‘’Vira, tolong jangan bawa Vania. Dia masih belum pulih.’’ Yura menyetarakan langkahnya, akan tetapi Vira terus menyusuri tangga tidak mau mendengar.Yura berharap ada sedikit celah di hati Vira, agar Vania bisa tetap tinggal. Cukup lama bersama seatap dan tahu sebaik apa Vira, rasa sayang Yura semakin besar pada menantunya itu.Dan lagi, Vania masih butuh istirahat. Kondisinya belum sehat betul.‘’Sudah cukup aku mendengar cucuku meninggal. Aku tidak mau anakku yang berharga ini juga menyusul ke surga,’’ jelas Vira.‘’Tolonglah, Vir. Aku mohon. Jangan bawa menantuku pergi,’’ Rasanya begitu menyakitkan Vania dibawa paksa seperti ini. ‘’Mama,’’ Vania tidak tega melihat Yura memohon. Tanpa sadar Vania kembali menangis. Merasakan kasih sayang Yura begitu nyata.‘’Kamu anak mama. Kamu tidak di sini untuk dimadu apalagi disiksa.’’ Vira menghentak tangan Vania agar tidak terfokus pada Yura.Tetapi, mata Vania masih tertuju pada mertuanya yang baik hati dan masih berusaha menahannya.Yura
‘’Baru kali ini, Ma,’’ seru Vania. Menjawab pertanyaan sang mama.Gavi dengan sifat kasarnya membuat siapapun sulit menerima. Pria yang dikenal baik ternyata bertabiat buruk. Mata kepala menjadi saksi dan luka di tubuh Vania menjadi bukti.Vira terus mendekap putrinya tanpa mau melepas.Kemarin dirinya tidak bisa melindungi Vania, kini Vira akan berada dalam baris terdepan. Menempatkan Vania dalam pengawasannya.Vania tidak berkata apapun. Di tengah matahari yang kian menunjukkan sinarnya, ada kegelapan yang menyelimuti dirinya. Akankah dirinya bisa bahagia seperti dulu?Melihat Vania kembali menangis, air mata Vira pun turut jatuh.‘’Mama jangan nangis,’’ pinta Vania. Tak ingin Vira ikut bersedih seperti dirinya. ‘’Vania bahagia mama bawa Vania pergi. Vania sekarang sudah tidak apa-apa.’’Biarkan luka ini dirinya sendiri yang merasakan. Vania buru-buru menyeka pipinya yang basah, tak ingin menunjukkan rasa sakitnya yang teramat dalam. Apalagi sampai membaginya dengan Vira. Vania tida
‘’Ini demi kesehatan kamu, Nak. Kalau tidak diangkat, akan membahayakan nyawa kamu,’’ jelas Dani dengan wajah memohon. Vania membuang wajahnya ke arah lain. Tidak ingin menatap Dani ataupun Vira yang berkeras.Belum dua puluh empat jam Vania kehilangan janin tidak berdosa. Belum lahir saja sudah dihukum atas perbuatan ayahnya. Hingga keluar sebelum waktunya.Mungkin Gavi memang tidak ingin anaknya lahir sehingga anak mereka pun enggan untuk hidup dan tidak bisa bertahan lebih lama lagi.Dan kini harus merubuhkan rumah tempat anak-anaknya pernah tumbuh? Vania seperti tidak diizinkan lagi untuk mengandung oleh Tuhan.Padahal telah berusaha menjaga dengan baik, tetapi, tetap saja Tuhan berkehendak lain.‘’Akh.’’ Vania memegangi perutnya yang terasa sakit.‘’Vania, tolong pikirkan diri kamu, Nak.’’ ‘’Iya, Sayang. Dengar apa yang dikatakan Papa Dani. Kamu tidak boleh egois.’’ Vira membelai wajah putrinya yang terlihat kesakitan.‘’Tidak, Ma.’’‘’Mama tidak mau kehilangan kamu,’’ Wanita i
‘’Sepertinya kali ini mereka benar-benar tidak akan bersama.’’ Sandra memantau dari kejauhan. Tadi Vania sempat pergi, namun kembali lagi ke rumah sakit di dorong menggunakan brankar.Ketika melihat Vania dibawa oleh beberapa perawat, Gavi hanya melihat sekilas dengan tatapan dingin.Sandra bisa menyimpulkan bahwa keretakan itu tak lagi menyatu, melainkan pecah berjauhan.Tidak salahkan, jika Sandra merasa senang? Pikiran menjadi satu-satunya Nyonya Ravindra menjadi hiburannya saat ini.Apalagi Gavi sudah sangat tergila-gila padanya. Oh, ya ampun. Rencananya berjalan sukses. Sandra sampai melompat-lompat di tempat.Rasanya jangan ditanyakan lagi. Seperti musafir yang kehausan lalu mendapat segelas minuman. Sungguh menyegarkan membayangkan akan menguasai Gavi secara utuh.Tanpa berbagi apalagi dibarengi cemburu. Misinya berhasil.Akhirnya perjuangan Sandra terbayar lunas. ‘’Sandra, kamu ngapain di sini?’’ Lili menepuk bahu Sandra. Sejak tadi memperhatikan gerak-gerik Sandra sungguh
‘’Terimakasih, Nak, sudah membantu Vania. Kalau tidak ada kamu, mama tidak tahu kapan Vania mendapat penanganan.’’‘’Sama-sama, Ma. Bagaimanapun Vania adalah kakak ipar Leo.’’Vira memeluk Leo erat, mengungkapkan rasa terimakasih tak terhingga.Jika bukan karena Valerie yang memohon di telpon, mungkin Leo tidak akan melewatkan tanda tangan kontrak senilai milyaran rupiah.Tapi demi sang istri, Leo rela menunda.Secepat kilat perawat dan Dani mengambil alih setelah mendapatkan darah yang dibutuhkan. Mereka pun segera keluar agar Vania ditangani oleh ahlinya.Tanpa sengaja Leo melihat Gavi tengah membetulkan resleting, disusul oleh Sandra di belakangnya, membuat emosi Leo membulat tiga ratus enam puluh derajat. ‘’Bajingan!’’ Walau sudah jadi mantan istri, bekas memar di tubuh Vania membuatnya sangat marah.‘’Mas, jangan!’’ Valerie menahan lengan Leo agar tak membuat keributan. ‘’Biarkan saja.’’Sementara itu, seluruh rumah sakit telah mendengar berita tentang Gavi. Juga Sandra yang men
‘’Selalu ada matahari setelah hujan. Jangan lupakan itu.’’‘’Jangan pikirkan apa yang telah hilang. Tapi pikirkanlah apa yang masih kamu miliki.’’Leo bukanlah teman dekat Vania. Mungkin juga bukan orang yang diharapkan untuk ada didekatnya sekarang. Tetapi siapapun berhak mendapat semangat, di saat harapan hidup lenyap perlahan .Terlihat Vania seakan tengah berpikir. Memikirkan kata-kata Leo yang ada benarnya. Itu membuatnya merenung mensyukuri hidup.Walau senyum belum tercetak di wajah Vania, namun Leo bisa melihat kemuraman sedikit demi sedikit menarik diri.‘’Kamu benar, Mas. Terimakasih.’’ ‘’Bila perlu apa-apa dan butuh bantuan apapun, jangan lupa kalau ada aku, adik iparmu, Van.’’Segaris senyum terukir halus Lucu sekali. Juga terdengar aneh di telinganya. Sudah lama Vania dan Leo tidak bertegur sapa. Bahkan lupa bila mereka adalah saudara ipar. Akan tetapi fakta akan status tersebut, masihlah rancu bagi Vania. Sebenarnya Leo juga.Bagaimana tidak? Dulu dekat seperti Rama dan
‘’Tunggu, ya, Nak. Mama mau antar semuanya ke depan. Gak lama kok.’’‘’Pergi saja. Ada saya di sini, Besan.’’ Dani meyakinkan Vira untuk tidak tidak khawatir.Vania pun turut mengangguk.Benar juga. Dani tidak mungkin macam-macam dengan putrinya. Walaupun ayah dan anak, tetapi Dani bukan Gavi.Baiklah, Vira memilih percaya saja.‘’Papa, kalau papa sibuk, Vania nggak apa-apa, kok, sendirian. Vania juga merasa sudah baikan.’’Kesibukan Dani sebagai dokter senior sangat diketahui Vania. Gavi pernah menceritakan sepenting apa posisi Dani di rumah sakit. Karena itu, Vania tidak mau menjadi beban yang harus dijaga.Tok… tok… tok…‘’Dok, maaf mengganggu. Ada pasien…’’Dani mengangkat tangannya, sang perawat pun langsung terdiam.‘’Tuh, Pa. Vania nggak apa-apa, kok.’’Menarik napas sedalam-dalamnya, Dani merasa sedikit ragu untuk pergi. ‘’Pasiennya kritis, Dok.’’Jleb.‘’Papa, Vania pun pasien. Tapi pasien lain lebih membutuhkan papa.’’ Vania tampak bersungguh-sungguh.‘’Baiklah. Kalau ada a
‘’Wow, aku berhasil. Yes.’’ Sandra mengepalkan tangan berjingkrak-jingkrak kegirangan. Beberapa hari ini menguntit, ternyata Gavi sudah sejahat penjahat.Khususnya pada Vania.Itulah yang Sandra nantikan selama ini.Ketika Gavi dan Sandra pulang ke rumah. Tak ada yang menyambut bahkan Yura terlihat menghindar ketika melihatnya. Seakan enggan menatap barang sedetik, sehingga buru-buru berlalu.Gavi pun cuek, begitu juga Sandra yang sudah putus urat malunya.Sampai di depan kamar, Gavi tergerak melihat ke lantai atas. Hingga dirinya memilih masuk ke kamarnya dan Vania di lantai dua, mungkin akan sedikit menghiburnya.Gavi pun harus mengambil beberapa barang yang masih tersisa.Kamar itu masih berantakan. Tidak ada yang berubah. Lia mungkin dilarang merapikan nya. Tiba-tiba saja manik Gavi melihat sebuah gumpalan daging di atas meja. Sudah hampir membusuk dan Gavi tahu apa itu. Dirinya mengambil baju sembarangan dari lemari dan menggunakannya untuk menutup onggokan janin tersebut. Lal
Selain itu, walau dulunya sering bertengkar, kini Rian sangat menyayangi Gia. Tidak ada lagi aksi nakal hingga Gia menangis.Rian sudah bisa menerima Gia.Bahkan memanggil Gia dan Alia dengan julukan si kembar kedua.‘’Nggak nyangka, ya, kita jadi kakak adik.’’ Rian tersenyum pada Gia, mungkin itu untuk pertama kalinya. Entahlah, mungkin sejak lama Rian sudah peduli dan sayang pada Gia tetapi terlalu malu menunjukkannya karena Gia bukan Alia. Alias sang adik.Tetapi kini sudah resmi. Sehingga Rian tidak menutup apapun lagi.‘’Iya. Semoga kamu jadi kakak yang baik seperti baiknya kamu ke Alia.’’ Gia pun membalas senyuman tersebut. ‘’Kalau mas nggak baik, kasih tau aku saja. Nanti aku laporin ke Papi Leo,’’ celetuk Alia walau mata dan tanganya sibuk menata boneka.Ketiganya tengah main bersama. Tak lama si kembar datang bersama orang tua mereka.‘’Rian, mana kedua mami sama papimu?’’ seru Delia.‘’Di kamar, Tante.’’‘’Ngapain?’’ Alin kini yang bertanya. Padahal mereka sekeluarga beren
Beberapa hari setelahnya…Vania, Valerie dan Leo kompak menuju rumah sakit jiwa. Melihat Gavi tidak sendiri di dalam dunianya. Sandra dan Elsa menemani, satu ruangan berisi tiga orang.Elsa kehilangan bayinya saat di rumah sakit dan berakhir seperti Sandra yang terobsesi pada Gavi.Hingga kini pun Sandra memanggil nama Gavi.Elsa menyebut nama Rendi.Dan Gavi menyebut nama Vania.‘’Apa ada kemungkinan bisa sembuh?’’ tanya Vania pada perawat yang mendampingi.‘’Bisa. Tapi tidak bisa sembuh total. Hanya jika gejalanya diredakan, mereka akan kembali normal. Tetapi, kemungkinan kambuhnya juga akan sangat tinggi.’’Vania tidak menyangka jika kembalinya dirinya pada Leo adalah penyebabnya. ‘’Lebih baik jangan diredakan. Dia itu kriminal. Kalaupun disembuhkan untuk menjalani pemeriksaan biar bisa dikurung di penjara.’’ Leo masih memendam dendam yang belum terlampiaskan.‘’Dia sudah mendapat hukuman setimpal. Mungkin bukan penjara tempatnya dihukum, tapi di sini.’’ Valerie menepuk bahu Vani
‘’Kamu biadab!’’Gavi ingin sekali melayangkan tamparan, tetapi…‘’Jangan bergerak!’’ Polisi berteriak tegas.Kenyataan itu membuat peluh bercucuran membasahi tubuhnya. Penyesalan menyeruak masuk, menusuk kalbu. Berawal dari cinta dan abadi menjadi benci.Baru terasa bila memilih Sandra adalah kesalahan terbesar seumur hidup. Dan dirinya menyia-nyiakan Vania. Yang tidak sadar makin tidak ada orangnya makin Gavi jatuh cinta.Pipinya basah meneteskan air mata penyesalan.Mengapa semua diketahui ketika sudah terlambat?Apakah tidak ada lagi kesempatan kedua untuknya dan Vania bahagia dengan anak mereka?Gavi hanya ingin lepas. Bebas dari sini dan menjemput Vania dengan mulut terucap meminta maaf dan kedua tangan menangkup memohon ampun.Seorang suami pun hanya manusia biasa tidak ada yang sempurna.‘’Aku harus bertemu Vania.’’ Itulah yang terucap dari bibir Gavi.‘’Tidak akan ku biarkan kau mendekati adik iparku lagi.’’ Rendi mendesis sinis.Adik ipar?Tetapi sayangnya belum resmi. Gavi
‘’Apa-apaan…’’‘’Gav, ini anak-anak kita. Aku membawanya karena bayi kita telah gugur. Dan ini sebagai penggantinya. Lihat, lihat,’’ Sandra menarik si kembar ke depan Gavi yang kebingungan dan dua bocah itu semakin takut. ‘’Aku bisa memberimu anak. Mereka lucu juga menggemaskan. Artinya, kita tidak bercerai, bukan?’’Saat ini Sandra terlihat seperti wanita gila. Takut ditinggalkan, membutuhkan kepastian. Ternyata perkataan Gavi membuatnya putus asa sehingga menculik anak orang untuk diakui. ‘’Jika kamu tidak bisa memberiku anak, maka aku akan menceraikanmu,’’ Sandra mengulang kalimat yang pernah Gavi ucapkan. ‘’Dan mereka adalah alasan kamu tidak bisa menceraikan aku, Gav.’’Gavi kian geram dengan tingkah Sandra. Perkataannya sudah kemana-mana.‘’Yang aku maksud dari rahimmu. Bukan dari rahim orang lain!’’ desisnya. Andai bisa berteriak tentu dibarengi kekerasan. Tapi ini rumah sakit. Di mana dirinya sedang bersembunyi untuk menjalankan rencana.‘’Ini anakku, Gav. Mereka adalah anak
Senja di sore hari. Pemandangan indah untuk dinikmati dengan mata telanjang. Di saat orang-orang baru pulang dari lelahnya mencari uang, Gavi berdiri di balkon dengan earphone yang baru saja dihancurkan olehnya.Penyadap yang diletakkan di jendela tempat Vania dirawat meremukkan hatinya menghancurkan rencana yang telah disusun matang.Rasanya tidak mungkin secepat itu Vania memutuskan menikah lagi. Mungkinkah dengan trauma yang diberikannya Vania bisa membangun rumah tangga dalam waktu dekat? Apalagi menikah lagi dengan mantan suami pertama.Tidakkah Vania merasa malu?Tidakkah Vania berpikir sampai ke sana?Setelah Vania keluar dari rumah sakit, dirinya akan menculik Vania dan juga putri mereka tinggal bersamanya.Di rumah yang dibelinya ketika melihat gelagat Vania tidak mau lagi serumah dengan Yura.Gavi tidak sudi, putrinya memanggil Leo sebutan papa padahal Gia adalah anaknya.Mungkinkah Gia dipaksa? Gia dicuci otaknya agar lupa padanya yang kini menyesal menyia-nyiakan anak dan
‘’Gia kangen dipeluk. Dicium. Dibacakan dongeng sebelum tidur.’’ Betapa bayangan Gavi mencuat ke relung hati. Tangisan itu tidak lagi tentang keinginan melainkan tentang kerinduan.Rindu dengan sang ayah.Mulai dari caranya bicara.Mengajaknya bercanda.Menyuapinya.Dada Gia kian terasa sesak, menyadari kalau itu semua tinggal kenangan. Luka yang dicurahkan sang ayah sudah terlalu dalam, mengobati pun akan percuma karena tidak akan bisa sembuh.‘’Gia mau ketemu sama papa, Nak?’’ Terasa berat sekali bertanya. Tetapi sebrengsek apapun mantan suaminya itu, tetaplah ayah bagi putrinya.Namun dengan tegas Gia menggeleng.Valerie dan Vania pun dibuat heran.Gia angkat kepala yang menyembunyikan air matanya. Lalu menyeka walau airnya masih saja keluar. Terlalu sakit sehingga butuh sedikit lebih lama untuk kembali bicara.‘’Gia nggak mau papa Gavi.’’ Intinya, Gia cukup ingat kenangannya dengan Gavi tapi tidak mau papanya Gavi lagi. Traumanya sudah mendarah daging. Gia bisa mengingat dengan
‘’Kamu mau menikah lagi?’’Begitulah yang didengar Leo.Valerie mendesah panjang. Membuatnya harus mengulang lagi. Mengatakannya saja sudah sangat sulit apalagi ini sampai dua kali.Wanita kuat sekalipun akan rapuh bila meminta sang suami mendua.‘’Dengar, nggak? Tolong nikahi Mbak Van,’’ ucapnya lemah tanpa berkedip.Kata-kata itu membuat Leo membesarkan matanya. Sekaligus menggelengkan kepala. Lalu tertawa merasa tidak masuk akal.‘’Sayang, pikiran kamu nggak beres di sini. Sebaiknya kita pulang ke Kalimantan. Mas pesan tiket sekarang.’’ Leo mengambil ponsel dan langsung membuka aplikasi pemesanan penerbangan, tetapi, Valerie menurunkannya.‘’Valerie serius!’’ Cara bicara Valerie bukanlah cara bicara yang biasanya. Leo merasa permintaan itu sangat konyol. Karena tidak sama seperti meminta permen ataupun tas mahal. Leo mengira jika menurut apa yang diinginkan Valerie semua akan lebih mudah ke depannya. Tetapi dugaannya salah.Dirinya pun sampai hati tidak mau membantu Vania lagi.
‘’Iya, Ma. Tapi Gia takut kalau nanti di sekolah ada Tante Sandra lagi. Boleh nggak, Gia bawa om-om itu besok?’’ Gia menunjuk pengawal di depan ruangan.Sebagai ibu, Vania sedih anaknya jadi merasa terancam. Seolah keselamatannya berada di ujung tanduk.Seharusnya Vania menjadi tameng terdepan untuk melindungi, tetapi di saat Gia membutuhkannya Vania malah terbaring sakit.Dan ketika bangun penyerangan itu sudah terjadi.‘’Gimana, Ma? Boleh, nggak?’’ pintanya penuh harap.‘’Jangan om itu, ya. Om lain saja. Gimana kalau Pak Sena?’’ Vania tidak mau merepotkan Valerie. Takutnya Valerie kian benci padanya.Sudah bagus Valerie ada bersamanya walau tidak berkata apapun sejak dirinya bangun. Meski sebenarnya Vania mengharapkan pelukan hangat juga beberapa kalimat dari sang adik. ‘’Tentu boleh. Gia mau yang mana?’’ Valerie mendekati ponakannya, seolah menawarkan mainan boneka.Sejak tadi menunggu waktu yang tepat, akhirnya ada pembicaraan yang bisa membuatnya terlibat.Vania menatap Valerie d
‘’Siapa yang nggak punya otak, Al?’’ Tiba-tiba saja Rian sudah berada di sebelah Rico.‘’Itu tuh, Mas.’’ Menunjuk si kembar dengan mulut yang dimajukan.‘’Kalian apakan adikku?’’ ‘’Jangan salah paham, Sepupu. Kami hanya bercanda.’’ Raffi cengengesan lalu menyenggol lengan Rico untuk ikut tertawa. ‘’Dasar kalian!’’ Alia menggeleng-geleng tetapi sesaat kemudian sudah berdamai lagi.Rian melihat sedikit embun di mata Gia, tetapi tidak berkata apapun. Ingin berempati namun kelakuannya selama ini membuatnya malu untuk tiba-tiba memberi perhatian.‘’Kamu sudah nggak sedih lagi, kan?’’ ‘’Sedikit,’’ jawab Gia pelan.‘’Ayo kita main. Nanti papa aku jemput, terus ngajak kita main di mall,’’ jabar Alia dengan rasa bahagia.Lili dan Nathan sudah menganggap Gia juga sebagai anak mereka. Sangat tidak tega melihat Gia sendirian bertemankan Pak Sena dan Inah saja. Apalagi Alia sering bercerita, betapa sedihnya Gia selama sekolah.Tidak adanya kemajuan tentang Vania, berpengaruh besar pada sang pu