"Sha, mulai besok kamu jangan ngajar si Kim Jong Un lagi," ucap Yudistira tiba-tiba. Aku meletakkan buku yang tengah kubaca seraya menatap pria itu tak percaya. Yudistira mendadak aneh.
"Kenapa, Yud? Ada masalah? Namanya Kim Jong In, ya, bukan Kim Jong Un."
Kan ... nama orangnya saja sampai diganti sama dia.
"Kim itu nggak baik, Sha. Berbahaya," alasannya terlalu dibuat-buat. Mulai provokatif nih orang.
"Berbahaya bagaimana? Kalau Jong In memang membahayakan, laporkan ke polisi, keluarkan dari tempat kursus." Sedikit kesal aku menanggapi Yudistira yang mengeluh manja.
"Ya, nggak bisa gitu juga ...," Yudis ngedumel tidak jelas. Aku tak paham apa maunya, apalagi terkesan ia egois dan memaksakan kehendaknya yang tidak masuk akal.
Aku memutuskan untuk kembali membaca novelku, walau mood-ku sudah mulai terganggu. Kupikir Yudis sudah melupakan permintaannya yang kekanakan, sampai akhirnya ia mengucapkan kalimat yang membuatku sangat sebal.
"Sha, kamu jadi ibu rumah tangga saja, ya, di rumah, nggak usah kerja lagi."
"What???"
***
Yudistira mendirikan YAIC empat tahun lalu. Kala itu ia masih berumur dua puluh dua tahun. Pria itu tidak pernah kuliah, ia mengambil pendidikan SMK jurusan perhotelan karena ayahnya memiliki resort. Selebihnya ia hanya mengikuti kursus, dan belajar langsung dari ahlinya atau autodidak.
Dengan meningkatnya jumlah wisatawan asing di Jogja, Yudistira melihat kebutuhan edukasi bahasa bagi para wisatawan itu untuk keperluan komunikasi. Memang kebanyakan turis yang datang ke Jogja hanya untuk berwisata, tapi tak sedikit pula yang tertarik dengan budaya lokal, serta mulai menyukai Indonesia.
Yudis yang sudah cas cis cus berbahasa Inggris, dari kursus dan ngobrol langsung dengan tamu-tamu resort, mendapatkan ide untuk mendirikan tempat kursus bahasa Indonesia untuk para wisatawan asing.
"Pa, kalau kubuat tempat kursus bahasa Indonesia di sini kayaknya potensial, ya, Pa," ujarnya kepada sang ayah kala itu.
"Boleh juga itu," sahut Pak Pandu mendukung sepenuhnya keinginan sang anak yang sama-sama berjiwa bisnis.
Ada dua orang teman yang diajak Yudistira untuk menjadi pengajar, dan sekarang sudah ada sepuluh orang pengajar, termasuk aku. Pak Pandu sangat mendukung, bahkan menyediakan tempat di area resort untuk mendirikan tempat kursus. Ia juga berpikir YAIC akan menambah daya tarik tersendiri bagi Pandawa Resort.
Yudistira sendiri mengiklankan tempat kursusnya secara online. Tak heran jika banyak wisatawan atau pelajar dari luar negeri tertarik untuk belajar bahasa Indonesia di sini, sekalian liburan.
Dan sekarang adalah masa puncak liburan, murid yang mendaftar bertambah banyak, hingga kami kewalahan.
"Kita buka lowongan untuk pengajar part time dan seasonal saja, Yud. Jadi saat murid kita banyak, kita bisa panggil mereka untuk membantu mengajar di sini," usul Neo yang adalah salah satu teman yang bersama Yudistira merintis bisnis ini.
"Good idea, bro!" Yudistira menyetujuinya, dan segera membuka lowongan kerja paruh waktu dan musiman di sini.
Nah, di masa yang lagi seru dan ramai ini, Mas CEO justru membuat sedikit keributan.
Saat kami kembali ke YAIC setelah menikah, Yudistira masih kalem-kalem saja. Kami sibuk melatih pengajar baru, sekaligus mengurus murid yang semakin banyak.
Jika biasanya kami bisa private, satu guru satu murid, kadang seorang guru harus mengajar dua atau tiga murid sekaligus.
Yudistira mulai sering 'patroli' ... patroli ke mejaku. Pertama-tama ia wira-wiri saja berjalan di sekitar kami, sesekali melihat kami. Selanjutnya ia selalu mencari meja yang berdekatan denganku. Meskipun ia bos, Yudistira masih mau mengajar saat dibutuhkan, ketika tidak ada pekerjaan penting di resort.
Setelah memberi pelajaran teori, ia akan menyuruh murid yang ditanganinya untuk mengobrol berdua atau bertiga, dan Yudistira mendengarkan, serta memberi masukan jika ada yang perlu diperbaiki.
"Baiklah, sekarang kalian coba praktikkan apa yang sudah dipelajari tadi, ya. Saya akan melihat. Silakan tanya bila ada yang membingungkan kalian," katanya kepada Ben dan Irene, pasangan suami istri yang berasal dari Irlandia.
Katanya sih dia mau melihat kedua murid tadi praktik percakapan bahasa Indonesia, tetapi matanya malah mengawasiku dan murid-muridku. Mulanya aku GR, 'Wah, suamiku ngeliatin aku terus nih,' pikirku. Namun, aku keliru, yang lebih sering diawasi adalah murid-muridku. Mereka merasa tidak nyaman, tapi aku lebih tidak nyaman lagi, nggak enak hati lebih tepatnya.
Kim Jong In adalah salah satu murid yang menjadi korban mata tajam Yudistira, pemuda Korea itu yang paling sering diberi tatapan mengancam.
"Ashanna, what's wrong with Yudistira?" Suatu kali Jong In bertanya kepadaku. Ia memang murid baru, dan bahasa Indonesianya belum lancar, jadi komunikasi kami masih banyak dengan bahasa Inggris, karena aku tidak mengerti bahasa Korea. Mungkin Jong In segan melihat kelakuan pemilik tempat kursus yang bertingkah seperti bocah.
"Mungkin Yudistira lapar, jangan dipikirkan, Jong In ssi, take it easy," jawabku sembari tersenyum lebar.
"Lapar? You mean hungry?" tanyanya lagi setelah mengingat makna kata tersebut.
"Ya, begitu kira-kira."
"Oh, I see. Yudistira lapar for your attention," pungkasnya dengan senyuman meledek di bibirnya.
"Hehehe." Aku tertawa nyengir sebagai tanggapan. Sepertinya apa yang Jong In pikirkan benar. Suamiku punya sifat posesif, aku baru tahu itu. Atau bisa jadi dia cemburu.
Entah mengapa memikirkan bahwa Yudistira cemburu bisa membuat perasaanku tergelitik. Jangan-jangan ia memang mencintaiku, katanya 'kan cemburu tanda cinta. Hihi.
Sialnya sikap menyebalkan Yudistira terus berlanjut, dan puncaknya adalah suatu sore, saat ia mendadak memanggilku ke kantornya. Para guru yang lain, serta murid-murid telah meninggalkan kelas, jadi hanya ada kami berdua.
"Ada apa, Yud?" tanyaku seraya mengambil tempat duduk di depan mejanya.
"Sha, mulai besok kamu mengajar murid wanita saja, ya," titahnya tiba-tiba.
"Ha?" Aku terperangah, berusaha mencerna maksud dan keseriusan ucapan Yudistira.
"Ya ... sekarang kamu 'kan sudah jadi istriku ...."
"Terus?"
"Aku lihat murid-murid cowok banyak yang suka sama kamu."
"Apa? Yang benar saja, Yud, aku tidak pernah digoda oleh siapapun di YAIC, terutama setelah aku menikah. Murid yang kutangani semuanya baik," debatku menangkis pendapatnya yang tak berdasar.
"Tetap saja aku khawatir."
"Khawatir kenapa?" desakku tidak sabaran.
Lantas muncullah argumen Yudistira yang kekanakan. Katanya ia khawatir aku tergoda lah, takut mereka melecehkanku lah, hingga ketakutan lain yang terlalu berlebihan.
Iiih, rasanya ingin kutarik hidungnya sampai sepanjang hidung Pinokio, kalau aku tak bisa mengendalikan emosi. Sebegitu tidak percayanya kah ia padaku?
"Kamu cemburu, Yud?" tuduhku langsung. Raut mukanya sedikit berubah, tapi ia masih bisa mengelak.
"Bukan masalah cemburu, Ashanna. Aku bosmu di sini, dan aku suamimu, jadi aku berhak untuk ngasih aturan, atau pendapat untuk istriku sendiri," kelitnya, masih dengan sikap sok nggak punya perasaan apa-apa padaku.
"Tapi kalau pendapat atau aturannya tidak masuk akal, aku juga nggak bisa terima, Yud. Kamu tahu sendiri murid kita lagi banyak, dan jumlah pengajar cuma sedikit. Sedangkan murid perempuannya jumlahnya cuma tiga orang. Mereka sudah lumayan lancar berbahasa Indonesia, makanya Claudia yang masih guru baru yang ditugaskan untuk menangani mereka. Aku nggak bisa begitu saja meninggalkan murid-muridku," sanggahku, berharap pria satu ini bisa bersikap lebih masuk akal.
Sayangnya, sifat keras kepala Yudistira sering nggak ada obatnya. Mungkin harus dikasih obat dosis tinggi baru sembuh itu penyakit. Dia masih mengajukan lagi argumen-argumen kekanakannya, hingga membuatku semakin lelah.
"Yud, kamu bosnya, kamu pengajar sekaligus pengawas. Kamu pasti tahu, hal yang kamu minta itu nggak masuk akal, kecuali kamu mau aku jadi pengangguran lagi. Aku capek, Yud. Nggak selesai juga kita ngomongin hal yang nggak penting ini. Aku pulang duluan saja," putusku.
"Sha, jangan pulang dulu!" cegahnya sambil bangkit dari kursinya.
"Besok saja, Yud, please, aku mau pulang, mandi, makan. Oke? Bye!"
Aku bergegas meninggalkan Yudistira yang masih berdiri berkacak pinggang memandangku. Kebetulan aku membawa motor sendiri hari ini, jadi aku tidak perlu menanti suamiku yang kemungkinan masih harus menengok resort.
Untungnya ia tidak menahanku lagi. Debat kusir yang melelahkan. Ibu memang berpesan padaku untuk bersabar, dan mengalah pada suamiku, jikalau terjadi beda pendapat dalam rumah tangga kami, tapi kalau pendapatnya nggak masuk akal begini, tentu saja aku nggak bisa menurut begitu saja.
Mandi dan beristirahat di rumah sangat kuharapkan bisa menjadi obat lelah fisik dan emosiku. Namun, aku tak menyangka, Yudistira menyusul pulang lebih cepat daripada perkiraanku.
Perdebatan di tempat kursus berlanjut lagi, dan terungkaplah bahwa murid yang secara khusus tidak disukainya adalah Kim Jong In. Hah!
"Yud, kamu sebenarnya tidak percaya kepada Jong In atau kepada istrimu sendiri?" tanyaku menantang.
Pria Korea satu itu lumayan ganteng, walau tidak setampan artis. Badannya tinggi, kulitnya putih; wajar dong namanya juga oriental. Orangnya baik, tapi, ya, sudah, itu saja. Aku tidak punya perasaan apa-apa padanya. Mau berharap apa lagi, aku sudah terikat ikrar perkawinan dengan Yudistira. Dan Jong In memang tak pernah menggodaku. Kalau kami bicara dan saling bertatapan, itu hal yang wajar 'kan? Masa mau buang muka? Terus masalahnya di mana?
Yang paling membuatku kehabisan kesabaran adalah saat ia tiba-tiba memintaku untuk berhenti bekerja. Aku tak sanggup menahan emosiku lagi.
"Maumu apa sih, Yud? Aku kurang nurut gimana sama kamu? Aku tuh, ya ...." Aku mengomel pada Yudis yang hanya menanggapi dengan muka datar.
"Ah, capek aku, Yud, ngomong sama kamu, masalahnya nggak selesai juga. Mendingan aku tidur." Aku menghentakkan kakiku kesal, beranjak memasuk kamar, dan menutup pintunya sedikit keras.
"Brak!"
Suara keras itu sedikit membuatku merasa bersalah, harusnya aku bisa lebih menahan emosi. Habisnya Yudistira nyebelin sih!
"Sha," Yudistira memanggil dari balik pintu. Aku tak menyahut, aku masih kesal. Sejenak kudengar suara langkah kakinya menjauh. Suasana hening, lalu aku kembali mendengar suara, kali ini suara mesin sepeda motor Yudistira.
"Jangan-jangan ...," ucapku mulai berpikiran negatif.
Benar saja, aku mendengar suara gerbang rumah kami dibuka. Kubuka pintu kamar tidurku cepat-cepat, dan aku berlari menuju depan rumah.
"Yudistira!!!" panggilku. Sayangnya, aku hanya sempat melihat punggungnya, sebelum pria itu menghilang dari pandanganku, hingga tak tahan aku berseru geram, "Arrkh, menyebalkan!"
Aduh, belum apa-apa sudah bertengkar?? Sedihnya... tapi Yudistira pergi ke mana, ya? Kok nggak pamitan dulu? Jangan-jangan....
"Apa-apaan ini?" desisku kehabisan akal. Aku mengepalkan kedua tanganku begitu geram. Mengapa Yudistira malah kabur? Beginikah caranya menyelesaikan masalah? Ia bahkan tidak berpamitan kepadaku. Jangan-jangan .... Ah, cepat-cepat kuusir pikiran yang mulai melantur tidak jelas. Semenyebalkan apapun Yudistira, aku yakin ia akan berupaya menjadi suami yang setia, sekalipun tidak atau belum ada cinta di antara kami, Yudistira pasti berpegang pada komitmennya sendiri. Dengan lesu aku kembali ke dalam, duduk di sofa di ruang tengah, ketimbang masuk ke kamar tidur. Aku masih kesal, tetapi aku mencoba untuk menjernihkan pikiranku yang tengah kacau. "Tahun pertama perkawinan adalah masa tersulit untuk pasangan, Sha. Lima bulan pertama mungkin mereka masih mesra, tapi memasuki akhir semester pertama masalah pelik mulai muncul. Belum lagi dibutuhkan penyesuaian karakter masing-masing. Mereka yang dulunya hanya melihat yang manis-manis saat pacaran, bisa kaget ketika tahu keseharian dan sifat
Orang Kaya Baru, julukan itu mungkin dapat dengan gampang disematkan pada keluargaku. Ayahku yang berutang ratusan juta, mendadak bebas tanpa syarat karena kebaikan seseorang yang seperti superhero. Lebih ajaib lagi mas superhero tiba-tiba melamarku, dan sebulan kemudian, kami menikah. Udah gitu doi nggak cuma ganteng, dan berpenampilan keren, ia juga tajir melintir. "Nggak cuma ketiban duren si Ashanna itu, ketiban duren satu truk," komentar seorang tetangga. Untung saja itu cuma peribahasa. Jadi apa diriku kalau sampai ketiban durian satu truk beneran. Balik jadi Tom and Jerry lagi kali ya? Keluargaku jelas mengalami gegar budaya. Kami yang selama ini hidup sederhana, Bapak, Ibu, dan aku bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan kami, mendadak menerima sendok emas di tangan kami. Namun, yang paling terpengaruh oleh perubahan ini adalah ketiga adikku. Aku adalah anak sulung dari empat bersaudara. Ketiga adikku perempuan, mereka duduk di bangku SMP, dan seumuran. Mereka memang kemb
"Apaan, sih, kalian ini?" tegurku, teguran yang lemah karena aku tak bisa menyembunyikan senyuman di bibirku. Wajahku pun panas. "Eciee, Mbak Shanna yang galak tersipu-sipu," ledek Dida. "Mbak Shanna yang suka ngomel blushing, pemirsa," tambah Disa. "Mbak Shanna langsung klepek-klepek saat ditanya tentang Mas Yudistira," pungkas Desi, melengkapi ledekan sekaligus ejekan mereka padaku. Seraya bertambah besar, ketiga adikku semakin pintar berolok-olok. Dulu mereka biasanya marah atau ngambek kalau kugoda, sekarang mereka pintar menggoda balik dengan lebih sadis. Duh, adik siapa sih ini? "Nanya kok aneh-aneh gitu sih. Terus apa tadi? Mas Yudis kalian bilang mirip sama Sule? Memangnya suamiku susu kedele? Kalau Mas Yudis marah, baru tahu rasa kalian nanti," gertakku, padahal aku tahu, Yudis nggak mungkin marah cuma karena dibilang mukanya mirip sang komedian. Habisnya aku bingung mesti menjawab bagaimana. Kan nggak lucu saat seorang perempuan ditanya, apakah ia mencintai suaminya, da
"Yud, selesai kursus aku mau ke rumah Ibu, ya. Aku dengar dari Disa Ibu lagi sakit," tuturku sedikit gugup. Aku mengaduk-aduk makanan di hadapanku dengan gelisah. Siang itu kami makan di restoran resort. Sebenarnya Yudistira bukan suami yang sulit, dia pasti mau memahami jika ada situasi tak terduga. "Keluargamu adalah keluargaku sekarang. Jika ada masalah di rumah, segera bilang padaku," begitu ia mewanti-wanti agar dirinya dilibatkan jika keluargaku mengalami kesulitan. Saat aku ingin ke rumah orang tuaku, kami selalu pergi bersama. Masalahnya hari ini ada rapat direksi resort, dan Yudistira harus datang. Apakah aku akan diizinkan untuk pergi sendiri? Tadi pagi Disa mengirimiku pesan, mengabarkan kondisi Ibu sedang kurang sehat. Pikiranku langsung mengarah ke penyakit yang selama beberapa tahun ini muncul. "Jangan-jangan benjolannya makin parah," gumamku, tak luput dari pendengaran Yudistira. "Makan yang benar, Sha. Kasihan pak tani yang sudah capek-capek menanam," tegurnya, d
"Pak ... aku tak percaya Bapak seperti itu," kecamku dengan raut wajah mengeras. Gigiku bergemeretak, dan rahangku terkatup keras. Jika orang lain yang mengatakannya, aku mungkin tak akan percaya, tapi ini ayahku sendiri yang bicara. "Maaf, Nak. Bapak bukan orang tua yang baik," sesalnya dengan wajah tertunduk lesu. "Pak ... aarrkkh!!!" geramku kesal. "Bukankah Bapak sendiri yang selalu mengajarkan anak-anak untuk bekerja keras, belajar giat, berusaha sekuat tenaga, dan bukan mengejar hasil mudah, tapi dengan cara tak terpuji?" Suara hujan dan petir di malam itu membuat suasana hatiku semakin buruk, apalagi setelah mengetahui bahwa ayah yang selama ini kubanggakan, kujadikan panutan, ternyata bisa tergoda untuk melakukan tindakan yang tak pantas. "Aku kecewa sama Bapak," pungkasku, sebelum meninggalkan pria paruh baya itu sendirian. Batinku terlalu lelah, tak siap menerima fakta konyol ini. "Shanna." Ibu sempat memanggilku, ketika ia masuk ke ruang tamu tempat aku dan Bapak bi
Sebaik apapun manusia, masih saja ada celah yang orang temukan untuk mencari kejelekan kita. Mereka bebas menilai orang lain sesuka hati, tak peduli itu benar atau salah. Dulu sewaktu aku masih sekolah hingga kuliah, penampilanku seadanya, sesuai budget seorang anak yang masih minta uang jajan dari orang tua. Penilaian orang cenderung positif. "Ashanna itu anaknya baik, ya, manis, sederhana, rajin," celetuk seseorang penuh pujian. "Iya, pintar pula. Sejak SMA sampai kuliah juga dia selalu dapat beasiswa," timpal yang lain menyetujui. Kurang lebih semacam itu komentar orang-orang, baik yang kudengar langsung ataupun dari teman yang melaporkan padaku. Bangga, dong, diriku mendapatkan banyak pujian. Sebagai anak sulung dari empat bersaudara dari keluarga sederhana, aku tahu biaya hidup dan sekolahku tidak murah. Ayahku hanya bekerja sebagai buruh pabrik, dan ibuku berjualan makanan. Mereka tak pernah mengeluh, selalu tampak gembira di depan anak-anak atau orang lain. Namun, suatu k
"Tidak! Aku tidak seperti itu." "Tidak! Itu bukan kesalahanku." Berdalih ataupun menyangkal adalah satu tindakan yang orang lakukan untuk membela diri dari celaan orang lain. Tidak ingin dicap buruk, manusia mencari banyak dalih, dan pembenaran diri. Itulah yang kulakukan saat ini. Gosip bernada menuduh yang kudengar di warung tadi seperti pukulan beruntun yang meremukkan seluruh hati dan harga diriku. Mereka seolah berkata aku hanyalah anak tidak berharga, yang egois, dan tidak peduli kepada keluarganya. 'Nggak! Itu bukan salahku, aku nggak pernah tahu kalau bapakku berutang, Bapak nggak pernah cerita kepadaku, bagaimana aku bisa membantu? Bapak yang mata duitan!' protesku dalam hati. Dengan susah payah aku pulang, seraya menahan sakit kepala, dan sakit hati yang tak tertahankan. Ibu masih di dapur, jadi ia tak melihatku. Ketimbang bergabung lagi dengan Ibu, aku memilih untuk masuk ke kamarku. Kulihat wajahku yang kusut dan merana di cermin. Aku sudah terlalu lelah untuk lanjut
"Tidur yang nyaman, ya, Sha," ucap Yudis dengan suara rendah. Pria itu menciumku lagi? Kali ini di kening. Kata orang, ciuman di kening menandakan perasaan sayang, dan keinginan untuk melindungi orang yang dikasihi. Jadi, apakah ini berarti Yudistira memang menyayangiku? Ataukah itu spontan karena sikap bertanggung jawab yang dimilikinya sebagai seorang suami? Ah, apapun itu, aku tak sanggup berpikir lagi. Hormon endorfin, si pereda nyeri, dan oksitosin, si penebar cinta, meliputi syaraf otakku. Hanya perasaan senang, aman, dan damai yang kurasakan, yang membuatku tertidur nyaman dan pulas. Sembari menemaniku, Yudistira kembali bekerja, karena saat aku membuka mata, ia tak lagi ada di sampingku, di atas tempat tidur, melainkan duduk di kursi dengan laptop di atas meja. Pria yang telah menikahiku itu tampak serius. Dasar workaholic! Tapi aku salut dengan komitmen dan kerja kerasnya. Dengan mata setengah mengantuk aku memandanginya. Bahkan hanya bagian belakang tubuhnya saja yang te