"Karena aku pernah diposisi itu sebelumnya dan berharap agar siapa pun tidak akan pernah mengalaminya, bahkan termasuk orang itu"
Alesha melangkahkan kakinya dengan pelan, ia baru saja keluar dari pintu kedatangan di Bandara Soekarno Hatta. Di depannya sekitar satu meter jauhnya ada adiknya Ara dan juga Samuel, sahabatnya yang sedang berjalan beriringan dengan riang.
Kombinasi adik dan sahabatnya itu sangatlah cocok sekali, sama-sama cerewet menurut Ari, yaitu kembarannya Ara. Bahkan saking asyiknya berbicara satu sama lain, mereka tidak sadar jika Alesha sudah jauh tertinggal dibelakang.
Ada alasan kenapa Alesha berjalan perlahan, karena entah kenapa saat berada di bandara ia selalu saja teringat akan keberangkatannya dulu saat ke London. Terlebih saat itu adalah masa terburuk dalam hidupnya, yang mana kenangan itu ia tinggalkan di Negara ini untuk pergi menjauh.
Jika dihitung ini sudah hampir dua tahun Alesha kembali ke Indonesia dan selama itu juga, dirinya sibuk untuk memulai lagi usahanya.
Apakah ia sudah lebih baik? Secara refleks Alesha menatap lengannya yang tertutup baju. Kemudian Alesha tersenyum sinis, konyol jika memikirkan dirinya sudah lebih baik, nyatanya masih sama saja.
"Ale, ngapain? Hurry up!!" Teriak Samuel seraya melambaikan tangannya seolah memberi isyarat jika ia ada di sini, Alesha yang tersadar dari lamunannya melangkahkan kakinya dengan cepat mendekati Ara dan Samuel.
Umur lelaki itu boleh enam tahun lebih tua darinya tapi kelakuannya cukup di pertanyakan.
Namun harus Alesha akui kehebatan Samuel akan satu hal yaitu jika menyangkut urusan bisnis, lelaki itu cukup bisa di perhitungkan di bandingkan dengan sikapnya.
Alesha bahkan tanpa berpikir panjang langsung mengiyakan ajakan kerjasama pemuda itu untuk membuka Restoran di Jakarta. Dan kini sudah setahun lebih usaha mereka berjalan dan terbukti cukup sukses sehingga membuat mereka memutuskan untuk membuka cabang di daerah Bali.
Dan juga tak bisa ia pungkiri, kehadiran laki-laki itu bagaikan seorang teman, sahabat, saudara sekaligus Ayah di hidupnya yang hampir hancur ini.
Alesha yang nyatanya kembali berjalan dengan perlahan sekali lagi ia tertinggal jauh karena Ara juga Samuel sudah sampai di mobil. Sekedar informasi, mereka baru saja kembali dari Bali setelah dua hari memantau cabang restoran mereka yang baru beroperasi selama sebulanan ini di sana.
Alasan mengapa memilih Bali, karena di sana adalah kampung halaman Samuel yang merupakan Blasteran Bali London. Namun bagi Samuel selain dapat bertemu dengan kedua orangtuanya, tujuan tersembunyi nya memilih Bali yaitu untuk refreshing dari hiruk piruk kota Jakarta agar Alesha tidak memikirkan hal-hal yang tidak berguna di kepalanya.
Apalagi di sana banyak menyimpan kenangan akan seseorang yang Samuel bahkan Alesha rindukan hingga saat ini.
Kembali kepada Alesha yang tiba-tiba saja menghentikan langkahnya. Dan menatap kebawah, tali sepatunya lagi-lagi terlepas dan ini sudah yang ke tiga kalinya. Ia menghela nafas lelah. Entah tali sepatunya yang bermasalah atau Alesha yang kurang pandai mengikat tali sepatu.
Alesha pun kemudian membalik tubuhnya lalu berjongkok tepat di depan kopernya, ralat koper Ara yang sedari tadi diseretnya.
Untungnya long dress dengan nuansa vintage dengan sedikit motif bunga tidak menyulitkannya saat berjongkok ataupun kembali berdiri, tapi saat itulah matanya menatap sosok yang baru saja keluar dari pintu kedatangan.
Kerumunan orang dan blitz kamera tidak mengganggunya untuk menatap lelaki itu. Namun tatapan Alesha padanya bukanlah tatapan kerinduan.
Hanya sekedar tatapan... Tidak bolehkah ia menatap lelaki itu tanpa alasan? Alesha hanya ingin melihat saja, wajah yang sudah lama ia lupakan.
Alesha memang sudah sering melihat wajahnya berkeliaran di Televisi, namun ini adalah pertama kalinya dalam sepuluh tahun ia melihatnya secara langsung.
Entah karena terbawa suasana Alesha memegang dada nya yang terasa sangat sesak saat mengingat perkataan lelaki itu dulu juga semua kenangan yang selama ini terus berputar di pikirannya.
Alesha mengatur nafas nya pelan setelah di rasa tenang ia kembali menatap lelaki itu.
Dia yang berada cukup jauh darinya tapi masih bisa dikenali dengan baik oleh Alesha adalah seseorang dari masa lalunya, Ryan Dermawan Bramastya. Tidak banyak yang berubah dari lelaki itu tapi apakah perasaannya juga telah berubah.
Apalagi selama ini Alesha tahu jika Ryan selalu mencarinya ke Surabaya. Alesha mengetahui itu karena keluarganya selalu menginfokan kepadanya. Jujur Alesha tidak bisa menebak alasannya, tapi alasan lelaki itu bukanlah urusannya lagi.
Dan harus Alesha akui bahwa lelaki itu adalah Cinta Pertamanya, walaupun getaran cinta sudah hilang terganti dengan getaran lain yang menyesakkan. Disampingnya Ryan, ada seorang wanita yang membuat Alesha mulai mengetuk kan jari tangannya.
Nayla batinnya.
Alesha mempunyai kebiasaan mengetuk jarinya jika sedang menahan diri dari segala pikiran yang mulai mengacaukan dirinya.
"ALESHA"
Alesha langsung membalik tubuhnya setelah cukup lama terpaku menghadap kearah Ryan dan Nayla berada.
Samuel, lelaki itu memanggilnya dengan cukup nyaring bahkan ia yakin jika Ryan ataupun Nayla pasti mendengar namanya disebut. Tapi...
"Kamu memanggilku?" Ucap Alesha dingin, matanya menatap tajam sembari melangkahkan kakinya untuk menghampiri Samuel. Sudah lama tidak ada yang memanggilnya begitu, ia tidak suka!
Benar-benar tidak menyukainya.
"Dari tadi ku panggil... Ale... Ale... nanti dikira jualan minuman Ale Ale lagi" Belanya dan di buat cukup lucu karena menambahkan sedikit aksen Inggris, karena ingin mengubah suasana dingin dari tatapan Alesha yang harus Samuel akui sangat menakutkan.
Padahal sebenarnya Samuel memang sengaja memanggil nama Alesha dengan cukup nyaring agar tidak hanya Alesha yang mendengar tapi juga lelaki yang sedari tadi ditatap olehnya.
"Jangan dipikir aku gak tahu kalau kamu sengaja" Ucapnya tutup point lalu melangkah maju. Samuel pun dibuat tertegun, ia lupa jika Alesha tidak mudah tertipu.
"Hahah... Astaga Ale jangan suka suudzon sama orang apalagi aku. Masa aku sengaja manggil dengan nama yang bikin kamu gak nyaman" Bela Samuel dengan di awali tawa canggung nya.
"Kamu tahu alasan nya kenapa aku gak suka di panggil begitu... Jangan membuatku untuk mengingatkan nya lagi" Ucap Alesha dengan tegas bahkan Alesha tak perlu repot menatap mata Samuel untuk mengucapkan itu.
Sedangkan Samuel ia terdiam sesaat, merenungkan kesalahannya walaupun dirinya yakin ini juga demi kebaikan Alesha sendiri, namun trauma gadis itu sudah terlalu parah.
Kini Samuel bisa melihat jika Ryan sekarang berlari menyebut-nyebut nama Alesha sembari menghampiri beberapa wanita. Samuel yakin Alesha menyadari itu tapi dengan santainya gadis ini tidak peduli dan meneruskan langkahnya.
"Gak mau ketemu dulu?" Tanya Samuel pelan.
"Tidak!" Jawabnya singkat.
Satu hal tentang Alesha, ia tegas dalam setiap hal.
"Hey, jangan kayak anak kecil. Bertemu bentar bakal bikin dia berhenti nyari kamu. Kasian loh sudah sepuluh tahun..."
Alesha menghentikan langkahnya kemudian menatap Samuel dingin sedangkan yang di tatap mengalihkan pandangannya kesana-kemari menghindari tatapan Alesha.
"Cobalah untuk diam sejenak, kamu gak tahu apa akibatnya jika sekarang aku bertemu dengannya. Jangan memaksa" Jawabnya lalu meneruskan langkahnya menuju mobil mereka.
Samuel merasa bulu kuduknya merinding dan memutuskan untuk tidak meneruskan perdebatan dengan Alesha kali ini.
"Biar aku yang nyetir" Ucapnya langsung mengambil tempat di kursi supir, di saat seperti ini sangat bahaya jika Alesha yang menyetir. Track record kecelakaan yang disebabkan gadis itu tidaklah main-main.
Sedangkan Alesha dengan tenang membuka pintu mobil tepat di samping Samuel.
"ALESHA BRAMASTYA"
Teriakan itu membuat Alesha menghentikan dirinya untuk masuk kedalam mobil. Panggilan itu, panggilan yang dibuatnya sendiri saat ia masih kecil yang mengkalim dirinya sebagai istri masa depan seorang Ryan Dermawan Bramastya.
"Kenalin... ALESHA BRAMASTYA calon istri di masa depannya kak Ryan" Ucap Alesha penuh percaya diri di hadapan kedua orang tua mereka dan mengundang tawa dari semua orang.
Alesha menolehkan sedikit wajahnya kesamping, sedikit ragu ia hendak membalik tubuhnya. Namun tiba-tiba sebuah bus menghalangi pandangannya pada Ryan dan saat itulah ia teringat akan masa itu.
"KAMULAH PENYEBABNYA... Karena kamu lah gadis murahan itu. Jadi jangan melampiaskan nya kepada orang lain!!"
Alesha menghembuskan nafasnya kasar, kemudian tanpa ragu masuk ke dalam mobil.
Didalam mobil Alesha terlihat mengetuk-ngetukkan jarinya di pintu mobil dengan nafas yang tidak teratur.
Samuel yang melihat itu tentu saja panik " Ale.. kamu gak..." Belum juga menyelesaikan ucapannya Alesha memintanya berhenti berbicara dengan menampilkan telapak tangannya langsung ke wajah Samuel.
"Jalan..." Ucapnya pelan.
"Kak?" Panggil Ara yang duduk di kursi belakang dan dibalas Samuel dengan gelengan kepala seraya menghidupkan mobilnya.
Mood Alesha sangat tidak bagus, terlebih ada luka dan kesedihan di matanya.
Alesha yang sudah mulai tenang kini menatap keluar jendela mobil, ia bisa melihat Ryan berlari kearahnya dan hal itu semakin mengingatkannya akan pertemuan terakhir mereka sekitar 10 tahun yang lalu.
Saat dirinya mengejar mobil Ryan yang pergi meninggalkannya tanpa menoleh sedikitpun padanya.
Alesha masih menatap kaca spion dan melihat Ryan yang terus berlari, sedangkan Samuel makin melajukan mobilnya hingga lelaki itu tidak mampu lagi untuk mengejar mereka.
Samuel mulai bertanya "Jika dari sudut pandang mu, bukankah seharusnya kau senang? Kamu bilang dia selalu membuatmu mengejarnya"
"Tapi kenapa, wajahmu terlihat tidak suka begitu?" Tambahnya.
Hening
Saat dirinya tahu bagaimana rasa sakitnya, Alesha tidak akan bisa tersenyum, bahkan jika itu terjadi pada orang yang pernah menyakiti dirinya sekalipun.
"Karena aku pernah diposisi itu sebelumnya dan berharap siapa pun tidak akan pernah mengalaminya, bahkan termasuk orang itu"
"Tapi tanpa sadar dengan menghindarinya kamu sudah... Membuat dia pernah berada di posisimu sebelumnya" Ucap Samuel.
"Aku hanya memenuhi permintaannya, untuk jangan pernah muncul di hadapannya lagi"
"DAN JANGAN PERNAH MUNCUL DI HADAPANKU LAGI!" Teriak Ryan, mata pemuda itu menatap tajam dan penuh kemarahan pada Alesha.
Bahkan Alesha masih ingat dengan jelas teriakan lelaki itu dan juga tatapannya, jadi bagaimana mungkin ia tidak melakukan apa yang lelaki itu inginkan hingga saat ini.
"Lagi pula aku bukanlah orang yang pantas untuknya" Tambahnya.
~~~
Ryan harus menemukannya dan berusaha agar gadisnya bisa kembali padanya bagaimana pun caranya. Bahkan walau harus dengan cara teregois sekalipun. Daniel Hatmaja lelaki yang sebentar lagi berumur 45 tahun, masih sibuk dengan setumpuk berkas di atas meja kerjanya. Membaca dan menandatangani banyak berkas membuatnya seolah berada di dunia lain. Sejenak Daniel memandang kalender yang menunjukkan tahun 2020, lalu menghela nafasnya lemah. Kini sepuluh tahun sudah Daniel berpisah dengan keluarganya, karena kesalahan fatal yang diperbuatnya dulu. Penyesalan, bagaikan kawan hidupnya kini. Jadi jangan salahkan lelaki itu jika ia lebih memilih menghabiskan waktunya untuk bekerja dan terus bekerja, semua hanya untuk mengalihkan pikirannya yang selalu merindu pada anak-anaknya dan juga mantan istrinya. Dan hanya sebuah foto lama yang keadaannya
Ada yang bilang luka yang menganga lebih baik dari luka yang tak terlihat. Namun bagaimana jika kedua luka itu datang di saat bersamaan? Itu adalah hal yang mengerikan bagi Alesha yang terus mengalaminya sampai saat ini. "Ale, lo denger gak sih?!!" Cekik Mila sambil berdecak pinggang. Dirinya sudah berbicara panjang kali lebar plus tinggi, tapi sang pendengar seperti tidak mendengar apapun. Membuat Mila menjadi geregetan dengan tingkahnya yang sok cool, padahal dalam hati ia mengakui jika Alesha yang sekarang memang sangatlah dingin. Alesha pun menghela nafas lelah kemudian di tatapnya sang sahabat yang berdiri tepat di depan meja kerjanya. "Iya gue dengar, Mila" Jawabnya pelan. "Astaga Ale, kalau denger ya jawab dong pertanyaan gue!" "Jangan diem-diem aja" Kesal Mila, biarlah kata orang ia bawahan kurang ajar kare
"Maka saya akan merebutnya dan membuatnya kembali mencintai saya. Katakanlah saya egois karena Alesha harus menjadi milik saya, hanya saya. Bukan orang lain" Berita pertunangan antara dirinya dan Nayla sukses membuat Ryan kalang kabut dan tidak tenang. Padahal sekarang Ryan memiliki rapat yang sangat penting tapi ia lebih memilih membatalkannya. Bagaimanapun dirinya harus menyelesaikan berita tidak benar itu terlebih dahulu. Saat ini Ryan sudah berada di kediaman keluarga Hatmaja. Bersama kedua orangtuanya, Ryan pun ingin meminta penjelasan karena berita tidak benar itu datang dari pihak orang dalam di perusahaan Hatmaja. "Saya dan Nayla tidak memiliki hubungan yang mengarah ke sana. kami hanya sebatas kakak adik! Jadi saya mohon jangan menyebar kan berita yang tidak benar" Ucap lantang Ryan kepada seluruh keluarga Hatmaja, tidak di pedulikannya kesopanan karena ini masalah ya
Tapi sebagai sahabat walaupun harus menjadi setan untuk menentang hubungan di antara Ryan dan Alesha, akan ia lakukan. Benar-benar Mila tak terima jika sahabatnya pada akhirnya harus berdampingan lagi dengan cowok itu. "Gue bingung kenapa setiap minggu gue harus lihat muka lo lagi... Muka lo lagi" Ujar Bima menunjuk muka Mila yang berada di seberang mejanya, mereka sedang berada di Restoran milik Samuel dan Alesha. Mila pun menunjuk dirinya sendiri lalu tertawa sinis. "Hah!? Eh monyet kalau lo gak mau lihat muka gue lagi... Ngapain datang" Sinis Mila menyilang kan kedua tangannya dan di dukung dengan pelototan mautnya kepada Bima. "Karena gue menghargai persahabatan kita selama 23 tahun ini" "23 tahun? Cih ! Lo kira kita udah temenan dari orok" "Benarkan bahkan sebelum kita masuk sekolah. Play Group, TK, SD, SMP, SMA sampai
"Bahkan dulu, jika Alesha memilih matipun kita akan terima daripada melihatnya hidup tapi... Seperti orang mati" "Hm... Iya, gue mau langsung ketempat Ara, sekalian jemput dia" Alesha pun memandang ke luar jendela seraya terus mendengarkan suara di ujung teleponnya. "Iya Mila... Kalau gak kemalaman, gue mampir" Ucap Alesha, kemudian mematikan panggilan telepon tersebut setelah mendengar jawaban dari yang bersangkutan kemudian meletakkan Hpnya di atas meja. Alesha berjalan menghampiri sisi ruangan yang lain dan langsung membuka jendela ruangannya, memandang langit yang sudah mulai gelap, karena jam telah menunjukan pukul 6 malam. Alesha pun bisa merasakan segelintir angin yang berhembus lumayan kencang, sepertinya malam ini akan turun hujan. Ia menghela nafasnya lelah, Seharusnya sekarang dirinya menemani Ara untuk gladi bersih tapi pekerjaan
Nayla menutup matanya, haruskah sekarang ia benar-benar melepaskan Ryan? Untuk menebus semua kesalahannya. Sekarang Ryan sedang berada di kediaman keluarga Hatmaja. Dirinya mendapat panggilan telepon dari Om Daniel yang memintanya untuk datang ke rumah. Padahal tadi ia berniat ingin mengikuti wanita yang keluar dari Ale ButiQ. Jika kalian bertanya apakah Ryan sempat melihat wajah wanita itu maka ia akan menjawab, Tidak. Hujan deras yang masih membasahi ibukota sangat menyulitkan nya untuk melihat wajahnya. "Benar tadi kamu dan Nayla bertemu dengan sahabatnya Alesha?" Tanya Daniel yang duduk tepat di hadapan Ryan, di sebelah lelaki itu ada Nayla terduduk diam dan juga Tante Raya, ibunya Nayla. Ryan menatap Nayla, pasti dia yang memberitahu Om Daniel dan menceritakan semuanya. Ryan pun hanya mengangguk karena ini bukanlah hal yang harus di rah
Dan pukulan nya ini tidak ada artinya jika mengingat apa yang sudah mereka lakukan kepada keluarganya. Sepulang sekolah Ari dan Ilham teman nya sedang jalan-jalan di salah satu pusat pembelanjaan yang berada tidak jauh dari rumah mereka dan tanpa mengganti seragam sekolah terlebih dahulu. Mereka mengunjungi toko yang menjual berbagai macam peralatan video game. Ari sama seperti anak muda lainnya yang benar-benar sangat menyukai bermain game saat memiliki waktu luang ralat setiap hari. Bahkan dihari Free nya yaitu hari minggu ia bisa mengurung diri seharian di dalam kamar, untung saja Bunda Anika dan Alesha tidak pernah protes dengan hobinya selama tidak mengganggu aktivitas belajar nya dan yang pasti kesehatan nya sendiri. "Pokonya gue harus masuk 3 besar di Olimpiade kali ini" Tekad Ari yang sedang memandang salah satu perlengkapan video game yang s
"Dengarkan ini baik-baik. Bahkan jika anda mati pun, tidak akan membuat saya lebih baik. Karena anda harus hidup, agar benar-benar merasakan apa itu neraka dunia dan saya sendiri yang akan membuat anda merasakan itu!" Selepas melakukan check up di rumah sakit dengan di temani oleh Nayla, mereka pun menuju salah satu pusat pembelanjaan untuk menemui Dany yang hari ini mengajak mereka untuk makan siang bersama. "Ayah denger kan apa kata Dokter Ilham" Kata Nayla pelan seraya menggandeng lengan Ayah tirinya itu. Melihat Daniel yang diam dan terlihat lesu membuat Nayla menghela nafasnya pelan. "Ayah..." Panggil Nayla menyadarkan Daniel dari lamunannya. "Maaf nak Ayah cuman lagi kepikiran sesuatu" Jawab Daniel dengan tersenyum simpul. "Nayla ngerti kok yah... Tapi coba deh Ayah pikir, gimana kalau keadaan Ayah drop, pasti Ayah ga
Katakanlah Ara lemah, tapi jika pada dasarnya ia adalah seorang yang mudah memaafkan seperti Bundanya, maka semarah apapun Ara pada akhirnya hatinya akan mudah luluh juga. Tanpa sepengetahuan Bunda dan Ari, Ara pun nekat datang sendirian untuk menghadiri acara pernikahan kakaknya Siska. Ara tidak ingin keluarganya tahu jika dirinya datang untuk menemui Ayahnya. Ara takut mereka akan melarangnya, padahal ia hanya ingin memastikan keadaan Ayahnya saja. Ara masih ingat kemarin Kak Siska mengiriminya pesan jika Ayahnya jatuh sakit dan berharap bisa bertemu dengannya lagi. Ara sempat ragu, tapi kerinduannya pada sosok sang Ayah mengalahkan segala keraguannya itu. Apalagi jika teringat kata-kata kasar nya waktu itu, pasti sangat menyakiti hati Ayahnya. Katakanlah Ara lemah, tapi jika pada dasarnya ia adalah seorang yang mudah memaafkan seperti Bun
"Gak, jangan berterima kasih saat gue merasa jika sedang mengkhianati janji gue pada Ale" "Gue udah bilang kan, selain alamat ButiQ dan nomor hp nya Ale. Gue gak tau lagi hal lainnya mengenai Ale" Ucap Siska lelah karena terus di tanyai prihal Alesha dan keluarganya. Ia kesal bercampur marah karena ini sudah yang ke lima kalinya ia di teror oleh seorang Ryan hari ini. "Hp nya gak aktif dan ButiQ nya tutup" Beber Ryan seolah itu adalah salahnya. Hari ini sudah berkali-kali Ryan mengunjungi ButiQ Alesha namun tutup. Sedangkan nomor hp gadis itu tidak aktif sampai sekarang. "Ya mana gue tahu kenapa nomornya gak aktif sama ButiQ nya tutup" Jawab Siska seadanya. "Lo gak ada info lain? Apapun itu gue mohon... Please" Setelah mendapat kabar jika om Daniel bertemu dengan tante Anika dan Ara, Ryan pun langsung bergerak cepat mencari
"Semakin hari aku semakin sulit mengenali yang mana sebuah kenyataan dan yang mana sebuah hayalan" Alesha memarkirkan mobilnya di depan toko CakeBakery yang terlihat sudah tutup begitupula dengan toko Florist padahal biasanya toko akan tutup sekitar jam 9 malam. Banyaknya mobil di depan rumahnya pun seakan menjawab semua pertanyannya saat ini. Alesha hanya berharap mereka semua tidak mencercanya dengan berbagai pertanyaan dan nasehat karena ia sudah sangat kelelahan dan tak ingin memikirkan apapun lagi. Memejamkan mata adalah hal yang sangat Alesha butuhkan sekarang, sebenarnya bisa saja dirinya tidur di dalam mobil tapi ia memilih menahannya sejenak agar dapat bertemu dengan ranjangnya dan bisa terlelap di sana. Sekarang waktu sudah menunjukan jam 18.17 di dasbor mobilnya. Kepalanya berdenyut sangat sakit dan matanya terasa perih setelah tidak tidur selama l
Alesha terpaku, ia telah kehilangan ayahnya. Kini ia juga kehilangan cinta pertamanya. Delapan jam lebih sudah Alesha mengendarai mobilnya di jalanan, matanya masih fokus menyetir dengan kecepatan rata-rata. Yang berarti sudah delapan jam jugalah ia menghilang tanpa memberi kabar kepada siapapun. Padahal waktu sudah menunjukan jam sembilan malam. Baterai Hpnya pun menunjukkan angka 1% akibat banyaknya mendapat panggilan telepon dan Chat dari banyak orang. Hingga sebuah panggilan yang diberi nama Bunda menjadi panggilan terakhir yang terhubung sebelum Hpnya mati total akibat kehabisan daya. Dan Alesha masih terus melajukan mobilnya,, matanya tidak lelah dan pikirannya sangat terjaga bahkan sanggup untuk menyetir tanpa istirahat hingga sampai ketempat tujuan nya. Flashback Alesha yang tampak kusut berjalan kearah rumah seseorang y
"Aku memaafkan mu mas. Jadi sekarang mas harus mendapatkan maaf dari anak-anak. Aku tidak ingin seumur hidup mereka mendendam pada ayahnya sendiri" Seusai acara, saat semua orang sudah pergi dan hanya menyisakan beberapa staf serta Daniel sekeluarga yang sedari tadi kukuh untuk bertemu dengan salah seorang model. Bahkan sebelum acara itu berakhir Daniel sudah berada dibelakang panggung agar bisa bertemu dengan model tersebut, siapa lagi jika bukan putrinya, Ara. Anika pun sudah menghilang dari tempat duduknya saat matanya tadi terfokus pada Ara. Sepertinya Anika enggan untuk bertemu dengan Daniel, sedangkan sedari tadi putrinya menolak dengan keras walaupun beberapa staf terus membujuknya agar mau bertemu dengan sang Ayah. "Gimana yah Om, Ara nya gak mau" Siska buka suara, bagaimanapun dirinya tidak bisa memaksa karena Ara adalah adik temannya.
Suara itu... Orang itu... Ketakutan itu... Masih menghantuinya, dan jujur ia belum siap menghadapinya. "Astaga Ale. Kenapa pintu lo kunci segala sih?" Marah Mila, namun kekhawatir lebih mendominasi dirinya. Alesha hanya menatap sahabatnya dengan santai kemudian kembali ke tempat duduknya. Sedangkan Mila ingin menangis sekarang, ia takut terjadi apa-apa dengan sahabatnya. Bayangkan saja, karena sejak sejam yang lalu Alesha mengurung diri di ruangannya tanpa sedikitpun merespon panggilan nya. Mata Mila menatap Televisi yang menayangkan kartun Spongebob dalam hati ia bertanya apakah tadi Alesha menonton Berita tentang Ayahnya yang mencari anak-anaknya dan juga mantan isrinya. Melihat Mila yang termenung seraya menatap televisi, sudah cukup untuk membuat Alesha tahu apa isi pikiran sahabatnya saat ini. "Gue nonton tadi beritany
Maka untuk pertama kalinya Alesha belajar untuk melepaskan, tapi kenapa? Untuk melepaskan, ia yang harus lebih terluka? Daniel langsung mengerahkan seluruh anak buahnya untuk mulai melakukan pencarian kepada keluarganya yang bisa di pastikan berada di Jakarta. Ia harus segera menemukan mereka dan menebus kesalahannya walaupun ia yakin itu akan sangat sulit apalagi setelah pertemuannya dengan Ari waktu itu. Daniel bisa merasakan kebencian putranya itu. Dan ia harus siap dengan kebencian dan kemarahan yang akan datang dari Anika, Alesha dan juga Ara. "Untuk apa lagi kau mencari mereka yang tidak ingin bertemu denganmu hah?" Bentak Ian yang mendengar perihal Ari yang hampir saja menghajar Daniel, ditambah lagi Ian begitu ngeri melihat wajah Dany yang sangat babak belur. "Bukan urusan anda" Jawab Daniel dingin. "Apa kau benar-benar ingin di haja
"Saking marahnya aku bahkan bingung, apa aku masih punya perasaan yang lain" Alesha seperti biasa sedang menggambar di buku sketsanya saat Mila masuk dan langsung duduk di hadapannya. Alesha memandang sahabatnya sejenak lalu kembali meneruskan pekerjaannya. Mila yang melihat sang Boss sedang dalam mode serius bekerja semakin bingung bagaimana mengatkannya. Kini sekitar 15 menit sudah berlalu, Alesha merasa ada yang aneh dengan sahabatnya itu, Karena tidak biasanya Mila diam tanpa berkata apa-apa seperti sekarang. "Kenapa?" Tanya Alesha langsung menatap mata sahabat nya dan meninggalkan apa yang sedang di kerjakannya. Mila meneguk ludahnya berat. Lalu tersenyum aneh. Sangat mencurigakan pikir Alesha. "Enggak gue cuman merasa kalau sahabat gue ini kok bisa cantik luar biasa" Alesha mengerutkan dahinya bingun
"Dengarkan ini baik-baik. Bahkan jika anda mati pun, tidak akan membuat saya lebih baik. Karena anda harus hidup, agar benar-benar merasakan apa itu neraka dunia dan saya sendiri yang akan membuat anda merasakan itu!" Selepas melakukan check up di rumah sakit dengan di temani oleh Nayla, mereka pun menuju salah satu pusat pembelanjaan untuk menemui Dany yang hari ini mengajak mereka untuk makan siang bersama. "Ayah denger kan apa kata Dokter Ilham" Kata Nayla pelan seraya menggandeng lengan Ayah tirinya itu. Melihat Daniel yang diam dan terlihat lesu membuat Nayla menghela nafasnya pelan. "Ayah..." Panggil Nayla menyadarkan Daniel dari lamunannya. "Maaf nak Ayah cuman lagi kepikiran sesuatu" Jawab Daniel dengan tersenyum simpul. "Nayla ngerti kok yah... Tapi coba deh Ayah pikir, gimana kalau keadaan Ayah drop, pasti Ayah ga