Ryan harus menemukannya dan berusaha agar gadisnya bisa kembali padanya bagaimana pun caranya. Bahkan walau harus dengan cara teregois sekalipun.
Sejenak Daniel memandang kalender yang menunjukkan tahun 2020, lalu menghela nafasnya lemah. Kini sepuluh tahun sudah Daniel berpisah dengan keluarganya, karena kesalahan fatal yang diperbuatnya dulu.
Penyesalan, bagaikan kawan hidupnya kini.
Jadi jangan salahkan lelaki itu jika ia lebih memilih menghabiskan waktunya untuk bekerja dan terus bekerja, semua hanya untuk mengalihkan pikirannya yang selalu merindu pada anak-anaknya dan juga mantan istrinya.
Dan hanya sebuah foto lama yang keadaannya sudah robek namun di satukan kembali walau tidak begitu sempurna yang berada di atas mejanya lah sumber kekuatan untuk dirinya bertahan selama ini.
"Kalian di mana? Ayah rindu" Ucapnya sendu mentapa foto tersebut.
Hidup nya sekarang sangatlah hampa, pernikahannya yang kedua akan iming-iming harta yang di sangka nya akan memberikannya sebuah kebahagiaan kini terbukti salah, dia sadar keluraganya lah kebagaiannya dan bukanlah sebuah harta.
Tok Tok Tok
Ketukan di pintu di iringi dengan masuknya seorang wanita dewasa, yang merupakan Raya yaitu ibunya Dany dan juga Nayla. Ia datang untuk mengantarkan kopi kepada Daniel.
"Ini mas kopinya" Ucapnya lembut lalu meletakkan kopi diatas meja Daniel.
Daniel yang melihat kedatangan Raya hanya menghela nafas kemudian meletakkan kembali foto keluarganya di atas meja. Dan Raya yang melihat itu hanya tersenyum maklum.
"Sudah kubilang kau tidak perlu melakukannya. Bawalah lagi kopi itu" Ucap Daniel lalu membuka beberapa berkas.
Raya hanya menunduk tidak bersuara lalu mengmabil kembali kopi tersebut, ia tidak bisa memaksa karena sudah dari awal lelaki di hadapannya menolak setiap pelayanan darinya.
"Kalau begitu aku permisi mas" Ucapnya lalu keluar dari ruangan Daniel tanpa banyak kata.
Daniel hanya diam dan masih sibuk dengan beberapa berkas di hadapannya.
"Kau benar-benar... Bukankah sudah kubilang jika kau harus menemani Raya ke acara ulang tahun Perusahaannya Fery Hermansyah!!" Bentak Ian, pria tua yang hampir berumur 65 tahun itu tiba-tiba masuk dan membanting pintu ruang kerja anaknya.
Melihat kedatangan Ayahnya membuat Daniel memejamkan matanya lelah, setiap hari selama 10 tahun ini jika mereka bertemu selalu terjadi perselisiahan.
"Saya sibuk" Ucapnya dengan sangat formal. Daniel menggunakan bahasa formal kepada Ayahnya untuk menciptakan jarak diantara mereka.
"Alasan kau saja! Harusnya kau yang lebih tahu jika dia adalah salah satu investor penting di perusahaan kita"
Daniel hanya diam, namun sebenarnya ia kurang suka dengan Fery Harmansyah. Fery memang Investor yang cukup menjanjikan tapi rumor di sekitarnya sangatlah buruk. Juga entah kenapa Fery bisa mengetahui perihal Alesha dan sorot mata lelaki itu sungguh sangat mengganggu Danile saat dia selalu bertanya mengenai putri sulungnya.
"Aaaa... Aku tahu alasanmu, kau sengaja kan ingin semua orang tahu jika kau dan Raya sudah bercerai bukan!!" Tiba-tiba saja perkataan Ayahnya membuat ia terpancing emosi.
"Bukankah kami memang udah bercerai, anda saja yang selalu menutupinya" Jawab Daniel yang mulai kembali memperhatikan berkas-berkasnya seolah malas meladeni Ayahnya.
"Ini semua untuk kebaikan perusahaan mu bodoh" Balas Ari sambil memukul meja kerja anaknya itu.
Daniel menatap mata Ayahnya tajam.
"Seandainya saja perceraian kami diketahui public, mungkin keluarga saya akan kembali!" Ucap Daniel dingin mengepalkan kedua tangannya, selalu saja jika ia teringat kesalahannya dulu membuat dadanya terasa sesak.
Ian hanya terkekeh "Bukankah kau sendiri yang mengambil keputusan itu? Sekarang kau hanya bisa menyalahkan orang lain atas keputusan yang kau ambil sendiri" Ejek Ian dan itu membungkam Daniel.
Ayahnya benar, dia lah yang dulu sempat tergoda sehingga mengambil keputusan yang salah. Semuanya memang murni kesalahannya!
"Dua minggu lagi akan ada acara yang diselenggarakan oleh keluarganya Raya, ingat kau harus hadir bagaimanapun caranya. Jangan membuat publik makin curiga dengan hubungan kalian!" Tegas Ian.
Daniel pun masih bungkam.
"Dan juga prihal Nayla dan Ryan, kapan kita akan meresmikan hubungan mereka?" Sambung Ian yang berharap jika hubungan Nayla dan Ryan dapat memperkuat perusahaan mereka.
Daniel menatap Ayahnya jengah, lagi-lagi permasalahan itu.
"Bukankah anda tahu jika Ryan tidak mencintai Nayla? Ryan hanya menganggap Nayla sebagai adiknya!"
"Tapi apakah kau tidak tahu jika Nayla mencintai Ryan? Bukankah sebagai seorang Ayah harusnya kau bisa mendukung keinginan putrimu!?"
"Saya menyayangi Nayla walaupun ia bukanlah anak kandungku, tapi Ryan mencintai putriku, Alesha" Jawaban Daniel mengundang dengusan oleh Ian.
Lelaki tua itu pun memilih meninggalkan ruang kerja Daniel dengan sekali lagi membanting pintunya. Lihat saja, Ian sudah menyusun rencana untuk Ryan dan Nayla. Kemudian lelaki tua itu langsung menghubungi seseorang untuk merealisasikan rencana yang di milikinya.
~~~
Mobil yang ditumpangi Alesha berhenti disebuah Rumah berlantai dua yang mana di depannya ada sebuah toko roti lumayan besar yang berpalang nama Ara&Ari CakeBakery. Dan disisi kanan toko roti tersebut terdapat Florist, juga bernama Ara&Ari Florist.
Terlihat Bunda Anika langsung keluar dari Florist dan menyambut kedatangan mereka dengan penuh senyum.
"Aku langsung ke kamar, Bun. Thanks Samuel" Ucap Alesha yang langsung masuk kedalam rumah, Bunda Anika pun bisa merasakan jika anak putri sulungnya itu sedang tidak baik-baik saja.
"Sam, Restonya lagi ada masalah ya?" Tanya Bunda Anika langsung kepada Samuel yang sedang mengeluarkan koper milik Ara.
"Mmmm... Bukan masalah Resto sih Bun" Jawab Samuel ragu yang juga memanggil Anika dengan sebutan Bunda. Samuel bahkan sudah mengetahui semua masa lalu keluarganya Alesha dan juga sebaliknya.
"Tadi ketemu sama kak Ryan, Bunda" Celetuk Ara yang tahu-tahu sudah ada di sebelah Bundanya, lalu menyeret kopernya masuk ke dalam rumah meninggalkan Samuel dan sang Bunda.
Sontak kabar tersebut mengejutkan Anika, pikirannya bertanya-tanya apakah putri sulungnya tidak apa-apa? Ia tahu suatu saat pertemuan pasti akan terjadi namun apakah putrinya sudah siap?
"Ale hanya diam, seperti biasanya" Jawab Samuel yang tahu akan kekhawatiran Bunda Anika. Namun jawabannya juga bukanlah untuk menenangkan Bunda Anika, karena tidak ada yang tahu pasti apa yang ada di pikiran seorang Alesha.
"Apa Bunda telpon nak Bayu aja yah?"
Samuel menggaruk kepalanya yang tidak gatal, jujur ia juga bingung. Masalahnya Alesha sepertinya sangat anti untuk bertemu dengan Bang Bayu, yang notabennya adalah kakak Samuel sendiri. Apalagi jika mengingat pertemuan terakhir mereka berdua yang berakhir di rumah sakit.
Bayu bahkan mendapat amukan dari kedua orang tua mereka di Bali yang langsung terbang ke Jakarta saat itu.
"Bukan ide yang bagus yah?" Tanya Bunda yang melihat raut ragu di wajah Samuel.
"Bukan gitu sih Bun... Cuman Ale sepertinya gak suka kalau terlalu di usik terus, atau gini aja. Kita minta tolong sama Mila mungkin Alesha mau dengerin sahabat nya itu. Kan Bunda tahu sendiri Mila si cewek yang gak bisa dibantah, nah biar bang Bayu urusan Sam" Usul Samuel.
"Mila? Bukannya dia gak pernah menang kalau ngomong sama Ale?" Batin Bunda Anika ragu.
Samuel tersenyum melihat Bundanya yang seperti ragu dengan Mila.
"Tenang aja Bunda, biarpun selalu kalah tapi terkadang omongan Mila bisa langsung diterima oleh Ale" Ucap Samuel.
Bunda Anika mengangguk setuju.
Di tempat lain, sedari Samuel dan Anika berbincang Alesha pun memasuki perantaraan rumahnya yang dapat dilalui dari sebelah kiri CakeBakery yang juga di jadikan sebagai garasi mobil.
Rumah Alesha bisa dikatakan lumayan besar, ada ruang tamu, ruang keluarga, dapur sekaligus ruang makan. Sedangkan kamar tidur ada lima.
Alesha pun langsung menaiki tangga menuju lantai dua, di sana ada kamarnya dan Ari. Sisa kamar lainnya ada dilantai bawah.
Sesaat setelah memasuki kamarnya, Alesha pun membuka gorden yang langsung menghadap halaman samping yang menyimpan stok bunga dan tanaman. Kemudian ia memandang keluar atau lebih tepatnya memandang birunya langit di atas sana.
Alesha tanpa sadar mencengkeram erat gorden yang sedari tadi belum di lepasnya hingga terlihat telapak tangannya sedikit memerah. Hingga akhirnya Alesha menghembuskan nafasnya pelan, ia pun kemudian memandang lengannya yang sedikit bergetar.
"Kumohon... Berhenti" Ucapnya pelan.
Di tempat lain, setelah mengantar Nayla pulang kerumahnya Ryan pun langsung menuju Perusahaannya. Sudah lima tahun ini ia menggantikan posisi Ayahnya.
Ryan mengecek Hpnya dan melihat banyaknya artikel tentang kejadian di bandara tadi. Benar kata Nayla, apapun bisa menjadi berita bagi segelintir orang.
Terlihat Ryan menelpon seseorang dan wajahnya berubah dingin saat mendengar perkataan seseorang di ujung telepon sana.
"Hanya itu yang kau dapatkan heh" Ucapanya lalu langsung mengakhiri panggilan tersebut dengan kasar.
Ryan kemudian memandang keluar melalui jendela kaca di ruangannya yang berada dilantai sepuluh. Ia masih memikirkan gadis itu yang sangat diyakininya adalah Alesha. Kemudian seperti Alesha, ia menghembuskan nafasnya pelan.
Kini pikirannya melayang saat pertama kali bertemu dengan Alesha, saat gadis itu masih berumur 8 tahun.
Alesha dulu adalah gadis manis, berambut pendek dengan tingkah seperti preman sekolah. Dan tidak sedikit pun menarik perhatiannya yang saat itu masih berumur 10 tahun, Alesha dikenalkan padanya saat itu karena dia adalah putri teman baik Ayahnya.
Saat pertama bertemu, Ryan bisa melihat kekaguman di mata Alesha padanya. Dan mulai saat itu Alesha selalu mengikutinya, mengatakan rasa sukanya dan mengkalim dirinya sebagai istri masa depannya.
Kesal tentu saja, tapi semakin lama Ryan pun mulai terbiasa dan tanpa sadar senyuman Alesha adalah hal yang wajib untuk ia lihat setiap hari. Sampai dirinya melakukan kesalahan paling fatal dalam hidupnya.
Seandainya saja dulu ia lebih peduli dengan apa yang terjadi pada gadisnya.
Dan seandainya dulu ia tidak hanya memikirkan dirinya sendiri.
Ryan yakin Aleshanya pasti sangat membenci dirinya. Kini ia hanya bisa berharap jika nanti mereka bertemu, Alesha dapat memaafkannya dan memberikannya kesempatan untuk memperbaiki dan membahagiakannya.
Ryan takut penyesalannya akan tak berujung dan tidak sanggup ia akui, jika harus hidup tanpa ada Alesha di sampingnya.
Ryan harus menemukannya dan berusaha agar gadisnya bisa kembali padanya bagaimana pun caranya. Bahkan walau harus dengan cara teregois sekalipun.
"Aku tak akan berhenti Alesha... Tak akan pernah berhenti"
~~~
Terima kasih telah membaca cerita aku :)
Ada yang bilang luka yang menganga lebih baik dari luka yang tak terlihat. Namun bagaimana jika kedua luka itu datang di saat bersamaan? Itu adalah hal yang mengerikan bagi Alesha yang terus mengalaminya sampai saat ini. "Ale, lo denger gak sih?!!" Cekik Mila sambil berdecak pinggang. Dirinya sudah berbicara panjang kali lebar plus tinggi, tapi sang pendengar seperti tidak mendengar apapun. Membuat Mila menjadi geregetan dengan tingkahnya yang sok cool, padahal dalam hati ia mengakui jika Alesha yang sekarang memang sangatlah dingin. Alesha pun menghela nafas lelah kemudian di tatapnya sang sahabat yang berdiri tepat di depan meja kerjanya. "Iya gue dengar, Mila" Jawabnya pelan. "Astaga Ale, kalau denger ya jawab dong pertanyaan gue!" "Jangan diem-diem aja" Kesal Mila, biarlah kata orang ia bawahan kurang ajar kare
"Maka saya akan merebutnya dan membuatnya kembali mencintai saya. Katakanlah saya egois karena Alesha harus menjadi milik saya, hanya saya. Bukan orang lain" Berita pertunangan antara dirinya dan Nayla sukses membuat Ryan kalang kabut dan tidak tenang. Padahal sekarang Ryan memiliki rapat yang sangat penting tapi ia lebih memilih membatalkannya. Bagaimanapun dirinya harus menyelesaikan berita tidak benar itu terlebih dahulu. Saat ini Ryan sudah berada di kediaman keluarga Hatmaja. Bersama kedua orangtuanya, Ryan pun ingin meminta penjelasan karena berita tidak benar itu datang dari pihak orang dalam di perusahaan Hatmaja. "Saya dan Nayla tidak memiliki hubungan yang mengarah ke sana. kami hanya sebatas kakak adik! Jadi saya mohon jangan menyebar kan berita yang tidak benar" Ucap lantang Ryan kepada seluruh keluarga Hatmaja, tidak di pedulikannya kesopanan karena ini masalah ya
Tapi sebagai sahabat walaupun harus menjadi setan untuk menentang hubungan di antara Ryan dan Alesha, akan ia lakukan. Benar-benar Mila tak terima jika sahabatnya pada akhirnya harus berdampingan lagi dengan cowok itu. "Gue bingung kenapa setiap minggu gue harus lihat muka lo lagi... Muka lo lagi" Ujar Bima menunjuk muka Mila yang berada di seberang mejanya, mereka sedang berada di Restoran milik Samuel dan Alesha. Mila pun menunjuk dirinya sendiri lalu tertawa sinis. "Hah!? Eh monyet kalau lo gak mau lihat muka gue lagi... Ngapain datang" Sinis Mila menyilang kan kedua tangannya dan di dukung dengan pelototan mautnya kepada Bima. "Karena gue menghargai persahabatan kita selama 23 tahun ini" "23 tahun? Cih ! Lo kira kita udah temenan dari orok" "Benarkan bahkan sebelum kita masuk sekolah. Play Group, TK, SD, SMP, SMA sampai
"Bahkan dulu, jika Alesha memilih matipun kita akan terima daripada melihatnya hidup tapi... Seperti orang mati" "Hm... Iya, gue mau langsung ketempat Ara, sekalian jemput dia" Alesha pun memandang ke luar jendela seraya terus mendengarkan suara di ujung teleponnya. "Iya Mila... Kalau gak kemalaman, gue mampir" Ucap Alesha, kemudian mematikan panggilan telepon tersebut setelah mendengar jawaban dari yang bersangkutan kemudian meletakkan Hpnya di atas meja. Alesha berjalan menghampiri sisi ruangan yang lain dan langsung membuka jendela ruangannya, memandang langit yang sudah mulai gelap, karena jam telah menunjukan pukul 6 malam. Alesha pun bisa merasakan segelintir angin yang berhembus lumayan kencang, sepertinya malam ini akan turun hujan. Ia menghela nafasnya lelah, Seharusnya sekarang dirinya menemani Ara untuk gladi bersih tapi pekerjaan
Nayla menutup matanya, haruskah sekarang ia benar-benar melepaskan Ryan? Untuk menebus semua kesalahannya. Sekarang Ryan sedang berada di kediaman keluarga Hatmaja. Dirinya mendapat panggilan telepon dari Om Daniel yang memintanya untuk datang ke rumah. Padahal tadi ia berniat ingin mengikuti wanita yang keluar dari Ale ButiQ. Jika kalian bertanya apakah Ryan sempat melihat wajah wanita itu maka ia akan menjawab, Tidak. Hujan deras yang masih membasahi ibukota sangat menyulitkan nya untuk melihat wajahnya. "Benar tadi kamu dan Nayla bertemu dengan sahabatnya Alesha?" Tanya Daniel yang duduk tepat di hadapan Ryan, di sebelah lelaki itu ada Nayla terduduk diam dan juga Tante Raya, ibunya Nayla. Ryan menatap Nayla, pasti dia yang memberitahu Om Daniel dan menceritakan semuanya. Ryan pun hanya mengangguk karena ini bukanlah hal yang harus di rah
Dan pukulan nya ini tidak ada artinya jika mengingat apa yang sudah mereka lakukan kepada keluarganya. Sepulang sekolah Ari dan Ilham teman nya sedang jalan-jalan di salah satu pusat pembelanjaan yang berada tidak jauh dari rumah mereka dan tanpa mengganti seragam sekolah terlebih dahulu. Mereka mengunjungi toko yang menjual berbagai macam peralatan video game. Ari sama seperti anak muda lainnya yang benar-benar sangat menyukai bermain game saat memiliki waktu luang ralat setiap hari. Bahkan dihari Free nya yaitu hari minggu ia bisa mengurung diri seharian di dalam kamar, untung saja Bunda Anika dan Alesha tidak pernah protes dengan hobinya selama tidak mengganggu aktivitas belajar nya dan yang pasti kesehatan nya sendiri. "Pokonya gue harus masuk 3 besar di Olimpiade kali ini" Tekad Ari yang sedang memandang salah satu perlengkapan video game yang s
"Dengarkan ini baik-baik. Bahkan jika anda mati pun, tidak akan membuat saya lebih baik. Karena anda harus hidup, agar benar-benar merasakan apa itu neraka dunia dan saya sendiri yang akan membuat anda merasakan itu!" Selepas melakukan check up di rumah sakit dengan di temani oleh Nayla, mereka pun menuju salah satu pusat pembelanjaan untuk menemui Dany yang hari ini mengajak mereka untuk makan siang bersama. "Ayah denger kan apa kata Dokter Ilham" Kata Nayla pelan seraya menggandeng lengan Ayah tirinya itu. Melihat Daniel yang diam dan terlihat lesu membuat Nayla menghela nafasnya pelan. "Ayah..." Panggil Nayla menyadarkan Daniel dari lamunannya. "Maaf nak Ayah cuman lagi kepikiran sesuatu" Jawab Daniel dengan tersenyum simpul. "Nayla ngerti kok yah... Tapi coba deh Ayah pikir, gimana kalau keadaan Ayah drop, pasti Ayah ga
"Saking marahnya aku bahkan bingung, apa aku masih punya perasaan yang lain" Alesha seperti biasa sedang menggambar di buku sketsanya saat Mila masuk dan langsung duduk di hadapannya. Alesha memandang sahabatnya sejenak lalu kembali meneruskan pekerjaannya. Mila yang melihat sang Boss sedang dalam mode serius bekerja semakin bingung bagaimana mengatkannya. Kini sekitar 15 menit sudah berlalu, Alesha merasa ada yang aneh dengan sahabatnya itu, Karena tidak biasanya Mila diam tanpa berkata apa-apa seperti sekarang. "Kenapa?" Tanya Alesha langsung menatap mata sahabat nya dan meninggalkan apa yang sedang di kerjakannya. Mila meneguk ludahnya berat. Lalu tersenyum aneh. Sangat mencurigakan pikir Alesha. "Enggak gue cuman merasa kalau sahabat gue ini kok bisa cantik luar biasa" Alesha mengerutkan dahinya bingun
Katakanlah Ara lemah, tapi jika pada dasarnya ia adalah seorang yang mudah memaafkan seperti Bundanya, maka semarah apapun Ara pada akhirnya hatinya akan mudah luluh juga. Tanpa sepengetahuan Bunda dan Ari, Ara pun nekat datang sendirian untuk menghadiri acara pernikahan kakaknya Siska. Ara tidak ingin keluarganya tahu jika dirinya datang untuk menemui Ayahnya. Ara takut mereka akan melarangnya, padahal ia hanya ingin memastikan keadaan Ayahnya saja. Ara masih ingat kemarin Kak Siska mengiriminya pesan jika Ayahnya jatuh sakit dan berharap bisa bertemu dengannya lagi. Ara sempat ragu, tapi kerinduannya pada sosok sang Ayah mengalahkan segala keraguannya itu. Apalagi jika teringat kata-kata kasar nya waktu itu, pasti sangat menyakiti hati Ayahnya. Katakanlah Ara lemah, tapi jika pada dasarnya ia adalah seorang yang mudah memaafkan seperti Bun
"Gak, jangan berterima kasih saat gue merasa jika sedang mengkhianati janji gue pada Ale" "Gue udah bilang kan, selain alamat ButiQ dan nomor hp nya Ale. Gue gak tau lagi hal lainnya mengenai Ale" Ucap Siska lelah karena terus di tanyai prihal Alesha dan keluarganya. Ia kesal bercampur marah karena ini sudah yang ke lima kalinya ia di teror oleh seorang Ryan hari ini. "Hp nya gak aktif dan ButiQ nya tutup" Beber Ryan seolah itu adalah salahnya. Hari ini sudah berkali-kali Ryan mengunjungi ButiQ Alesha namun tutup. Sedangkan nomor hp gadis itu tidak aktif sampai sekarang. "Ya mana gue tahu kenapa nomornya gak aktif sama ButiQ nya tutup" Jawab Siska seadanya. "Lo gak ada info lain? Apapun itu gue mohon... Please" Setelah mendapat kabar jika om Daniel bertemu dengan tante Anika dan Ara, Ryan pun langsung bergerak cepat mencari
"Semakin hari aku semakin sulit mengenali yang mana sebuah kenyataan dan yang mana sebuah hayalan" Alesha memarkirkan mobilnya di depan toko CakeBakery yang terlihat sudah tutup begitupula dengan toko Florist padahal biasanya toko akan tutup sekitar jam 9 malam. Banyaknya mobil di depan rumahnya pun seakan menjawab semua pertanyannya saat ini. Alesha hanya berharap mereka semua tidak mencercanya dengan berbagai pertanyaan dan nasehat karena ia sudah sangat kelelahan dan tak ingin memikirkan apapun lagi. Memejamkan mata adalah hal yang sangat Alesha butuhkan sekarang, sebenarnya bisa saja dirinya tidur di dalam mobil tapi ia memilih menahannya sejenak agar dapat bertemu dengan ranjangnya dan bisa terlelap di sana. Sekarang waktu sudah menunjukan jam 18.17 di dasbor mobilnya. Kepalanya berdenyut sangat sakit dan matanya terasa perih setelah tidak tidur selama l
Alesha terpaku, ia telah kehilangan ayahnya. Kini ia juga kehilangan cinta pertamanya. Delapan jam lebih sudah Alesha mengendarai mobilnya di jalanan, matanya masih fokus menyetir dengan kecepatan rata-rata. Yang berarti sudah delapan jam jugalah ia menghilang tanpa memberi kabar kepada siapapun. Padahal waktu sudah menunjukan jam sembilan malam. Baterai Hpnya pun menunjukkan angka 1% akibat banyaknya mendapat panggilan telepon dan Chat dari banyak orang. Hingga sebuah panggilan yang diberi nama Bunda menjadi panggilan terakhir yang terhubung sebelum Hpnya mati total akibat kehabisan daya. Dan Alesha masih terus melajukan mobilnya,, matanya tidak lelah dan pikirannya sangat terjaga bahkan sanggup untuk menyetir tanpa istirahat hingga sampai ketempat tujuan nya. Flashback Alesha yang tampak kusut berjalan kearah rumah seseorang y
"Aku memaafkan mu mas. Jadi sekarang mas harus mendapatkan maaf dari anak-anak. Aku tidak ingin seumur hidup mereka mendendam pada ayahnya sendiri" Seusai acara, saat semua orang sudah pergi dan hanya menyisakan beberapa staf serta Daniel sekeluarga yang sedari tadi kukuh untuk bertemu dengan salah seorang model. Bahkan sebelum acara itu berakhir Daniel sudah berada dibelakang panggung agar bisa bertemu dengan model tersebut, siapa lagi jika bukan putrinya, Ara. Anika pun sudah menghilang dari tempat duduknya saat matanya tadi terfokus pada Ara. Sepertinya Anika enggan untuk bertemu dengan Daniel, sedangkan sedari tadi putrinya menolak dengan keras walaupun beberapa staf terus membujuknya agar mau bertemu dengan sang Ayah. "Gimana yah Om, Ara nya gak mau" Siska buka suara, bagaimanapun dirinya tidak bisa memaksa karena Ara adalah adik temannya.
Suara itu... Orang itu... Ketakutan itu... Masih menghantuinya, dan jujur ia belum siap menghadapinya. "Astaga Ale. Kenapa pintu lo kunci segala sih?" Marah Mila, namun kekhawatir lebih mendominasi dirinya. Alesha hanya menatap sahabatnya dengan santai kemudian kembali ke tempat duduknya. Sedangkan Mila ingin menangis sekarang, ia takut terjadi apa-apa dengan sahabatnya. Bayangkan saja, karena sejak sejam yang lalu Alesha mengurung diri di ruangannya tanpa sedikitpun merespon panggilan nya. Mata Mila menatap Televisi yang menayangkan kartun Spongebob dalam hati ia bertanya apakah tadi Alesha menonton Berita tentang Ayahnya yang mencari anak-anaknya dan juga mantan isrinya. Melihat Mila yang termenung seraya menatap televisi, sudah cukup untuk membuat Alesha tahu apa isi pikiran sahabatnya saat ini. "Gue nonton tadi beritany
Maka untuk pertama kalinya Alesha belajar untuk melepaskan, tapi kenapa? Untuk melepaskan, ia yang harus lebih terluka? Daniel langsung mengerahkan seluruh anak buahnya untuk mulai melakukan pencarian kepada keluarganya yang bisa di pastikan berada di Jakarta. Ia harus segera menemukan mereka dan menebus kesalahannya walaupun ia yakin itu akan sangat sulit apalagi setelah pertemuannya dengan Ari waktu itu. Daniel bisa merasakan kebencian putranya itu. Dan ia harus siap dengan kebencian dan kemarahan yang akan datang dari Anika, Alesha dan juga Ara. "Untuk apa lagi kau mencari mereka yang tidak ingin bertemu denganmu hah?" Bentak Ian yang mendengar perihal Ari yang hampir saja menghajar Daniel, ditambah lagi Ian begitu ngeri melihat wajah Dany yang sangat babak belur. "Bukan urusan anda" Jawab Daniel dingin. "Apa kau benar-benar ingin di haja
"Saking marahnya aku bahkan bingung, apa aku masih punya perasaan yang lain" Alesha seperti biasa sedang menggambar di buku sketsanya saat Mila masuk dan langsung duduk di hadapannya. Alesha memandang sahabatnya sejenak lalu kembali meneruskan pekerjaannya. Mila yang melihat sang Boss sedang dalam mode serius bekerja semakin bingung bagaimana mengatkannya. Kini sekitar 15 menit sudah berlalu, Alesha merasa ada yang aneh dengan sahabatnya itu, Karena tidak biasanya Mila diam tanpa berkata apa-apa seperti sekarang. "Kenapa?" Tanya Alesha langsung menatap mata sahabat nya dan meninggalkan apa yang sedang di kerjakannya. Mila meneguk ludahnya berat. Lalu tersenyum aneh. Sangat mencurigakan pikir Alesha. "Enggak gue cuman merasa kalau sahabat gue ini kok bisa cantik luar biasa" Alesha mengerutkan dahinya bingun
"Dengarkan ini baik-baik. Bahkan jika anda mati pun, tidak akan membuat saya lebih baik. Karena anda harus hidup, agar benar-benar merasakan apa itu neraka dunia dan saya sendiri yang akan membuat anda merasakan itu!" Selepas melakukan check up di rumah sakit dengan di temani oleh Nayla, mereka pun menuju salah satu pusat pembelanjaan untuk menemui Dany yang hari ini mengajak mereka untuk makan siang bersama. "Ayah denger kan apa kata Dokter Ilham" Kata Nayla pelan seraya menggandeng lengan Ayah tirinya itu. Melihat Daniel yang diam dan terlihat lesu membuat Nayla menghela nafasnya pelan. "Ayah..." Panggil Nayla menyadarkan Daniel dari lamunannya. "Maaf nak Ayah cuman lagi kepikiran sesuatu" Jawab Daniel dengan tersenyum simpul. "Nayla ngerti kok yah... Tapi coba deh Ayah pikir, gimana kalau keadaan Ayah drop, pasti Ayah ga