“Kamu yakin akan menyusul Bagas ke kota?” tanya Rusni saat Rinay mengemasi pakaiannya ke dalam sebuah tas berukuran sedang.
“Iya, Bu. Yakin banget,” sahut Rinay memaksa mengulas senyum. Wajah cantik tanpa polesan itu terlihat sedikit pucat. Namun, senyum tetap dia ulas di sana. Sengaja, agar sang bunda tidak mengkhawatirkannya.
“Baiklah, ibu akan mengantarmu,” usul Rusni bangkit dari duduknya. “Ibu akan ganti baju dulu,” lanjutnya seraya berjalan menuju kamar pribadinya, di sebelah kamar sang putri.
“Enggak usah, Ibu. Ibu suka mabuk kalau naik Bus, kan? Nanti Ibu muntah lagi di perjalanan. Ibu enggak usah ikut, Rinay enggak tega. Perjalanan ke Medan itu butuh waktu empat jam, lho, dari kampung kita ini. Biar Rinay berangkat sendiri saja, ya!” cegah Rinay berusaha menghalangi ibunya.
“Tapi, Ibu enggak tenang kalau kau berangkat sendiri, Nay! Bagaimana kalau terjadi apa-apa sama kamu, di sana nanti?” kata Rusni bimbang.
“Memangnya apa yang akan terjadi, Ibu? Rinay datang ke rumah suami Rinay, kan? Rinay datang dengan calon bayi di perut Rinay. Mas Bagas dan keluarganya akan menyambut Rinay dengan suka cita. Percayalah!” Rinay berusaha meyakinkan sang ibu, meski dia sendiri ragu. Tetapi dia harus bertindak sekarang, sampai kapan dia harus menunggu. Janin di perutnya akan makin besar saja. Rinay harus meminta kejelasan dari suaminya.
“Ibu harus ikut, pokoknya ibu harus ikut!” Rusni berkeras.
“Ibu, dengar! Rinay enggak mau Ibu menderita dalam perjalanan. Rinay janji, begitu Mas Bagas punya waktu, dia akan menjemput Ibu. Kalau naik mobil pribadi, dua jam setengah bisa kok ditempuh ke sini. Ibu pokonya tenang, dan sabar, ya!”
“Kamu yang enggak sabar menunggu Bagas datang! Buktinya kamu yang nekat nyusul dia ke kota!”
“Lha, kan Rinay mau ngsih kejutan sama mertua sekalian, hehehehe ….” Tawa terpaksa Rinay terdengar sumbang. Tapi Rusni tak bisa menghentikan tekat sang putri sekarang.
“Angkutannya udah mau berangkat itu, Nay! Jadi berangkat enggak? Itu udah Bapak minta berhenti di depan.” Sang ayah melongokkan kepala ke dalam kamar.
“Jadi, Pak. Bu, Rinay berangkat, ya! Doa-in, Rinay!” Buru-buru dia memeluk ibunya, mencium punggung tangan wanita itu dengan takzim, lalu berjalan ke luar kamar. Sang ayah membantu mengangkat tas pakaian menuju mobil pintu belakang, satu-satunya jenis alat transportasi penumpang di kampung itu.
Setelah mencium punggung tangan sang ayah, Rinay naik ke dalam angkutan. Melambaikan tangan pada ibunya yang sudah berdiri di teras rumah papan mereka.
**
“Ini, Kak! Jalan Bunga Encole nomor 125 A!” Supir Beca menepikan beca di depan sebuah rumah berpagar.
“Benar ini, ya, Bang?” tanya Rinay memastikan. Netranya memindai rumah yang terlihat dari celah besi pagar.
“Itu, tertulis di tembok nomor rumahnya, Kak. Nomor 125 A.” Supir Beca memastikan.
“Oh, iya. Terima kasih, ya, Bang! Ini ongkos saya.” Rinay menyerahkan selembar uang sepuluh ribu. Lalu bergerak turun.
“Sama-sama, Kak.”
Rinay termangu di depan gerbang yang terkunci rapat dari dalam. Semangat yang tadi berkobar-kobar seketika memudar. Sedikitpun dia tak membayangkan kalau rumah suaminya seperti yang terbentang di hadapan. Rumah megah di dalam sana terlihat sangat angkuh. Jangankan penghuni rumah, besi-besi kokoh pagar yang mengelilinginya pun, seolah menolak kedatangannya.
Rinay menunduk, menatap kaus lengan panjang dan rok lebar panjang yang melekat di tubuhnya. Memindai sandal murahan di kakinya, menoleh ke arah tas kain kumal yang tergeletak di dekatnya. Rinay merasa begitu minder sekarang.
Penampilannya persis seperti seorang gadis kampung yang hendak meminta pekerjaan sebagai buruh cuci di rumah mewah itu. Bukan sebagai seorang menantu yang datang membawa kabar akan kehadiran calon pewaris keluarga di rahimnya.
“Maaf, Kakak cari siapa?”
Rinay tersentak, seseorang menyapanya dari celah besi pagar. Seorang pria berseragam satpam.
“Eh, saya … saya ….”
“Tin … tiiin … tiiiiiin …!”
Sekali lagi Rinay tersentak, suara klakson mobil nan kencang seperti memekakkan gendang telinganya. repleks dia bergerak ke samping, sembari menyeret tas pakaian. Sang pengemudi mobil menurunkan kaca jendela. Seorang wanita cantik mendelik tajam ke arah Rinay.
“Eh, jangan ngemis di sini! Sono, di lampu merah! Ganggu, aja!” bentaknya kasar.
Rinay terperangah, siapa wanita cantik namun sangat angkuh itu?
“Bang Aman! Cepat buka gerbangnya …!” Kembali wanita itu berteriak tak sabar, kali ini meneriaki sang satpam.
Pintu pagar dibuka dari dalam. Mobil mewah itupun bergerak memasuki halaman.
“Kakak mau bertemu siapa? Kakak mau apa? Maaf, gerbangnya saya tutup lagi, ya! Non Tatiana itu judes orangnya, suka bentak-bentak. Maaf, ya, Kak!” Sang satpam bersiap menutup pintu gerbang kembali.
“Sebentar, Bang! Ini, saya mau nanya,” Rinay menghentikan pria berusia empat puluh tahunan itu.
“Iya, boleh, mau nanya apa? Kalau kerjaan, sepertinya tidak ada. Pembantu di rumah ini sudah lebih dari cukup. Maaf, ya, Kak!” Aman menangkupkan kedua tangan di depan dadanya.
“Bu-bukan, saya bukan mau nanya kerjaan, tapi, saya mau nanya, apakah benar ini rumahnya Mas Bagas?” akhirnya Rinay punya keberanian untuk menyebut nama itu.
“Bagas? Bagaskara?” Sang security mengernyitkan kedua netranya. Seolah tak percaya kalau wanita kampung di hadapan mengenal majikannya.
“Iya, Mas Bagaskara.”
“Benar, ini rumahnya. Kakak siapa? Kok, kenal dengan majikan saya?”
“Oh, kenalin, saya Rinay. Saya istrinya,” sahut Rinay mengulurkan tangan. Betapa dia merasa lebih bersemangat setelah Aman menyebut suaminya adalah majikan. Sebuah lengkungan terbentuk di kedua sudut bibirnya. Senyum ramah terbit di sana. Aku tidak akan bersikap angkuh kepada pekerja-pekerja suamiku, begitu tekatnya.
Aman terperangah, kedua bola matanya membulat sempurna. Dengan perasaan bingung, dia memindai penampilan Rinay dari ujung kaki hingga kepala. Tangan Rinay yang sudah terulur hendak menyalam dirinya, mengambang di udara.
“Kenapa Abang bengong begitu? Nama Abang Aman, ya? Bang Aman, Bang ….”
“Oh, i-iya. Maaf, Kakak … waduh, saya bingung mau bilang apa? Kakak sepertinya ngelantur. Sebaiknya Kakak pergi saja dari sini, sebelum Non Tatiana ngamuk. Pergi, ya! Sana pergi!” Aman mendorong tubuh Rinay dari depan gerbang, agar tak menghalangi saat dia menutup dan menguncinya dari dalam.
“Ini benar rumah Mas Bagas, kan? Saya istrinya! Saya baru datang dari desa! Jangan tutup gerbangnya! Saya mau masuk!” Rinay menerobos masuk, bahkan langsung berjalan menuju halaman rumah megah itu.
Aman berusaha menghentikannya, namun Rinay tetap memaksa. Keributan itu memancing penghuni rumah.
“Aman … ada apa itu?” Seorang wanita paruh baya berteriak dari teras. Wanita cantik yang bernama Tatiana ikut menyusul di belakangnya.
Rinay menarik nafas lega, ternyata dia tak salah alamat.
“Ma! Mama … lihat penjaga gerbang ini, dia ngelarang saya masuk, Ma!” serunya langsung berlari kecil ke arah teras sambil memanggul tasnya.
“Eh, pengemis itu lagi! Nekat, ya, nerobos masuk ke sini. Mama kenal dia?” tanya Tatiana heran.
“Dia … dia ….” Kalimat Rahayu menggantung, Rinay sudah berdiri di hadapan mereka. Sang security masih berusaha menghalangi.
“Assalamulaikum, Ma! Mama sehat?” sapa Rinay meletakkan tas di lantai, lalu meraih dan mencium punggung tangan wanita itu.
“Kamu … kamu, sama siapa ke sini?” Rahayu langsung menarik tangannya dari genggaman Rinay. “Kamu, langsung ke belakang, ayo! Langsung ke dapur!” perintahnya menarik tangan Rinay dengan kasar.
“Ma?” Rinay terkejut. Rahayu sepertinya tak menyukai kedatangannya. Cekalan tangan sang ibu mertua di lengan makin kencang, sebagai isyarat agar Rinay jangan bicara.
“Sebentar, Tian! Mama antar dulu dia ke dapur, ya! Dia ini … eeeh, nanti mama jelaskan, tunggu sebentar!” ucapnya menoleh sekali lagi kepada Tatiana.
“Eh, dia pembantu baru kah, Ma? Mama nambah pembantu, ya? Baguslah, suruh langsung ke kamar kami, dong! Mas Bagas tadi pagi ngeluh, katanya Bibik enggak bersih nyikat kamar mandi!” Tatiana langsung memberi tugas.
Rinay tersentak. Tatiana, siapa sebenarnya dia? Kenapa dia bilang kamar mereka bersama Mas Bagas? Dia … siapanya Mas Bagas? Kenapa mereka sekamar? Batin Rinay berkecamuk.
“Iya, Sayang, ini pembantu baru kita. Kamu masuk kamar saja, dia akan segera bersihkan kamar mandi kalian!”
“Ma?!” sergah Rinay bagai tersengat listrik ribuan volt. Repleks dia melepaskan cekalan tangan Rahayu di lengannya.
****
Bersambung
“Lho, kok, dia manggil ‘Ma’? Eh, Bik! Panggil dengan sebutan NYONYA! Kok pinter-pinteran manggil Ma! Gini, nih, kalau orang kampung baru masuk kota,” celetuk Tatiana ikut kaget.“Sabar, Sayang! Namanya juga masih adaptasi!” Rahayu menenangkan sang menantu sombong, sembari kembali mencekal dan menekan lengan Rinay dengan kencang.“Hem, ya, udah, lah, Ma! Ajarin dia etika seorang pembantu, jangan asal kepada majikan! Tian duluan, ya, mau istirahat di kamar.” Tatiana mendahului masuk. “Jangan lupa, suruh dia ke kamar kami, sikat lantai kamar mandi sampai bersih!” titahnya mengingatkan sekali lagi.“Iya, Sayang!” sahut Rahayu bernafas lega. “Eh, Rinaaaay …, kenapa kamu datang? Sama siapa kamu ke sini? Kok tahu kamu alamat rumah ini? Dapat alamat dari siapa kamu, ha?” cecarnya kemudian, sambil mengguncang-guncang lengan Rinay dengan kasar.“Sakit, Ma!” Rinay meringis dan berusaha melepas lagi cekalan di lengannya. Wajahnya memucat. Rasa kaget dan perlakuan Rahayu padanya membuatnya keh
Aman yang pura-pura membeli minuman buat Rinay terlihat celingukan. Dia menoleh ke kiri dan kanan jalan sekali lagi. Pria itu memastikan apakah sang Nyonya majikan tak akan mencurigai perbuatannya. Rasa iba yang tumbuh di hatinya melihat Rinay, membuatnya terpaksa nekat menelpon Bagas. “Hallo, Pak Bagas! Maaf, saya terpaksa nelpon Bapak penting!” sapa Aman begitu panggilannya dijawab oleh sang putra majikan. “Ada apa, Pak Aman?” Terdengar nada panik dari ujung sana. Itu suara Bagaskara. “Tolong Bapak pulang sekarang. Di rumah sedang ada masalah!” “Ada apa? Mama dan istri saya baik-baik saja, kan?” “Mereka baik, tapi ada satu lagi istri Bapak yang tidak baik. Eh, maksud saya, ada seorang perempuan kampung yang mengaku istri Bapak baru datang ke sini. Apa benar Bapak punya istri lain selain Nona Tatiana?” “Ma-maksud Pak Aman?” “Ini, Pak. Ada seorang perempuan kampung yang baru datang. Dia mengaku sebagai istri Bapak. Wajahnya pucat, kondisinya sangat memprihatinkan. Nyonya
“Kau jumpai dia di terminal! Kau bujuk dia agar menggugurkan kandungannya, paham!” perintah Rahayu kepada Bagas dengan suara agak berbisik. Namun, tetap terdengar oleh orang-orang di sekitarnya. Rinay tak lagi kaget mendengarnya. Sebuah garis tegas dia tarik di sudut bibir ranumnya. Senyum sinis terbentuk di sana. “Apa? Rinay hamil? Bagaimana bisa?” Terdengar nada panik dari suara Bagas di ujung telepon. Itu terdengar juga oleh Rinay. Rahayu memang sengaja mengaktifkan pengeras suara di ponsel itu. Tanpa pengeras suara, dia tak bisa mendengar suara lawan bicaranya jika melalui saluran telepon. “Kenapa kau nanya Mama? Kau yang meniduri perempuan kampung itu! Bukan Mama!” Tak sadar, Rahayu meninggikan suaranya karena terbakar emosi. “Iya, Ma. Tapi aku sudah memberi dia obat anti hamil. Kok, bisa … dia hamil, coba?” keluh Bagas. Kali ini Rinay tersentak kaget. Kalimat Bagas seperti petir menyambar gendang telinga. Salah dengarkah dia? Bukankah Bagas memberi dia obat penyubur rahi
“Baik, aku mau bukti! Dia harus mengugurkan kandungannya di depan mataku, lalu Mas Bagas harus talak dia, juga di depan mataku! Bawa perempuan ini masuk!” tegas Tatiana lalu melangkah pergi. “Begitu? Itu yang kau inginkan?” Rinay menghentikannya. “Kau berani berbicara padaku? Lihat dirimu! Apa pantas manusia rendah seperti kau berbicara dengan perempuan terhormat seperti aku, ha?” Tatiana berbalik, lalu mencengkram dagu Rinay dengan kasar. “Jangan pernah sentuh aku!” bentak Rinay menepis cengkraman di dagunya. “Jangan pernah kalian bermimpi bisa mengugurkan kandunganku! Aku bisa membesarkannya meski tanpa suami! Aku tak butuh laki-laki bangsat itu! Ambil dia untukmu!” “Aku tak butuh laki-laki bangsat itu! Ambil dia untukmu!” ketus Rinay langsung beranjak pergi. Tas kain miliknya tak lupa dia ambil dulu di dekat gerbang. “Mau ke mana kau?” Tatiana menyambar tangannya. “Kau pikir, kau bisa keluar dari rumah ini begitu saja, setelah aku tahu kau mengandung anak suamiku, ha? Si
Dengan tangan gemetar, Bagas memutar anak kunci. Dia menguakkan daun pintu sedikit, lalu menyusup masuk. Dadanya berdebar hebat, saat netranya menemukan tubuh yang teronggok di sudut gudang.“Nay, Sayang …,” lirihnya memanggil nama wanita itu sambil berjalan cepat ke arah sudut. “Sayang, kamu baik-baik saja?” tanyanya menempelkan punggung tangan di kening sang wanita.“Kenapa menyusul ke sini? Apa benar kamu hamil, Sayang? Nay …,” bisiknya seraya memeluk sang istri.“Lepaskan aku, ba … jingan!” Dengan gerakan pelan, Rinay mendorong dada Bagas. Masih ada sisa tenaga yang dia punya. Bik Lastri tadi sempat memberinya segelas minuman hangat tadi.“Jangan sentuh aku! Mulai sekarang, haram tanganmu menyentuh tubuhku!” ancamnya dengan suara serak.“Jangan bicara begitu, Nay! Mas sayang sama kamu! Dengar, nanti Bik Lastri akan memberi kamu ramuan, kamu minum, ya! Biar cepat kuat dan pulih. Setelah kamu kuat, Mas akan mengantarkanmu pulang. Kamu tunggu di desa, Sayang! Seperti biasa. Ingat,
“Aku tidak ada maksud begitu! Aku hanya tidak tega melenyapkan darah dagingku sendiri! Aku tidak mau menjadi pembunuh! Sedikitpun aku tak peduli padamu!” lirih Rinay menurunkan volume suaranya. Air mata mulai berlinang di kedu pipi. Putus asa, dia mulai kehilangan semangat.“Begini saja, kalau kau memang tak ingin kehilangan janinmu, kau ikuti saranku! Kau pulang ke desa, pura-pura tak terjadi apa-apa di sini! Jangan pernah datang ke sini, cukup aku saja yang datang seminggu sekali ke desamu, seperti bisanya, kau mau?”“Tidak!”“Kenapa? Apa masalahnya bagimu, coba? Toh, aku tetap memberi kau dan juga keluargamu jatah belanja tiap minggu? Itu sebenarnya yang kau dan keluargamu inginkan, kan? Uang, kan? Apakah orang tuamu merasa kurang? Ok, aku akan tambah dua kali lipat. Bagaimana?”“Aku tidak mau! Dari tadi aku sudah bilang kalau aku tidak mau menjadi istrimu lagi! Aku jijik padamu, Tuan Bagas! Aku jijik pada senjatamu yang kau celup sana sini itu! Perutku mual bila ingat ternyata
“Kamu harus mengumpulkan tenaga dulu, biar kuat lari sebentar lagi. Biasanya jam lima sore, Nyonya mandi. Kira-kira setengah jam lagi. Non Tatiana biasanya asik nonton drama korea di kamarnya. Gunakan kesempatan itu untuk lari! Bibik ambil minum dan makanan buat kamu, ya! Biar kamu bertenaga dan kuat untuk lari,” tutur Bik Lastri mengembalikan semangat hidup Rinay. Perempuan itu lalu bangkit, kemudian berjalan menuju dapur. Menuangkan segelas air hangat ke dalam gelas, membubuhkan dua sendok gula putih ke dalamnya. Setelah mengaduk hingga gula hancur, dia meraih dua potong roti di atas meja dapur. Segera dia membawanya kembali ke dalam gudang. Rinay masih terkulai lemas di lantai gudang yang dingin dan kotor. Kepalanya terasa begitu berat, pandangannya berkunang-kunang. Wanita itu tak sanggup untuk duduk menegakkan tubuh, apalagi untuk berdiri. Tenaganya sudah terkuras habis karena berusaha melawan tadi. “Nduk, ayo, minum dan isi perut kamu sedikit, biar ada tenaga!” Bik Lastr
“Tidak, Bik! Aku enggak tega melihat wajah kecewa Bapak sama Ibuku, bila aku pulang ke kampung dengan situasi seperti ini. Aku kabur dari rumah suamiku, karena sumiku tak menerimaku. Tak menerima janin di perutku. Bagaimana aku bisa mengatakan hal ini kepada Bapak dan Ibu. Bagaimana caraku menjelaskan kalau ternyata suamiku sudah punya istri baru di kota ini, wanita pilihan orang tuanya, sedangkan aku dibuang begitu saja. Aku enggak tega, Bik!” “Iya, tapi kamu bisa apa? Kita ini orang miskin, lemah, enggak punya kekuatan apa-apa! Ingat, Nduk! Kita cuma bisa nerima kenyataan! Manut pada nasip yang sudah ditetapkan oleh Allah buat kita yang lemah dan miskin ini!” “Tidak, Bik! Aku yakin, Allah juga tidak mau melihat aku diinjak-injak seperti ini. Dia juga pasti ingin aku bangkit.” “Buktinya kita dia ciptakan menjadi manusia miskin, Nduk!” “Aku memang miskin, aku perempuan kampung yang sempat tertipu mulut manis laki-laki kaya tapi licik itu. Tetapi, aku bukan perempuan bodoh yang h
*****“Rindi … Rin … Rindi ….” Rinay memanggil. Bocah dua tahun itu tak ada di kamarnya. Harusnya dia tidur siang di jam seperti ini. Di kamar anak-anak hanya ada Deo sedang tertidur pulas.“Ning, Rindi mana?” teriak Rinay sambil berjalan menuju dapur.“Enggak ada di kamarnya, ya, Bu? Palingan main di halaman depan, seperti biasa,” jawab Ningrung sambil mencuci piring di samping meja kompor.“Loh, kan ini jam tidur siang anak-anak, Ning? Kenapa dibiarin main?”“Non Rindi selalu terbangun di jam seperti ini, Bu! Dia udah kenyang tidur siang, kok!”“Terus, dia main sendiri di halaman depan, begitu? Enggak ada yang mengawasi?”“Biasanya juga enggak lama, Bu. Bentar lagi juga balik. Dia marah kalau saya ikutin. Katanya dia mau main sendiri. Lagian di depan kan ada penjaga dan satpam.”“Lain kali, tolong jangan biarkan anak anak main sendiri! Meskipun ada penjaga di depan!”“Baik, Bu! Saya akan susul Non Rindi!”“Enggak usah, biar saya susulin sendiri!”***“Ooom …. Oooom …!” Seorang
*****“Bapak … saya … saya tidak percaya ini?” lirih Rinay kembali menundukkan wajah basahnya.Aldo kembali meraih dagu wanita itu, membawanya tengadah, lalu mengikis jarak di antara mereka. Embusan napas keduanya saling menerpa wajah masing masing. Betapa Rinay ingin menunduk, namun tak bisa lagi karena Aldo menahannya.Tak ada yang bisa dia lakukan selain memejamkan mata, saat wajah Aldo kian mendekat, hingga tak ada lagi jarak. Sebuah kecupan lembut mendarat di keningnya. Sentuhan paling lembut yang pernah dia terima. Bahkan Bagas tak pernah seperti ini caranya. Sentuhan sang manta suami selama ini teramat brutal, selalu membabi buta mengacak acak setiap senti kulit wajahnya.“Aku mencintaimu, Rinay! Tolong terima aku dan anakku! Kumohon,” pinta Aldo berbisik lembut di dekat telinganya.Tak ada penolakan, tak ada gelengan kepala. Namun, Rinay juga tak sanggup meski sekedar untuk mengangguk. Aldo telah menyatukan mulut dan bibir mereka.Wanita yang tengah hamil tiga belas mingg
*****Aldo pulang lebih awal sore ini. Keputusan Hendrawan yang akan memecat Bagas dan memaksa pria itu menceraikan Tatiana sangat mengganggu pikirannya. Bagas pasti akan marah dan bis saja melampiaskannya kepada Rinay. Tatiana juga sama. Dengan status jandanya dia pasti akan datang mengacau kehidupan Aldo selanjutnya. Semua itu akan berdampak pada Rinay. Wanita itulah yang akan menjadi sasaran mereka selanjutnya.“Rinay di mana?” tanyanya begitu memasuki rumah, Bik Yuni yang menyambutnya.“Di kamar Den Deo, Pak,” jawab Bik Yuni seraya meraih tas kerja sang majikan.“Ya, saya akan langsung menemuinya!” Aldo menuju tangga. Itu membuat Bik Yuni gelisah.“Maaf, Pak. Saya duluan, ya!” pamit seraya berjalan cepat menapaki anak tangga. Sikapnya yang gelisah dan buru-buru sempat membuat Aldo curiga, namun dia urung menegurnya. Dengan langkah tenang dia mengikuti Bik Yuni. Langkahnya terhenti di ambang pintu kamar putranya.“Nay …! Bangun! Bapak Datang! Nay …! Nanti Bapak marah, kalau nge
“Anda … pasti berbohong!” Hendrawan menatap Aldo dengan tajam.“Saya tidak bohong, sebenarnya saya tak ingin mengatakan hal ini kepada Om. Saya berharap Om akan mengetahui sendiri nanti, tapi tidak dari mulut saya. Nyatanya Om membuat saya emosi. Maaf, Om harus mendengar informai tak enak ini,” tutur Aldo dengan nada rendah. Betapa dia khawatir sekarang, dia takut Hendrawan kenapa-napa.“Jadi, perempuan kampung itu ada di kota ini? Peremupan licik, murahan, tak tau malu! Buat apa dia mengejar Bagas ke sini? Baik, aku akan mengembalikannya ke kampung sana dengan caraku! Tapi, kenapa Bagas dan Tatiana merahasiakan ini dariku?” Hendrawan yang awalnya emosi, berubah sayu. Dengan tatapan menerawang dia lalu mendesah berat.“Om mengenal Rinay?” tanya Aldo kebingungan.“Bagaimana dia bisa hamil, bukankah Bagas sudah menalak dia begitu proyek irigasi itu selesai waktu itu? Lalu, Bagas meninggalkannya di kampung sana. Bagas juga berjanji tak akan pernah tidur dengan perempuan itu. Tapi, ke
“Masuk, Om!” sapa Aldo langsung bangkit dan keluar dari mejanya. Pria itu berjalan menyongsong Hendrawan.“Apa kabar, Om?” tanya Aldo lalu mengulurkan tangan hendak menyalam pria yang sebaya dengan papanya itu. Namun, tangannya mengambang di udara. Hendrawan tak mau menerima uluran tangannya.“Nih, Lihat!” Hendrawan melemparkan dua lembar kertas foto di lantai, tepat di kaki Aldo.“Ini hasil perbuatan Anda, bukan? Anda puas?” bentaknya menunjuk wajah Aldo.“I-ini, ini apa, Om?” Aldo terkejut. Pelan dia berjongkok, lalu meraih kedua foto itu. Gambar sebuah mobil yang sudah remuk terlihat di foto itu. Sesaat Aldo berfikir dn mencoba mengingat, dia seperti mengenal mobil itu. Tetapi lupa, di mana dan mobil siapa.“Oh, ini … mobil Pak Bagas. Ya, saya ingat sekarang, ini mobil Pak Bagas,” ucap Aldo kemudian. Kini dia paham, apa maksud kedatangan Hendrawan. Pasti untuk menuntut dirinya, karena anak buah Aldo yang telah menghancurkan mobil itu.“Apa maksud Anda melakukan ini, Pak
“Lepaskan saya, Pak?” kata Rinay setelah semua penyerang bar-bar itu diusir paksa oleh anggota Aldo.“Oh, iya, maaf! Kamu baik-baik saja?” Aldo spontan melepas pelukannya.“Hem, terima kasih. Untung Bapak datang, dari tadi saya mengetuk pintu kamar, tapi Bapak tidak bukakan,” lirih Rinay mengusap pergelangan tanganya yang memar karena bekas cekalan paman Maya tadi.“Aku tidak mendengar, bukan tidak mau membukakan. Aku terbangun justru karena mendengar tangis Deo. Astaga, itu artinya Deo yang menyelamatkanmu, Rinay!” Aldo bagai tersadar.“Begitukah? Bapak terbangun karena mendnegar tangisnya, itu artinya ikatan batin di antar kalian begitu kuat, Pak.”“Sepertinya dia sengaja membangunkanku, karena pengasuh yang sangat dia sayangi dalam bahaya.”“Oh.”“Hem. Kamu mungkin tidak sadar, ikatan batin justru terjalin antara kau dan Deo. Bukan dengan Maya.” Aldo menatap Rinay dengan lekat.Rinay menunduk. “Maaf, saya pamit ke kamar Den Deo. Permisi, Pak!” pamitnya merasa jengah.“Ya, Bik Yuni
“Permisi, Pak, maaf, Bapak udah bangun kah?” ulang Rinay mengetuk pintu dengan lebih keras. Dadanya berdebaran, menanti reaksi dari sang majikan. Dia juga mencoba menajamkan pendengaran, berharap ada gerakan dari dalam yang mendekat ke arah pintu kamar.“Hem, sepertinya Pak Aldo masih lelap banget, Nay! Bagaimana ini, ya, tamu dari kampung itu sudah tak sabar.“ Bik Yuni makin gelisah.“Lalu, aku harus bagaimana, Bik? Kalau aku turun, aku takut mereka mengeroyok aku. Kalau aku enggak hamil, aku enggak takut. Tapi, kalau hamil begini, aku takut mereka menyakiti perutku.” Rinay tak kalah.“Eh, ini orangnya, Paman! Ini yang sudah merusak rumah tanggaku, Seret dia keluar dari rumah ini, Paman!”Rinay dan Bik Yuni terperanjat kaget. Maya tiba-tiba sudah berdiri di ujung tangga. Tiga orang pria dewasa mendampinginya. Mereka menatap Rinay penuh kebencian dan amarah yang berkobar.“Seret PELAKOR itu Paman! Campakkan saja ke bawah tangga itu!” perintah Maya menunjuk Rinay.Ketiga pria i
“Kamu …!” Aldo berdiri kaku melihat Maya di kamar utama. Netranya membulat sempurna. Sedikitpun tak percaya dengan pemandangan di depan matanya. Tangannya meraba di kening, memijit dengan kencang. Sakit karena kantuk belum hilaang dengan sempurna. Sakit karena hasrat sempat melanda, namun tak tuntas pelampiasannya.“Mas, masuklah! Kenapa mematung di situ? Deo sudah tak bersuara, kan? Dia sudah tenang. Kita lanjutkan permainan, ya? Msih tanggung yang tadi,” sambut Maya seraya mengukir senyum di bibirnya. Perempuan yang belum tak berbusana itu, masih menunggunya.“Kau …!” Aldo tercekat. Dia telan saliva dengan susah payah. Sedikitpun dia tak percaya apa yang Maya perbuat.“Sayang, masuk … sini!” kata Maya datang mendekat. Tubuh polosnya melangkah anggun di depan Aldo. Tubuh yang dulu sangat dikagumi oleh pria itu. Yang dia impi dan rindui setiap detik. Ciptakan dahaga namun tak pernah ada puas-puasnya. Bahkan teramat sering dia sengaja pulang dari kantor hanya untuk mengobati daha
“Nay, kenapa kamu turun? Udah selesai makannya?” Bik Yuni terkejut saat Rinay berjlan lemas ke arah dapur. Bik Yuni tengah membersihkan bekas memask bubur untuk Rinay tadi. Sementara Ningrum sudah masuk ke kamarnya.“Anu, Bik! Saya belum selesai makan sebenarnya. Baru juga beberapa sendok. Tapi, Bu Maya mengusir saya lagi.” Rinay menghenyakkan bokong di kursi kecil di dekat meja kompor.“Bu Maya? Dia naik lagi ke lantai atas?” Bik Yuni mengernyitkan dahinya dengan kencang.Bik Yuni tak habis pikir, kenapa sang Nyonya sebegitu bencinya kepada Rinay. Rinay salah apa, coba? Cemburu? Bukankah harusnya dia lebih cemburu kepada Ningrum? Jelas-jelas Ningrum masih gadis. Kenapa dia malah cemburu kepada Rinay?“Iya, Bik. Saya diusir. Saya tidak boleh tidur di kamar Den Deo. Bagaimana ini, ya? Bagaimana kalau tiba-tiba Den deo terbangun dan nyariin saya? Den Deo bisa mengamuk lagi. Pak Aldo bisa marah. Saya khawatir sekali, Bik.” Rinay meremas jari jemarinya sendiri. Mata cantik yang biasa b