"Nggak bisa gitu, Yud, itu uang ratusan juta, bukan daun kelor," tukasku tegas. "Dan aku sadar keluargaku sudah berutang budi padamu, walaupun aku membayar kembali uang itu, kami tetap berutang budi padamu. Tapi tetap aku ingin membayarnya, meskipun butuh waktu seribu tahun."
Setelah drama rumah tangga tadi, maksudnya drama di rumah yang ada tangganya, Yudistira mengajakku makan ayam goreng. Pemuda itu tak hanya menjadi penyelamat keluargaku, tapi juga penyelamat perutku yang kelaparan. Kami berbicara. Intinya ia ikhlas melunasi utang ayahku, tanpa mengharapkan imbalan apapun.
Omong kosong! Aku memahami jika ia berniat baik untuk membantu kami, tapi bagiku jumlah uangnya terlalu besar untuk digratiskan begitu saja. Tak mungkin aku menutup mata, dan tak membayarnya kembali.
"Seribu tahun keburu mati, Sha" kekehnya setelah menyeruput es teh pesanannya. "Tapi dunia ini memang cuma selebar daun kelor, 'kan. Kita yang satu dekade terpisah bisa bertemu lagi."
"Aku 'kan masih tinggal di rumah yang sama, Yud, nggak tiba-tiba pindah ke bulan."
"Hahaha. Bisa-bisa namamu berubah jadi Ashanna Dewi Ngi-Bulan, ya, Sha."
"Ih, sembarangan," desisku sembari tertawa menanggapi guyonan Yudistira. "Jadi, kembali ke topik, aku akan tetap balikin uang kamu, Yud. Titik! Nggak ada protes!"
"Yakin kamu bisa? Jumlahnya nggak main-main, Shanna."
"Kamu nyepelein aku?" sungutku kesal.
"Bukan gitu juga. Aku hanya realistis. Kalau nanti terbukti kamu nggak bisa melunasinya gimana? Kamu mau bayar pakai apa?" Eh, Yudis malah nantangin. Aku sendiri sebenarnya kurang yakin, tapi gengsi dong kalau harus menyerah begitu saja.
"Pokoknya aku bayar. Kamu jangan macam-macam, ya. Jangan memintaku menikah denganmu sebagai ganti rugi."
"Hahaha." Yudistira tertawa terbahak-bahak saat mendengar perkataanku. "Siapa juga yang ngajakin kamu nikah? GR banget! Hahaha."
"Pokoknya aku nggak mau seperti Siti Nurbaya," tegasku dengan mata berapi-api.
"Nggak ada yang akan menjadikanmu Siti Nurbaya, Sha. Tapi kalau kamu mau menikah denganku ... aku nggak nolak," ucap Yudis serius, dengan tatapan mata berkilat jahil.
"Enggak bisa, Yudistira. Pokoknya enggak," tegasku sekali lagi dengan mata yang semakin melotot. Entah mengapa jantungku berdetak lebih cepat, saat ia mengatakan bahwa ia tidak menolak kalau harus menikah denganku.
Aku harus sadar diri. Aku sudah punya pacar, ya ... meskipun selama beberapa bulan ini keberadaannya tidak jelas. Ia hanya sesekali menjawab pesanku, dan mengatakan dirinya sedang sibuk. Bagaimanapun aku harus menjadi pasangan yang setia.
"Ya ... terserah kamu, deh, Sha," kata Yudistira acuh tak acuh. Ia sudah tahu betapa keras kepalanya diriku.
"Hehe, gitu dong," kekehku senang sekaligus lega. "Tapi yang jadi masalah ... aku lagi nggak punya uang, Yud. Hehe"
"Loh, bukannya kamu kerja ...? Tunggu, jangan-jangan ... kamu pulang cepat karena ...." Yudistira memicingkan matanya, memandangku dengan penuh kecurigaan.
"Hehe, iya, aku memang berhenti kerja hari ini," ujarku cepat-cepat, "tapi aku janji, secepatnya aku akan mencari pekerjaan baru, dan mulai melunasi utangku."
"Kenapa nggak kerja di tempatku saja?" usulnya tiba-tiba.
"Kerja apa memangnya? Jadi babu?" cemoohku. Sudah kutebak, cowok satu ini palingan hanya menggangguku.
"Jadi asisten hidupku, yang menemaniku 24 jam ...."
"Idih, mulai lagi, deh," gerutuku sembari melempar potongan mentimun ke arahnya.
"Hahaha," Yudis tertawa sangat puas. "Kamu bisa bahasa Inggris, 'kan? Dan kemampuan tata bahasamu bagus, 'kan? Bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris."
"Memangnya kerja apa?" tanyaku balik. Sepertinya tawaran Yudistira menarik. Mengapa bisa kebetulan sekali, ya? Aku memang selama ini bekerja sebagai penerjemah. Inikah yang namanya pucuk di cinta, ulam pun tiba?
Pemuda itu mulai bercerita, selama ini ayah tirinya memiliki resort di Jogja, dan Yudis membantu mengelolanya. Dengan banyaknya wisatawan asing yang datang ke Jogja, selama beberapa tahun terakhir ini ia membuka kursus bahasa Indonesia untuk orang-orang asing itu. Yudis menawarkan pekerjaan sebagai seorang guru di tempat kursusnya.
"Wah, kayaknya seru, nih," ujarku antusias. Langsung saja kutanyakan persyaratan apa saja yang dicari, dan seperti apa pekerjaannya.
Kemudian dalam waktu singkat negosiasi kami selesai. Tanpa pikir panjang lagi, aku menerima tawaran pekerjaan dari Yudis. Ia bahkan menawariku untuk tinggal di rumahnya yang baru, karena tempat kerjaku yang baru jauh dari rumahku sendiri, ketimbang aku harus pergi pulang naik motor selama berjam-jam.
Awalnya aku ragu, tetapi setelah bertemu Bu Ani, ibu Yudistira, serta keluarga mereka, aku mau menerima tawarannya. Tentu saja aku bukan cuma numpang tidur, sebisa mungkin aku membantu pekerjaan yang ada di rumah itu. Kadang aku menemani Arum, anak bungsu Bu Ani, mengerjakan PR.
Pekerjaan baruku menyenangkan, aku berkenalan dengan banyak orang asing, bule maupun orang Asia. Keluarga Bu Ani dan Pak Pandu sangat baik kepadaku, hingga tak terasa satu bulan berlalu.
Lalu suatu hari kekasihku muncul lagi, dengan sebuah kejutan akbar.
***
Hari Jumat siang saat aku masih di tempat kursus, tahu-tahu Aldo menghubungiku. "Sha, ketemuan, yuk," begitu tulisnya dalam pesan singkat, ia juga menyebutkan nama sebuah mall besar di Jogja.
Wah, setelah sekian purnama menghilang, Aldo kembali menampakkan batang hidungnya. Perasaanku campur aduk: senang, ragu, sekaligus gelisah. Entahlah, mungkin ini hanya pikiran burukku saja.
"Ikutan, dong," celetuk Yudis sewaktu tahu aku akan bertemu pacarku.
"Eh, nggak usah! Jangan gangguin orang pacaran, ya," tolakku sembari mengibaskan tangan mengusirnya.
"Ih, siapa yang mau gangguin? Malas banget, mendingan aku cari cewek," cibirnya. "Aku 'kan juga pingin kenalan sama pacarmu, Sha. Sekalian aku mau beli donat buat mama dan adik-adikku, mumpung lagi diskon."
"Oh, gitu. Ya udah, deh. Boleh." Aku mengizinkannya mengantarku ke mall. Lumayan sih, dapat tebengan gratis.
Kami masuk ke mall bersama, tetapi sempat berpisah karena ia harus menjawab telepon di ponselnya. Dengan langkah riang aku berjalan menemui Aldo.
"Hai, Aldo!" Aku melambaikan tangan ketika aku menemukan sosoknya dari kejauhan. Ia tidak sendiri, ada seorang wanita di sana. Oh, ternyata itu Winda, sahabat kami.
Semula aku senang melihat Winda hadir, tapi itu hanya bertahan beberapa detik. Tak banyak basa-basi Aldo langsung menceritakan kondisi mereka berdua. Rupanya selama beberapa bulan terakhir ia tak bisa dihubungi, Aldo main gila dengan Winda.
"Aku dan Winda akan menikah, Sha ... Winda hamil."
Pernyataan Aldo membuatku membeku. Aku tak percaya, Aldo, pria yang selama ini kucintai, kekasih yang kuharapkan menjadi pendamping hidupku nanti, berkhianat dengan sahabatku sendiri.
Kami sudah dua tahun berpacaran. Dia teman kuliahku dulu, demikian pula Winda. Perempuan itu tahu hubungan kami, bahkan setahuku Winda sendiri sudah memiliki kekasih. Tapi apa yang mereka lakukan di belakangku?
Sebegitu tidak bermoral kah anak muda sekarang, hingga mereka melakukan seks pranikah? Selama aku berpacaran dengan Aldo, aku memang tidak ingin melakukan skinship. Jangankan berciuman, bergandengan tangan saja aku takut. Aku bukan tidak percaya kepada kekasihku, melainkan diriku sendiri. Aku takut tergoda dan berbuat terlalu jauh sebelum waktunya.
"Kamu selama ini dingin, Sha, memegang tanganmu saja aku tidak boleh ...," cerocos Aldo mulai membuat alasan, mengeluhkan sikapku yang kurang perhatian, sementara Winda dengan tenang berdiri di sebelahnya, memegang erat tangan kekasihku ... eh, ralat, mantan kekasih.
Ia bahkan belum mengatakan bahwa hubungan kami putus, Aldo langsung bilang mereka akan menikah. Jadi apa maunya? Menikah dengan Winda sementara aku masih berstatus sebagai pacarnya?
Dan Aldo sangat licik. Ia tahu aku tidak suka membuat keributan di tempat umum, maka pemuda itu mengajakku bertemu di mall, di tempat yang ramai, sehingga aku akan malu sendiri jika marah-marah pada kedua pasangan tak bermoral itu.
Tubuhku yang tadi seolah membeku, kini mulai terasa panas, darah mulai mengalir deras ke kepalaku, hingga kupikir aku akan meledak, dan terkena stroke di usia muda.
Pikiranku sedikit teralihkan tatkala Yudistira menyusulku. "Sha, ada apa ini?" tanyanya begitu sampai. Rasanya begitu sakit, tetapi aku menahan semua emosi yang berkecamuk di dalam jiwa. Lalu kehadiran Yudistira memberiku ide gila.
"Oke, Do, kalau itu mau kamu. Kita putus, kamu nikah saja sama dia ...," tantangku.
"Aku benar-benar minta maaf, Sha ...."
"Nggak perlu minta maaf, Aldo. Itu 'kan yang kamu mau. Kamu tidak perlu khawatir, karena aku bisa mendapatkan yang lebih baik dari kamu. Karena aku ... akan menikah sama dia."
Secepat kilat aku menyambar lengan Yudis. "Iya, kan, Sayang?" tambahku lagi dengan suara manja, tetapi kini kalimatku kutujukan pada sang pria tampan yang berdiri di sampingku.
Yudistira menatapku lekat, wajahnya tegang, dan rahangnya mengeras, menahan emosi. Apakah ia marah? Atau berpikir aku gila? Aku tak peduli, aku tersenyum dengan begitu manis kepadanya. Aku tahu ia akan memahami situasiku dan membantuku.
"Kamu yakin dengan ucapanmu, Ashanna?" suara bas miliknya terdengar tegas.
"Tentu dong, Yudistira sayang," jawabku semakin centil, dengan harapan bisa membuat pasangan di depanku gerah, dan menyesal karena telah mengkhianati kepercayaanku.
Memangnya cuma mereka yang bisa begitu? Aku bisa lebih heboh lagi, ya, walaupun cuma sandiwara. Setidaknya aku bisa sejenak menutupi rasa sakit hatiku, dan tidak terlihat lemah di hadapan para pengkhianat itu.
Namun, reaksi berikutnya dari Yudistira sangat tak terduga. Ia mengambil tanganku yang sedari tadi menggelayuti lengannya, dan menarik pundakku hingga kami berdiri berhadapan.
"Kenapa, Sayang? Kalau mau pacaran, jangan di sini, dong, aku malu, lho. Hihi." Dengan tidak tahu malu, aku bersikap mesra padanya, bahkan memukul dadanya manja, seperti seorang perempuan yang gemas dengan kekasihnya. Sesekali mataku meliriknya, sembari mengirimkan kode agar ia melengkapi sandiwaraku.
Apa yang terjadi selanjutnya sungguh di luar dugaanku. Yudistira menganggukkan kepalanya sekali, lalu dengan suara yang begitu jelas, sejelas petir di siang bolong, ia berkata padaku, "Baiklah, kita akan menikah bulan depan. Menikah betulan, bukan kawin kontrak, dan tidak ada perceraian."
Bibirku yang semula bersikap sombong dengan menyunggingkan senyuman mengejek, kini hanya mampu tersenyum kecut. Rasanya selama sesaat darah berhenti mengalir ke kepalaku.
Apa-apaan ini? Sandiwaraku dibalas dengan kegilaan oleh Yudistira. 'Ah, paling ia cuma main-main,' pikirku dalam hati. Namun, pria itu membuatku tak bisa mengelak. Ia mengatakan bahwa ia serius, akan secepatnya melamarku, serta mengurus pernikahan kami.
Yudistira menyatakannya dengan lantang dan jelas di hadapanku, Aldo, Winda, serta orang-orang yang sedari tadi menyaksikan keributan yang kami timbulkan. Ia tak main-main.
"Yud, kamu nggak serius, 'kan?" tanyaku saat kami berjalan ke luar mall.
Yudistira menghentikan langkahnya, lalu menatapku tajam. "Ashanna, kamu mungkin pandai bersandiwara, tapi aku tidak. Yang sudah keluar dari mulutku itulah yang akan kulakukan."
"Yudistira, kamu jangan main-main, ya!" sergahku keras. "Ashanna, aku nggak main-main, aku serius. Aku memang sedang mencari istri," ungkapnya dengan ekspresi bersungguh-sungguh. Aku tercengang setelah mendengar pernyataannya tadi. Apa katanya? Dia sedang mencari istri? Aku tak akan percaya begitu saja. Pengkhianatan Aldo dan Winda sudah cukup membuatku kacau, dan sekarang aku harus mendengar hal yang lebih mengejutkan lagi. Aku mengusap wajahku dengan putus asa. Setelah kehebohan tadi, aku langsung mengajak Yudistira pergi. Sekarang kami ada di dalam mobil Yudistira di tempat parkir mall. "Lagian kalau kita menikah, uangku adalah uangmu, kamu nggak perlu lagi memikirkan bagaimana cara melunasi utang yang ratusan juta itu," tambahnya tanpa perasaan. "Nah! Apa kubilang? Pada akhirnya tetap saja aku hanya dijual untuk menutupi utang, persis seperti Siti Nurbaya. Kenapa nggak dari awal saja begitu?" desisku, tak mampu menutupi kekesalan. Yudistira sama saja dengan Juragan Suseno, y
"Kamu istriku, Ashanna, milikku. Jangan kau ingkari itu," bisiknya di telingaku. Yudistira mulai mencumbuku. Tidak ada bagian dari wajahku yang ia lewatkan. Aku yang polos dan tak berpengalaman hanya bisa pasrah, serta mencoba untuk mengikuti naluriku sebagai perempuan. Sempat terpikir olehku untuk menolaknya, tetapi hati nuraniku berkata aku harus melakukan kewajibanku sebagai seorang istri. Lagipula pikiran untuk menolak itu hanya terlintas sekejap, karena kedekatan kami langsung melenyapkan semua pemikiran lain. Pria yang telah menjadi suamiku itu mencium bibirku. Aku mencoba membalasnya, walaupun aku tak tahu jika yang aku lakukan sudah benar. Anggap saja aku aktris yang lagi main drama Korea. Sejenak Yudis berhenti, lalu menatapku dengan mata sayu. "Sha." Ia memanggil namaku lirih, lalu menjauh dari wajahku, dan meletakkan kepalanya di dadaku. Kemudian .... Semua berhenti begitu saja. "Yud ..., Yudistira," panggilku saat tak terjadi apapun. Hanya keheningan yang ada, dan pu
"Jadi ini kejutannya, Yud?" tanyaku serius. Yudistira menggaruk kepalanya. Wajahnya mencerminkan kepasrahan ... pasrah kalau aku meledeknya. "Bukan begini maksudku, Sha. Ini di luar kemampuanku, bukan kejutan buatmu. Kalau kejutan 'kan memang sengaja dibuat untuk memberi euforia lebih," paparnya mengakui keterbatasannya. Aku mengulum senyum. "Oh, gitu," komentarku singkat. Yudistira melebarkan senyuman di bibirnya, satu jurus untuk mendapatkan permakluman dariku. Aduh, lucunya suamiku! Pasangan yang baru menikah idealnya langsung tinggal di rumah mereka sendiri, entah itu milik pribadi ataupun kontrak. Sebagai sesama penganut prinsip anti ribut dengan mertua, aku dan Yudistira sepakat untuk tinggal terpisah dari orang tua kami masing-masing. Sayangnya tingkat kepercayaan diri seorang Yudistira kadang sedikit over. Karena fokus dengan urusan pernikahan, hunting rumah belum membuahkan hasil. "Nyari yang cocok nggak gampang, Sha. Sebisa mungkin aku mencari yang lokasinya dekat resor
"Sha, mulai besok kamu jangan ngajar si Kim Jong Un lagi," ucap Yudistira tiba-tiba. Aku meletakkan buku yang tengah kubaca seraya menatap pria itu tak percaya. Yudistira mendadak aneh. "Kenapa, Yud? Ada masalah? Namanya Kim Jong In, ya, bukan Kim Jong Un." Kan ... nama orangnya saja sampai diganti sama dia. "Kim itu nggak baik, Sha. Berbahaya," alasannya terlalu dibuat-buat. Mulai provokatif nih orang. "Berbahaya bagaimana? Kalau Jong In memang membahayakan, laporkan ke polisi, keluarkan dari tempat kursus." Sedikit kesal aku menanggapi Yudistira yang mengeluh manja. "Ya, nggak bisa gitu juga ...," Yudis ngedumel tidak jelas. Aku tak paham apa maunya, apalagi terkesan ia egois dan memaksakan kehendaknya yang tidak masuk akal. Aku memutuskan untuk kembali membaca novelku, walau mood-ku sudah mulai terganggu. Kupikir Yudis sudah melupakan permintaannya yang kekanakan, sampai akhirnya ia mengucapkan kalimat yang membuatku sangat sebal. "Sha, kamu jadi ibu rumah tangga saja, ya, di
"Apa-apaan ini?" desisku kehabisan akal. Aku mengepalkan kedua tanganku begitu geram. Mengapa Yudistira malah kabur? Beginikah caranya menyelesaikan masalah? Ia bahkan tidak berpamitan kepadaku. Jangan-jangan .... Ah, cepat-cepat kuusir pikiran yang mulai melantur tidak jelas. Semenyebalkan apapun Yudistira, aku yakin ia akan berupaya menjadi suami yang setia, sekalipun tidak atau belum ada cinta di antara kami, Yudistira pasti berpegang pada komitmennya sendiri. Dengan lesu aku kembali ke dalam, duduk di sofa di ruang tengah, ketimbang masuk ke kamar tidur. Aku masih kesal, tetapi aku mencoba untuk menjernihkan pikiranku yang tengah kacau. "Tahun pertama perkawinan adalah masa tersulit untuk pasangan, Sha. Lima bulan pertama mungkin mereka masih mesra, tapi memasuki akhir semester pertama masalah pelik mulai muncul. Belum lagi dibutuhkan penyesuaian karakter masing-masing. Mereka yang dulunya hanya melihat yang manis-manis saat pacaran, bisa kaget ketika tahu keseharian dan sifat
Orang Kaya Baru, julukan itu mungkin dapat dengan gampang disematkan pada keluargaku. Ayahku yang berutang ratusan juta, mendadak bebas tanpa syarat karena kebaikan seseorang yang seperti superhero. Lebih ajaib lagi mas superhero tiba-tiba melamarku, dan sebulan kemudian, kami menikah. Udah gitu doi nggak cuma ganteng, dan berpenampilan keren, ia juga tajir melintir. "Nggak cuma ketiban duren si Ashanna itu, ketiban duren satu truk," komentar seorang tetangga. Untung saja itu cuma peribahasa. Jadi apa diriku kalau sampai ketiban durian satu truk beneran. Balik jadi Tom and Jerry lagi kali ya? Keluargaku jelas mengalami gegar budaya. Kami yang selama ini hidup sederhana, Bapak, Ibu, dan aku bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan kami, mendadak menerima sendok emas di tangan kami. Namun, yang paling terpengaruh oleh perubahan ini adalah ketiga adikku. Aku adalah anak sulung dari empat bersaudara. Ketiga adikku perempuan, mereka duduk di bangku SMP, dan seumuran. Mereka memang kemb
"Apaan, sih, kalian ini?" tegurku, teguran yang lemah karena aku tak bisa menyembunyikan senyuman di bibirku. Wajahku pun panas. "Eciee, Mbak Shanna yang galak tersipu-sipu," ledek Dida. "Mbak Shanna yang suka ngomel blushing, pemirsa," tambah Disa. "Mbak Shanna langsung klepek-klepek saat ditanya tentang Mas Yudistira," pungkas Desi, melengkapi ledekan sekaligus ejekan mereka padaku. Seraya bertambah besar, ketiga adikku semakin pintar berolok-olok. Dulu mereka biasanya marah atau ngambek kalau kugoda, sekarang mereka pintar menggoda balik dengan lebih sadis. Duh, adik siapa sih ini? "Nanya kok aneh-aneh gitu sih. Terus apa tadi? Mas Yudis kalian bilang mirip sama Sule? Memangnya suamiku susu kedele? Kalau Mas Yudis marah, baru tahu rasa kalian nanti," gertakku, padahal aku tahu, Yudis nggak mungkin marah cuma karena dibilang mukanya mirip sang komedian. Habisnya aku bingung mesti menjawab bagaimana. Kan nggak lucu saat seorang perempuan ditanya, apakah ia mencintai suaminya, da
"Yud, selesai kursus aku mau ke rumah Ibu, ya. Aku dengar dari Disa Ibu lagi sakit," tuturku sedikit gugup. Aku mengaduk-aduk makanan di hadapanku dengan gelisah. Siang itu kami makan di restoran resort. Sebenarnya Yudistira bukan suami yang sulit, dia pasti mau memahami jika ada situasi tak terduga. "Keluargamu adalah keluargaku sekarang. Jika ada masalah di rumah, segera bilang padaku," begitu ia mewanti-wanti agar dirinya dilibatkan jika keluargaku mengalami kesulitan. Saat aku ingin ke rumah orang tuaku, kami selalu pergi bersama. Masalahnya hari ini ada rapat direksi resort, dan Yudistira harus datang. Apakah aku akan diizinkan untuk pergi sendiri? Tadi pagi Disa mengirimiku pesan, mengabarkan kondisi Ibu sedang kurang sehat. Pikiranku langsung mengarah ke penyakit yang selama beberapa tahun ini muncul. "Jangan-jangan benjolannya makin parah," gumamku, tak luput dari pendengaran Yudistira. "Makan yang benar, Sha. Kasihan pak tani yang sudah capek-capek menanam," tegurnya, d
(Tiga tahun kemudian) "Tangkap, anak-anak!" "Ayo, Dik! Lari!" "Ahahaha! Kakak!!!" Teriakan dan jeritan tawa khas bocah yang sanggup memekakkan telinga, membuat suasana di halaman belakang rumah mertuaku begitu ramai. Berisik, sekaligus menghangatkan hati. Yudistira, suami yang amat kucintai, bermain tangkap bola dengan kedua anak kami, Dias dan Nara. Meskipun keduanya mewarisi wajah sang ayah, sifat mereka sangat berbeda. Nara pemberani, cerewet, dan berjiwa pemimpin, cocok banget dengan suasana hati yang kurasakan ketika aku hamil. Sedangkan Dias lebih tenang, dan mudah tersentuh, cocok juga dengan pembawaanku yang suka mewek saat mengandungnya. Kupandang mereka bertiga penuh sayang. "Lucu banget, ya, cucu-cucu Mama," celetuk ibu mertuaku yang tiba-tiba berdiri di sampingku. "Anak Mama lebih lucu, Ma," sahutku sambil cengengesan. Kan, suamiku memang lucu. Sesaat Mama Ani terbengong, lalu dia memukulku main-main. "Baguslah, kalau kamu masih menganggap anak Mama yang paling luc
"Selamat, Nak! Sudah lengkap sekarang, satu perempuan, satu laki-laki." "Selamat, ya, Yudistira dan Ashanna, anak kalian ganteng banget!" "Lucunya anak kalian!" Pujian semacam itu sering kudengarkan beberapa hari ini setelah si Cendol lahir ke dunia. Membanggakan memang, tetapi tak semua pujian membuatku senang. "Ya, ampun! Ini sih foto copy-an Yudistira." "Mirip banget dengan bapaknya." "Benar, mirip plek ketlipek-tiplek." Katanya anak perempuan lebih mirip ayahnya, sedangkan anak lelaki lebih mirip ibunya. Nah, sekarang aku punya dua anak, satu perempuan, satu laki-laki, mengapa nggak ada satu pun yang mirip aku? Mereka berdua mirip bapaknya, ibunya kebagian apa? Seakan-akan aku cuma dijadikan jalan lewat mereka lahir ke dunia. Aku mau nitipin bentuk hidung saja mereka menolak.Memang sih, hidung suamiku lebih mancung ketimbang hidungku, jadi sudah pasti hidung anak-anakku juga mancung. Hah!"Malah bagus kali, Sha. Nggak akan ada yang meragukan bahwa kamu punya anak sama Yudi
"Sayang, ini kabar bahagia, mengapa kamu bersedih?" Pertanyaan suamiku, meskipun disampaikan dengan suara yang lembut, malah membuatku semakin galau, hingga rasanya aku ingin menangis. Bagaimana aku tidak sedih, baru juga enam bulan lalu aku melahirkan, eh, aku sudah hamil lagi. Bukannya aku tidak senang, tetapi anak pertamaku masih kecil, ia masih butuh banyak perhatian dariku, aku bahkan berencana untuk memberikan ASI eksklusif untuk Nara paling tidak selama setahun. "Seorang ibu hamil bisa saja menyusui, tetapi itu juga tergantung kondisi sang ibu. Bila ibu sehat, tak menutup kemungkinan untuk tetap menyusui," kata dokter kandunganku memberiku sedikit harapan.Sayangnya, aku tidak termasuk ibu sehat itu. Kehamilan kedua, aku malah teler luar biasa. Bukan hanya mengalami morning sick, tubuhku rasanya sangat lemas hingga tak mampu melakukan banyak aktivitas. Dan lagi-lagi suamiku yang harus repot mengurus kebutuhanku, membantuku bila aku perlu makan, atau ke kamar mandi.Namun, yan
"Sakit banget, ya, Sayang?" suamiku bertanya dengan wajah penuh kecemasan.Hanya seulas senyum yang mampu kuberikan sebagai jawaban, karena kuyakin ekspresi wajahku saat ini sudah cukup menggambarkan apa yang kurasakan.Kata orang sakit bersalin tuh sakit banget, dan itu benar kurasakan, padahal ini barulah awal prosesnya. Perut melilit seperti saat sedang kebelet BAB, ada desakan yang kuat untuk mengeluarkan isi perut, tetapi sayangnya melahirkan tak semudah itu.Belum lagi kontraksi yang terjadi, mirip sekali dengan kram perut. Aku pernah membaca di internet bahwa rasa sakit persalinan itu setara dengan 20 tulang yang dipatahkan secara bersamaan. Dalam kasusku kayaknya 21 tulang yang patah, deh."Sha, kamu benar-benar sanggup melahirkan secara normal? Atau mau operasi saja?" tanya suamiku tiba-tiba.Kupalingkan mataku kepadanya, matanya berkaca-kaca. Aku tertawa lemah. "Yud, aku yang sakit, tapi mengapa kamu yang menangis?" aku balik bertanya. Kusentuh pipi pria yang kucintai itu.K
"Mbak, ini serius pilihanmu, Mbak? Asli, bukan Mbak Ashanna banget, lho." Ketiga adikku memandangku dengan tatapan penuh komplikasi, antara kagum, heran, dan sedikit tak percaya. Nada suara mereka terdengar mencemooh. "Unbelievable! Cantik, sih, cantik ...," komentar Desi mengambang, masih belum sanggup menerima kenyataan. Selama ini aku memang suka tampil cantik, tapi kecenderungannya cantik yang anggun, elegan, bukan cantik ala ciwi-ciwi yang girly dan kemayu. Mengingat tema acara untuk wedding anniversary ketiga kami adalah pernikahan, sudah sewajarnya aku mengenakan gaun pernikahan. Namun, karena perutku yang semakin membesar, jalan bulan keenam gitu loh, aku tak bebas memakai sembarang baju, karena bentuk perutku yang seperti balon bisa terekspos. Berdasarkan rekomendasi dari ahli bridal yang sudah berpengalaman belasan tahun, aku dibantu untuk memperoleh gaun yang tepat. Pilihannya jatuh kepada gaun pengantin ala-ala princess berwarna putih cantik, dengan bagian rok merekah
"Gimana sih kokinya? Kenapa masakannya begini semua? Nggak asyik, ah!" gerutuku dengan wajah tidak senang. Ketiga adikku, terutama Desi yang menjadi koki utama, memandangku dengan wajah merengut. Mereka sebal, karena aku mencela makanan yang mereka buat. Iya, aku yang mengomel tadi, karena sedikit kecewa dengan hasil masakan mereka. "Ya sudahlah, Mbak, tinggal makan pun," gerutu Disa tak senang. "Nggak perlu protes, tinggal buka mulut, nyam nyam nyam, perut kenyang," timpal Desi. Dida pun menimpali, "Rempong bener, sih, Mbak Ashanna ini." "Habis gimana, dong? Kalian masak western food, katanya, makanan Italia, tapi kok semua mengandung keju begini?" Aku mempertegas alasanku memprotes mereka. "Namanya western food, Mbak, pakai keju. Kalau pakai cabai, brambang bawang, ya masakan Jawa. Kalau pakai andaliman masakan Batak. Sudah autentik itu," Desi berdalih lagi. "Lagian tuh makanannya mengandung kalsium tinggi. Bagus untuk pertumbuhan bayi dalam kandungan, sehat untuk bayinya Mbak
"Kamu nggak salah makan, Sha? Atau tadi di rumah sakit dokter nggak keliru nyuntik kamu serum kurang waras, 'kan?"Asyiknya Yudistira tuh kayak gini ini. Dia bisa saja langsung marah karena mendengar permintaanku yang aneh, tetapi ia malah bercanda. Mengejek memang, tapi main-main saja."Ngawur! Aku kan disuntik serum yang bikin bahagia," ucapku sambil senyum-senyum."Hah! Emang serum apaan?" tanyanya dengan nada mencemooh. Aku tertawa kecil. Sebenarnya Yudistira pasti cemburu gara-gara permintaanku yang aneh.Dengan wajah super serius aku menjawab, "Serum yang bikin bahagia? Serum ... ah sama kamu, hidup bersama kamu, punya anak dengan ....""Ahay!!!" seru Yudistira, kali ini ia kegirangan ditambah sedikit tersipu. Ah, kena juga gombalanku. Hihi."Terus tadi kamu bilang ingin menikah lagi tu, apa? Mau nikah sama siapa? Kamu mau poliandri?" Yudistira kembali bertanya menuntut penjelasan. Nah, kan! Mikirnya sudah aneh-aneh. Apalagi coba kalau bukan cemburu namanya?"Idih! Siapa juga ya
"Sudah delapan jam Ibu Fitri mengalami kontraksi, tetapi belum ada tanda-tanda bayinya akan lahir." Ucapan dokter tadi membuat kami cemas. Juna bilang sejak semalam istrinya telah merasakan kesakitan sebagai tanda akan melahirkan, mengingat usia kandungannya sudah melewati angka sembilan bulan. Namun, pagi ini berjam-jam Fitri telah mengalami kontraksi, tetapi si jabang bayi seperti belum rela meninggalkan perut ibunya. Duh, tak bisa kubayangkan, calon ibu ini pasti sudah menghabiskan banyak tenaga. Kalau seperti ini sudah bisa diperkirakan apa yang harus dilakukan terhadap Fitri dan bayinya. "Kami menyarankan untuk operasi saja, demi keselamatan ibu dan anak. Mohon segera diputuskan, Pak, agar Ibu tidak perlu menunggu terlalu lama," ungkap sang dokter kepada Mas Juna, menyatakan hal yang sama persis dengan perkiraan kami. Iparku berpikir di tengah kecemasan. Memang Fitri sendiri berharap ingin melahirkan secara normal, sudah sewajarnya wanita menginginkan metode ini saat bersalin
"Jangan pergi, Sayang! Aku nggak mau ditinggal. Please ...," rengekku sembari mencengkeram erat lengan suamiku.Yudistira menghentikan langkahnya. Ia sudah rapi, ganteng, wangi, dan siap berangkat kerja, tapi rasanya aku tak rela ditinggal di rumah sendiri.Semenjak hamil dan kerap mengalami morning sick, Yudistira, selaku bos dan suami, memberikanku cuti kehamilan tak terbatas waktu. Artinya aku bisa libur selama apapun aku mau, dan kembali kapanpun aku siap, tanpa resiko kena PHK, dan tetap mendapatkan gaji ... maksudnya gaji dari uang pribadi suamiku."Sayangku, Ashanna, kalau aku nggak pergi kerja, kita mau makan apa?" dalihnya agar aku membiarkannya pergi."Aku nggak butuh uang, Sayang, cukup cintamu. Cintamu saja untuk selamanya," ucapku romantis, dramatis, dan nylekutis. Suaraku bahkan terdengar kelewat manis, melebihi sakarin, aspartam dan biang gula manapun.Lagian bohong banget, dia nggak kerja sehari saja bingung mau makan apa? Hah! Kami liburan sebulan pun dia nggak akan b