"Malam-malam begini aku harus mencari asinan buah di mana, Wife?" seru Arfeen dengan nada frustasi. Ia tengah video call dengan Larena. Ketika dalam perjalanan pulang, sang istri menghubunginya. "Mana aku tahu, ya pokoknya cari!" "Aku buatkan saja ya?" tawarnya. Larena menggeleng. "Tidak mau, kalau membuat sendiri prosesnya lama. Juga harus menunggu dingin supaya seger, aku kan mau makan sekarang!" "Tapi kalau tidak dapat bagaimana, Wife? Sama saja kan, aku muter-muter juga lama!" "Kau memang tidak benar-benar mencintaiku!" seru Larena lalu menutup sambungan video call itu. "Wife ... Wife!" panggil Arfeen tapi layar handphonenya sudah kembali ke halaman awal. Ia harus mengembuskan nafas kasar kemudian mengirim pesan kepada sang istri. "IYA, AKU CARI SAMPAI KETEMU!" Ia mengantongi handphonenya dan kembali melajukan motornya untuk mencari pesanan sang istri. Di belakangnya Jordi mengikuti menggunakan mobil. Arfeen tak ingin dikawal, tapi Jorditetap merasa khawatir. Itu seb
"Ini ...."Arfeen kehilangan kata melihat guling yang didekap erat oleh sang istri. Ia pikir wanita itu sudah cukup dewasa di usianya yang memang sudah dewasa.Tapi kenapa wanita itu menempelkan foto wajahnya di guling yang saat ini dipeluknya. Bukan hanya foto wajah, tapi tulisan ARFEEN di atas foto wajahnya itu.Ada rasa bahagia yang menyergap hatinya melihat wanita itu memeluk guling dengan foto dirinya dana namanya juga. Senyum bahagia bercampur aneh muncul di wajahnya.Bagaimana pun yang wanita itu peluk adalah pengganti dirinya, bukan Damian. Foto wajahnya yang ditempel di guling, namanya yang ditulis di benda itu juga. Dan Larena memeluk guling itu begitu erat seperti saat wanita itu memeluk dirinya tiap kali mereka selesai bercinta.Menyaksikan hal itu, tentu saja ia tak tega untuk menyentuh pipi mulus yang sangat ia rindukan itu. Ia senyum-senyum sendiri sembari menyantap asinan yang tadinya hendak ia berikan pada L
Arfeen mengecup bibir Larena dengan gerakan cepat ketika wanita itu tengah memperhatikan wajah lelapnya. Ia bukannya pura-pura tidur, beberapa saat lalu ia benar-benar masih tertidur. Namun ujung jari wanita itu yang mengalir dari dahi turun ke bawah membuatnya terjaga, meski ia anggap untuk membuka mata karena ingin tahu apa yang akan dilakukan wanita itu selanjutnya. Ia pikir wanita itu akan menciumnya namun hanya memandangi saja. Jadi ia yang lebih dulu mengambil tindakan. Kedua mata Larena melebar dengan serangan tak terduga itu, ia menatap suaminya dengan kesal. “Auw!” Arfeen menjerit saat tangan sang istri mencubit perutnya. “Kau sengaja ya! Ha?” “Ampun, ampun, Wife!” Ia menyerah jika wanita itu sudah mengeluarkan jurus cubitannya. Lama-kelamaan cubitan Larena terasa juga. Larena melepaskan cubitannya sambil memanyunkan bibir. “Dasar genit! Pintar sekali mencuri kesempatan!” Arfeen mengeluarkan tawa saat bangkit duduk. “Makanya jangan suka malu-malu, kita kan suami istri
"Hasil autopsi Malik? Untuk apa kau meminta hasil autopsi papamu?" tanya Radika yang merasa heran karena tiba-tiba saja cucunya meminta hal itu. "Papa adalah orang yang cukup kuat, Kek. Meski mobilnya terbalik seharusnya Papa masih mampu keluar dari dalam mobil sebelum mobil itu meledak. Tapi ... papa sama sekali tak bergerak!" "Apakah menurutmu itu aneh? Mungkin saja papamu mengalami benturan yang cukup hebat di kepala sehingga dia pingsan saat itu!" "Di mana hasil autopsinya, Kek? Apakah Kakek masih menyimpannya atau tidak?" "Ada di ruang kerja Kakek. Pastinya Kakek letakan di mana Kakek lupa. Saat itu Kakek merasa sangat terpukul sehingga tak sempat membacanya!" aku Radika. Kedua mata Arfeen mendelik. "Kakek tak sempat membacanya? Bagaimana dengan Liam?" "Kakek tidak tahu, saat itu memang Liam yang menerima dari Dokter!" Arfeen memejamkan mata. Kakeknya tak pernah sempat membaca hasil autopsi papanya. Semoga saja dokumen itu masih ada. "Baiklah, Kek. Hari ini aku akan m
“Apa? Adikku sudah menemukan hasil autopsi Papa?” saut Lyra menegakkan tubuh. Sedikit membenahi selimut yang melorot di tubuhnya. “Bagus, ini sesuai rencana. Awasi terus gerak-gerik di rumah itu, jika ada kabar baik lagi jangan lupa hubungi aku!” “Siap, Nona.” Lyra mematikan sambungan teleponnya. Ia sudah bisa membayangkan bagaimana kacaunya pikiran Arfeen saat ini. Adik sedarahnya itu pasti sekarang sedang sangat dilema. Ia tak menyangka jika ternyata hasil autopsi papanya itu akan sangat berguna sekarang. Dulu ia sempat berpikir untuk memusnahkan hasil autopsi itu. Tapi setelah berpikir dua kali ia memutuskan untuk menyimpannya saja. Siapa tahu suatu saat akan berguna dan rupanya keputusannya tepat. Ia sudah mendapatkan laporan bahwa Arfeen mencari hasil rekaman cctv jalan di mana sang papa mengalami kecelakaan. Juga termasuk pertemuan papanya dengan Vano. “Hal iblis apa yang sedang kau rencanakan?” tanya Alvian mendekat sembari membelai punggung polos Lyra. Lyra menyilakan ra
Arfeen tak sanggup menerima telepon dari sang istri. Ia sangat mencintai wanita itu. Larena adalah wanita pertama yang berhasil menyentuh hatinya. Wanita pertama yang membuatnya menginginkannya seperti orang gila. Namun ia harus menghadapi kenyataan pahit ini. Akibat kematian sang papa, ia yang harus menanggung akibatnya. Yang membuatnya marah karena yang menjadi korban bukan hanya dirinya, Amara pun ikut menjadi korban. Tapi bukankah karena hal itu juga ia bisa bertemu dengan Larena? Jika ia tak terusir dari klan Mahesvara, ia tak yakin akan bisa menikah dengan Larena. Jadi apakah ia harus berterima kasih jika begitu? Berterima kasih! Hati Arfeen ngilu memikirkan hal itu. Ia memilih untuk membersihkan diri ke kamar mandi dan langsung bergelung di balik selimut. Namun ia tak kunjung bisa memejamkan mata. Hanya bergulingan tak tentu. "Sial!" umpatnya membangkitkan diri untuk duduk menyibak selimut dengan kasar. Larena juga bangkit duduk dengan kesal. "Dia sebenarnya ke mana? Ke
"Arfeen kenapa, Ma?" tanya Larena mendekat. "Baiklah, kami akan ke sana!" saut Viera kemudian menutup teleponnya dan menaruh di meja. "Ma, ada apa dengan Arfeen?" desak Larena yang masih berdiri. "Suamimu itu, ternyata sikap berandalannya masih belum hilang ya! Pagi-pagi sudah berkelahi di jalanan dan sekarang berada di rumah sakit polri!" "Apa? Arfeen di rumah sakit?""Bukan itu yang perlu kita khawatirkan, tapi bagaimana kita harus menghadapi kepolisian. Mama paling malas berhubungan dengan polisi!" Larena tidak mempermasalahkan hal itu, ia sudah tahu siapa suaminya. Yang polisi saja bahkan akan gemetar jika tahu jati dirinya. Ia khawatir pada kondisi pemuda itu. Ia pun lekas kembali ke kamar untuk mengambil tas, "Mama mau ikut apa tidak?" tanya Larena saat melalui ruang makan. "Ikut ke mana?" tanya Vano yang baru keluar dari kamar. "Menantumu itu, pagi-pagi sudah merepotkan?" sungut Viera. "Rena, ada apa?""Kita bicara di jalan saja, Pa. Itu pun jika Papa mau ikut!"Vano y
Vano masih bergeming di tempatnya. Bahkan sampai Larrna kembali, ia seperti terlempar ke dunia lain. Menantu yang mulai berhasil mencuri hatinya, rupanya adalah putra dari Malik! Semua yang sudah Arfeen lakukan, membuatnya mulai menyukai pemuda itu. Tapi kenapa saat ia mulai bisa menerima pemuda itu sebagai menantunya ia harus menerima kenyataan pahit ini? Malik sudah membuat reputasinya hancur, membuat keluarganya hidup menderita selama bertahun-tahun. Bahkan kematian pria itu tidak akan sebanding dengan apa yang ia alami! Dokter dan beberapa perawat mulai memindahkan Arfeen ke ranjang dorong dan membawanya ke lift. Larena tentu saja menemani sang suami. Akan tetapi Vano dan Viera tidak ikut. Mereka memilih untuk pulang. Setelah mengetahui siapa sebenarnya Arfeen, mereka tak terlalu khawatir. Arfeen memiliki ribuan pengawal yang sangag terlatih yang rela mati demi melindungi nyawanya. Lalu apa yang perlu dikhawatirkan? Selama perjalanan ke rumah sakit Royal Medika yang Arfeen be