‘’Selalu ada matahari setelah hujan. Jangan lupakan itu.’’‘’Jangan pikirkan apa yang telah hilang. Tapi pikirkanlah apa yang masih kamu miliki.’’Leo bukanlah teman dekat Vania. Mungkin juga bukan orang yang diharapkan untuk ada didekatnya sekarang. Tetapi siapapun berhak mendapat semangat, di saat harapan hidup lenyap perlahan .Terlihat Vania seakan tengah berpikir. Memikirkan kata-kata Leo yang ada benarnya. Itu membuatnya merenung mensyukuri hidup.Walau senyum belum tercetak di wajah Vania, namun Leo bisa melihat kemuraman sedikit demi sedikit menarik diri.‘’Kamu benar, Mas. Terimakasih.’’ ‘’Bila perlu apa-apa dan butuh bantuan apapun, jangan lupa kalau ada aku, adik iparmu, Van.’’Segaris senyum terukir halus Lucu sekali. Juga terdengar aneh di telinganya. Sudah lama Vania dan Leo tidak bertegur sapa. Bahkan lupa bila mereka adalah saudara ipar. Akan tetapi fakta akan status tersebut, masihlah rancu bagi Vania. Sebenarnya Leo juga.Bagaimana tidak? Dulu dekat seperti Rama dan
‘’Tunggu, ya, Nak. Mama mau antar semuanya ke depan. Gak lama kok.’’‘’Pergi saja. Ada saya di sini, Besan.’’ Dani meyakinkan Vira untuk tidak tidak khawatir.Vania pun turut mengangguk.Benar juga. Dani tidak mungkin macam-macam dengan putrinya. Walaupun ayah dan anak, tetapi Dani bukan Gavi.Baiklah, Vira memilih percaya saja.‘’Papa, kalau papa sibuk, Vania nggak apa-apa, kok, sendirian. Vania juga merasa sudah baikan.’’Kesibukan Dani sebagai dokter senior sangat diketahui Vania. Gavi pernah menceritakan sepenting apa posisi Dani di rumah sakit. Karena itu, Vania tidak mau menjadi beban yang harus dijaga.Tok… tok… tok…‘’Dok, maaf mengganggu. Ada pasien…’’Dani mengangkat tangannya, sang perawat pun langsung terdiam.‘’Tuh, Pa. Vania nggak apa-apa, kok.’’Menarik napas sedalam-dalamnya, Dani merasa sedikit ragu untuk pergi. ‘’Pasiennya kritis, Dok.’’Jleb.‘’Papa, Vania pun pasien. Tapi pasien lain lebih membutuhkan papa.’’ Vania tampak bersungguh-sungguh.‘’Baiklah. Kalau ada a
‘’Wow, aku berhasil. Yes.’’ Sandra mengepalkan tangan berjingkrak-jingkrak kegirangan. Beberapa hari ini menguntit, ternyata Gavi sudah sejahat penjahat.Khususnya pada Vania.Itulah yang Sandra nantikan selama ini.Ketika Gavi dan Sandra pulang ke rumah. Tak ada yang menyambut bahkan Yura terlihat menghindar ketika melihatnya. Seakan enggan menatap barang sedetik, sehingga buru-buru berlalu.Gavi pun cuek, begitu juga Sandra yang sudah putus urat malunya.Sampai di depan kamar, Gavi tergerak melihat ke lantai atas. Hingga dirinya memilih masuk ke kamarnya dan Vania di lantai dua, mungkin akan sedikit menghiburnya.Gavi pun harus mengambil beberapa barang yang masih tersisa.Kamar itu masih berantakan. Tidak ada yang berubah. Lia mungkin dilarang merapikan nya. Tiba-tiba saja manik Gavi melihat sebuah gumpalan daging di atas meja. Sudah hampir membusuk dan Gavi tahu apa itu. Dirinya mengambil baju sembarangan dari lemari dan menggunakannya untuk menutup onggokan janin tersebut. Lal
Berkali-kali Yura menyambangi Vania sekaligus menjenguk cucunya, namun tetap tak bisa mengubah pendirian Vania yang sekeras karang.Vania kekeh menolak. Ajakan demi ajakan tak membuahkan hasil.Dani pun sudah putus asa, bisa dibilang menyerah untuk membuat menantunya luluh, agar bisa kembali ke rumah.‘’Mama mohon, Van. Rumah terasa berbeda semenjak kamu tidak ada.’’‘’Mama hanya belum terbiasa.’’ Vania tersenyum meyakinkan Yura bahwa semua bisa dilalui oleh mertuanya. Sama sepertinya sekarang. Dan lagi, ada atau tidaknya dirinya dan Gia tidak berpengaruh apapun. Khususnya pada Gavi. Yang bahkan tidak menanyakan kabar anaknya. Mungkin Gavi memang sudah bahagia dengan istri barunya.‘’Ma, sudahlah. Kita harus hargai keputusan Vania. Lagi pula ini semua karena ulah anak kita.’’ Dani mengusap punggung Yura dan menatap mata tua itu dengan kesedihan yang sama.Barangkali jika diminta terus-menerus Vania akan berubah pikiran. Itulah yang diharapkan Yura.Raut wajah Yura tampak sangat me
Teduh, tenang, sejuk tak terucapkan. Rintik hujan jatuh menimbulkan suara gemericik gaduh. Hati Valerie terasa damai melihat Rian sibuk berbasah-basah sendirian. Di halaman depan berlarian tanpa teman. Hanya ada dirinya yang mengawasi dari teras bersama secangkir teh hangat.Tiada siapapun kecuali mereka berdua di rumah.Leo di kantor, Gia ikut Vira berbelanja bersama Inah dan Pak Sena, dan Vania pergi mencari kerja.Tiga bulan tanpa nafkah, membuat sang kakak berpikir untuk menggunakan ijazahnya. Hal yang sebelumnya tidak pernah ada di kamus Vania untuk bekerja. Karena, ketika lulus kuliah langsung di pinang oleh Leo. Kertas yang dipenuhi sedikit debu itu akhirnya dikeluarkan setelah bertahun-tahun.Vania tidak kekurangan uang. Bagian dari warisan sang papa sangatlah cukup sebenarnya. Tetapi dirinya terlalu bosan, menunggu Gia pulang sekolah, kegiatannya hanya itu-itu saja.‘’Apa aku nggak salah lihat, Lin?’’ Delia mengucek mata. Bahkan menghentikan mobil yang sedang dibawa.Alin p
‘’Jangan ngelamun gitu. Ayo dimakan, nanti keburu dingin udah nggak enak.’’ Alin menepuk bahu Vania yang tengah diam.Terlalu memikirkan Valerie, Vania sampai lupa makanan sudah tersaji.‘’Dia itu masa lalu. Kamu, kan, udah nggak ada perasaan lagi kan, Van, sama dia? Jadi ngapain di pikirin?’’ Lagi-lagi perkataan Alin ada benarnya.Ya. Sudah tidak ada.Dirinya ingin mandiri. Tidak berpangku tangan apalagi mengharapkan bantuan dari siapapun. Bekerja demi Gia. Bangun, kerja, pulang, sudah. Vania juga butuh pengalih rumah tangganya yang entah mau dibawa kemana. Tak ada kejelasan apapun dari Gavi. Hanya menggantung tanpa kata. ‘’Tapi, sebentar. Apa jangan-jangan kamu masih punya perasaan sama Leo, Van?’’ tebak Delia.‘’Apa nggak ada pertanyaan lain? Pengen muntah dengarnya,’’ Vania melirik sebal.Wanita itu memang usil bukan main.Alin sampai mencubit madunya itu walau tidak sakit tapi Delia menjerit.‘’Kalian, kan, udah nggak iparan lagi. Tapi masih saja kamu belain Vania. Aku ini mad
Tanpa permisi Rendi masuk ke ruangan Leo.Direktur Operasional yang tengah sibuk dengan kertas di dalam map juga laptop langsung beralih menatap Vania.‘’Ini calon sekretarismu,’’ Rendi mengedipkan mata pada Leo. ‘’Dia cantik, bukan? Seperti sekretarisku.’’‘’Lucu sekali,’’ Leo menggeleng-geleng atas ocehan Rendi. Sangat tidak profesional.‘’Silakan duduk, Van,’’ ucap Leo kemudian.‘’Terimakasih, Mas. Ah, Pak. Maksud saya.’’ Ini bukan di rumah atau di luar. Vania harus bersikap profesional.
‘’Val…’’‘’Aduh, Mbak. Maafin Ryan, ya. Dia memang begitu. Sama Alia saja kadang cemburu.’’ Valerie harap Vania mau memaklumi kesalahan anaknya.Akan tetapi Vania malah tertawa kecil.‘’Ngapain mbak marah. Mbak cuma mau bilang kalau Ryan itu ngingetin mbak kayak kita kecil dulu. Bedanya Ryan kayak mbak. Kamu kayak Gia.’’Valerie jadi mengenang. Iya, benar juga apa kata Vania.Bedanya posisinya terbalik. Mungkin beginilah jalur takdir. Dulu Vania sering menindas Valerie, kini malah anak Valerie yang menindas anak Vania.