Pernah dengar pepatah 'sudah jatuh, tertimpa tangga'? Situasinya seperti yang kualami saat ini. Hanya saja ada sedikit komplikasi; sudah jatuh, tertimpa tangga, kejedot tembok, ketiban genteng.
Nggak perlu disebutin kondisinya kayak apa, anggap saja aku Tom di kartun Tom and Jerry, yang walaupun jatuh dari atap, tergencet sampai gepeng, atau badanku terbelah jadi dua, aku bakalan balik normal lagi. Hah!Karena kecurangan seorang teman kerja yang tidak suka kepadaku, aku difitnah, aku dituduh mencuri uang perusahaan, hingga aku sukses ... sukses dikeluarkan dari tempat kerja secara tidak hormat. Tidak ada acara, "Hormat grak!" seperti dalam upacara bendera hari Senin anak sekolahan.Beberapa teman yang dekat denganku merasa sedih, tapi lebih banyak yang menatapku sinis, karena berpikir aku telah menjadi pengkhianat kantor, dan layak untuk dikeluarkan dari tempat kerja."Sha, kamu yang sabar, ya. Semoga kamu segera mendapatkan pekerjaan baru," ucap Mei prihatin. Ia salah satu teman baikku di kantor. "Aku tetap nggak percaya pada tuduhan Pak Ernest. Tega sekali dia menyalahkan kamu tanpa menyelidiki terlebih dahulu. Aku tahu kamu nggak gitu, Sha."Kata-kata Mei yang tulus sedikit menghiburku. Mau bagaimana lagi, namanya juga dijebak. Si penjebak dengan begitu pandainya menempatkan barang bukti di laciku, hingga aku tak dapat mengelak atau membela diri.Pun bosku hanya mau mempercayai apa yang dilihat oleh matanya, tanpa mau tahu penyebab sebenarnya."Tenang saja, Mei, aku 'kan nggak bersalah. Santai! Pasti secepatnya aku dapat pekerjaan baru, yang lebih bagus daripada di sini," sahutku guna menenangkan Mei.Padahal dalam hati aku pun tak yakin hanya dengan ijazah diploma aku bisa melamar pekerjaan baru, dan diterima. Aku memang sudah punya pengalaman kerja tiga tahun di kantor ini, tapi dengan statusku yang di-PHK, kira-kira bos mana yang mau menerimaku?Aku tidak mungkin mendapatkan referensi pengalaman kerja yang bagus dari kantor ini. Yang ada aku malah ditanyai macam-macam, atau malah dilaporkan ke polisi, kan urusannya jadi semakin panjang.Dengan dagu tetap terangkat aku meninggalkan kantor. Pantang bagiku untuk menunduk, karena aku bukanlah pencuri. Aku pulang dengan harapan bisa menghibur diriku sejenak di rumah, tetapi hal yang kutemui semakin membuatku kalut."Jangan, Pak, jangan!"Terdengar rintihan Ibu dari dalam rumah saat aku tiba. Pintu depan terbuka lebar. Selain suara Ibu, ada suara pria tak dikenal yang terdengar berang, dan ... suara adik-adikku yang menangis. 'Kenapa ini?' batinku gelisah. Aku bergegas memasuki rumah."Ada apa ini, Pak? Bu?" tanyaku setelah berada di antara mereka.Rumah kami berantakan. Tampak beberapa barang elektronik dan perhiasan milik Ibu dikumpulkan, mungkin benda-benda itu yang akan dibawa oleh pria itu ... dan beberapa temannya. Rupanya ia tidak datang sendirian, tipikal penagih utang pasti main keroyokan."Shanna," rintih Ibu saat melihatku. Ia terduduk di lantai dengan badan yang lemah dan wajah kusut karena air mata."Nak, maafkan Bapak. Bapak berutang sama mereka." Ayahku ikut menyahut. Dalam waktu singkat otakku mencoba mencerna semua ini.Entah bagaimana ceritanya Bapak berutang kepada rentenir, tak tahu sudah berapa lama, yang jelas bunganya pasti sudah mencekik leher, lebih besar daripada nominal utang di awal, tipikal lintah darat.Bapak tidak sanggup melunasi, akhirnya mereka datang menagih ke rumah.Darahku terasa mendidih, aku ingin marah, tapi tidak tahu pada siapa. Bapak yang kukenal selalu baik dan bertanggung jawab. Bagaimana ceritanya Bapak bisa terlibat utang dengan rentenir? Mengapa Bapak tidak bercerita kepadaku?"Jadi ini anak sulung kalian, ya," pria itu kembali bersuara, membuyarkan pikiranku yang masih mencerna semua ini. "Juragan Suseno pasti akan memaafkan dan membebaskan kalian dari utang, asalkan kalian memberikan anak perempuan kalian ini sebagai istri Juragan Suseno.""Masih mending kami ambil anak sulung kalian. Atau kalian mau krucil-krucil tiga ekor ini yang kami bawa? Hahaha," tambah temannya.Apa??? Juragan Suseno??? Tidak!!!Seperti adegan drama Korea, atau FTV, atau sinetron azab, apa lah itu, semua meluncur begitu cepat.Tiba-tiba saja aku ditarik paksa oleh preman-preman itu. Ibu dan adik perempuanku menjerit-jerit, sedangkan Bapak berupaya menahan para preman agar tak membawaku pergi. Namun Bapak malah didorong hingga jatuh, dan para penagih utang itu berhasil menyeretku.Dalam benakku sudah terjadi adegan drama di mana aku dihadapkan kepada Juragan Suseno, pengusaha kaya raya yang suka mengambil keuntungan dari menipu orang kecil. Istrinya banyak, dan aku akan dijadikan istri yang ke berapa, aku tak tahu.Pria tua itu tertawa terbahak-bahak, mencoba merayuku dengan kekayaannya, menyentuh daguku, tapi aku mengelak dan meludahi wajahnya, "Cih!"Ia tertawa semakin kejam dalam kemarahannya, lalu ... ah, tidak!!! Baru membayangkannya saja sudah membuatku jijik. Aku tak sanggup memikirkan akan jadi apa diriku nanti, tapi aku juga tak punya daya untuk melawan mereka."Tidak! Lepaskan aku! Lepaskan!" teriakku sembari berupaya membebaskan diri sekuat tenaga. Namun, apalah daya seorang wanita yang belum makan, kalau harus melawan tiga orang pria dewasa yang berperawakan tinggi besar.Mereka memaksaku keluar rumah. Aku hanya bisa berdoa agar seorang penolong datang membebaskanku, pangeran berkuda putih yang mempunyai pedang panjang, kalau berjalan prok prok prok. Duh, salah zaman sih ini.Ya, pokoknya aku sungguh berharap ada orang yang rela melunasi utang ayahku yang jumlahnya tidak masuk akal itu, membebaskan kami, dan aku tidak perlu menjadi gundik si juragan tua.Lantas seperti sebuah keajaiban, sebuah mobil mewah dengan seorang pria muda di dalamnya, berhenti di depan rumah kami. Pria itu benar-benar menjadi penyelamatku."Berapa yang dibutuhkan? Tolong katakan, saya akan membayarnya." Pria muda itu berucap dengan begitu gagah pada sang penagih utang. Hebat sekali dia bisa mengetahui bahwa permasalahan yang tengah kami hadapi adalah utang piutang.Aku yang masih dicekal oleh preman-preman itu hanya bisa terpukau menyaksikan penampilan dan aksinya yang begitu cool. Setelan jas mahal berwarna abu-abu muda, serta kacamata hitam melengkapi wajahnya yang menarik. Aku plonga-plongo dibuatnya."Jangan main-main, Bung, ini menyangkut uang ratusan juta," tegur kepala preman itu dengan keras."Saya serius, Kisanak, berapapun akan saya bayar untuk gadis ini," sahut pria tampan itu. Ceilah, kisanak? Rupanya dia suka bercanda, rasanya aku ingin tertawa kalau situasi tidak sedang tegang seperti sekarang.Dengan tenang pemuda asing yang rasa-rasanya kukenal itu mengeluarkan ponselnya. "Berapa nomor bos Anda? Saya akan bicara langsung, dan segera saya transfer," katanya lagi, seraya menyodorkan ponsel canggih itu kepada si penjahat.Sesaat penagih utang itu ragu, tetapi tak butuh waktu lama baginya untuk meraih ponsel tersebut, dan menekan nomor bosnya.Negosiasi itu pun terjadi. Dalam waktu singkat pangeran bermobil menyatakan dengan tegas kepada Juragan Suseno, bahwa ia akan membayar semua utang bapakku, dan meminta mereka untuk tidak mengganggu kami lagi. Lebih wow lagi sang pangeran mengetahui nama bapakku, lho. Hebat!"Akan saya kirimkan uangnya sekarang," pungkasnya, mengakhiri pembicaraan di telepon dengan Juragan Suseno. Sebentar ia sibuk lagi dengan ponselnya, sepertinya ia benar-benar mengirimkan uang ke pria rentenir itu, karena dalam satu menit ia menunjukkan lagi layar ponselnya kepada si preman."Sudah terkirim, sekarang tolong lepaskan gadis itu." Pria itu kembali berujar dengan suara penuh wibawa. Kepala preman itu terbengong, lalu ponselnya sendiri berbunyi."Ya, Bos." Rupanya bosnya menelepon. Terjadi percakapan singkat, kemudian para preman itu melepaskanku dan meninggalkan rumah kami."Shanna ....""Mbaaaak ...."Ibu, ayah, dan ketiga adikku yang menyaksikan semuanya dari dalam rumah, kini bergabung bersamaku."Kamu nggak apa-apa 'kan, Nak?" tanya Ibu khawatir. Adik-adikku masih terisak, tetapi tidak sekeras tadi. Mereka seolah tahu bahaya sudah berlalu."Nggak apa-apa, Bu," jawabku untuk menenangkan Ibu. Aku beralih ke pangeran tampan yang telah menyelamatkanku. "Maaf sudah merepotkan Anda, dan terima kasih atas bantuan Anda. Tapi ... Anda ini siapa, ya?" tanyaku dengan perasaan tidak enak.Pria ini adalah orang yang tak kukenal, walau sejenak ada perasaan pernah mengenalnya, aku masih belum bisa menebak dia ini siapa. Tiba-tiba saja ia melunasi utang ayahku yang tidak sedikit, seolah-olah utang itu dihibahkan kepadanya. Dan tadi aku nyaris menjadi manusia pelunas utang; dijual untuk melunasi utang, maksudnya begitu.Sekarang apakah ayahku jadi berutang kepada pria ini? Terus, aku harus ... menikah dengan pria ini ... begitu? Inikah yang dimaksud dengan 'Sengsara Membawa Nikmat' kayak novel lawas itu? Ih, jadi ngayal kebangetan nih, aku! Sadar, woy!Senyuman kecil tersungging di bibirnya yang seksi, tapi tak ada penjelasan apapun keluar dari mulutnya. Semuanya terjawab oleh kata-kata Ibu selanjutnya."Nak Yudistira? Iya, kan? Kamu Yudistira, anaknya Bu Ani?" seru Ibu dengan penuh sukacita. "Wah, terima kasih banyak, Nak, kamu sudah menyelamatkan kami ...."Ucapan Ibu tak lagi kudengarkan karena aku syok memandang orang itu melepaskan kacamata hitamnya."Yudis ...," desisku setengah tidak percaya.Benarkah dia Yudistira? Yudistira yang tengil dan keling itu?Pemuda itu tersenyum kepadaku dengan begitu manisnya, mengalahkan manisnya minuman bersoda, serta manisan jengkol.Mendadak aku melihat banyak kunang-kunang di sekitarku. "Eh, kok tiba-tiba sudah malam, ya?" gumamku tidak jelas. Aku mulai merasakan tubuhku kehilangan tenaga.Sebelum semuanya menjadi gelap, aku masih sempat mendengar jeritan ibuku memanggil namaku, "Ashanna!" serta suara pria tengil tadi berkata, "Woy, jangan pingsan di sini!"Halo, pembaca yth. Selamat datang di cerita ketiga saya di GN. masih membawa kisah romcom, saya mencoba menulis genre pernikahan. jangan lupa komentar&like, sumbangan gem Anda jg saya hargai. Terima kasih- Teha^^
"Shanna, kamu nggak apa-apa, Nak?" tanya Ibu saat aku kembali membuka mata. Wanita yang melahirkanku itu tampak cemas. "Nggak apa-apa, Bu, tadi belum makan saja. Hehe," jawabku sembari tersenyum. Rupanya saat pingsan tadi aku dibawa ke ruang tamu dan dibaringkan di sofa. "Kenapa belum makan, Nak? Tadi pagi kamu juga tidak sempat sarapan. Dan tumben jam segini kamu sudah pulang?" Sekali lagi Ibu bertanya penuh keprihatinan. "Nggak sempat, Bu. Aku sudah pulang karena sudah tidak ada kerjaan di kantor." Aku belum siap mengatakan bahwa aku dipecat dari pekerjaanku, jadi kujawab saja sekenanya. Memang aku sudah tidak ada kerjaan di kantor ... seterusnya. "Bu, kenapa Ibu malah mengkhawatirkan aku? Bukannya Ibu sendiri sakit? Tadi Ibu nggak dipukul sama preman-preman itu, 'kan?" Aku balik bertanya kepadanya. "Ibu nggak apa-apa, kok, Nak. Nggak ada yang mukul Ibu," jawabnya sembari tersenyum menenangkan aku.Sudah beberapa tahun ini ada benjolan kecil di payudara Ibu. Kami sangat khawati
"Nggak bisa gitu, Yud, itu uang ratusan juta, bukan daun kelor," tukasku tegas. "Dan aku sadar keluargaku sudah berutang budi padamu, walaupun aku membayar kembali uang itu, kami tetap berutang budi padamu. Tapi tetap aku ingin membayarnya, meskipun butuh waktu seribu tahun." Setelah drama rumah tangga tadi, maksudnya drama di rumah yang ada tangganya, Yudistira mengajakku makan ayam goreng. Pemuda itu tak hanya menjadi penyelamat keluargaku, tapi juga penyelamat perutku yang kelaparan. Kami berbicara. Intinya ia ikhlas melunasi utang ayahku, tanpa mengharapkan imbalan apapun. Omong kosong! Aku memahami jika ia berniat baik untuk membantu kami, tapi bagiku jumlah uangnya terlalu besar untuk digratiskan begitu saja. Tak mungkin aku menutup mata, dan tak membayarnya kembali. "Seribu tahun keburu mati, Sha" kekehnya setelah menyeruput es teh pesanannya. "Tapi dunia ini memang cuma selebar daun kelor, 'kan. Kita yang satu dekade terpisah bisa bertemu lagi." "Aku 'kan masih tinggal di r
"Yudistira, kamu jangan main-main, ya!" sergahku keras. "Ashanna, aku nggak main-main, aku serius. Aku memang sedang mencari istri," ungkapnya dengan ekspresi bersungguh-sungguh. Aku tercengang setelah mendengar pernyataannya tadi. Apa katanya? Dia sedang mencari istri? Aku tak akan percaya begitu saja. Pengkhianatan Aldo dan Winda sudah cukup membuatku kacau, dan sekarang aku harus mendengar hal yang lebih mengejutkan lagi. Aku mengusap wajahku dengan putus asa. Setelah kehebohan tadi, aku langsung mengajak Yudistira pergi. Sekarang kami ada di dalam mobil Yudistira di tempat parkir mall. "Lagian kalau kita menikah, uangku adalah uangmu, kamu nggak perlu lagi memikirkan bagaimana cara melunasi utang yang ratusan juta itu," tambahnya tanpa perasaan. "Nah! Apa kubilang? Pada akhirnya tetap saja aku hanya dijual untuk menutupi utang, persis seperti Siti Nurbaya. Kenapa nggak dari awal saja begitu?" desisku, tak mampu menutupi kekesalan. Yudistira sama saja dengan Juragan Suseno, y
"Kamu istriku, Ashanna, milikku. Jangan kau ingkari itu," bisiknya di telingaku. Yudistira mulai mencumbuku. Tidak ada bagian dari wajahku yang ia lewatkan. Aku yang polos dan tak berpengalaman hanya bisa pasrah, serta mencoba untuk mengikuti naluriku sebagai perempuan. Sempat terpikir olehku untuk menolaknya, tetapi hati nuraniku berkata aku harus melakukan kewajibanku sebagai seorang istri. Lagipula pikiran untuk menolak itu hanya terlintas sekejap, karena kedekatan kami langsung melenyapkan semua pemikiran lain. Pria yang telah menjadi suamiku itu mencium bibirku. Aku mencoba membalasnya, walaupun aku tak tahu jika yang aku lakukan sudah benar. Anggap saja aku aktris yang lagi main drama Korea. Sejenak Yudis berhenti, lalu menatapku dengan mata sayu. "Sha." Ia memanggil namaku lirih, lalu menjauh dari wajahku, dan meletakkan kepalanya di dadaku. Kemudian .... Semua berhenti begitu saja. "Yud ..., Yudistira," panggilku saat tak terjadi apapun. Hanya keheningan yang ada, dan pu
"Jadi ini kejutannya, Yud?" tanyaku serius. Yudistira menggaruk kepalanya. Wajahnya mencerminkan kepasrahan ... pasrah kalau aku meledeknya. "Bukan begini maksudku, Sha. Ini di luar kemampuanku, bukan kejutan buatmu. Kalau kejutan 'kan memang sengaja dibuat untuk memberi euforia lebih," paparnya mengakui keterbatasannya. Aku mengulum senyum. "Oh, gitu," komentarku singkat. Yudistira melebarkan senyuman di bibirnya, satu jurus untuk mendapatkan permakluman dariku. Aduh, lucunya suamiku! Pasangan yang baru menikah idealnya langsung tinggal di rumah mereka sendiri, entah itu milik pribadi ataupun kontrak. Sebagai sesama penganut prinsip anti ribut dengan mertua, aku dan Yudistira sepakat untuk tinggal terpisah dari orang tua kami masing-masing. Sayangnya tingkat kepercayaan diri seorang Yudistira kadang sedikit over. Karena fokus dengan urusan pernikahan, hunting rumah belum membuahkan hasil. "Nyari yang cocok nggak gampang, Sha. Sebisa mungkin aku mencari yang lokasinya dekat resor
"Sha, mulai besok kamu jangan ngajar si Kim Jong Un lagi," ucap Yudistira tiba-tiba. Aku meletakkan buku yang tengah kubaca seraya menatap pria itu tak percaya. Yudistira mendadak aneh. "Kenapa, Yud? Ada masalah? Namanya Kim Jong In, ya, bukan Kim Jong Un." Kan ... nama orangnya saja sampai diganti sama dia. "Kim itu nggak baik, Sha. Berbahaya," alasannya terlalu dibuat-buat. Mulai provokatif nih orang. "Berbahaya bagaimana? Kalau Jong In memang membahayakan, laporkan ke polisi, keluarkan dari tempat kursus." Sedikit kesal aku menanggapi Yudistira yang mengeluh manja. "Ya, nggak bisa gitu juga ...," Yudis ngedumel tidak jelas. Aku tak paham apa maunya, apalagi terkesan ia egois dan memaksakan kehendaknya yang tidak masuk akal. Aku memutuskan untuk kembali membaca novelku, walau mood-ku sudah mulai terganggu. Kupikir Yudis sudah melupakan permintaannya yang kekanakan, sampai akhirnya ia mengucapkan kalimat yang membuatku sangat sebal. "Sha, kamu jadi ibu rumah tangga saja, ya, di
"Apa-apaan ini?" desisku kehabisan akal. Aku mengepalkan kedua tanganku begitu geram. Mengapa Yudistira malah kabur? Beginikah caranya menyelesaikan masalah? Ia bahkan tidak berpamitan kepadaku. Jangan-jangan .... Ah, cepat-cepat kuusir pikiran yang mulai melantur tidak jelas. Semenyebalkan apapun Yudistira, aku yakin ia akan berupaya menjadi suami yang setia, sekalipun tidak atau belum ada cinta di antara kami, Yudistira pasti berpegang pada komitmennya sendiri. Dengan lesu aku kembali ke dalam, duduk di sofa di ruang tengah, ketimbang masuk ke kamar tidur. Aku masih kesal, tetapi aku mencoba untuk menjernihkan pikiranku yang tengah kacau. "Tahun pertama perkawinan adalah masa tersulit untuk pasangan, Sha. Lima bulan pertama mungkin mereka masih mesra, tapi memasuki akhir semester pertama masalah pelik mulai muncul. Belum lagi dibutuhkan penyesuaian karakter masing-masing. Mereka yang dulunya hanya melihat yang manis-manis saat pacaran, bisa kaget ketika tahu keseharian dan sifat
Orang Kaya Baru, julukan itu mungkin dapat dengan gampang disematkan pada keluargaku. Ayahku yang berutang ratusan juta, mendadak bebas tanpa syarat karena kebaikan seseorang yang seperti superhero. Lebih ajaib lagi mas superhero tiba-tiba melamarku, dan sebulan kemudian, kami menikah. Udah gitu doi nggak cuma ganteng, dan berpenampilan keren, ia juga tajir melintir. "Nggak cuma ketiban duren si Ashanna itu, ketiban duren satu truk," komentar seorang tetangga. Untung saja itu cuma peribahasa. Jadi apa diriku kalau sampai ketiban durian satu truk beneran. Balik jadi Tom and Jerry lagi kali ya? Keluargaku jelas mengalami gegar budaya. Kami yang selama ini hidup sederhana, Bapak, Ibu, dan aku bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan kami, mendadak menerima sendok emas di tangan kami. Namun, yang paling terpengaruh oleh perubahan ini adalah ketiga adikku. Aku adalah anak sulung dari empat bersaudara. Ketiga adikku perempuan, mereka duduk di bangku SMP, dan seumuran. Mereka memang kemb
(Tiga tahun kemudian) "Tangkap, anak-anak!" "Ayo, Dik! Lari!" "Ahahaha! Kakak!!!" Teriakan dan jeritan tawa khas bocah yang sanggup memekakkan telinga, membuat suasana di halaman belakang rumah mertuaku begitu ramai. Berisik, sekaligus menghangatkan hati. Yudistira, suami yang amat kucintai, bermain tangkap bola dengan kedua anak kami, Dias dan Nara. Meskipun keduanya mewarisi wajah sang ayah, sifat mereka sangat berbeda. Nara pemberani, cerewet, dan berjiwa pemimpin, cocok banget dengan suasana hati yang kurasakan ketika aku hamil. Sedangkan Dias lebih tenang, dan mudah tersentuh, cocok juga dengan pembawaanku yang suka mewek saat mengandungnya. Kupandang mereka bertiga penuh sayang. "Lucu banget, ya, cucu-cucu Mama," celetuk ibu mertuaku yang tiba-tiba berdiri di sampingku. "Anak Mama lebih lucu, Ma," sahutku sambil cengengesan. Kan, suamiku memang lucu. Sesaat Mama Ani terbengong, lalu dia memukulku main-main. "Baguslah, kalau kamu masih menganggap anak Mama yang paling luc
"Selamat, Nak! Sudah lengkap sekarang, satu perempuan, satu laki-laki." "Selamat, ya, Yudistira dan Ashanna, anak kalian ganteng banget!" "Lucunya anak kalian!" Pujian semacam itu sering kudengarkan beberapa hari ini setelah si Cendol lahir ke dunia. Membanggakan memang, tetapi tak semua pujian membuatku senang. "Ya, ampun! Ini sih foto copy-an Yudistira." "Mirip banget dengan bapaknya." "Benar, mirip plek ketlipek-tiplek." Katanya anak perempuan lebih mirip ayahnya, sedangkan anak lelaki lebih mirip ibunya. Nah, sekarang aku punya dua anak, satu perempuan, satu laki-laki, mengapa nggak ada satu pun yang mirip aku? Mereka berdua mirip bapaknya, ibunya kebagian apa? Seakan-akan aku cuma dijadikan jalan lewat mereka lahir ke dunia. Aku mau nitipin bentuk hidung saja mereka menolak.Memang sih, hidung suamiku lebih mancung ketimbang hidungku, jadi sudah pasti hidung anak-anakku juga mancung. Hah!"Malah bagus kali, Sha. Nggak akan ada yang meragukan bahwa kamu punya anak sama Yudi
"Sayang, ini kabar bahagia, mengapa kamu bersedih?" Pertanyaan suamiku, meskipun disampaikan dengan suara yang lembut, malah membuatku semakin galau, hingga rasanya aku ingin menangis. Bagaimana aku tidak sedih, baru juga enam bulan lalu aku melahirkan, eh, aku sudah hamil lagi. Bukannya aku tidak senang, tetapi anak pertamaku masih kecil, ia masih butuh banyak perhatian dariku, aku bahkan berencana untuk memberikan ASI eksklusif untuk Nara paling tidak selama setahun. "Seorang ibu hamil bisa saja menyusui, tetapi itu juga tergantung kondisi sang ibu. Bila ibu sehat, tak menutup kemungkinan untuk tetap menyusui," kata dokter kandunganku memberiku sedikit harapan.Sayangnya, aku tidak termasuk ibu sehat itu. Kehamilan kedua, aku malah teler luar biasa. Bukan hanya mengalami morning sick, tubuhku rasanya sangat lemas hingga tak mampu melakukan banyak aktivitas. Dan lagi-lagi suamiku yang harus repot mengurus kebutuhanku, membantuku bila aku perlu makan, atau ke kamar mandi.Namun, yan
"Sakit banget, ya, Sayang?" suamiku bertanya dengan wajah penuh kecemasan.Hanya seulas senyum yang mampu kuberikan sebagai jawaban, karena kuyakin ekspresi wajahku saat ini sudah cukup menggambarkan apa yang kurasakan.Kata orang sakit bersalin tuh sakit banget, dan itu benar kurasakan, padahal ini barulah awal prosesnya. Perut melilit seperti saat sedang kebelet BAB, ada desakan yang kuat untuk mengeluarkan isi perut, tetapi sayangnya melahirkan tak semudah itu.Belum lagi kontraksi yang terjadi, mirip sekali dengan kram perut. Aku pernah membaca di internet bahwa rasa sakit persalinan itu setara dengan 20 tulang yang dipatahkan secara bersamaan. Dalam kasusku kayaknya 21 tulang yang patah, deh."Sha, kamu benar-benar sanggup melahirkan secara normal? Atau mau operasi saja?" tanya suamiku tiba-tiba.Kupalingkan mataku kepadanya, matanya berkaca-kaca. Aku tertawa lemah. "Yud, aku yang sakit, tapi mengapa kamu yang menangis?" aku balik bertanya. Kusentuh pipi pria yang kucintai itu.K
"Mbak, ini serius pilihanmu, Mbak? Asli, bukan Mbak Ashanna banget, lho." Ketiga adikku memandangku dengan tatapan penuh komplikasi, antara kagum, heran, dan sedikit tak percaya. Nada suara mereka terdengar mencemooh. "Unbelievable! Cantik, sih, cantik ...," komentar Desi mengambang, masih belum sanggup menerima kenyataan. Selama ini aku memang suka tampil cantik, tapi kecenderungannya cantik yang anggun, elegan, bukan cantik ala ciwi-ciwi yang girly dan kemayu. Mengingat tema acara untuk wedding anniversary ketiga kami adalah pernikahan, sudah sewajarnya aku mengenakan gaun pernikahan. Namun, karena perutku yang semakin membesar, jalan bulan keenam gitu loh, aku tak bebas memakai sembarang baju, karena bentuk perutku yang seperti balon bisa terekspos. Berdasarkan rekomendasi dari ahli bridal yang sudah berpengalaman belasan tahun, aku dibantu untuk memperoleh gaun yang tepat. Pilihannya jatuh kepada gaun pengantin ala-ala princess berwarna putih cantik, dengan bagian rok merekah
"Gimana sih kokinya? Kenapa masakannya begini semua? Nggak asyik, ah!" gerutuku dengan wajah tidak senang. Ketiga adikku, terutama Desi yang menjadi koki utama, memandangku dengan wajah merengut. Mereka sebal, karena aku mencela makanan yang mereka buat. Iya, aku yang mengomel tadi, karena sedikit kecewa dengan hasil masakan mereka. "Ya sudahlah, Mbak, tinggal makan pun," gerutu Disa tak senang. "Nggak perlu protes, tinggal buka mulut, nyam nyam nyam, perut kenyang," timpal Desi. Dida pun menimpali, "Rempong bener, sih, Mbak Ashanna ini." "Habis gimana, dong? Kalian masak western food, katanya, makanan Italia, tapi kok semua mengandung keju begini?" Aku mempertegas alasanku memprotes mereka. "Namanya western food, Mbak, pakai keju. Kalau pakai cabai, brambang bawang, ya masakan Jawa. Kalau pakai andaliman masakan Batak. Sudah autentik itu," Desi berdalih lagi. "Lagian tuh makanannya mengandung kalsium tinggi. Bagus untuk pertumbuhan bayi dalam kandungan, sehat untuk bayinya Mbak
"Kamu nggak salah makan, Sha? Atau tadi di rumah sakit dokter nggak keliru nyuntik kamu serum kurang waras, 'kan?"Asyiknya Yudistira tuh kayak gini ini. Dia bisa saja langsung marah karena mendengar permintaanku yang aneh, tetapi ia malah bercanda. Mengejek memang, tapi main-main saja."Ngawur! Aku kan disuntik serum yang bikin bahagia," ucapku sambil senyum-senyum."Hah! Emang serum apaan?" tanyanya dengan nada mencemooh. Aku tertawa kecil. Sebenarnya Yudistira pasti cemburu gara-gara permintaanku yang aneh.Dengan wajah super serius aku menjawab, "Serum yang bikin bahagia? Serum ... ah sama kamu, hidup bersama kamu, punya anak dengan ....""Ahay!!!" seru Yudistira, kali ini ia kegirangan ditambah sedikit tersipu. Ah, kena juga gombalanku. Hihi."Terus tadi kamu bilang ingin menikah lagi tu, apa? Mau nikah sama siapa? Kamu mau poliandri?" Yudistira kembali bertanya menuntut penjelasan. Nah, kan! Mikirnya sudah aneh-aneh. Apalagi coba kalau bukan cemburu namanya?"Idih! Siapa juga ya
"Sudah delapan jam Ibu Fitri mengalami kontraksi, tetapi belum ada tanda-tanda bayinya akan lahir." Ucapan dokter tadi membuat kami cemas. Juna bilang sejak semalam istrinya telah merasakan kesakitan sebagai tanda akan melahirkan, mengingat usia kandungannya sudah melewati angka sembilan bulan. Namun, pagi ini berjam-jam Fitri telah mengalami kontraksi, tetapi si jabang bayi seperti belum rela meninggalkan perut ibunya. Duh, tak bisa kubayangkan, calon ibu ini pasti sudah menghabiskan banyak tenaga. Kalau seperti ini sudah bisa diperkirakan apa yang harus dilakukan terhadap Fitri dan bayinya. "Kami menyarankan untuk operasi saja, demi keselamatan ibu dan anak. Mohon segera diputuskan, Pak, agar Ibu tidak perlu menunggu terlalu lama," ungkap sang dokter kepada Mas Juna, menyatakan hal yang sama persis dengan perkiraan kami. Iparku berpikir di tengah kecemasan. Memang Fitri sendiri berharap ingin melahirkan secara normal, sudah sewajarnya wanita menginginkan metode ini saat bersalin
"Jangan pergi, Sayang! Aku nggak mau ditinggal. Please ...," rengekku sembari mencengkeram erat lengan suamiku.Yudistira menghentikan langkahnya. Ia sudah rapi, ganteng, wangi, dan siap berangkat kerja, tapi rasanya aku tak rela ditinggal di rumah sendiri.Semenjak hamil dan kerap mengalami morning sick, Yudistira, selaku bos dan suami, memberikanku cuti kehamilan tak terbatas waktu. Artinya aku bisa libur selama apapun aku mau, dan kembali kapanpun aku siap, tanpa resiko kena PHK, dan tetap mendapatkan gaji ... maksudnya gaji dari uang pribadi suamiku."Sayangku, Ashanna, kalau aku nggak pergi kerja, kita mau makan apa?" dalihnya agar aku membiarkannya pergi."Aku nggak butuh uang, Sayang, cukup cintamu. Cintamu saja untuk selamanya," ucapku romantis, dramatis, dan nylekutis. Suaraku bahkan terdengar kelewat manis, melebihi sakarin, aspartam dan biang gula manapun.Lagian bohong banget, dia nggak kerja sehari saja bingung mau makan apa? Hah! Kami liburan sebulan pun dia nggak akan b