"Kak... Ayah Kak..." Ucap seorang gadis kecil menangis sesenggukan.
Alesha yang baru pulang dari sekolah langsung memeluk Adiknya untuk menenangkan, batinya penuh tanya apa yang membuat Adiknya ini menangis.
"Kamu kenapa Ara?" Tanyanya lembut.
"Hiks... Ayah kak hiks... Ayah mau pergi... Pergi kak... Ninggalin kita hiks" Tangisnya membuat Ara terbata-bata menjawab pertanyaan sang Kakak.
BRAK
PRANG
BRAK
Suara benda yang jatuh lalu diikuti suara piring pecah membuat Alesha terkejut, Ara pun semakin menangis kencang di pelukannya. Kini kedua matanya menatap ke arah dapur dengan hati yang gelisah.
Alesha mendesis lirih dalam tidurnya karena sebuah mimpi. Ia terlihat gelisah, hingga membuatnya tidak bisa berhenti bergerak di atas ranjangnya sendiri.
"Kenapa?" Teriak Alesha dengan penuh rasa tidak terima, lalu menggenggam erat tangan Ayahnya agar jangan pergi.
Kini air mata Alesha tumpah membasahi wajah cantinya. Namun bukannya memberikan sebuah jawaban, sang Ayah hanya tersenyum sendu lalu perlahan mencoba melepaskan cengkraman Putrinya dari tangannya.
Alesha yang melihat itu menggelengkan kepalanya berkali-kali, berharap agar jangan melepaskan genggaman nya, ia butuh penjelasan apa yang terjadi. Dan di tengah keputusasaan itu Alesha menatap mata sang Ayah, memohon... Itulah yang saat ini ia lakukan.
Karena Alesha tahu selama ini Ayahnya tak pernah tega melihat tatapan sedihnya apalagi dengan air mata yang sedari tadi tidak kering membasuh wajahnya.
Namun, justru dirinya lah yang menemu kan sesuatu dari tatapan sang Ayah. Tatapan itu, mengatakan kan segalanya. Hingga dengan berat hati, Alesha lah yang melepaskan genggaman tangannya sendiri dan membiarkan kan Ayahnya untuk pergi.
Alesha pun semakin mengeratkan cengkraman nya pada selimut yang menyelimuti setengah tubuhnya, seolah-olah ia tidak ingin melepaskan apa pun yang ada digenggamnya.
PLAK
Sebuah tamparan hinggap di pipi mulus Alesha menghempaskan semua kemarahannya. Dengan gemetar tak percaya ia tatap sang pelaku yang sudah menamparnya.
"Semua karena mu, Alesha. Bahkan... Ayahmu pergi, itu juga karena ulah kamu sendiri!"
"KAMULAH PENYEBABNYA... Karena kamu lah gadis murahan itu. Jadi jangan melampiaskan nya kepada orang lain!!"
"DAN JANGAN PERNAH MUNCUL DI HADAPANKU LAGI!" Teriak Ryan, mata pemuda itu menatap tajam dan penuh kemarahan pada Alesha.
Alesha yang masih terpejam secara repleks menyentuh pipinya dan mulai terisak didalam tidurnya.
"Akhirnya Daniel Hatmaja melepas masa lajangnya setelah..." Suara di televisi membuat Alesha berlari keluar rumahnya.
"ALESHA" Tak dihiraukannya teriakan seseorang yang terus memanggil namanya.
Alesha menggelengkan kepalanya berkali-kali, seolah ia akan tahu jika hal buruk akan terjadi.
"Mau kemana gadis manis" Ucap Orang itu lalu menarik lengan Alesha dengan sangat kasar.
"Tolong... Tolong..." Teriaknya seraya terus memberontak dari Orang itu. Namun semua itu percuma.
Keringat mulai membasahi wajah cantik Alesha, bahkan AC dan suasana dingin selepas hujan pun tidak mampu untuk menghentikan peluhnya.
"Jangan... Kumohon... Jangan... Aku mohon jangan" Mohon nya dengan terisak.
Alesha tidak pernah setakut ini selama hidupnya.
Raut wajah Alesha menunjukkan jika ia sangat ketakutan, walaupun kedua matanya masih terpejam dengan erat.
"Buka matamu atau dia akan ku bunuh!!"
Alesha tidak bisa bernafas dengan tenang mendengar itu, namun perkataan Orang itu selanjutnya membuat Alesha merasa tidak bisa bernafas lagi.
"Aaaaa... Aku tahu, kamu pasti juga menginginkannya kan... Alesha? Hahaha sabarlah waktumu juga akan tiba" Ucapannya bagaikan sebuah janji dan langsung membangkitkan ketakutan luar biasa pada Alesha.
Nafas Alesha mulai tidak teratur, hingga terasa sesak di dada.
Ditangannya ia mengacungkan sebuah pisau dan nampak tangan Alesha gemetar ketakutan.
Kini Alesha menggigil ketakutan karena mimpi buruknya.
Mata Alesha menatap darah yang menempel di pisau. Lalu beralih pada tangannya yang masih gemetar, juga bersimbah darah.
"Kak... Kakak..." Alesha mengigau, memanggil seseorang dalam tidurnya dengan pilu.
"Bahkan jika kau mati pun, kau tak akan tenang. Karena aku akan... Terus membayangi hidupmu, Alesha Hatmja" Suara Orang itu terus mengusiknya.
Setetes air mata mulai mengalir dari ujung pelupuk matanya yang masih terpejam.
"Aku menyerah Alesha, maafkan aku... Karena tidak sanggup bertahan... Maaf"
"Kak..." Tangis Alesha sekali lagi memanggil seseorang di dalam tidurnya.
"Maaf... Semoga kamu bisa bahagia disana..." Ucapnya kalut lalu dengan ragu terlihat dari tangannya yang gemetar menarik selang oksigen Alesha.
Di kenyataan, Alesha menangis dalam tidurnya dan tangisnya juga lah yang membuatnya terbangun dari tidurnya. Dan saat Alesha membuka kedua matanya, ia langsung terduduk dengan nafas yang terengah-engah.
Satu menit dan dua menit berlalu, dirinya masih memegangi dadanya yang terasa sangat sesak.
Hingga tarikan nafas selanjutnya ia lakukan dengan perlahan lalu menutup kedua matanya.
Kemudian Alesha merebahkan kembali tubuhnya dan memejamkan kedua matanya sekali lagi, untuk berusaha menenangkan diri bahwa itu hanyalah sebuah mimpi.
Namun kenyataan menghampirinya, itu bukan sekedar mimpi. Bahkan itu lebih buruk dari sekedar mimpi terburuknya yaitu sebuah kenangan masa lalu, yang terus mengusiknya tanpa henti.
Alesha kembali menangis, menggigit bibirnya sendiri agar isak nya tak terdengar.
Demi Tuhan, ia sungguh tidak kuat lagi! Alesha mulai memukul dadanya yang terasa sesak hingga rasanya sulit sekali untuk bernafas.
Alesha terus memukul dadanya dengan tangis yang semakin menjadi.
Apakah ia harus mati agar semuanya usai? Pikiran itu membuat Alesha kembali bangun dari tempat tidurnya. Terlihat ia keluar dari kamarnya lalu berlari menuruni anak tangga menuju kelantai bawah.
Hujan kembali membasahi ibukota disertai suara petir dan kilat yang terus menyambar sedari tadi.
Dalam remangnya ruangan yang sedang Alesha masuki, ia mencari sesuatu hingga menjatuhkan beberapa benda dan menimbulkan kebisingan yang cukup untuk mengkagetkan semua orang di dalam rumah.
Namun sebelum semua itu terjadi, ia menemukannya. Benda itu! Sebuah pisau.
Bunda Anika yang memang sedari tadi tidak bisa tidur karena teringat dengan masa lalu.
Daniel, Ayahnya yang berada di ruang kerjanya untuk menyelesaikan pekerjaannya sebagai dalih untuk menghentikan dirinya sendiri yang terus berada di depan kamar putri sulungnya tadi.
Ari yang sedang bermain game untuk menahan amarahnya yang sudah membelundak.
Ara yang sedang belajar untuk mengalihkan pikirannya.
Dan semua orang di rumah yang memang tidak bisa tidur akan kejadian yang terjadi hari ini langsung berjalan kearah dapur setelah mendengar suara bising dari sana.
Sedangkan Alesha menggemgam erat pisau itu seakan-akan benda yang sangat berharga, kemudian mengarahkan pisau tersebut langsung ke urat nadinya di tangan. Air mata masih membasahi wajahnya, kini Alesha menutup kedua matanya bersiap untuk berhenti dari segala kenangan menyakitkan selamanya.
Dan tidak ada keraguan sedikitpun saat dengan mudahnya pisau itu mulai menebus permukaan kulitnya hingga darah mulai mengalir keluar dari tangannya.
~~~
Haiii đđ Haii aja siih hehehe Oh ia gimana ceritanya... Jangan lupa comment yah Terima kasih
Perjumpaan ini bagaikan sebuah pengulangan. Bagi gadisnya untuk pergi meninggalkan dirinya. Seperti yang pernah ia lakukan dulu, pada Aleshanya. Mohon perhatian, Kepada para penumpang pesawat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA328 tujuan Surabaya dipersilahkan masuk melalui pintu A12, Terima Kasih. Ryan melangkah kan kakinya dengan lesu, dia dan Nayla baru saja kembali ke Jakarta setelah 2 hari berada di Surabaya. Gerak-gerik Ryan yang lesu pun tidak luput dari perhatian Nayla yang tanpa sadar terus memandangi lelaki disampingnya itu. Bahkan banyaknya suara dan blitz kamera pun sampai tidak di hiraukan oleh pemuda itu yang masih menampilkan raut lelah namun masih memancarkan kesan dingin di wajahnya. Jangan heran jika banyak suara kamera dan blitz disekitar mereka berdua,
"Karena aku pernah diposisi itu sebelumnya dan berharap agar siapa pun tidak akan pernah mengalaminya, bahkan termasuk orang itu" Your Attention Please, Passengers of Garuda Indonesia on Flight number GA328 to Surabaya Please Boarding From Door A12, Thank You. Alesha melangkahkan kakinya dengan pelan, ia baru saja keluar dari pintu kedatangan di Bandara Soekarno Hatta. Di depannya sekitar satu meter jauhnya ada adiknya Ara dan juga Samuel, sahabatnya yang sedang berjalan beriringan dengan riang. Kombinasi adik dan sahabatnya itu sangatlah cocok sekali, sama-sama cerewet menurut Ari, yaitu kembarannya Ara. Bahkan saking asyiknya berbicara satu sama lain, mereka tidak sadar jika Alesha sudah jauh tertinggal dibelakang. Ada alasan kenapa Alesha berjalan perlahan, karena entah kenapa saat berada di bandara ia selalu saja teringat akan ke
Ryan harus menemukannya dan berusaha agar gadisnya bisa kembali padanya bagaimana pun caranya. Bahkan walau harus dengan cara teregois sekalipun. Daniel Hatmaja lelaki yang sebentar lagi berumur 45 tahun, masih sibuk dengan setumpuk berkas di atas meja kerjanya. Membaca dan menandatangani banyak berkas membuatnya seolah berada di dunia lain. Sejenak Daniel memandang kalender yang menunjukkan tahun 2020, lalu menghela nafasnya lemah. Kini sepuluh tahun sudah Daniel berpisah dengan keluarganya, karena kesalahan fatal yang diperbuatnya dulu. Penyesalan, bagaikan kawan hidupnya kini. Jadi jangan salahkan lelaki itu jika ia lebih memilih menghabiskan waktunya untuk bekerja dan terus bekerja, semua hanya untuk mengalihkan pikirannya yang selalu merindu pada anak-anaknya dan juga mantan istrinya. Dan hanya sebuah foto lama yang keadaannya
Ada yang bilang luka yang menganga lebih baik dari luka yang tak terlihat. Namun bagaimana jika kedua luka itu datang di saat bersamaan? Itu adalah hal yang mengerikan bagi Alesha yang terus mengalaminya sampai saat ini. "Ale, lo denger gak sih?!!" Cekik Mila sambil berdecak pinggang. Dirinya sudah berbicara panjang kali lebar plus tinggi, tapi sang pendengar seperti tidak mendengar apapun. Membuat Mila menjadi geregetan dengan tingkahnya yang sok cool, padahal dalam hati ia mengakui jika Alesha yang sekarang memang sangatlah dingin. Alesha pun menghela nafas lelah kemudian di tatapnya sang sahabat yang berdiri tepat di depan meja kerjanya. "Iya gue dengar, Mila" Jawabnya pelan. "Astaga Ale, kalau denger ya jawab dong pertanyaan gue!" "Jangan diem-diem aja" Kesal Mila, biarlah kata orang ia bawahan kurang ajar kare
"Maka saya akan merebutnya dan membuatnya kembali mencintai saya. Katakanlah saya egois karena Alesha harus menjadi milik saya, hanya saya. Bukan orang lain" Berita pertunangan antara dirinya dan Nayla sukses membuat Ryan kalang kabut dan tidak tenang. Padahal sekarang Ryan memiliki rapat yang sangat penting tapi ia lebih memilih membatalkannya. Bagaimanapun dirinya harus menyelesaikan berita tidak benar itu terlebih dahulu. Saat ini Ryan sudah berada di kediaman keluarga Hatmaja. Bersama kedua orangtuanya, Ryan pun ingin meminta penjelasan karena berita tidak benar itu datang dari pihak orang dalam di perusahaan Hatmaja. "Saya dan Nayla tidak memiliki hubungan yang mengarah ke sana. kami hanya sebatas kakak adik! Jadi saya mohon jangan menyebar kan berita yang tidak benar" Ucap lantang Ryan kepada seluruh keluarga Hatmaja, tidak di pedulikannya kesopanan karena ini masalah ya
Tapi sebagai sahabat walaupun harus menjadi setan untuk menentang hubungan di antara Ryan dan Alesha, akan ia lakukan. Benar-benar Mila tak terima jika sahabatnya pada akhirnya harus berdampingan lagi dengan cowok itu. "Gue bingung kenapa setiap minggu gue harus lihat muka lo lagi... Muka lo lagi" Ujar Bima menunjuk muka Mila yang berada di seberang mejanya, mereka sedang berada di Restoran milik Samuel dan Alesha. Mila pun menunjuk dirinya sendiri lalu tertawa sinis. "Hah!? Eh monyet kalau lo gak mau lihat muka gue lagi... Ngapain datang" Sinis Mila menyilang kan kedua tangannya dan di dukung dengan pelototan mautnya kepada Bima. "Karena gue menghargai persahabatan kita selama 23 tahun ini" "23 tahun? Cih ! Lo kira kita udah temenan dari orok" "Benarkan bahkan sebelum kita masuk sekolah. Play Group, TK, SD, SMP, SMA sampai
"Bahkan dulu, jika Alesha memilih matipun kita akan terima daripada melihatnya hidup tapi... Seperti orang mati" "Hm... Iya, gue mau langsung ketempat Ara, sekalian jemput dia" Alesha pun memandang ke luar jendela seraya terus mendengarkan suara di ujung teleponnya. "Iya Mila... Kalau gak kemalaman, gue mampir" Ucap Alesha, kemudian mematikan panggilan telepon tersebut setelah mendengar jawaban dari yang bersangkutan kemudian meletakkan Hpnya di atas meja. Alesha berjalan menghampiri sisi ruangan yang lain dan langsung membuka jendela ruangannya, memandang langit yang sudah mulai gelap, karena jam telah menunjukan pukul 6 malam. Alesha pun bisa merasakan segelintir angin yang berhembus lumayan kencang, sepertinya malam ini akan turun hujan. Ia menghela nafasnya lelah, Seharusnya sekarang dirinya menemani Ara untuk gladi bersih tapi pekerjaan
Nayla menutup matanya, haruskah sekarang ia benar-benar melepaskan Ryan? Untuk menebus semua kesalahannya. Sekarang Ryan sedang berada di kediaman keluarga Hatmaja. Dirinya mendapat panggilan telepon dari Om Daniel yang memintanya untuk datang ke rumah. Padahal tadi ia berniat ingin mengikuti wanita yang keluar dari Ale ButiQ. Jika kalian bertanya apakah Ryan sempat melihat wajah wanita itu maka ia akan menjawab, Tidak. Hujan deras yang masih membasahi ibukota sangat menyulitkan nya untuk melihat wajahnya. "Benar tadi kamu dan Nayla bertemu dengan sahabatnya Alesha?" Tanya Daniel yang duduk tepat di hadapan Ryan, di sebelah lelaki itu ada Nayla terduduk diam dan juga Tante Raya, ibunya Nayla. Ryan menatap Nayla, pasti dia yang memberitahu Om Daniel dan menceritakan semuanya. Ryan pun hanya mengangguk karena ini bukanlah hal yang harus di rah
Katakanlah Ara lemah, tapi jika pada dasarnya ia adalah seorang yang mudah memaafkan seperti Bundanya, maka semarah apapun Ara pada akhirnya hatinya akan mudah luluh juga. Tanpa sepengetahuan Bunda dan Ari, Ara pun nekat datang sendirian untuk menghadiri acara pernikahan kakaknya Siska. Ara tidak ingin keluarganya tahu jika dirinya datang untuk menemui Ayahnya. Ara takut mereka akan melarangnya, padahal ia hanya ingin memastikan keadaan Ayahnya saja. Ara masih ingat kemarin Kak Siska mengiriminya pesan jika Ayahnya jatuh sakit dan berharap bisa bertemu dengannya lagi. Ara sempat ragu, tapi kerinduannya pada sosok sang Ayah mengalahkan segala keraguannya itu. Apalagi jika teringat kata-kata kasar nya waktu itu, pasti sangat menyakiti hati Ayahnya. Katakanlah Ara lemah, tapi jika pada dasarnya ia adalah seorang yang mudah memaafkan seperti Bun
"Gak, jangan berterima kasih saat gue merasa jika sedang mengkhianati janji gue pada Ale" "Gue udah bilang kan, selain alamat ButiQ dan nomor hp nya Ale. Gue gak tau lagi hal lainnya mengenai Ale" Ucap Siska lelah karena terus di tanyai prihal Alesha dan keluarganya. Ia kesal bercampur marah karena ini sudah yang ke lima kalinya ia di teror oleh seorang Ryan hari ini. "Hp nya gak aktif dan ButiQ nya tutup" Beber Ryan seolah itu adalah salahnya. Hari ini sudah berkali-kali Ryan mengunjungi ButiQ Alesha namun tutup. Sedangkan nomor hp gadis itu tidak aktif sampai sekarang. "Ya mana gue tahu kenapa nomornya gak aktif sama ButiQ nya tutup" Jawab Siska seadanya. "Lo gak ada info lain? Apapun itu gue mohon... Please" Setelah mendapat kabar jika om Daniel bertemu dengan tante Anika dan Ara, Ryan pun langsung bergerak cepat mencari
"Semakin hari aku semakin sulit mengenali yang mana sebuah kenyataan dan yang mana sebuah hayalan" Alesha memarkirkan mobilnya di depan toko CakeBakery yang terlihat sudah tutup begitupula dengan toko Florist padahal biasanya toko akan tutup sekitar jam 9 malam. Banyaknya mobil di depan rumahnya pun seakan menjawab semua pertanyannya saat ini. Alesha hanya berharap mereka semua tidak mencercanya dengan berbagai pertanyaan dan nasehat karena ia sudah sangat kelelahan dan tak ingin memikirkan apapun lagi. Memejamkan mata adalah hal yang sangat Alesha butuhkan sekarang, sebenarnya bisa saja dirinya tidur di dalam mobil tapi ia memilih menahannya sejenak agar dapat bertemu dengan ranjangnya dan bisa terlelap di sana. Sekarang waktu sudah menunjukan jam 18.17 di dasbor mobilnya. Kepalanya berdenyut sangat sakit dan matanya terasa perih setelah tidak tidur selama l
Alesha terpaku, ia telah kehilangan ayahnya. Kini ia juga kehilangan cinta pertamanya. Delapan jam lebih sudah Alesha mengendarai mobilnya di jalanan, matanya masih fokus menyetir dengan kecepatan rata-rata. Yang berarti sudah delapan jam jugalah ia menghilang tanpa memberi kabar kepada siapapun. Padahal waktu sudah menunjukan jam sembilan malam. Baterai Hpnya pun menunjukkan angka 1% akibat banyaknya mendapat panggilan telepon dan Chat dari banyak orang. Hingga sebuah panggilan yang diberi nama Bunda menjadi panggilan terakhir yang terhubung sebelum Hpnya mati total akibat kehabisan daya. Dan Alesha masih terus melajukan mobilnya,, matanya tidak lelah dan pikirannya sangat terjaga bahkan sanggup untuk menyetir tanpa istirahat hingga sampai ketempat tujuan nya. Flashback Alesha yang tampak kusut berjalan kearah rumah seseorang y
"Aku memaafkan mu mas. Jadi sekarang mas harus mendapatkan maaf dari anak-anak. Aku tidak ingin seumur hidup mereka mendendam pada ayahnya sendiri" Seusai acara, saat semua orang sudah pergi dan hanya menyisakan beberapa staf serta Daniel sekeluarga yang sedari tadi kukuh untuk bertemu dengan salah seorang model. Bahkan sebelum acara itu berakhir Daniel sudah berada dibelakang panggung agar bisa bertemu dengan model tersebut, siapa lagi jika bukan putrinya, Ara. Anika pun sudah menghilang dari tempat duduknya saat matanya tadi terfokus pada Ara. Sepertinya Anika enggan untuk bertemu dengan Daniel, sedangkan sedari tadi putrinya menolak dengan keras walaupun beberapa staf terus membujuknya agar mau bertemu dengan sang Ayah. "Gimana yah Om, Ara nya gak mau" Siska buka suara, bagaimanapun dirinya tidak bisa memaksa karena Ara adalah adik temannya.
Suara itu... Orang itu... Ketakutan itu... Masih menghantuinya, dan jujur ia belum siap menghadapinya. "Astaga Ale. Kenapa pintu lo kunci segala sih?" Marah Mila, namun kekhawatir lebih mendominasi dirinya. Alesha hanya menatap sahabatnya dengan santai kemudian kembali ke tempat duduknya. Sedangkan Mila ingin menangis sekarang, ia takut terjadi apa-apa dengan sahabatnya. Bayangkan saja, karena sejak sejam yang lalu Alesha mengurung diri di ruangannya tanpa sedikitpun merespon panggilan nya. Mata Mila menatap Televisi yang menayangkan kartun Spongebob dalam hati ia bertanya apakah tadi Alesha menonton Berita tentang Ayahnya yang mencari anak-anaknya dan juga mantan isrinya. Melihat Mila yang termenung seraya menatap televisi, sudah cukup untuk membuat Alesha tahu apa isi pikiran sahabatnya saat ini. "Gue nonton tadi beritany
Maka untuk pertama kalinya Alesha belajar untuk melepaskan, tapi kenapa? Untuk melepaskan, ia yang harus lebih terluka? Daniel langsung mengerahkan seluruh anak buahnya untuk mulai melakukan pencarian kepada keluarganya yang bisa di pastikan berada di Jakarta. Ia harus segera menemukan mereka dan menebus kesalahannya walaupun ia yakin itu akan sangat sulit apalagi setelah pertemuannya dengan Ari waktu itu. Daniel bisa merasakan kebencian putranya itu. Dan ia harus siap dengan kebencian dan kemarahan yang akan datang dari Anika, Alesha dan juga Ara. "Untuk apa lagi kau mencari mereka yang tidak ingin bertemu denganmu hah?" Bentak Ian yang mendengar perihal Ari yang hampir saja menghajar Daniel, ditambah lagi Ian begitu ngeri melihat wajah Dany yang sangat babak belur. "Bukan urusan anda" Jawab Daniel dingin. "Apa kau benar-benar ingin di haja
"Saking marahnya aku bahkan bingung, apa aku masih punya perasaan yang lain" Alesha seperti biasa sedang menggambar di buku sketsanya saat Mila masuk dan langsung duduk di hadapannya. Alesha memandang sahabatnya sejenak lalu kembali meneruskan pekerjaannya. Mila yang melihat sang Boss sedang dalam mode serius bekerja semakin bingung bagaimana mengatkannya. Kini sekitar 15 menit sudah berlalu, Alesha merasa ada yang aneh dengan sahabatnya itu, Karena tidak biasanya Mila diam tanpa berkata apa-apa seperti sekarang. "Kenapa?" Tanya Alesha langsung menatap mata sahabat nya dan meninggalkan apa yang sedang di kerjakannya. Mila meneguk ludahnya berat. Lalu tersenyum aneh. Sangat mencurigakan pikir Alesha. "Enggak gue cuman merasa kalau sahabat gue ini kok bisa cantik luar biasa" Alesha mengerutkan dahinya bingun
"Dengarkan ini baik-baik. Bahkan jika anda mati pun, tidak akan membuat saya lebih baik. Karena anda harus hidup, agar benar-benar merasakan apa itu neraka dunia dan saya sendiri yang akan membuat anda merasakan itu!" Selepas melakukan check up di rumah sakit dengan di temani oleh Nayla, mereka pun menuju salah satu pusat pembelanjaan untuk menemui Dany yang hari ini mengajak mereka untuk makan siang bersama. "Ayah denger kan apa kata Dokter Ilham" Kata Nayla pelan seraya menggandeng lengan Ayah tirinya itu. Melihat Daniel yang diam dan terlihat lesu membuat Nayla menghela nafasnya pelan. "Ayah..." Panggil Nayla menyadarkan Daniel dari lamunannya. "Maaf nak Ayah cuman lagi kepikiran sesuatu" Jawab Daniel dengan tersenyum simpul. "Nayla ngerti kok yah... Tapi coba deh Ayah pikir, gimana kalau keadaan Ayah drop, pasti Ayah ga