias dan Nara. Meskipun keduanya mewarisi wajah sang ayah, sifat mereka sangat berbeda. Nara pemberani, cerewet, dan berjiwa pemimpin, cocok banget dengan suasana hati yang kurasakan ketika aku hamil. Sedangkan Dias lebih tenang, dan mudah tersentuh, cocok juga dengan pembawaanku yang suka mewek saat mengandungnya. Kupandang mereka bertiga penuh sayang. "Lucu banget, ya, cucu-cucu Mama," celetuk ibu mertuaku yang tiba-tiba berdiri di sampingku. "Anak Mama lebih lucu, Ma," sahutku sambil cengengesan. Kan, suamiku memang lucu. Sesaat Mama Ani terbengong, lalu dia memukulku main-main. "Baguslah, kalau kamu masih menganggap anak Mama yang paling luc
"Selamat, Nak! Sudah lengkap sekarang, satu perempuan, satu laki-laki." "Selamat, ya, Yudistira dan Ashanna, anak kalian ganteng banget!" "Lucunya anak kalian!" Pujian semacam itu sering kudengarkan beberapa hari ini setelah si Cendol lahir ke dunia. Membanggakan memang, tetapi tak semua pujian membuatku senang. "Ya, ampun! Ini sih foto copy-an Yudistira." "Mirip banget dengan bapaknya." "Benar, mirip plek ketlipek-tiplek." Katanya anak perempuan lebih mirip ayahnya, sedangkan anak lelaki lebih mirip ibunya. Nah, sekarang aku punya dua anak, satu perempuan, satu laki-laki, mengapa nggak ada satu pun yang mirip aku? Mereka berdua mirip bapaknya, ibunya kebagian apa? Seakan-akan aku cuma dijadikan jalan lewat mereka lahir ke dunia. Aku mau nitipin bentuk hidung saja mereka menolak.Memang sih, hidung suamiku lebih mancung ketimbang hidungku, jadi sudah pasti hidung anak-anakku juga mancung. Hah!"Malah bagus kali, Sha. Nggak akan ada yang meragukan bahwa kamu punya anak sama Yudi
"Sayang, ini kabar bahagia, mengapa kamu bersedih?" Pertanyaan suamiku, meskipun disampaikan dengan suara yang lembut, malah membuatku semakin galau, hingga rasanya aku ingin menangis. Bagaimana aku tidak sedih, baru juga enam bulan lalu aku melahirkan, eh, aku sudah hamil lagi. Bukannya aku tidak senang, tetapi anak pertamaku masih kecil, ia masih butuh banyak perhatian dariku, aku bahkan berencana untuk memberikan ASI eksklusif untuk Nara paling tidak selama setahun. "Seorang ibu hamil bisa saja menyusui, tetapi itu juga tergantung kondisi sang ibu. Bila ibu sehat, tak menutup kemungkinan untuk tetap menyusui," kata dokter kandunganku memberiku sedikit harapan.Sayangnya, aku tidak termasuk ibu sehat itu. Kehamilan kedua, aku malah teler luar biasa. Bukan hanya mengalami morning sick, tubuhku rasanya sangat lemas hingga tak mampu melakukan banyak aktivitas. Dan lagi-lagi suamiku yang harus repot mengurus kebutuhanku, membantuku bila aku perlu makan, atau ke kamar mandi.Namun, yan
"Sakit banget, ya, Sayang?" suamiku bertanya dengan wajah penuh kecemasan.Hanya seulas senyum yang mampu kuberikan sebagai jawaban, karena kuyakin ekspresi wajahku saat ini sudah cukup menggambarkan apa yang kurasakan.Kata orang sakit bersalin tuh sakit banget, dan itu benar kurasakan, padahal ini barulah awal prosesnya. Perut melilit seperti saat sedang kebelet BAB, ada desakan yang kuat untuk mengeluarkan isi perut, tetapi sayangnya melahirkan tak semudah itu.Belum lagi kontraksi yang terjadi, mirip sekali dengan kram perut. Aku pernah membaca di internet bahwa rasa sakit persalinan itu setara dengan 20 tulang yang dipatahkan secara bersamaan. Dalam kasusku kayaknya 21 tulang yang patah, deh."Sha, kamu benar-benar sanggup melahirkan secara normal? Atau mau operasi saja?" tanya suamiku tiba-tiba.Kupalingkan mataku kepadanya, matanya berkaca-kaca. Aku tertawa lemah. "Yud, aku yang sakit, tapi mengapa kamu yang menangis?" aku balik bertanya. Kusentuh pipi pria yang kucintai itu.K
"Mbak, ini serius pilihanmu, Mbak? Asli, bukan Mbak Ashanna banget, lho." Ketiga adikku memandangku dengan tatapan penuh komplikasi, antara kagum, heran, dan sedikit tak percaya. Nada suara mereka terdengar mencemooh. "Unbelievable! Cantik, sih, cantik ...," komentar Desi mengambang, masih belum sanggup menerima kenyataan. Selama ini aku memang suka tampil cantik, tapi kecenderungannya cantik yang anggun, elegan, bukan cantik ala ciwi-ciwi yang girly dan kemayu. Mengingat tema acara untuk wedding anniversary ketiga kami adalah pernikahan, sudah sewajarnya aku mengenakan gaun pernikahan. Namun, karena perutku yang semakin membesar, jalan bulan keenam gitu loh, aku tak bebas memakai sembarang baju, karena bentuk perutku yang seperti balon bisa terekspos. Berdasarkan rekomendasi dari ahli bridal yang sudah berpengalaman belasan tahun, aku dibantu untuk memperoleh gaun yang tepat. Pilihannya jatuh kepada gaun pengantin ala-ala princess berwarna putih cantik, dengan bagian rok merekah
"Gimana sih kokinya? Kenapa masakannya begini semua? Nggak asyik, ah!" gerutuku dengan wajah tidak senang. Ketiga adikku, terutama Desi yang menjadi koki utama, memandangku dengan wajah merengut. Mereka sebal, karena aku mencela makanan yang mereka buat. Iya, aku yang mengomel tadi, karena sedikit kecewa dengan hasil masakan mereka. "Ya sudahlah, Mbak, tinggal makan pun," gerutu Disa tak senang. "Nggak perlu protes, tinggal buka mulut, nyam nyam nyam, perut kenyang," timpal Desi. Dida pun menimpali, "Rempong bener, sih, Mbak Ashanna ini." "Habis gimana, dong? Kalian masak western food, katanya, makanan Italia, tapi kok semua mengandung keju begini?" Aku mempertegas alasanku memprotes mereka. "Namanya western food, Mbak, pakai keju. Kalau pakai cabai, brambang bawang, ya masakan Jawa. Kalau pakai andaliman masakan Batak. Sudah autentik itu," Desi berdalih lagi. "Lagian tuh makanannya mengandung kalsium tinggi. Bagus untuk pertumbuhan bayi dalam kandungan, sehat untuk bayinya Mbak
"Kamu nggak salah makan, Sha? Atau tadi di rumah sakit dokter nggak keliru nyuntik kamu serum kurang waras, 'kan?"Asyiknya Yudistira tuh kayak gini ini. Dia bisa saja langsung marah karena mendengar permintaanku yang aneh, tetapi ia malah bercanda. Mengejek memang, tapi main-main saja."Ngawur! Aku kan disuntik serum yang bikin bahagia," ucapku sambil senyum-senyum."Hah! Emang serum apaan?" tanyanya dengan nada mencemooh. Aku tertawa kecil. Sebenarnya Yudistira pasti cemburu gara-gara permintaanku yang aneh.Dengan wajah super serius aku menjawab, "Serum yang bikin bahagia? Serum ... ah sama kamu, hidup bersama kamu, punya anak dengan ....""Ahay!!!" seru Yudistira, kali ini ia kegirangan ditambah sedikit tersipu. Ah, kena juga gombalanku. Hihi."Terus tadi kamu bilang ingin menikah lagi tu, apa? Mau nikah sama siapa? Kamu mau poliandri?" Yudistira kembali bertanya menuntut penjelasan. Nah, kan! Mikirnya sudah aneh-aneh. Apalagi coba kalau bukan cemburu namanya?"Idih! Siapa juga ya
"Sudah delapan jam Ibu Fitri mengalami kontraksi, tetapi belum ada tanda-tanda bayinya akan lahir." Ucapan dokter tadi membuat kami cemas. Juna bilang sejak semalam istrinya telah merasakan kesakitan sebagai tanda akan melahirkan, mengingat usia kandungannya sudah melewati angka sembilan bulan. Namun, pagi ini berjam-jam Fitri telah mengalami kontraksi, tetapi si jabang bayi seperti belum rela meninggalkan perut ibunya. Duh, tak bisa kubayangkan, calon ibu ini pasti sudah menghabiskan banyak tenaga. Kalau seperti ini sudah bisa diperkirakan apa yang harus dilakukan terhadap Fitri dan bayinya. "Kami menyarankan untuk operasi saja, demi keselamatan ibu dan anak. Mohon segera diputuskan, Pak, agar Ibu tidak perlu menunggu terlalu lama," ungkap sang dokter kepada Mas Juna, menyatakan hal yang sama persis dengan perkiraan kami. Iparku berpikir di tengah kecemasan. Memang Fitri sendiri berharap ingin melahirkan secara normal, sudah sewajarnya wanita menginginkan metode ini saat bersalin
"Jangan pergi, Sayang! Aku nggak mau ditinggal. Please ...," rengekku sembari mencengkeram erat lengan suamiku.Yudistira menghentikan langkahnya. Ia sudah rapi, ganteng, wangi, dan siap berangkat kerja, tapi rasanya aku tak rela ditinggal di rumah sendiri.Semenjak hamil dan kerap mengalami morning sick, Yudistira, selaku bos dan suami, memberikanku cuti kehamilan tak terbatas waktu. Artinya aku bisa libur selama apapun aku mau, dan kembali kapanpun aku siap, tanpa resiko kena PHK, dan tetap mendapatkan gaji ... maksudnya gaji dari uang pribadi suamiku."Sayangku, Ashanna, kalau aku nggak pergi kerja, kita mau makan apa?" dalihnya agar aku membiarkannya pergi."Aku nggak butuh uang, Sayang, cukup cintamu. Cintamu saja untuk selamanya," ucapku romantis, dramatis, dan nylekutis. Suaraku bahkan terdengar kelewat manis, melebihi sakarin, aspartam dan biang gula manapun.Lagian bohong banget, dia nggak kerja sehari saja bingung mau makan apa? Hah! Kami liburan sebulan pun dia nggak akan b