Ketika masuk ruangan manajer, Cinta dikira cleaning service oleh manajer itu dan karyawan dari perusahaan. Mereka tidak tahu kalau dia adalah istri pemilik perusahaan. Lalu, Rama—sang pemilik—datang dan melihat Cinta dipersekusi. Sebagai pemilik perusahaan, dia tentu marah besar. Apa yang akan dia lakukan terhadap para karyawannya yang berani mengganggu istrinya yang tersayang?
Lihat lebih banyak1 Kepolosan Cinta
Karena mencium hal yang tidak beres, aku dan Mas Rama harus memeriksa sendiri kantor cabang salah satu perusahaan kami. Kantor itu dipimpin oleh manajer baru sejak setahun lalu, namun manajer itu bukan pilihan Mas Rama sendiri. Zapa sebagai salah satu pemilik saham lah yang memaksa menerimanya untuk mengelola perusahaan.Awalnya, Mas Rama ragu dan tidak memercayainya. Namun kegigihan Zapa yang juga memiliki saham membuatnya mengalah.Aku memasuki bagian loby kantor. Melihat sekeliling bangunan dengan nuansa minimalis itu.“Maaf, Bu,” tegur bagian resepsionis padaku dengan suara ramah dan lembut sambil memasang senyum terbaiknya seperti yang selalu ia lakukan pada setiap tamu, “ada keperluan apa datang kemari?”Aku menghentikan langkahku dekat meja resepsionis itu dan tersenyum tipis. “Mau memeriksa perusahaan dan operasional di kantor ini.”“Maaf, apa Ibu sudah ada janji dengan kepala manejer?” selidik wanita muda dengan jilbab krem itu padaku. Aku yakin ia memang belum tahu kalau aku adalah istri dari pemilik Rama Corporation.“Tidak perlu buat janji.” Aku tersenyum lagi.“Sekali lagi maaf, Bu, tidak boleh bertemu manajer tanpa buat janji. Silakan buat janji terlebih dahulu.” Wanita itu menangkupkan tangan ke dada seperti minta maaf, dari tulisan di dadanya itu aku tahu namanya Clara.“Saya istri pemilik perusahaan ini. Kedatangan kami mau memeriksa sistem yang dijalankan, kalau buat janji terlebih dahulu, semua orang akan bersiap-siap dan kami tidak akan mendapat hasil yang valid.”“Ibu istri Pak Rama?”“Ya.”“Muda sekali.”“Kamu juga muda.”“Tapi saya bukan istri Pak Rama.” Wanita itu terkekeh.Aku membuka kacamataku lalu meletakkannya ke dalam tas. “Kalau begitu, boleh saya masuk?”“Tunggu, saya harus konfirmasi ke Pak Rama terlebih dahulu.”“Silakan.”Aku menunggu beberapa saat.Mas Rama sebenarnya tadi datang bersamaku, tapi katanya ia mau menemui kenalan lama tak jauh dari kantor ini dan tidak mengizinkanku ikut. Jadi aku masuk saja duluan tanpa menunggunya lagi.“Boleh saya lihat kartu identitas Ibu?” tanyanya.Aku lekas mengeluarkan dompet dalam tas dan kuambil KTP-ku, lalu kuulurkan padanya.“Lovarena Cinta," ujar si resepsionis mengeja nama yang tertulis di KTP, “baik, sesuai dengan nama yang disebut Pak Rama. Kalau begitu, silakan naik ke lantai tiga, belok kiri, ada meeting room disitu Bu Cinta. Manajer dan jajaran petinggi perusahaan sedang berpesta karena berhasil menyelesaikan proyek.”“Pesta?”“Iya, Bu Cinta.”“Sering?”“Biasanya kalau selesai proyek saja, Bu.”“Oh, kalau begitu saya akan kesana. Terima kasih.” Aku beranjak meninggalkan meja resepsionis itu menaiki lift ke lantai tiga hingga sampai ke meeting room.Dari depan pintu terdengar suara orang di dalam. Ada suara tertawa, ada pula suara berteriak senang. Segera kuraih gagang pintu dan kuputar. Aku memasuki ruangan itu.Seketika semua orang di dalam memperhatikanku. Namun keadaan ruangan itu membuatku lebih syok lagi. Gelas-gelas berisi minuman terhidang di atas meja dengan banyak pula piring yang berisi makanan. Asap rokok mengepul. Beberapa botol bir melengkapi. Apa yang mereka lakukan di waktu puasa begini?“Heeh, nanti saja beres-beresnya!” pekik seseorang dari sudut ruangan kepadaku, namun itu tak membuatku mengindahkan mereka. Mataku masih berkelana menyapu semua pemandangan yang kutangkap.“Eh kamu! Kamu nggak tahu kami ini siapa?” celetuk seorang wanita berkacamata berambut sebahu.Aku melangkah masuk sambil menutupi hidungku karena menghindari asap rokok dan bau alkohol. Pintu tertutup kembali dengan sendirinya.“Siapa manajer?” tanyaku dengan suara datar.“Ada apa?” Seorang lelaki paruh baya yang di kepalanya ada beberapa helai uban memutar kursi dan menghadap ke arahku sambil melempar pandangan yang tajam.“Anda muslim?” tanyaku elegan.“Ya. Lalu mengapa?”“Ini bulan Ramadhan!”“So?”Aku tersenyum tipis, “Adakah sedikit rasa malu dan respek anda terhadap agama?”Pria itu mengangkat bibir. “Kamu siapa memangnya?”“Tidak penting siapa saya.”“Dia pasti tukang bersih-bersih baru, Pak Brian.” Seseorang menjawab, namun tak kuindahkan dan tak kutoleh sama sekali.Lelaki yang dipanggil Brian itu berdiri dari kursinya dan berjalan mendekatiku. “Kalau hanya petugas bersih-bersih, jangan ikut campur urusan saya. Saya ini manajer disini. Kamu bisa langsung saya pecat!”Aku memejamkan mata pelan dan tetap tersenyum. “Bisakah anda bicara dengan lebih sopan dan beradab?”Brian melotot. Tangannya bergerak dan hendak mendorongku.“Jangan sentuh saya!” Aku mengangkat tangan memperingatkan.“Ooh, sok suci rupanya.” Brian malah melangkah mendekatiku, membuatku mundur selangkah. Ia lalu meraih segelas air di atas meja, “Kamu puasa, hah, puasa? Sok alim, sok bersih!” Mata Brian memerah.“Apa yang anda lakukan?”“Mancekokimu dengan minuman ini.” Brian mengangkat gelas berisi bir itu agak tinggi.“Tidak, jangan lakukan atau anda akan menyesal!”“Menyesal? Hahaha.” Brian malah tertawa.“Diam! Berhenti! Aku bisa mengadukan pada suamiku soal ini dan kalian akan berurusan dengan polisi!”“Hahaha. Polisi? Polisi bertekuk lutut di depan kami. Asal ada uang, semua beres.” Brian terus melangkah mendekatiku. “Mei, pegang dia!”Wanita berambut sebahu lekas berdiri dan memegangi bahuku hingga aku tak bisa kabur.“Jangan … sentuh!” Bahuku pun dicengkeram oleh wanita bernama Mei itu dan aku tak bisa bergerak.“Ini.” Tangan besar Brian menyentuh daguku lalu memaksa membuka mulutku. Sesaat kemudian ia menuangkan gelas berisi bir itu ke dalam mulutku. Aku mencoba menyemburkannya. Namun ia terus menumpahkan hingga air di gelas itu kosong, membuatku terbatuk-batuk. Mungkin satu atau dua teguk aku terpaksa menelan cairan haram itu. Ya Allah, puasaku harus batal karena cairan haram? Tidak. Itu bukan kesengajaanku.Tak terasa ada air mata yang tetes dari ujung kelopak mataku.“Haaha! Bagaimana?”“Akan kulaporkan kalian pada Mas Rama!”Seisi ruangan tertawa terbahak-bahak melihatku yang terduduk. Aku berusaha berdiri dan hendak keluar dari ruangan itu untuk kabur. Namun saat kubuka pintu, seseorang dari luar tepat pula membuka pintu dan hendak masuk.“Mas Rama?”“Lov?” Mas Rama memang lebih sering memanggilku Lov daripada Cinta.“Mas … mereka ….”Mas Rama melihat baju biruku yang basah karena cairan bir.“Pak Rama?” ucap Brian sedikit terkejut.Mas Rama mengalihkan pandangan dariku ke wajah Brian. Tatapannya setajam pedang yang siap menebas apa pun.“Ada apa, Brian?”“Maaf, Pak Rama.” Lelaki paruh baya itu gemetar.“Kemasi barang-barangmu! Kalian semua yang ada disini, saya pecat sekarang juga!”Seketika gelas yang dipegang Brian jatuh ke lantai dan pecah, menimbulkan suara berdenting.***PEMUKIMAN itu rata dengan tanah. Yang tersisa hanya puing-puing yang terlanjur menjadi arang dan abu. Asap masih mengepul di beberapa bagian pagi itu. Katanya, kebakaran dimulai sejak semalam hingga pagi ini baru bisa dipadamkan.Lima belas unit mobil pemadam kebakaran tak cukup, dikerahkan lagi tujuh bantuan pemadam. Itu pun petugas dibantu warga masih kewalahan dalam bertarung dengan si jago merah. Susahnya akses masuk mobil jadi sebab utama. Pun rumah yang berdempetan membuat api tertawa ria mengejek dari jauh, membesar sesuka hati.Aku terpaku saat turun dari mobil.“Rumahnya, ludes.” Ruki bergumam.Aku hanya menggeleng pelan, tak dapat mengucap sepatah kata pun. Mas Rama pun hanya terdiam, menatap sendu.Nun di sebelah sana, ratusan pasang mata hanya dapat menyaksikan rumah mereka dilalap api. Pasrah tak dapat menyelamatkannya. Barangkali hanya satu-dua barang yang bisa diamankan, termasuk baju yang terpakai di badan.Tak banyak yang dapat disaksikan selain isak tangis dari ibu-
“TOTAL biaya tanggungan utang warga kampung Tanjung Kawan sebesar 1,7 milyar, Pak. Terlalu besar untuk dana CSR, atau mungkin kalau Bapak sendiri yang ingin membiayai dulu.” Rendra menyerahkan hitungan utang pemukiman yang berbentuk sebundel laporan itu.“Terlalu besar, Mas.” Tara menimpali.“Tapi gimana, Ra? Kasihan mereka.”“Yah, memang sebenarnya bukan tanggung jawab kita. Itu murni kesalahan mereka sendiri yang sudah berani berutang. Tapi, aku tahu kalau Mbak Cinta sudah niat bergerak ya mau gimana lagi. Aku siap support aja.”Siang itu kami kaman bersama di sebuah café tak jauh dari Aurora Corporation. Bosan makan di dapur umum kantor, kami ingin mencari suasana baru. Café bernuansa alam di jalan Ahmad Yani itu tak terlalu ramai, masih nyaman untuk dikunjungi.Mas Rama masih berpikir. “Mungkin kalau semua CSR dari perusahaan client dikumpulkan, bisa membantu setidaknya.”“CSR perusahan client?” tanyaku tertarik.“Eh, Sayang, makan dulu pastanya. Kamu lagi hamil nanti calon bayiny
“PAK Rama jemput?” tanya Fresha di dalam mobil. Hari sudah mulai sore. Aku dan Mas Rama berjanji untuk bertemu di suatu tempat dan kami akan menuju dokter kandungan. Dokter Meity.“Iya. Sebentar lagi sampai.” Aku sibuk memainkan ponsel, tak menatap pada Fresha.Sudah lima menit aku menuggu Mas Rama di tempat yang disepakati. Pukul 16.05 di arlojiku.Lima menit kemudian, sebuah mobil Mercedes hitam sampai di tempat itu. Melihat mobil Mas Rama itu aku berpamitan pada Fresha dan Dennis. Mas Rama membukakan pintu mobil seperti biasa.“Telat sepuluh menit. Eh, sebelas.” Aku menatap arloji.Mas Rama malah mencubit pipiku dan menariknya.“Auu.”“Shalat ashar dulu, Sayang.”“Iya. Cepetan ke praktek Bunda Meity.”Mas Rama tancap gas. Di perjalanan ia memandangiku dengan tatapan aneh. Alisnya sering terangkat dua kali seperti menggoda. Tapi aku tak tahu maksudnya apa. Entahlah, lelaki kadang memang tak dapat dimengerti. Makhluk aneh.“Jadi mual dan muntah tadi?”“Hmm.”“Kenapa?” Mas Rama malah
SUASANA rumah Bejo mendadak tegang ketika aku mulai tak senang dengan aturan yang ia terapkan semena-mena. Betapa tidak, utang yang awalnya hanya lima juta meranak-pinak jadi 10 juta dalam tiga bulan.Bukan hanya itu, utang itu pun mengganda ketika yang membayar bukan orang yang bersangkutan.“Ini buktinya. Silakan periksa saja. Semua jelas tertulis di perjanjian utang-piutang itu.” Bejo tersenyum mnyeringai. Bibirnya terangkat sebelah tanda ia merasa menang telak.Kuraih kertas yang Bejo letakkan di atas meja. Nama Marsudi tertera sebagai salah satu pihak penanda tangan kontrak. Kubaca lekat-lekat agar tiada satu kata pun terlewat. Sampai ujung tanda-tangannya kubaca, perkataan Bejo ternyata memang benar adanya. Perjanjian itu ditandatangani di atas materai. Kubaca dengan seksama tiap kata dan kupahami maksudnya betul-betul. Tapi mungkin Fresha sebagai sekretaris lebih paham apa isinya. Maka kusodorkan padanya.Fresha meneliti surat perjanjian itu beberapa detik.“Benar, Bu Cinta. Di
“Kali ini biarkan aku mengurus ini, Mas. Aku nggak mau terus-terusan bergantung sama kamu. Aku mau mandiri.”Mas Rama malah berdecak kesal. “Kamu mau hadapin si Joko itu sendiri?”“Kana da Dennis, Setya, Anzu sama Rizal yang aku bawa. Kalau keamanan kamu gak usah khawatir. Kamu fokus aja sama kerjaan. Lagian perusahaan ‘kan lagi berkembang sekarang. Kasihan kamunya kalau pecah fokus.”“Yah mau gimana lagi.”“Boleh Mas ya?”“Boleh,” jawab Mas Rama pelan. “Proposal untuk CSR renovasi rumahnya udah selesai?”“Udah.” Aku mengeluarkan sebundel kertas dan menyodorkan di atas meja kerja Mas Rama. Ia kemudian membuka proposal itu dan membacanya sekilas tiap lampirannya. Suara pintu diketuk. Mas Rama mempersilakan seseorang yang mengetuk pintu itu untuk masuk. Dennis dengan jas abu-abu dan tampilan yang klimis pun beranjak ke ruangan itu.“Saya hari ini menemani Bu Cinta untuk menyelesaikan masalah kemarin, Pak.” Dennis melapor di depan Mas Rama. Mas Rama meletakkan proposal yang dibacanya di
BRAK! Suara sesuatu ditendang keras. Aku dan Sonar yang terkejut serentak menoleh ke luar pintu. Seorang lelaki bertubuh besar tinggi, dengant tato di lengan atas, berbaju tanpa lengan, bercelana jeans, datang dengan wajah bengis.“Pak Tua! Sampai kapan mau nunggak utang!” lanjutnya.Kakek yang sibuk membantu istrinya duduk pun terkesiap. Ia berjalan mendekati pintu dimana lelaki itu berada.“Maaf, Mas Joko, saya belum punya uang.” Suara rintih itu terdengar sangat memelas.“Halah, aku gak peduli ya!” bentak lelaki bernama Joko itu.“Tapi saya harus bayar pakai apa?” Kakek memohon.“Apa aja. Mana sertifikat tanah ini?”“Jangan, Mas Joko. Kami tidak punya apa-apa lagi.”“Aku gak peduli. Utangmu udah sepuluh juta!”Joko mendorong tubuh Kakek hingga ia termundur beberapa langkah. Kakek yang tubuhnya masih terluka itu memegangi perut karena merasa sakit. Ia tersentak kaget.“Ini siapa?” tanya Joko menunjuk ke arah kami. “Wanita cantik ini anakmu?” lanjutnya.“Bu-bukan. Mereka cuma tamu.”
RUKI ternganga melihat aku membawa setumpuk sisa penjualan korannya tadi pagi. Apa lagi kuletakkan selembar uang seratus ribu, barangkali ia tak menyangka. Orang yang ia sakiti membalasnya dengan kebaikan.“Cinta!” panggilnya sambil berdiri dari kursi pajang pinggir jalan itu.“Iya?” Aku berhenti. Tanpa balik kanan menoleh padanya.“Terima kasih.” Matanya berkaca-kaca.“Aku tunggu di Lovamedia.” Kujawab sambil tersenyum, membuat matanya yang kian basah tak mampu membendung air mata yang titik setetes. Senyumnya terkembang di ujung bibir.Aku pun beranjak melewati trotoar hingga sampai di seberang minimarket. Setelah menyeberang dengan hati-hati aku masuk ke mobil dan Setya menjalankan mobil kembali.“Untuk apa bawa setumpuk koran?” tanya Mas Rama yang heran ketika kubawa tumpukan koran itu masuk ke mobil.“Nanti pasti ada gunanya. Mungkin bagi kita sampah, tapi bagi orang lain bisa jadi berkah.”Mas Rama menggeleng sambil tersenyum tipis.Mungkin sekitar lima belas menit kemudian kami
KETIKA sedang menghirup udara segar pagi itu di jalanan kota Lombok, perkataan Mas Rama mengingatkanku pada sesuatu. Barangkali wanita yang hilang itu berada di dalam kasur!Mengapa kupikir demikian?Pertama, saat aku berbaring di atas kasur di kamar itu rasanya keras dan tak nyaman sama sekali. Kedua, barang-barang yang kutemukan di sudut ruangan yang merupakan segulung tali seperti benang dan jarum yang tertancap di tanaman hias. Alat untuk menjahit.Sementara potongan kain yang kudapatkan di dalam tong sampah tak lain adalah isi dari kasur yang dikeluarkan. Yang berkemungkinan pula sebagian besar isinya itu telah dimasukkan ke koper bersama pakaian kotor.“Mungkin aja sih, Lov. Boleh juga insting detektif kamu.” Jawaban Mas Rama saat kuberi tahu pendapatku tentang hilangnya wanita itu. “Kasih tahu polisi yang jaga.”“Kembali lagi ke hotel?”“Iya.”“Ya udah, ayo.”Kami yang kembali lagi ke hotel. Mas Rama menunggu di depan pintu masuk hotel sementara aku menuju lobi dimana dua orang
RUANGAN lobi jadi tempat berkumpul semua penghuni hotel. Sementara meja salah satu ruang di lantai bawah dijadikan ruang interogasi oleh para polisi. Pertama, lelaki yang berhubungan dengan si wanita yang hilang itu diberondong pertanyaan.“Maaf, saya dengar Ibu langsung berkontak dengan lelaki itu.” Seorang lelaki berpakain polisi menegurku ramah. “Bolehkah kami mewawancarai di ruangan sana?”Aku yang berdiri sambil menyilangkan tangan menjawab, “Ya.”Kemudian aku mengekor di belakang lelaki itu dan ikut masuk ke dalam ruang interogasi.“Sejak jam berapa anda di hotel ini?” pertanyaan pertama setelah nama da nasal.“Sejak pukul lima kira-kira.”Mungkin yang bertanya itu adalah seorang detektif. Cepat ia mencatat jawabanku sambil mengangguk pelan.“Bersama siapa?”“Suami.”“Jadi anda berada di kamar 304?”“Ya.”“Malamnya anda sempat pergi keluar, lalu saat kembali anda sempat berkomunikasi dengan pria ini?” Detektif itu menunjukkan sebuah foto yang tak lain dan tak bukan adalah pria y
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen