Rinay dinikahi bukan karena cinta, tetapi karena desakan warga. Dia terpaksa menikah dengan Bagaskara, seorang pengawas proyek pembangunan irigasi di desanya. Bagas yang kesepian selama tinggal di desa tertarik kepada sang kembang desa. Dengan membubuhkan obat tidur ke dalam minuman, dia berhasil meniduri gadis itu. Warga menggerebek dan meminta pertanggungjawaban. Terpaksa Bagas menikahi Rinay, bukan karena cinta, tetapi untuk pemuas nafsu. Rinay ditinggalkan di desa begitu proyek selesai. Seminggu sekali dia datang untuk memuaskan nafsu. Tak lupa dia memberi obat anti hamil untuk melancarkan niat licik. Bagas menikah lagi di kota dengan putri Bosnya. Harta dan kedudukan adalah sasarannya. Sedangkan Rinay adalah pemuas nafsunya. Rinay memang gadis desa, lugu, polos, miskin, dan tak berpendidikan. Namun, dia tak diam saat harga dirinya dicabik-cabik. Dengan dukungan ibunya, wanita itu menuntut hak. Saat sang suami dan seluruh keluarganya menjelma menjadi musuh, Rinay berjuang sekuat daya. Memberikan balasan yang jauh lebih menyakitkan kepada Bagas dan seluruh keluarganya, adalah cita-cita yang harus diawujudkan, begitu tekatnya. Bagaimanakah perjuangan Rinay mengembalikan harga diri yang sudah tercabik-cabik? Bagaimanakah cara Rinay memberikan pembalasan buat suami dan keluarganya, hingga mereka merasakan luka parah, tapi tak berdarah? Ikuti di cerita ini, ya! Terima kasih. *****
View More“Terima kasih, Sayang! Kamu memang pandai memuaskan suami!” Bagas melemparkan tubuhnya di samping Rinay. Senyum penuh kepuasan tersungging di bibirnya.
“Harus, dong, Mas! Suami udah capek kerja, jauh-jauh pulang ke desa, masa enggak aku servis seistimewa mungkin, iyakan?” sahut Rinay tersenyum manja. Hatinya berbunga-bunga. Tangan gemulainya lalu menarik selimut yang teronggok di bagian kaki ranjang, lalu menutupi tubuh polos mereka berdua hingga sebatas dada.
“Tapi jangan lupa minum obatnya secara rutin, ya, Sayang!” Bagas menunjuk pil di atas nakas. Pil anti hamil yang sengaja dia bawa dari kota.
“Itu obat apa, sih, Mas?” tanya Rinay merubah posisi tidurnya. Wanita itu tidur miring menghadap ke arah Bagas.
“Itu vitamin biar rahim kamu subur! Biar cepat hamil. Mas pengen banget kita cepat-cepat punya anak Makanya kamu jangan pernah telat minumnya, ya! Dan satu lagi, jangan sampai Ibu atau Bapak tahu kalau kamu mengkonsumsi itu! Pokoknya siapapun tak boleh tahu, hem!” jawab Bagas sambil memainkan jemarinya di pipi Rinay. Sebuah kecupan kembali dia daratkan tepat di bibir ranum sang istri.
“Kenapa, sih, Mas? Kok pakai rahasia-rahasia segala?” Rinay lalu menenggelamkan kepalanya di dada Bagas.
“Mas malu, dong, Sayang! Nanti mereka berpikir, kok, mas ngebet banget pengen punya anak! Entar keluarga kamu tersinggung lagi, mengira mas enggak percaya akan kesuburan putri mereka, kan enggak enak!”
“Hem, begitu, ya, Mas?”
“Iya, Sayang.”
“Maaf, ya, Mas! Hingga hari ini, aku belum bisa bahagian Mas Bagas! Padahal kita udah nikah setengah tahun. Jujur aku juga pengen kayak teman-teman aku, Mas! Mereka malah dua bulan nikah langsung hamil. Malah si Ningsih, udah langsung hamil meski belum akad nikah. Aku malu, tau, sering diledekin gak pinter gituannya. Ada juga yang bilang Mas Bagas enggak top cer, kan aku panas juga, Mas,” adu Rinay seraya memainkan jemari di dada sang suami.
“Ya, makanya! Rajin minum vitaminnya, ya! Itu, udah Mas beli untuk sebulan.”
“Baik, suamiku, hehehe ….”
“Pinter!” Bagas memeluk erat tubuh sang istri.
“Mas, sebenarnya ada yang ingin aku sampaikan. Bapak sama Ibu yang nyuruh. Boleh, ya, Mas?” tanya Rinay dengan hati-hati.
“Tentang apa, Sayang? Bilang saja, Mas akan mendengarkan.”
“Eeem, tapi, janji, ya! Mas enggak akan marah?”
“Janji, bilang saja!”
“Sebenarnya aku takut, sih, ngomong ini ke Mas Bagas.”
“Eem, apakah Bapak dan Ibu minta tambahan uang mingguan yang Mas kasih? Ya, udah, besok mas tambah, ya! Udah, jangan dipikirkan! Sekarang kita bobok, mas capek banget!” Bagas lalu melepas pelukannya.
“Bu-bukan tentang uang, Mas! Tapi … anu ….” gugup Rinay semakin gelisah.
“Anu apa, Nay? Ngomong saja!”
“Eeem, Bapak sama Ibu katanya risih mendengar omongan miring tetangga tentang kita, Mas.”
“Omongan miring bagaimana?” Bagas mengernyitkan dahi.
“Bapak sama Ibu malu, karena tetangga sering ngegosip kalau aku ini cuma istri simpanan Mas Bagas. Jangan-jangan Mas Bagas sebenarnya udah punya istri di kota. Buktinya sampai detik ini aku tak pernah Mas bawa ke rumah Mas di kota! Keluarga Mas juga tak pernah datang silaturahmi ke sini. Bapak sama Ibu juga gak pernah Mas ajak bersilaturahmi ke kota, ke rumah orang tua Mas Bagas.”
“Oooh, itu masalahnya!” Bagas lalu tertawa, tawa yang sangat dibuat buat. “Kalau masalah itu, kamu jangan khawatir, Sayang! Mas janji, begitu kamu hamil, mas akan bawa kamu ke kota, bilang sama Bapak dan Ibu, ya!” imbuhnya membelai lembut kepala Rinay. Itu untuk memberi sang istri rasa nyaman agar tak lagi menuntut yang macam-macam.
“Nunggu hamil dulu, ya, Mas?” tanya Rinay kian gelisah.
“Iya, dong, Sayang! Sekalian kita beri surprise buat keluargaku. Mama dan Papa udah enggak sabar ingin menimang cucu. Mereka pasti sangat bahagia bila kamu datang dengan kehamilan kamu, iyakan?” bujuk Bagas tak putus asa.
Rinay masih terdiam.
“Mas juga akan segera urus surat nikah kita, begitu kamu hamil. Kamu tentu pengen punya buku nikah kayak orang-orang, kan? Enggak cuma menyandang status istri siri? Dengar, asal kamu hamil, Mas akan mengurus semua itu. Mas janji,” imbuh Bagas lagi meyakinkan Rinay.
“Serius? Mas akan mengesahkan pernikahan kita? Kita akan sah di mata hukum dan negara tak hanya di mata agama?” tanya Rinay mulai terpedaya.
“Iya, Sayang! Kan, memang kamu istri sah aku. Mas juga sayang banget sama kamu! Makanya, kamu rajin mengkonsumsi obat penyubur rahim itu, ya! Biar harapan dan cita-cita kita segera terlaksana, hem?”
“Iya, Mas, terima kasih!” Wanita lugu itu memeluk suaminya dengan erat. Bahagia membuncah di dalam dada.
**
“Bagas sudah pulang lagi, kan? Kenapa kamu belum dia bawa juga ke kota?” tanya Rusni, ibu Rinay pagi ini.
“Kata Mas Bagas aku boleh, kok, ikut dia ke kota, tapi nanti, kalau aku sudah hamil. Kami akan memberi kejutan buat keluarganya. Orang tuanya pengen banget punya cucu. Mas Bagas juga janji akan mengurus surat nikah kami, agar terdaftar di negara,” jawab Rinay dengan wajah berbinar.
“Astaga, Rinay …! Artinya Bagas memang tak ingin membawa kamu! Laki-laki kurang aj*r! Dia cuma mau memanfatkanmu! Omongan tetangga itu benar! Bagas memperlakukan kamu itu tak lebih dari istri simpanan. Datang seminggu sekali untuk tidur sama kamu, lalu setelah puas di pergi lagi!” Rusni terlihat geram.
“Ibu, Mas Bagas bukan seperti itu! Dia cinta sama Rinay!”
“Bagaimana kalau kau tidak hamil-hamil?”
“Mas Bagas selalu membelikan aku vitamin penyubur rahim. Aku mengkonsumsinya dengan teratur, Bu!”
“Vitamin penyubur rahim?”
“Iya.”
“Mana, ibu mau lihat?”
Rinay tercekat, teringat pesan suaminya, bahwa siapapun tak boleh tahu tentang vitamin itu.
“Mana ibu liat!” Rusni makin memaksa.
Dengan terpaksa Rinay berjalan ke arah nakas, meraih lalu menunjukkan pil itu kepada sang Ibu.
“Ibu akan bawa pil ini ke rumah Bu Bidan, ibu mau nanya, apa betul ini obat biar cepat hamil!” Rusni buru-buru keluar dari kamar Rinay.
*
“Ini bukan vitamin penguat rahim, tapi anti hamil!”
Kalimat Bidan Elsa mengejutkan Rusni dan Rinay.
“Tuh, kan, dugaanku benar! Rinay … kau telah dibodohi laki-laki itu!” Emosi Rusni langsung tersulut. Rinay memucat.
“Apakah kalian sengaja menunda punya anak, Nay?” tanya Bidan Elsa hati hati.
“Ti-tidak, kok! Saya dan Mas Bagas malah sangat ingin cepat-cepat memiliki momongan,” urai Rinay membuat kedua alis sang bidan saling bertaut.
“Jangan bodoh, Rinay! Kau sudah tertipu! Kalau memang benar dia pengen cepat punya anak kenapa dia suruh kau minum obat anti hamil?” sergah Rusni dengan wajah merah padam.
“Mas Bagas enggak mungkin melakukan itu, Bu.” Rinay menunduk.
“Eeeh, enggak usah kau bela suamimu itu!” Rusni mendelik tajam.
“Enggak mungkin Mas Bagas begitu, Bu. Ibu berprasangka buruk terus sama Mas Bagas. Ya, sudah, biar aku telpon sekarang. Biar Mas Bagas yang jelaskan!” Rinay mulai terisak. Sakit hatinya kalau sang suami selalu dicurigai oleh semua orang.
“Ya, sudah, cepat kau telpon! Ibu juga udah enggak sabar pengen memaki-maki dia! Enggak terima ibu kalau kau dia sembunyikan terus di sini! Malu Bapak sama ibu mendengar cemooh tetangga!”
Rinay mengeluarkan ponsel dari dalam saku rok panjangnya. Menekan nomor Bagas lalu menempelkan benda itu di dekat telinga. Seperti biasa, panggilannya tak pernah tersambung bila Bagas sudah kembali ke kota. Entah mengapa, sepertinya Bagas sengaja memblokir nomornya.
“Kenapa? Enggak nyambung, kan? Kenapa coba, kau tak pernah bisa menghubungi dia bila dia sudah pulang ke kota, ha? Kau tau alasannya? Jelaskan sama Ibu!” cecar Rusni semakin emosi.
Sakit hati Rinay karena suaminya selalu dicurigai, namun jauh lebih sakit hati sang ibu karena menyadari anaknya telah dipermainkan oleh orang kota itu.
“Cukup, Rinay! Cukup sudah, sekarang juga tetapkan di hatimu, kalau kau harus minta pisah! Paham kau!?” pungkasnya dengan suara bergetar.
“Tidak, aku enggak mau pisah sama Mas Bagas, Ibu! Kami saling cinta! Mas Bagas mencintai aku, enggak benar kalau dia macam-mcam sama aku, Bu!” sergah Rinay mulai berlinang air mata.
“Jangan bodoh, Rinay! Kau telah dipermainkan!”
“Tidak, Bu! Tidak mungkin!”
“Rinay!”
“Tolong, Bu! Jangan suruh aku pisah dengan Mas Bagas! Beri aku kesempatan untuk membuktikan kalau Mas Bagas bukan seperti yang Ibu tuduhkan! Aku akan segera hamil! Setelah hamil kita lihat, apakah Mas Bagas benar membuktikan janjinya untuk membawa aku ke kota atau tidak!” Rinay bersimpuh di kaki Rusni, memohon sambil memeluk kaki sang ibu.
“Kau … ah, Rinay, kenapa kau senaif ini? Kau masih percaya Bagas akan membawamu ke rumah orang tuanya bila kau hamil? Setelah dia menipumu dengan pil anti hamil itu?” Rusni mengguncang bahu Rinay penuh kecewa.
“Aku yakin Mas Bagas tak sengaja, Bu! Mas Bagas gak mungkin menipu aku. Mas Bagas sngat mencintai aku.”
“Kau sudah dibutakan oleh cinta! Kau bodoh! Ibu kecewa sama kau, Rinay!” Rusni mendorong kasar tubuh putrinya hingga terjerembab ke lantai.
“Sabar, Bu Rusni!” Bidan Elsa segera menengahi. Segera dia bantu Rinay bangkit, lalu membimbingnya duduk di sebuah kursi pasien.
“Enggak ada salahnya kita coba penuhi permintaan Rinay. Mungkin memang suaminya khilaf. Tak mungkin seorang suami tega membohongi istrinya dalam hal seperti ini. Saya akan resepkan vitamin agar Rinay cepat hamil. Ibu setuju?” Bidan Elsa memberi saran.
Rusni terdiam lama.
“Boleh, ya, Bu? Aku akan buktikan sama Ibu dan semua warga di kampung ini, kalau Mas Bagas bukan seperti yang kalian tuduhkan! Beri aku kesempatan untuk itu, Bu!” Rinay memelas.
Rusni menghela nafas berat. Pikirannya berkecamuk. “Bagaimana kalau setelah kamu hamil, ternyata Bagas ingkar janji lagi?” tanyanya dengan tatapan gundah.
“Gak mungkin, Bu! Aku percaya sepenuhnya pada Mas Bagas! Aku akan buktikan itu kepada Ibu! Beri aku kesempatan untuk membuktikan ini, Bu! Tolong bilang juga sama Bapak!” lirih Rinay memelas.
“Baiklah, kau konsumsi vitamin dari Bidan Elsa secara diam-diam! Jangan bilang sama suamimu, kau bisa?”
“Baik, Bu. Terima kasih!” Rinay semringah. Bidan Elsa segera meresepkan vitamin penyubur rahim yang sesungguhnya.
*****
Bersambung
*****“Rindi … Rin … Rindi ….” Rinay memanggil. Bocah dua tahun itu tak ada di kamarnya. Harusnya dia tidur siang di jam seperti ini. Di kamar anak-anak hanya ada Deo sedang tertidur pulas.“Ning, Rindi mana?” teriak Rinay sambil berjalan menuju dapur.“Enggak ada di kamarnya, ya, Bu? Palingan main di halaman depan, seperti biasa,” jawab Ningrung sambil mencuci piring di samping meja kompor.“Loh, kan ini jam tidur siang anak-anak, Ning? Kenapa dibiarin main?”“Non Rindi selalu terbangun di jam seperti ini, Bu! Dia udah kenyang tidur siang, kok!”“Terus, dia main sendiri di halaman depan, begitu? Enggak ada yang mengawasi?”“Biasanya juga enggak lama, Bu. Bentar lagi juga balik. Dia marah kalau saya ikutin. Katanya dia mau main sendiri. Lagian di depan kan ada penjaga dan satpam.”“Lain kali, tolong jangan biarkan anak anak main sendiri! Meskipun ada penjaga di depan!”“Baik, Bu! Saya akan susul Non Rindi!”“Enggak usah, biar saya susulin sendiri!”***“Ooom …. Oooom …!” Seorang
*****“Bapak … saya … saya tidak percaya ini?” lirih Rinay kembali menundukkan wajah basahnya.Aldo kembali meraih dagu wanita itu, membawanya tengadah, lalu mengikis jarak di antara mereka. Embusan napas keduanya saling menerpa wajah masing masing. Betapa Rinay ingin menunduk, namun tak bisa lagi karena Aldo menahannya.Tak ada yang bisa dia lakukan selain memejamkan mata, saat wajah Aldo kian mendekat, hingga tak ada lagi jarak. Sebuah kecupan lembut mendarat di keningnya. Sentuhan paling lembut yang pernah dia terima. Bahkan Bagas tak pernah seperti ini caranya. Sentuhan sang manta suami selama ini teramat brutal, selalu membabi buta mengacak acak setiap senti kulit wajahnya.“Aku mencintaimu, Rinay! Tolong terima aku dan anakku! Kumohon,” pinta Aldo berbisik lembut di dekat telinganya.Tak ada penolakan, tak ada gelengan kepala. Namun, Rinay juga tak sanggup meski sekedar untuk mengangguk. Aldo telah menyatukan mulut dan bibir mereka.Wanita yang tengah hamil tiga belas mingg
*****Aldo pulang lebih awal sore ini. Keputusan Hendrawan yang akan memecat Bagas dan memaksa pria itu menceraikan Tatiana sangat mengganggu pikirannya. Bagas pasti akan marah dan bis saja melampiaskannya kepada Rinay. Tatiana juga sama. Dengan status jandanya dia pasti akan datang mengacau kehidupan Aldo selanjutnya. Semua itu akan berdampak pada Rinay. Wanita itulah yang akan menjadi sasaran mereka selanjutnya.“Rinay di mana?” tanyanya begitu memasuki rumah, Bik Yuni yang menyambutnya.“Di kamar Den Deo, Pak,” jawab Bik Yuni seraya meraih tas kerja sang majikan.“Ya, saya akan langsung menemuinya!” Aldo menuju tangga. Itu membuat Bik Yuni gelisah.“Maaf, Pak. Saya duluan, ya!” pamit seraya berjalan cepat menapaki anak tangga. Sikapnya yang gelisah dan buru-buru sempat membuat Aldo curiga, namun dia urung menegurnya. Dengan langkah tenang dia mengikuti Bik Yuni. Langkahnya terhenti di ambang pintu kamar putranya.“Nay …! Bangun! Bapak Datang! Nay …! Nanti Bapak marah, kalau nge
“Anda … pasti berbohong!” Hendrawan menatap Aldo dengan tajam.“Saya tidak bohong, sebenarnya saya tak ingin mengatakan hal ini kepada Om. Saya berharap Om akan mengetahui sendiri nanti, tapi tidak dari mulut saya. Nyatanya Om membuat saya emosi. Maaf, Om harus mendengar informai tak enak ini,” tutur Aldo dengan nada rendah. Betapa dia khawatir sekarang, dia takut Hendrawan kenapa-napa.“Jadi, perempuan kampung itu ada di kota ini? Peremupan licik, murahan, tak tau malu! Buat apa dia mengejar Bagas ke sini? Baik, aku akan mengembalikannya ke kampung sana dengan caraku! Tapi, kenapa Bagas dan Tatiana merahasiakan ini dariku?” Hendrawan yang awalnya emosi, berubah sayu. Dengan tatapan menerawang dia lalu mendesah berat.“Om mengenal Rinay?” tanya Aldo kebingungan.“Bagaimana dia bisa hamil, bukankah Bagas sudah menalak dia begitu proyek irigasi itu selesai waktu itu? Lalu, Bagas meninggalkannya di kampung sana. Bagas juga berjanji tak akan pernah tidur dengan perempuan itu. Tapi, ke
“Masuk, Om!” sapa Aldo langsung bangkit dan keluar dari mejanya. Pria itu berjalan menyongsong Hendrawan.“Apa kabar, Om?” tanya Aldo lalu mengulurkan tangan hendak menyalam pria yang sebaya dengan papanya itu. Namun, tangannya mengambang di udara. Hendrawan tak mau menerima uluran tangannya.“Nih, Lihat!” Hendrawan melemparkan dua lembar kertas foto di lantai, tepat di kaki Aldo.“Ini hasil perbuatan Anda, bukan? Anda puas?” bentaknya menunjuk wajah Aldo.“I-ini, ini apa, Om?” Aldo terkejut. Pelan dia berjongkok, lalu meraih kedua foto itu. Gambar sebuah mobil yang sudah remuk terlihat di foto itu. Sesaat Aldo berfikir dn mencoba mengingat, dia seperti mengenal mobil itu. Tetapi lupa, di mana dan mobil siapa.“Oh, ini … mobil Pak Bagas. Ya, saya ingat sekarang, ini mobil Pak Bagas,” ucap Aldo kemudian. Kini dia paham, apa maksud kedatangan Hendrawan. Pasti untuk menuntut dirinya, karena anak buah Aldo yang telah menghancurkan mobil itu.“Apa maksud Anda melakukan ini, Pak
“Lepaskan saya, Pak?” kata Rinay setelah semua penyerang bar-bar itu diusir paksa oleh anggota Aldo.“Oh, iya, maaf! Kamu baik-baik saja?” Aldo spontan melepas pelukannya.“Hem, terima kasih. Untung Bapak datang, dari tadi saya mengetuk pintu kamar, tapi Bapak tidak bukakan,” lirih Rinay mengusap pergelangan tanganya yang memar karena bekas cekalan paman Maya tadi.“Aku tidak mendengar, bukan tidak mau membukakan. Aku terbangun justru karena mendengar tangis Deo. Astaga, itu artinya Deo yang menyelamatkanmu, Rinay!” Aldo bagai tersadar.“Begitukah? Bapak terbangun karena mendnegar tangisnya, itu artinya ikatan batin di antar kalian begitu kuat, Pak.”“Sepertinya dia sengaja membangunkanku, karena pengasuh yang sangat dia sayangi dalam bahaya.”“Oh.”“Hem. Kamu mungkin tidak sadar, ikatan batin justru terjalin antara kau dan Deo. Bukan dengan Maya.” Aldo menatap Rinay dengan lekat.Rinay menunduk. “Maaf, saya pamit ke kamar Den Deo. Permisi, Pak!” pamitnya merasa jengah.“Ya, Bik Yuni
“Permisi, Pak, maaf, Bapak udah bangun kah?” ulang Rinay mengetuk pintu dengan lebih keras. Dadanya berdebaran, menanti reaksi dari sang majikan. Dia juga mencoba menajamkan pendengaran, berharap ada gerakan dari dalam yang mendekat ke arah pintu kamar.“Hem, sepertinya Pak Aldo masih lelap banget, Nay! Bagaimana ini, ya, tamu dari kampung itu sudah tak sabar.“ Bik Yuni makin gelisah.“Lalu, aku harus bagaimana, Bik? Kalau aku turun, aku takut mereka mengeroyok aku. Kalau aku enggak hamil, aku enggak takut. Tapi, kalau hamil begini, aku takut mereka menyakiti perutku.” Rinay tak kalah.“Eh, ini orangnya, Paman! Ini yang sudah merusak rumah tanggaku, Seret dia keluar dari rumah ini, Paman!”Rinay dan Bik Yuni terperanjat kaget. Maya tiba-tiba sudah berdiri di ujung tangga. Tiga orang pria dewasa mendampinginya. Mereka menatap Rinay penuh kebencian dan amarah yang berkobar.“Seret PELAKOR itu Paman! Campakkan saja ke bawah tangga itu!” perintah Maya menunjuk Rinay.Ketiga pria i
“Kamu …!” Aldo berdiri kaku melihat Maya di kamar utama. Netranya membulat sempurna. Sedikitpun tak percaya dengan pemandangan di depan matanya. Tangannya meraba di kening, memijit dengan kencang. Sakit karena kantuk belum hilaang dengan sempurna. Sakit karena hasrat sempat melanda, namun tak tuntas pelampiasannya.“Mas, masuklah! Kenapa mematung di situ? Deo sudah tak bersuara, kan? Dia sudah tenang. Kita lanjutkan permainan, ya? Msih tanggung yang tadi,” sambut Maya seraya mengukir senyum di bibirnya. Perempuan yang belum tak berbusana itu, masih menunggunya.“Kau …!” Aldo tercekat. Dia telan saliva dengan susah payah. Sedikitpun dia tak percaya apa yang Maya perbuat.“Sayang, masuk … sini!” kata Maya datang mendekat. Tubuh polosnya melangkah anggun di depan Aldo. Tubuh yang dulu sangat dikagumi oleh pria itu. Yang dia impi dan rindui setiap detik. Ciptakan dahaga namun tak pernah ada puas-puasnya. Bahkan teramat sering dia sengaja pulang dari kantor hanya untuk mengobati daha
“Nay, kenapa kamu turun? Udah selesai makannya?” Bik Yuni terkejut saat Rinay berjlan lemas ke arah dapur. Bik Yuni tengah membersihkan bekas memask bubur untuk Rinay tadi. Sementara Ningrum sudah masuk ke kamarnya.“Anu, Bik! Saya belum selesai makan sebenarnya. Baru juga beberapa sendok. Tapi, Bu Maya mengusir saya lagi.” Rinay menghenyakkan bokong di kursi kecil di dekat meja kompor.“Bu Maya? Dia naik lagi ke lantai atas?” Bik Yuni mengernyitkan dahinya dengan kencang.Bik Yuni tak habis pikir, kenapa sang Nyonya sebegitu bencinya kepada Rinay. Rinay salah apa, coba? Cemburu? Bukankah harusnya dia lebih cemburu kepada Ningrum? Jelas-jelas Ningrum masih gadis. Kenapa dia malah cemburu kepada Rinay?“Iya, Bik. Saya diusir. Saya tidak boleh tidur di kamar Den Deo. Bagaimana ini, ya? Bagaimana kalau tiba-tiba Den deo terbangun dan nyariin saya? Den Deo bisa mengamuk lagi. Pak Aldo bisa marah. Saya khawatir sekali, Bik.” Rinay meremas jari jemarinya sendiri. Mata cantik yang biasa b
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments