Marren memeluk Madya dengan berurai air mata. Madya balas menciumi putri semata wayangnya dengan perasaan bersyukur dan penuh haru. Demikian halnya Kakek Ryzadrd memeluk Arsan dan Arland secara bergantian. Suasana yang sempat canggung karena pembicaraan yang mereka lakukan sebelumnya langsung cair karena tangis bayi yang ada dalam salah satu keranjang. Belum sempat mereka berkomentar si kecil satu lagi pun ikut menangis. Seolah ia mendengar panggilan suara kakaknya. Berdua mereka saling bersahutan. Keheningan pun berubah menjadi ramai dan panik karena tak ada satu pun yang berani menggendong bayi mungil tersebut selain Madya. Tetapi tetap saja karena kondisi mereka yang belum stabil mereka harus memanggil suster jaga untuk membantu proses menyusui. Madya tak mau mengambil risiko untuk menggendong bayi itu tanpa persetujuan dokter. Akhirnya setelah keduanya selesai disusui dan kembali tenang, kini mereka pun menjadi lebih lega dan saling berbicara layaknya keluarga normal, tanpa
Marren segera menghapus pesan-pesan yang la kirimkan untuk Arsan dan Arland dari ponsel ibunya.la tak ingin ibunya membaca dan menjadi khawatir dengan apa yang telah terjadi. Tak berapa lama kemudian Arsan muncul di balik pintu dan memasuki ruangan dengan perlahan karena melihat anak-anaknya dan Madya yang kembali terlelap. Hanya Marren yang masih terjaga dengan gelisah, Arsan segera meraih Marren dalam pelukannya. "Jangan takut, sudah jangan khawatir. Orang orang kepercayaan Saya sudah berjaga di depan. Saya jamin mereka juga tak akan kembali lagi. Sudah, ya," bisik Arsan di telinga Marren lalu mengecup pelipis Marren dalam-dalam. "Siapa mereka, Arsan? Kenapa mereka berani sekali datang, padahal jelas-jelas ada Saya, Mommy dan juga kamu? Tapi, entah bagaimana sepertinya mereka tahu kamu sedang tak ada bersama kami," sahut Marren dengan tatapan penuh kekhawatiran. "Siapa pun mereka, kita akan tahu nanti. Yang penting sekarang kalian semua aman," bisik Arsan merapatkan pelukanny
"Itu... Itu darah Marren, Mom Kemarin Arsan yang menggendong Marren sampai ke dalam kamar operasi dan Marren sempat mengalami pendarahan, Mom,'' sela Marren mengambil alih situasi. Karena melihat Arsan yang tampak tak siap dengan pertanyaan Madya. "Ya, Tuhan. Pantas saja. Syukurlah semua sudah baik-baik saja sekarang. Oh, iya Arsan, sepertinya kamu tidak tidur dari semalam, seharusnya kamu beristirahat, Nak,"Tegur Madya dengan sayang pada Arsan yang kini duduk mendekat di tepian tempat tidur Marren."Arsan sudah beristirahat di kamar Arland, Mom. Jadi, tidak apa-apa," jawab Arsan dengan senyum mengembang."Oh, iya, Arsan sudah bicara dengan dokter, Mom, besok kita sudah bisa pulang dan membawa anak-anak serta Arsan akan menyediakan kotak inkubator di rumah sesuai arahan dokter, karena melihat perkembangan si kembar yang jauh lebih baik dari yang diperkirakan, jadi mereka mengizinkan kita pulang membawa anak-anak," papar Arsan membuat Marren dan Madya sangat senang. "Baguslah kalau
Berbagai macam cara dilakukan Arsan, agar Dennis membuka mulut, namun laki-laki itu seolah memang diperintahkan untuk mengunci mulutnya dengan apa pun yang akan ia hadapi. "Baiklah, jika memang itu maumu, kau sendiri yang rugi," ucap Arsan seraya menelepon dan berbicara dengan seseorang. Suasana hening sejenak saat Arsan berbicara dengan seseorang melalui ponselnya. Bahkan Dennis pun terlihat menatap Arsan dengan wajah penuh pertanyaan. "Baiklah, tunggu sebentar," ucap Arsan sesaat menghentikan pembicaraannya di telepon dan beralih pada Dennis dengan senyum mengembang."Dennis, sepertinya, Lena, istrimu ingin berbicara. denganmu, apa kau mau menerimanya?" tanya Arsan dengan suara ramah. Mendengar ucapan Arsan sontak membuat Dennis menjatuhkan dirinya, berlutut di hadapan Arsan dan memohon ampun. "Tolong, Tuan Muda jangan sakiti keluarga saya, tolong, saya mohon. Saya akan mengaku, saya akan mengaku," mohon Dennis dengan menangis di kaki Arsan. "Kel, jaga mereka untukku. Sebelum
"Arsan, apa maksudmu?" ulang Marren menyentuh wajah Arsan yang basah oleh bulir-bulir air mata yang membasahi. "Arsan, Sayang... Sayamohon padamu, tolong katakan yang sejujurnya," desak Marren dengan tatapan memohon seraya membelai wajah Arsan dengan lembut dan membuat Arsan meraih tangan Marren dan menciuminya. Arsan menerawang jauh seolah mengenang sesuatu dengan wajah terluka, "Saat itu Saya bertengkar hebat dengan Papa, karena tiba-tiba saya tak boleh melanjutkan kuliah ke Inggris seperti yang di sepakati sebelumnya, jika hanya untuk bersenang-senang dan tak serius seperti Arland. Saya kesal, semua selalu dibanding-bandingkan dengan Arland. Apa, apa selalu Arland." Arsan menahan isaknya. Marren membelai wajah lelah Arsan yang tertutup mendung kesedihan. "Saat itu juga Saya mengatakan bahwa saya akan membuktikan bahwa Saya mampu dan akan melebihi Arland yang Papa selalu banggakan.Saya tak butuh Papa dan semuanya lagi. Percuma hidup serasa tak diinginkan, lebih baik hidup tanp
"Bagaimana, Brian? Apa istri saya baik-baik saja?" tanya Arsan kepada dokter Beian setelah selesai memeriksa kondisi kesehatan Marren, pagi itu. "Tidak apa-apa, la pingsan karena kurang cairan dan kurang darah. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Mungkin karena selain kelelahan, jangan sampai dia stres yang berlebihan. Saya sudah menuliskan resep untuk di tebus. Saya rasa dia tak perlu di rawat, jika di rawat dia mungkin akan semakin stres," papar Brian menatap Arsan dan Madya secara bergantian. "Baiklah, terima kasih. Tapi, bisakah kamu sering-sering datang kemari untuk memastikan Marren dan anak-anak baik-baik saja?" tanya Arsan dengan ragu-ragu. "Tentu saja, Arsan. Kamu bisa menelepon saya kapan saja. Dan mungkin lusa Saya akan kembali untuk memastikan kondisi mereka. Dan ngomong-ngomong Arsan, selamat ya atas kelahiran mereka. Mereka anak-anak yang cantik dan juga tampan," ucap Dokter Brian dengan senyum mengembang. "Terima kasih, kamu tak melihat siapa Ayahnya, tentu saja
Seharian itu Arsan dan Arland sibuk dengan orang-orangnya untuk menyiapkan pesta perjamuan makan malam untuk selamatan kelahiran Si Kembar. Para lelaki pengawal itu saling bahu membahu menghias rumah, taman hingga teras rumah. Semua bekerja atas perintah Arland dan Arsan. Marren yang menyaksikan kekompakan dua Kakak beradik itu terlihat senang sekaligus heran, akan tetapi hati kecilnya berkali-kali mengucap syukur atas perdamaian yang telah mereka lakukan setelah melewati sebuah pertaruhan kematian bersama. Arsan mendekat ke arah Marren yang berdiri menatapnya dengan terpana, pria tampan itu tersenyum dan merangkul pinggang Marren untuk membawanya masuk kembali ke kamar. "Kenapa di sini? Ayo, seharusnya Kamu beristirahat. Tenanglah, kita baru menghias dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan," hibur Arsan melihat Marren yang terlihat bingung. "Tidak Arsan, walau saya sempat bingung, tetapi saya sangat senang, akhirnya kamu bisa berdamai dengan Kakakmu," sahut Marren membelai lembu
"Apa maksud Kakek?" tanya Arsan pura-pura kebingungan.la lalu berbalik menatap dinding yang telah terpajang foto dalam bingkai dengan ukuran yang sangat besar. Foto-foto itu menampilkan gambar Papa dan Mama Arsan serta Daddy dan kakek Marren. "Ada apa dengan, Kakek? Arsan hanya ingin kita sama sama berdoa untuk mereka. Agar mereka juga ikut merasakan kebahagiaan pesta ini, Kek. Hanya itu. Apa Arsan salah, Kek?" imbuh Arsan dengan wajah sedih. Walau sempat tak enak hati, akan tetapi Kakek Ryzadrd tetap menolak kembali ke atas panggung. Akhirnya Arsan memutuskan menempatkan Kakeknya di kursi makan yang telah ia sediakan khusus untuk Sang Kakek. Dan Arland pun mengambil alih acara dan melanjutkan pidato Sang Kakek, mewakili keluarga Ryzadrd yang tertua."Maafkan atas yang terjadi, Kakek saya memang sedang dalam kondisi yang kurang sehat saat ini, jadi biar saya sebagai perwakilan keluarga Ryzadrd tertua akan melanjutkan sambutan ini," buka Arland dengan sikap penuh simpati dan memb